In Tokoh

“I consider myself as an essayist, I make essays in the form of novels or novels in the form of essays: only I film them instead of writing them. If the cinema were to disappear I would move on to television, and if television were to disappear, I would go back to using pencil and paper.” (Wawancara Godard di Cahier du Cinéma, 1962)

Pengalaman saya dengan Godard tidaklah linear. Film pertamanya yang saya tonton adalah Nouvelle Vague; bukan pergerakannya, tapi filmnya yang berjudul sama, yang diproduksi tahun 1990. Saya tidak terlalu ingat kesan pertama yang saya dapatkan saat itu, namun yang masih bisa diingat, bagaimana film itu begitu menekankan gestur antara dua tubuh–khususnya tangan–dan menjadikan pertemuan keduanya seakan seperti peristiwa keilahian.

Potongan adegan dalam Nouvelle Vague (1990). (Sumber: https://hayaomiyazaki.tumblr.com/).

Adegannya adalah: seseorang mengalami kecelakaan, tangannya dari sisi kiri menengadah ke dari bawah; perlahan. Lalu dari sisi kanan; juga perlahan, muncul tangan yang meraihnya. Sebagai fungsi, adegan ini bukanlah gambaran yang baik dalam memperlihatkan sebuah tindakan pertolongan untuk kecelakaan. Namun, sebagai sebuah langgam gambar bergerak, adegan itu terlihat prosaik; indah dan agung.

Gerak tangan yang demikian saya temukan kembali di Une Femme Mariée (1964). Dua tangan dari sisi berbeda lalu saling bertalian satu sama lain di atas ranjang, berbarengan dengan alunan Streichquartett-nya Beethoven.. Namun, bila tangan di Nouvelle Vague mengimpresikan keilahian, maka tangan di sini menegaskan imaji yang lain; sensualitas. Sensualitas tidak terlihat melalui aktivitas seks yang gamblang, tapi menggunakan gerak tangan yang perlahan bertemu lengan, paha, dan leher.

Perjalanan kekaryaan seorang seniman adalah perjalananya dalam mencari bentuk estetik yang sesuai dengan visi dan ekspresinya. Ketika bentuk itu sudah ditemukan, pilihannya lalu: mengemban bentuk yang telah ditemukan itu sepanjang hidupnya, atau melakukan pertaruhan dengan melompat ke bentuk yang berbeda dan bereksplorasi di wilayah yang baru. Definisi pertama bisa ditemukan dalam karya Robert Bresson, Andrei Tarkovsky, dan Yasujiro Ozu. Sementara, yang kedua bisa dilihat dalam karya Claire Denis, José Luis Guerin, dan Raúl Ruiz. Godard agaknya berada di keduanya. Bila melihat oeuvre-nya, karya-karya Godard dipenuhi oleh upaya untuk menciptakan bentuk baru, membawanya, dan, di satu titik, meninggalkannya untuk bereksplorasi kembali di ranah yang berbeda.

But the business of the script was to see them, to see if this world could exist. Not creating a world, but the possibility of a world. The camera will do the work of making the possible probable, or, rather, the probable possible. The script creates a probability: the camera makes it possible.(Scenario du Film Passion, 1982)

Karya periode awalnya didorong oleh semangat untuk membuat film yang berbeda dengan sinema Amerika. Sehingga, tiap bidikannya dilandasi oleh pertanyaan: “Apakah bidikan ini sama dengan bidikan di film Hollywood?” Dalam sebuah wawancara, Raoul Coutard, penata kamera di film Godard periode awal, mengatakan, “Godard memiliki caranya sendiri untuk berekspresi, dia tidak mengatakan bidikan apa yang dia inginkan, tapi sebaliknya, bidikan apa yang tidak dia inginkan”. Saya melihat periode awal Godard didorong oleh kebenciannya terhadap sinema kontemporer saat itu. Kegelisahan untuk menciptakan kebaruan. Karena itulah film periode awalnya dipenuhi respons antitesa terhadap wacana sinema dominan (Hollywood). Dia mencoba banyak genre populer dengan bentuk yang bermacam: musikal, thriller, perang, detektif, sebelum akhirnya melakukan lompatan jauh menuju sinema radikal: Grup Dziga Vertov.

