In Tokoh

Tangga ini menghubungkan bulevar Prymorskyi dan Laut Hitam di kota Odessa. Anak tangganya berjumlah 192 buah dan total jarak dari atas ke bawah 142 meter. Di sisi paling atas, berdiri patung Duke of Richelieu, Gubernur Odessa tahun 1803 – 1814 saat Odessa di bawah Kekaisaran Russia. Selesai dibuat tahun 1841, awalnya ia dikenal dengan nama Tangga Primorsky. Di tahun 1955, dia secara resmi diubah namanya oleh pemerintah Uni Soviet menjadi Tangga Potemkin. Setelah Ukraina merdeka, tangga ini kembali bernama Prymorskyi.

Tangga Prymorskyi menjadi lokasi dan aktor krusial di babak keempat filem Battleship Potemkin (Sergei Eisenstein, 1925). Diawali dengan tragedi di kapal perang Potemkin, lalu kerumunan warga pelabuhan kota Odessa yang berkabung atas kematian Vakulinchuk (diperankan oleh Aleksandr Pavlovich Antonov), kemudian penembakan yang dilakukan tentara Kosak terhadap warga kota Odessa dari atas tangga Prymorskyi. Di adegan penembakan itu, kita bisa melihat patung Duke of Richelieu membayangi pasukan Kosak. Battleship Potemkin diangkat dari kejadian nyata tentang pemberontakan di kapal perang Potemkin yang terjadi pada tahun 1905.

Battleship Potemkin (Sergei Eisenstein, 1925).

Babak keempat berdurasi sebelas menit. Puncak dramatik dari babak ini adalah kereta bayi yang melintasi tangga Prymorskyi, diiringi peluru dan mayat warga kota. Keseluruhan sekuen kereta bayi ini dapat dituliskan sebagai berikut:

Bidikan 1-4 Tentara Kosak menembak ke arah bawah, berbalas dengan Ibu yang tertembak yang berakibat roda kereta bayi terguncang, ambilan kembali ke wajah Ibu yang kesakitan.
Bidikan 5-7 Tangan Ibu menggenggam perut dan pinggang, ambilan luas kerumunan warga yang berlari menjauhi tentara Kosak, lalu kembali ke tangan dan perut, kali ini sudah belumuran darah.
Bidikan 8-10 Tubuh Ibu terjatuh, lalu ke wajah dan tubuhnya, fokusnya lalu berganti ke bayi menangis, kereta bayi kembali bergoncang.
Bidikan 11-13 Tentara Kosak menuruni tangga, bidikan dari kaki lalu berpindah ke senjata, Ibu jatuh, kereta terdorong, namun jatuhnya kereta belum diperlihatkan.
Bidikan 14-16 Kekacauan warga kota dilihat dari sisi paling bawah tangga Prymorskyi.
Bidikan 17-21 Seketika Ibu tersungkur, kereta bayi terdorong ke bawah, potongan ambilannya sangat cepat.
Bidikan 22 Ibu berkacamata (pince-nez) dari sisi berbeda melihat jatuhnya kereta bayi, wajahnya syok.
Bidikan 23-25 Kereta bayi melintasi mayat-mayat di tangga. Dibagi dalam tiga ambilan; atas, serong bawah kiri, dan sisi lurus kiri.
Bidikan 26-27 Kekacauan dari bawah sisi depan tangga Prymorskyi, lalu ditutup dengan lunglainya Ibu.
Bidikan 28-31 Ambilan berbalas antara kereta bayi, ibu berkacamata, roda kereta bayi yang makin cepat dan seorang pemuda. Wajahnya juga syok.
Bidikan 32-34 Kembali ke kekacauan di bawah tangga Prymorskyi, kereta bayi yang berjalan otonom dan wajah pemuda.
Bidikan 35-37 Ambilan roda kereta bayi yang semakin liar, lalu wajah bayi di dalamnya, dan kembali ke roda yang berguncang hebat.
Bidikan 38-39 Kembali ke wajah bayi, namun seketika potongan berpindah ke letupan senjata yang mengarah ke bawah.
Bidikan 40-41 Roda kereta bayi kembali berguncang, diikuti dengan pemuda yang berteriak.
Bidikan 42-44 Kereta bayi hendak terjatuh, lalu dipotong dengan tentara yang menghunus pedang.
Bidikan 45 Wajah ibu berkacamata yang tertembak di mata sebelah kanan. Tampak kacamatanya telah retak.

