In Artikel

SEBELUM MENGURAI PERKARA-perkara eksperimental Muratova yang mengarah pada gagasan “Sinema Ornamentalisme”-nya, saya ingin mengajak Anda untuk terlebih dahulu meninjau sekilas beberapa signature piktorial Muratova yang, tentunya, mengingatkan kita pada jejak-jejak “proto-ornamentalisme” yang sudah menggejala lebih dulu di tiga film yang ia buat sebelumnya.

Yang pertama tentu saja motif visual yang sudah menjadi ciri khas Muratova sejak filmnya yang pertama, yaitu adegan-adegan yang mengindikasikan gagasan tentang keterlibatan haptikal subjek dengan dunia objek dan material. Ide ini juga termanifestasi di dalam Among Grey Stones, antara lain dalam adegan anak-anak memanjat dinding bebatuan Gereja Uniat, atau pada adegan Vasia yang menempelkan wajahnya ke celah-celah pagar besi agar Valek bisa mengenalinya kembali dengan meraba kening, mata, hidung, dan mulut si tokoh utama. Modus meraba wajah ini juga muncul dalam adegan Marusia memeluk boneka Sonia yang dipinjamkan Vasia. Sensori multi-inderawi juga dirangsang, misalnya, dalam bidikan intensional yang memperlihatkan Marusia dan Vasia menyantap daging panggang di tengah-tengah adegan makan siang di ruang bawah tanah gereja.

Selanjutnya, adalah bidikan iteratif yang memaksimalkan kualitas singular gambar. Selain tiga shot pada adegan pembuka, gejala ini benar-benar terlihat jelas dalam adegan saat Vasia diajak masuk oleh Valek dan Marusia ke dalam ruang bawah tanah. Kamera membidik potret Marusia yang membawa sebatang liling menyala. Sembari Marusia menatap lekat ke arah kita dan berjalan mundur perlahan, kita mendengar suara Vasia berulang-ulang mengatakan, “Marusia, di mana kau? Aku tidak bisa lihat!” Dan Marusia pun menjawabnya, juga dengan kalimat yang berulang-ulang, “Kemarilah, datang padaku!” Modus interaksional yang menerobos dinding keempat semacam ini mengingatkan kita pada bidikan gambar bercorak deframing dalam adegan “meraba cahaya” yang muncul di Getting to Know the Big, Wide World, atau, lebih jauh lagi ke belakang, dalam adegan “Shasha yang melamun sambil memegang palang kayu di atas kepalanya” di The Long Farewell.

Aspek kebermainan, sebagai model manifestasi dari sensibilitas material, juga menjadi motif penting di dalam film ini. Kita beberapa kali disuguhkan adegan di mana Vasia, Valek, dan Marusia bermain-main di taman dan di pemakaman. Atau, pada adegan yang menyusul setelah peristiwa pengusiran kaum gelandangan dari reruntuhan kastil terjadi: bagaikan seorang nabi yang tidak henti-hentinya melontarkan sabda bahkan dengan menjungkir-balikkan badannya sendiri, Valentin memandu barisan gelandangan melintasi pemakaman Katolik untuk berhijrah ke dalam bangunan gereja tua. Membumbuinya dengan sentuhan komedi, Muratova melengkapi adegan ini dengan aksi segerombolan bocah yang penasaran dan ikut mengejar ke mana rombongan pengemis-gelandangan itu pergi dan lenyap.