Kredo yang dibawa oleh Godard ke dalam kolektif Grup Dziga Vertov: “The problem is not to make political films, but to make films politically.” Tidak cukup untuk membuat film yang bermuatan politik, pembuat film juga harus memikirkan cara-cara pembuatan film yang sadar betul dengan konsekuensi politik dan aktivisme. Walaupun menamai kolektifnya dengan meminjam nama sutradara Soviet, Dziga Vertov, kiblat politik mereka saat itu lebih bercondong kepada Cina dan menyuarakan revolusi di Barat sewarna dengan revolusi Maoist.

Ada beberapa peristiwa yang bisa kita lihat sebagai pemantik dari lompatan yang dilakukan Godard. Memanasnya kondisi Perancis pasca-Mei 68, pertemuannya dengan sineas radikal dari Amerika Latin, dan meningkatnya tensi politik global (Perang Enam-Hari Arab-Israel, Perang Vietnam, dan Revolusi Kultural di Cina). Bagi sineas radikal di Amerika Latin seperti Fernando Solanas, Glauber Rocha, dan Octavio Getino, Godard dan kawan-kawannya, yang dianggap sebagai babon ‘auteur’ film seni Eropa, adalah bagian dari masalah yang harus mereka hadapi. Walaupun beberapa auteur ini berhaluan politik Kiri (selain Godard, ada Visconti, Chabrol, dan Pasolini), oleh sineas radikal Amerika Latin mereka dianggap seperti ‘terperangkap dalam benteng yang kokoh’ karena ekspresi artistik yang diusungnya, yang awalnya dianggap sebagai alternatif dari sinema pasar, justru membuat mereka terpenjara dalam mekanisme pasar itu sendiri: pasar ‘arthouse’. Para sineas radikal Amerika Latin lalu memformulasikan cara lain dalam membuat film, yang mereka sebut sebagai Sinema Dunia Ketiga. 

The labor of love. And the love of labor, loathing of labor. Loathing of cinema, love of cinema(Scenario du Film Passion, 1982)

Grup Dziga Vertov terang-terangan menggunakan sinema sebagai senjata untuk melawan imperialisme. Film-film mereka, seperti Pravda (1970) dan Wind from the East (1970), menunjukkan masalah-masalah sosio-politik di berbagai belahan dunia, dan yang terutama juga, masalah-masalah terkait wacana estetika sinema, yaitu sinema komersial, yang disebutnya sebagai ‘sinema borjuis’. Inilah sebabnya film-film Grup Dziga Vertov tidak dibuat dengan cara-cara yang serupa; mendislokalisasi suara dan gambar, seakan tidak dalam satu poros yang sama. Interaksi antara suara dan gambar bukanlah interaksi untuk menciptakan struktur aristotelian, namun untuk mengguncang penonton pada kesadaran politik radikal sehingga film-filmnya menolak untuk ‘dikonsumsi’ seperti film komersial pada umumnya. Karena narasinya yang sangat didaktik, film produksi Grup Dziga Vertov sering kali diserang sebagai propaganda.

Sebagai kolektif, mereka hanya bertahan tiga tahun. Setelah Vladimir et Rosa (1971), baik Godard maupun anggota kolektif lainnya kembali menggunakan nama mereka sendiri sebagai identifikasi karya.

Ici et Ailleurs (1976) adalah nafas akhir dari perjuangan sinema radikal Grup Dziga Vertov. Di tahun 1970, Grup Dziga Vertov berencana membuat film berjudul ‘Jusqu’à la victoire’, yang berisi tentang tentara pejuang Palestina. Rencana ini dibatalkan setelah seluruh pejuang meninggal beberapa bulan sesudah Grup Dziga Vertov selesai syuting. Ici et Ailleurs adalah refleksi tentang begitu berjaraknya sinema dengan konflik keseharian, seberapa pun kamera dan orang-orang di belakangnya coba mendekat. Pertanyaan tentang rasa saat melihat tubuh-tubuh pejuang yang masih hidup dalam bentuk imaji, dan hanya sebatas dalam bentuk imaji saja. Keterbatasan yang lalu berakhir dengan kesimpulan bahwa, pada akhirnya, sinema harus menyerah ketika persoalan politik dibawa ke ranah realitas fisik. Ici et Ailleurs sedikit banyak membawa embrio gaya film-film Godard setelahnya, yang esaistik dan spekulatif.