Durasi sekuens tersebut hanya 90 detik. Dari 45 bidikan, subjek-subjeknya bisa dibagi ke dalam lima kelompok: ibu, kereta bayi, kerumunan warga, tentara Kosak, dan orang yang menyaksikan kejadian tersebut (ibu berkacamata dan pemuda). Ibu dan kereta bayi adalah korban, tentara Kosak adalah pelaku, kerumunan warga menjadi latar besar kejadian, sedangkan ibu berkacamata dan pemuda adalah spektator yang wajahnya terlihat bereaksi langsung atas peristiwa itu. Dalam konteks filem secara keseluruhan, sekuens ini menjadi akumulasi dari kekejaman dan ketidakadilan Kekaisaran Russia yang lalu berakibat di babak selanjutnya: pemberontakan besar-besaran yang dilakukan seluruh warga kota. Perlu diingat pula bahwa persepsi yang dihasilkan sekuens ini murni persepsi visual; tidak ada intertitles yang menceritakan, atau menarasikan peristiwa ini di antara susunan montase sekuensnya.

Battleship Potemkin (Sergei Eisenstein, 1925).

Montase dalam pengertian Eisenstein adalah penyatuan dari bidikan-bidikan (shots) yang mandiri, lalu dari penyatuan itu lahirlah sebuah pemaknaan baru yang diserap oleh penonton. Pengertian mandiri di sini menurut Eisenstein adalah di dalam bidikan itu sendiri harus berisi ide yang memuat konflik, dan efek dramatik dapat dimungkinkan dari susunan bidikan-bidikan yang memuat konflik tersebut. Ide montase sebagai konflik diadaptasi dari gagasan dialektika materialisme yang memang selaras dengan prinsip politik Uni Soviet kala itu. Kejaran utama dari montase bagi Eisenstein adalah menyusun seluruh elemen dalam filem menjadi satu kesatuan organik untuk mengubah cara pandang penonton terhadap sesuatu hal secara radikal. Sehingga gagasan terhadap bentuk juga estetika dalam pengertian Eisenstein selalu terikat dengan kesadaran ideologis dan politis.

Dalam menjelaskan struktur penyatuan itu, Eisenstein menggunakan terminologi yang lazim digunakan dalam musik, counterpoint. Eisenstein adalah seorang polimatik; pemikir yang coba merumuskan apa-apa yang perlu dilakukan agar sinema dapat menemukan kemandirian bentuk dan bahasa. Kedalaman wawasannya menjangkau hingga disiplin ilmu seni lain seperti teater, sastra, seni rupa, dan musik. Luasnya pemikiran Eisenstein itulah yang kemudian mendefinisikan gagasannya tentang filem. Dia seringkali menggunakan fondasi berpikir dari disiplin ilmu lain untuk menjelaskan atau meletakkan gagasan baru dalam sinema. Contoh perkembangan gagasan yang diusungnya bisa dilihat dalam klasifikasi lima metode montase-nya jelas-jelas sangat dipengaruhi oleh disiplin seni durasional lainnya seperti musik. Counterpoint adalah terminologi dalam musik Barat yang bermakna kombinasi kontras antara dua atau lebih melodi, atau suara, yang saling berkelindan dan seluruhnya diikat oleh motif atau harmoni yang sama. Baginya, memahami counterpoint adalah esensial dalam medium filem; “audiovisual counterpoint, the sine qua non of audiovisual cinema”.

Battleship Potemkin (Sergei Eisenstein, 1925).