Yang terakhir, ialah modus teatrikalisasi percakapan para tokoh. Sebagaimana hal ini mendominasi di dalam film Getting to Know the Big, Wide World, dialog-dialog dengan blocking dan ekspresi teatrikal juga melengkapi jejak-jejak eksperimen pengadeganan Muratova di dalam Among Grey Stones. Teatrikalisasi dialog itu tampak jelas, misalnya, pada sekuen peristiwa pengusiran kaum gelandangan: seorang pengemis mengulang kalimat-kalimat pengumuman yang dibacakan kepala polisi. Sementara itu, sepasang pengemis lainnya melantunkan bait-bait puisi Pushkin, sedangkan Jeneral Turkevich berorasi dengan berkata, “Saya melarang segalanya!”, juga berulang-ulang. Gelagat-gelagat yang diteatrikalisasi tersebut secara spesifik telah disinggung oleh Taubman. Ia menggarisbawahi bahwa, model komunikasi antarmanusia yang tampak kian rumit di dalam eksperimen Muratova, khussunya pada sekuen ini, memperjelas bagaimana posisi dari elemen-elemen dialog dapat berfungsi sebagai “performans” daripada sekadar “percakapan” biasa.1

***

Jika diperhatikan dengan saksama, sublimitas dari situs cerita ini menjelma menjadi sesuatu yang bersifat subversif di tangan Muratova. Sebab, konstruksi filmis yang ia lakukan—termasuk bagaimana subjek-subjek berperan membangun adegan—secara ajaib menjinakkan sakralitas reruntuhan kastil, pemakaman, dan Gereja Uniat, sementara manifestasi dari disrupsi semacam itu terejawantahkan lewat gestur-gestur bermain para subjek. Selain itu, ia bukan saja membuat keindahan alam—yang kalau dalam cerita versi aslinya terasa sangat akrab karena deskripsi Korolenko yang demikian rinci dan mengesankan—menjadi terasa begitu asing dan tak beridentitas. Muratova juga mendefamiliarisasi universalitas In Bad Company menjadi ruang kaotik yang semarak: ruang yang dipadati objek dalam susunan yang juga kaos, disesaki oleh tingkah orang-orang ngaco yang juga tak kalah kaosnya.

Mengutip catatan Shilova, banyak hal yang kita temui di film ini justru merepresentasikan kegilaan, kebobrokan, dan ketidakutuhan: “orang edan menguasai istana yang hancur, penjara bawah tanah melindungi si miskin, kuburan menjadi tempat piknik, rumah ibadah menjadi tempat bermain, dan anak-anak yatim-piatu mencari tempat pelarian, sedangkan orang-orang dewasa hidup dalam konspirasi, harapan khayali, dan gagasan-gagasan korup.”2

Di antara kemerosotan itu, beragam fungsi ornamental hadir di sana-sini, menawarkan kemungkinan: amati, alami, dan rasakanlah kemerosotan dan kaos itu!

***

“Gestur nelangsa”, seperti yang diperagakan sang hakim di awal film, kembali mengganggu kita di tengah-tengah cerita: saat Vasia dan Valek asyik bermain peran—”hakim vs bangsawan”—tampak Marusia memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Lalu, ia berjalan menepi, menjauhi kedua bocah lelaki itu, masih dengan memegangi kepalanya. Kita mendengar suaranya yang merintih. Shot berpindah: potret Marusia dari depan; ia masih memegangi kepalanya yang terbungkus kain penutup kepala berwarna merah. Dengan sangat perlahan sekali ia menarik pelindung kepalanya itu. Ketika kain itu menutupi wajahnya, sebelum benar-benar terlepas dari kepala, di saat itulah kita kembali diingatkan dengan gestur sang hakim yang merana.

Adegan Marusia jatuh sakit ini mengawali klimaks film. Marusia tersungkur ke dalam semak. Vasia dan Valek yang mencarinya kemudian menemukan dirinya terbaring di balik ranting-ranting belukar dan, seperti orang yang mengigau, mengucapkan kalimat yang berulang-ulang: “Marusia ingin pulang. Marusia ingin pulang.”

***

Dapat disadari bahwa, seperti adegan yang saya kutip di atas, nyatannya ada banyak adegan lain di dalam film ini yang menunjukkan subjek-subjek mengujarkan kalimat secara berulang-ulang. Sedemikian intensnya pengulangan kalimat yang mereka lakukan, keberadaannya sungguh tidak bisa kita abaikan sedetik pun. Gaya bicara subjek-subjek ini benar-benar mengusik dan menggoyahkan pemahaman konvensional kita tentang bagaimana semestinya sebuah dialog yang ideal agar dapat dipahami oleh penonton. Modus nyentrik ini bahkan terasa jauh lebih ganjil jika dibandingkan dengan modus bidikan-bidikan iteratif, ataupun dengan adegan-adegan terteatrikalisasi khas Muratova itu.