“Very often in picture the oppose art to money, and very often people think they can, they think themself as an artist and they try very hard not to be linked with money, to be separated, to be independent, from money, i don’t think so, art is not independent from economy, but on the reverse, economy is not independent from art…. Art and economy are both sides of the same medal”. (Wawancara Godard di Dick Cavett Show, 1980)

Selain gambar dan suara, teks adalah elemen artistik yang sering kali digunakan Godard. Teks bisa berbentuk tulisan besar menyerupai intertitles pada film bisu. Intertitles dalam film bisu hadir untuk menyiasati ketiadaan suara; teks berisi dialog, atau juga narasi pendukung konteks cerita yang tidak bisa dihadirkan dalam visual. Teks dalam Godard beroperasi secara berbeda. Di film-filmnya periode awal, penggunaan teks tidak selalu konsisten pada satu tujuan. Pada Masculin Féminin (1966), misalnya, teks berguna sebagai sekat antara segmen-segmen yang berbeda, namun bisa juga sebagai kalimat ungkapan mandiri yang tidak mendukung narasi ataupun dialog film, tapi lebih pada gambaran metaforik terhadap keseluruhan peristiwa di film. Ungkapan paling ikonik di film ini: ‘Children of Marx and Coca Cola’. Ungkapan yang mengekspresikan kegamangan generasi muda saat itu dalam melihat dunia, dan menjadi semacam nubuat terhadap peristiwa yang nantinya akan terjadi, yaitu Mei 1968.

Teks yang berbentuk kalimat itu adalah teks yang diciptakan sendiri olehnya, namun bisa juga kuotasi dari sumber lain. Keberadaan teks ini lalu menjadi bagian dari identitas estetik yang dibawanya bahkan hingga film-film periode akhirnya. Teks digunakan untuk mengungkap konteks lebih besar dari apa yang diperlihatkan gambar dan suara. Sifat teks yang gamblang sering kali digunakannya untuk menyampaikan ide dalam suatu film. “…est représentée dans le film par un flot d’” (‘Death is represented by in this film by a flow images’) di film Ici et Ailleurs menyuarakan ide tentang keterbatasan representasi dalam gambar bergerak terhadap medan realitas di tempat lain. Teks yang muncul di Histoire(s) Du Cinéma beriringan dengan narasi yang diucapkan. Posisi teks tidak sebagai pendukung gambar, narasi atau suara; posisi teks sejajar dengan semua elemen artistik itu. Keberiringan teks, dan posisinya yang sejajar itu, menjadikannya seakan satu konstruksi sebagai montase utuh. Teks, dengan artian yang demikian, menjadi semacam, dalam artian Deleuzian, ‘imaji virtual’. Teks merepresentasikan objek tanpa menampilkannya secara aktual, dan langsung berbalas dengan gambar dan suara yang hadir sebelum dan setelahnya.

Teks dalam film bisa muncul dalam bentuk lain, contohnya sebagai subtitle. Godard sangat memedulikan subtitle di filmnya. Karena teks sudah hadir sebagai bagian dari artistik, dan sifat subtitle yang komplementer, muncul secara aktual ketika tokoh berbicara, maka keberadaan subtitle yang muncul di sudut bingkai dapat dianggap mengintervensi teks yang sebelumnya sudah dibuat dengan perhitungan dan ketelitian. Beberapa filmnya diawasi sendiri pembuatan subtitlenya. Di film Every Man for Himself (1980), Godard secara khusus meminta Charles Bukowski untuk membuatkan subtitle. Filmnya sendiri juga diinspirasi dari karya Bukowski. Sehingga, konteks sastrawi yang ada di film tidak hilang ketika dialihkan kembali ke dalam terjemahan.