Jika kita sudah mendapatkan ide montase sebagai gagasan politis, konflik, dan counterpoint, lalu melihat kembali ke sekuens di tangga Prymorskyi, kita bisa memahami apa yang sebenarnya coba dilakukan oleh Eisenstein. Sekuens ini menjadi akumulasi segala hal yang saling bertentangan; penguasa – rakyat, kekejaman – kedamaian, bedil – tangan kosong, atas – bawah, aktor – spektator. Jika dilihat kembali ke penjabaran tiap-tiap bidikan sebelumnya, tiap bidikan hampir selalu berbalas dengan apa yang berkonflik dengannya. Dan keberadaan tangga Prymorskyi tidak hanya sekedar latar kejadian adegan saja; dia berdampak, baik secara simbolis, ideologis, dan struktur estetika filem. Sekuens ini kemudian banyak memengaruhi penciptaan karya seni, baik seni rupa maupun filem. Francis Bacon begitu terpukau dengan imaji perempuan tertembak di akhir sekuens hingga menginspirasi karyanya yang berjudul Fragment of a Crucifixion (1950).

***

Beberapa filem produksi Hollywood mengambil inspirasi dari sekuens tangga Prymorskyi sebagai bagian dari bangunan dramatiknya. Walaupun tentu, mereka mencabut konteks ideologis sekuens itu. Yang berarti, saduran yang mereka lakukan hanya sebatas di wilayah bentuk visualnya saja. Beberapa filem tersebut adalah The Untouchables (Brian De Palma, 1987) dan The Godfather I (Francis Ford Coppola, 1972). Saduran di The Untouchables terlihat klise, menggunakan cara-cara umum untuk menguatkan dramatik seperti perlambatan dan menegaskan dalam konklusi bahwa kebaikan (bayi) memenangkan pertempuran melawan kejahatan. Saduran di The Godfather I jauh lebih menarik karena menawarkan semacam dekonstruksi terhadap sekuens tangga Prymorskyi. Bayi, pembunuhan di tangga, dan kacamata yang pecah berada di jalur ruang dan waktu yang terpisah. Namun keberadaan waktu paralel yang berpusat di adegan pembaptisan di gereja mengikat seluruh subjek ini ke dalam satu persepsi terhadap tema yang sama; pembalasan dendam Michael Corleone. Coppola tidak plek-plekan menyandur, dia menawarkan semacam counterpoint yang berbeda, yang melodinya berawal dari nada-nada yang telah dimainkan oleh Eisenstein.

Di filem Indonesia, sejauh ini saya mendapati ada dua filem yang berupaya menyandur sekuens tangga Prymorskyi; Atheis (Sjumandjaja, 1974) dan Makelar Kodok (Norman Benny, 1989). Saduran keduanya ini, menarik dilihat karena secara konteks ideologi, Eisenstein berpijak pada dialektika materialisme dan secara bentuk pada counterpoint dalam membentuk gagasan montase-nya. Sekuens tangga Prymorskyi à la Sjumandjaja dan Benny sudah mengalami mutasi budaya dan estetika, sehingga bisa dikatakan telah mengalami perubahan dan perkembangan bentuk bila kita merujuk pada tangga Prymorskyi yang ‘asli’.

Atheis (Sjumandjaja, 1974).

Salim Said secara sinis pernah mengkritik Sjumandjaja perihal ini. Dalam sebuah tulisan yang membahas lima filem Sjumandjaja, secara sekilas Said menulis bahwa sekuens yang seakan tampak menyerupai tangga Prymorskyi itu mungkin karena “Barangkali saja Sjuman melakukan hal tersebut dengan anggapan bahwa filem karya Eisenstein buatan tahun duapuluhan itu toh tidak beredar di Indonesia.” Dengan kata lain menurutnya, Sjumandjaja secara langsung ‘mencontek’ sekuens tersebut karena beranggapan bahwa penonton umum tidak akan ada yang tahu asal-usul sekuens itu, sehingga memaknainya sebagai sesuatu yang orisinil.