Mengacu tafsiran Taubman,3 kita bisa mencatat bahwa “kalimat repetitif” yang diujarkan tokoh-tokoh di dalam film ini tentunya menjadi bagian dari subversi naratif Muratova terhadap gaya sentimental Korolenko dalam versi asli In Bad Company. Di tangan Muratova, hampir tidak ada tokoh yang berbicara secara alamiah; kebanyakan dari mereka berujar dalam ekspresi histeria, sedangkan karakter-karakter utama kerap kali mengulang-ulang kalimat dalam sikap yang nyaris seperti orang yang sedang merapal mantra dalam kondisi yang tidak eling. Deformasi gaya bicara para karakter melalui “kalimat-kalimat repetitif” ini, menurut Taubman, adalah salah satu contoh dari teknik defamiliarisasi yang diterapkan Muratova. Intensitas repetitifnya bahkan mencapai titik yang menjadikannya bersifat mekanikal daripada sekadar representasi dari ujaran kekanak-kanakan.4

***

Sampai di sini, kita perlu mengakui bahwa ujaran mekanikal dalam bentuk repetisi kalimat-kalimat, di dalam Among Grey Stones, memang terasa lebih ekstrem daripada teknik naratif lainnya yang sudah Muratova terapkan di film-filmnya terdahulu. Hal itu, misalnya, bisa diperbandingkan dengan film Getting to Know the Big Wide, World. Lebih ekstrem yang saya maksud, ialah dalam konteks “performativitas sinematik”. Muratova mensublimasi ungkapan-ungkapan naratif secara berlipat ganda, dan tentunya, dengan penuh maksud. “Percakapan mekanikal” ini semacam menjadi langkah yang tengah menempuh sebuah jalur peretasan estetik.

Sementara itu, apa yang sebenarnya ingin saya tekankan ialah, elemen dialog tersebut adalah juga “elemen ornamental”. Maksud saya, justru dengan meninjau Among Grey Stones, kita bisa memahami bahwa “ornamentalitas” yang dibicarakan Muratova tidak terbatas hanya pada “analogi karpet” yang umumnya ditujukan pada motif-motif visual dalam lingkup spasial yang bersifat fisikal (bersifat nyata dalam hubungannya dengan keberadaan subjek-subjek naratif; sesuatu yang “dapat disentuh” oleh subjek-subjek di dalam film). Melampaui itu, Ornamentalisme sebenarnya juga menjangkau tataran meta-interior atau meta-arsitektural—meta-spasial—dari konstruksi sebuah film, yaitu sesuatu yang berada di luar jangkauan indera penglihatan belaka. “Ornamentalitas suara”, sebagai contoh dan jika kita ingin menyebutnya demikian, adalah sesuatu yang muncul dari “ornamentalitas kata-kata”.

Akan tetapi, bagaimana gaya bicara repetitif dalam Among Grey Stones masuk akal—atau bisa dibaca sebagai bagian—dalam paradigma filosofis semacam ini? Bagaimana pengujaran kata-kata, khususnya “gaya bicara mekanikal” Muratova, merupakan elemen penting dalam peran-fungsi Ornamentalisme? Dalam pertanyaan yang lain: pada aspek manakah teknik acting yang dieksperimenkan oleh Muratova tersebut dapat dipahami tengah mengandung ornamentalitas tertentu?

***

Untuk memulai pemaparan dalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, yang perlu disadari pertama sekali ialah menempatkan “kata-kata” dalam konteks materialis-formalis.