For there is a rule and an exception. Culture is the rule, and art is the exception. Everybody speaks the rule; cigarette, computer, t-shirt, television, tourism, war. Nobody speaks the exception. It isn’t spoken, it is written; Flaubert, Dostoyevsky. It is composed; Gershwin, Mozart. It is painted; Cézanne, Vermeer. It is filmed; Antonioni, Vigo. Or it is lived, then it is the art of living; Srebrenica, Mostar, Sarajevo. (Je Vous Salue Sarajevo, 1993)

Film Socialisme (2010) sempat menjadi polemik saat dirilis. Tidak hanya karena konten film itu, tapi juga karena subtitlenya yang ditulis sendiri oleh Godard. Subtitle dalam Film Socialisme terlihat tidak utuh, tidak sesuai konstruksi bahasa Inggris dan beberapa dialog bahkan dibiarkan tanpa penjelasan. Bahasa di subtitle itu disebutnya dengan Navajo English. Awalnya, Film Socialisme dijadwalkan tayang di Cannes 2010 tanpa subtitle apapun dan Godard bersikeras bahwa penonton tidak perlu subtitle untuk menyaksikan filmnya. Tekanan dari distributor film dan festival memaksanya untuk menyertakan subtitle, tapi Godard mengajukan syarat bahwa dia membuat sendiri subtitlenya, dengan caranya sendiri. Godard tidak pernah menjelaskan alasan kenapa subtitlenya dibuat demikian. Ini bisa saja adalah sebuah prank, jari tengah ke arah distributor dan festival film besar, namun bila melihat bahwa dia sejak dulu bereksperimen dengan teks di film-filmnya, Navajo English bisa dilihat sebagai upayanya untuk memasukkan subtitle sebagai bagian dari artistik film, tanpa mengintervensi teks yang sudah hadir sebelumnya. Atau intensinya memang keduanya; mengerjai para pemain besar dalam industri film sembari bereksperimentasi dengan kemungkinan-kemungkinan baru.

Setelah melepaskan Grup Dziga Vertov, Godard menyutradarai beberapa film fiksi panjang, yang berarti dia kembali lagi ke dalam kerja-kerja ‘auteur’ yang dilawannya saat masih berada di Grup Dziga Vertov. Periode paling menariknya, menurut saya, adalah periode setelahnya, ketika akhirnya ketika dia memutuskan untuk membuat beragam video esai, yang dibuatnya bersama pasangannya, Anne-Marie Miéville, tokoh yang sangat penting dan seringkali terabaikan dalam pembicaraan periode akhir Godard. Bubarnya Grup Dziga Vertov juga tidak berarti Godard berhenti membuat karya yang politis. Seluruh karyanya, bahkan hingga karya yang terakhir, The Image Book (2018), masih memuat komentar politis tajam, khususnya tentang peran sirkulasi gambar dalam dinamika politik kontemporer.

“Now I am trying to make films that consciously attempt to take part in the political struggle. I used to be thoughtless, sentimental”. (Wawancara Godard di Cine del Tercer Mundo, 1969)

Di tahun 1978, Godard dan Miéville diminta oleh pemerintah Mozambik, negara yang baru beberapa tahun merdeka, untuk membuat beberapa program televisi dan meletakan fondasi produksi film dan televisi di negara itu. Proyek ini, lucunya, berbarengan dengan proyek film panjang yang hendak dilakukannya di Amerika Serikat. Berada di tengah-tengah kedua kutub, Godard mengatakan “In California, you have so many images, and in Mozambique, there are none. 80 percent of the population has never seen an image – only nature.” Walaupun Godard bisa dikatakan sebagai seorang intelektual, yang bahkan berada di posisi antikolonialis, pandangannya terhadap Mozambik tidak lepas dari pandangan yang bernada white savior. Dia melihat Mozambik seperti laboratorium, seperti kertas putih yang siap ditulis dan dibentuk apa pun, termasuk oleh peradaban Barat. Proyeknya, baik di Amerika serikat maupun di Mozambik gagal berakhir tayang. Namun, di sisi lain, Godard mendapati bahwa seluloid film warna tidak didesain untuk menangkap dengan baik kulit hitam penduduk Mozambik. Ada kecenderungan rasial sistemik yang didapatinya, yang mungkin juga menjadi pelatuk untuk mengeksplorasi medium lain: video.

Histoire(s) du Cinéma (1988-1998) adalah pencapaian tertinggi sinema Godard, dan salah satu karya seni terbaik di abad 20, setidaknya menurut saya. Berisi tentang penjelajahan sejarah sinema, namun sejarah yang dimaksud tidaklah bersifat ensiklopedik dan kejarannya bukanlah informasi faktual tentang sejarah sinema (siapa pun yang mencari jawaban langsung atas pertanyaan sejarah sinema, sebaiknya menyaksikan The Story of Film: an Odyssey karya Mark Cousins). (s) di akhir Historie mengindikasikan sejarah yang tidak tunggal, namun bertangkai. Sejarah dalam artian pengalaman-pengalaman, serta spekulasi-spekulasi terhadap beberapa peristiwa besar. Sebuah refleksi di atas keruhnya peristiwa sosio-politik, ekonomi, dan seni, khususnya seni Barat di penghujung akhir abad 20.

Histoire(s) du Cinéma dibuat sebanyak delapan bagian selama rentang waktu sepuluh tahun. Tiap bagian, walaupun dikisahkan dengan abstrak dan kriptik, namun memiliki tema pembahasan utama. Godard memperlihatkan bagaimana gambar bergerak bekerja sebagai aparatus pembentuk makna, dengan penyusunan montase (gambar, suara, dan teks) yang ekstrem, seperti potongan cepat, multilayer, manipulasi tempo, multikanal, dan narasi yang bertumpuk dan terfragmentasi. Bila periode awal Godard didorong oleh kebenciannya terhadap sinema, khususnya sinema kontemporer saat itu, film-film esainya, terutamanya Histoire(s) du Cinéma adalah contoh sebaliknya. Terdapat sangat banyak referensi kultural yang ditebar, dan amat sangat mudah tersesat bila tidak mengetahui referensi-referensi apa yang dituju, karena makna dan konstruksi film, bahkan humor, dibangun oleh referensi-referensi tersebut. Walaupun tentang sejarah-sejarah sinema, namun Histoire(s) du Cinéma adalah karya video. Di satu episode, dia melancarkan kritik kerasnya tentang sinema dan kesejarahannya, melalui terminologi yang saat itu digunakan, yaitu penggunaan diksi master/slave dalam relasi pemutaran film.

A movie projector is forced to remember the camera. Cinema is only an industry of escapism because it is the only place where memory is slave.(Histoire(s) Du Cinema: Une Histoire Seule)

Godard adalah seniman dengan banyak adjektif yang saling bertolak belakang. Dia serius, namun menyenangkan, metodologikal, namun spontan, simpel namun rumit. Dia membuka amat banyak kemungkinan-kemungkinan baru dalam sinema, video, dan seni media baru. Perenungannya terhadap genealogi sinema memberikan pisau bedah tajam yang bisa digunakan untuk merefleksikan medium seni baru di kemudian hari. Pembangkang yang sering kali dituduhkan pretensius, hanya karena dia ingin mencoba sesuatu yang lain. Seseorang yang bahkan sampai di hari akhirnya, masih menentukan nasibnya di tangannya sendiri.

Film is over. It’s sad nobody is really exploring it. But what to do? And anyway, with mobile phones and everything, everyone is now an auteur” (Wawancara Godard di The Guardian, 2011)

“He wasn’t sick
He was just exhausted.”

Sumber Bacaan

Jean Narboni, & Tom Milne.  (1972). Godard on Godard. The Viking Press, Inc. 

Daniel Fairfax. (2010). Birth (Of the Image) of a Nation: Jean-Luc Godard in Mozambique, Acta Univ. Sapientiae, Film and Media Studies. 

Jean Luc Godard, Timothy Barnard, Serge Losique, & Michael Witt. (2014). Introduction to a true history of cinema and television. Caboose.

Gambar Sampul Artikel (Potret Jean-Luc Godard):
Gary Stevens, CC BY 2.0, via Wikimedia Commons.

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search