Sebagaimana paradigma Konstruktivisme, “materialitas” dan “perlakuan atas material” merupakan aspek yang paling menentukan bentuk sebuah film. Aksi para subjek, penggambaran objek dan lingkungan objek, pengembangan plot, dan representasi dalam adegan-adegan; kesemuanya dikonstruksi sebagai suatu output dari suatu tanggapan—atau menjadi sesuatu yang bertujuan menggapai pencerahan—formal atas materi. Prinsip ini punya konsekuensi berupa keharusan untuk turut memaknai sesuatu yang intangible, bahkan yang imajiner sekalipun, sebagai “materi” pula. Karena berlandaskan pada materialisme inilah maka Sinema Ornamentalis mengamini pandangan tentang bagaimana karakter di dalam film didefinisikan oleh lingkungan material di sekitarnya. Ruang menentukan perilaku subjek, sebagaimana halnya faktura material pada ruang itu melandasi bentuk-bentuk dari motif ataupun respon jasmaniah dan sensorik dari para subjek tersebut.

Sementara itu, seperti yang sudah kita ketahui, Muratova adalah seorang pembuat film yang “anti-realis”, “anti-ideologis”, pemuja kaotik, penolak kemapanan. Terkait hal ini, Mikhail Iampolski menyebut bahwa sinema-sinema Muratova cenderung memilih untuk menjadi enigmatik dalam rangka menolak simbolisme, menghalangi pembacaan mendalam terhadap apa yang sedang terjadi (diamati). Sinema Muratova, menurutnya, adalah sinema yang “menghalangi kemampuan memahami” (“…a blocking of knowledgeability”).5 Sebab, dalam hal-hal yang mapan, selalu terdapat Stereotipe, Simbol-simbol, Konsep-konsep, dan Pengetahuan-pengetahuan. Semua itu harus ditolak. Oleh karena itu, sebagaimana diakui sendiri oleh Muratova, Iampolski menilai bahwa gaya sinema Muratova adalah “Sinema Primitivis”, dan terma “primitivis” sangat sesuai untuk merumuskan kecenderungan dari praktik sinematik Muratova: menghancurkan “stereotipe persepsi” karena asosiasinya dengan “ide pengetahuan”.6 Dan rumusan ini sejalan dengan “Visi Ornamental” yang dimaksud Muratova, yaitu visi yang menekankan “paradigma karpet” (carpet paradigm) atau “pardigma permukaan” (surface paradigm), atau dengan kata lain: Faktura. Sinema mesti menghalangi segala bentuk Konsep (dengan “K” besar) yang padanya kemapanan dapat terjadi, dan sebaliknya, mesti membuka kemungkinan bagi cara pandang observatoris (atau “touristic gaze” dalam kata-kata Iampolski): orang-orang—penonton—dapat “mengagumi apa yang ia lihat tanpa perlu tahu makna dari sesuatu yang dilihatnya itu.”7

Masih berhubungan dengan penjelasan di atas, Iampolski juga menekankan ide tentang “keberadaan multi-dimensional tubuh” dalam perkara Ornameintalisme tersebut. Maksudnya, “…sebuah karakter secara fundamental menghuni ruang-ruang yang berbeda-beda” dan “tubuh tidak didefinisikan secara psikologis, melainkan didefinisikan oleh keterukirannya pada banyak ruang.”8 Ruang-ruang yang bagaimana? Apa pun. Bisa fisikal, bisa konseptual. Menurut Iampolski, ruang multi-dimensional inilah yang pada dasarnya menentukan perilaku subjek (perilaku tubuh) dan, secara konseptual, perilaku tersebut akan memproduksi suatu rasa dari ekses-ekses yang masih bersifat mentah. Lebih spesifik lagi, ialah ekses-ekses mentah dari keberadaan murni tanpa kedalaman apa pun.9

Merujuk penjelasan Iampolski di atas, kita bisa berpendapat di sini bahwa, dalam pandangan Sinema Ornamentalis (atau Ornamentalisme Sinematik), tubuh sinematik pada dasarnya juga menempati “ruang interaksi”. Akan tetapi, karena prinsip ini meyakini bahwa ruang itu tidak pernah tunggal, maka subjek-subjek secara fundamental juga menempati “ruang berbeda” dari interaksi (atau “jenis lain” dari “ruang interaksi”). Dengan begitu, kemungkinan yang muncul kemudian adalah ekses-ekses mentah dari [hasil] interaksi, atau ekses-ekses mentah dari percakapan/gaya bicara. Dan sebagai suatu keberadaan murni, percakapan atau gaya bicara jenis ini adalah percakapan atau gaya bicara yang juga tanpa kedalaman apa pun.

Jika “paradigma karpet” dari Ornamentalisme itu diimplementasikan ke dalam teknik acting, khususnya pada bagaimana cara para pemeran film berujar dan bercakap satu sama lain, maka sasarannya ialah “gaya bicara” dalam “kerangka primitivis” tersebut. Iampolski berpendapat bahwa, apa yang menjadi hal utama dalam eksperimen “seni peran” yang dilakukan Muratova adalah, bagaimana subjek [semestinya] “…berbicara dengan cepat, tanpa berpikir, hampir merupakan suatu produksi otomatis…”10 Dengan kata lain, “aksi bercakap-cakap” atau aksi dari “gaya bicara” bisa merupakan sebuah tanggapan langsung terhadap lingkungan. Sebagaimana anak-anak, pemeran (aktor) dalam konteks ini bukanlah subjek yang sedang ber-acting, tetapi subjek yang berbicara tanpa “jalan putar melalui psikologi,”11 dan karenanya mendemonstrasikan suatu “kemurnian”, “sterilitas”, atau “kesehajaan” tindakan.

Kita pun bisa merumuskan ulang penjelasan Iampolski ini sebagai suatu bentuk wacana performatif (atau ujaran sebagai sebuah aksi) yang lepas dari berbagai stereotipe, konsep, simbol, dan psikologisme. Pendek kata, “perilaku dari ujaran mekanikal” dalam Among Grey Stones dalah pendemonstrasian dari percakapan tanpa kedalaman, atau gaya bicara tanpa [mengandaikan] makna.

Gaya bicara mekanikal Muratova, yaitu gaya bicara melalui kata-kata yang diulang-ulang dan tanpa mengandaikan makna itu, dengan kata lain, adalah manifestasi dari keberadaan multi-dimensional karakter-karakter yang mengujarkannya. Selain berada di dalam ruang naratif konvensional, mereka juga berada di “ruang lain” (ruang alternatif) dari interaksi yang berlangsung di ruang naratif konvensional tersebut. Hal itu sebagaimana penegasan Muratova sendiri, bahwa karakter-karakternya “…membuka diri dengan cara yang mengejutkan di dalam ruang-ruang interaksi yang berbeda-beda, tetapi apa yang terbuka tidak pernah merupakan kebenaran.”12

Dan sekali lagi, jika mengacu penjelasan Iampolski, patut disimpulkan bahwa keterbukaan yang dimaksud Muratova itu adalah sebuah modus untuk “melebur” atau “menghancurkan” Kebenaran (dengan “K” besar), dan “Peleburan Kebenaran” (dissolution of truth) ini, menurut Iampolski, berhubungan dengan “Peleburan Kenyataan” (dissolution of reality).13

Artinya, “repetisi kata-kata” dalam Among Grey Stones merupakan elemen ornamental untuk mendisrupsi kemapanan realitas. Karena itulah, maka, teknik deformasi (atau defamiliarisasi) gaya bicara yang diterapkan Muratova merupakan bagian dari filsafat Sinema Ornamental yang terpenting. []

Baca Bagian 01/02: “Dunia Piatu di antara Bebatuan Kelabu“.

Artikel berjudul “Ornamentalitas Percakapan di antara Bebatuan Kelabu” merupakan bagian dari seri artikel dalam Editorial 10, bertajuk “Materialisme, Ornamentalisme, dan Fantastisisme”, yang secara khusus mengulas karya-karya dan praktik sinematik Kira Muratova.

Endnotes[+]

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search