Saya tidak setuju dengan yang dikatakan Said. Dalam batasan dan aturan tertentu, pembuat filem sah-sah saja mengapropriasi sekuens atau adegan dari filem lain ke dalam miliknya. Filem-filem Warkop cukup banyak ‘meminjam’ adegan dari filem-filem Jerry Lewis, misalnya. Dalam hal ini, Sjumandjaja cukup jeli dan sadar konteks dalam menempatkan sekuens tangga Prymorskyi di Atheis. Sjumandjaja membentuk konteks dan bentuk baru, dan di saat bersamaan, juga tetap menghormati posisi politis tangga Prymorskyi. Sehingga yang dilakukannya tidak serta-merta bisa dikatakan hanya sekedar mencontek saja.

Sjumandjaja belajar filem di VGIK (Gerasimov Institute of Cinematography) dari tahun 1960 hingga 1964. Menurut obituari yang ditulis oleh S.M Ardan, Sjumandjaja lulus dengan predikat cum laude. Sjumandjaja beruntung pulang sebelum peristiwa Gestok. Bila tidak, mungkin bisa senasib dengan Awal Uzhara yang tidak bisa pulang ke Indonesia. Eisenstein pernah menjadi pengajar di VGIK pada tahun 1930-an. Melihat latar belakang pendidikannya, perbincangan dan pengetahuan, baik itu bentuk maupun konteks politisnya montase Soviet, khususnya Eisenstein, tentu tidak asing bagi Sjumandjaja.

Atheis (Sjumandjaja, 1974).

Tangga Prymorskyi saduran Sjumandjaja tidak berlatar di tangga, tapi di sebuah jalan berbatu yang melandai ke bawah. Dalam konteks cerita filem, penembakan diawali penolakan warga Singaparna yang dipimpin oleh K.H. Zainal Mustafa untuk melakukan ritual seikerei. Ketika warga lari berduyun-duyun, Kempetai menembakinya dari atas. Seorang warga menyenggol kereta bayi yang lalu melaju ke bawah, ibunya berteriak, Kempetai terus menembak, mayat terlihat bergelimpangan. Sekuens diakhiri dengan kematian ibu tersebut yang wajahnya berada di belakang kereta bayi.

Sekuens ini memiliki 15 bidikan bila dihitung dari penembakan sebelum kereta bayi itu tersenggol, dengan total durasi 42 detik. Identifikasi bahwa sekuens ini saduran tangga Prymorskyi adalah hadirnya subjek penindas dan tertindas melalui Kempetai, warga, ibu, dan kereta bayinya. Tidak ada subjek yang berperan sebagai warga yang ber-reaksi langsung atas meluncurnya kereta bayi. Bentuk bidikan yang digunakan juga berbeda. Sjumandjaja lebih banyak menggunakan bidikan medium dalam tiap perpindahan. Bidikan jarak dekat hanya tampil untuk menekankan ibu yang berteriak minta tolong. Efeknya adalah bidikan dalam sekuens menjadi terlihat objektif karena peristiwa tersebut dilihat berjarak; subjek-subjek hadir menjadi bagian objektif dari kebenaran perstiwa itu. Ini berbeda dengan sekuens di Battleship Potemkin yang menggunakan subjektivitas personal untuk mengungkap persoalan komunal; kita melihat wajah tentara Kosak, ibu yang tertembak dan wajah warga yang menyaksikan sekuens itu, juga bidikan dekat perut yang tertembak dan kereta bayi yang meluncur kasar di tangga.

Di luar dari polemik bentuknya, tangga Prymorskyi di Atheis juga membicarakan pertentangan ideologi dan konflik vertikal. Hal ini sejalan dengan keseluruhan isi narasi filem yang juga membicarakan pertentangan beberapa ideologi melalui tokoh-tokohnya. Terlebih salah satu ideologi yang dibicarakan adalah Marxisme. Ironisnya, filem ini lahir di tahun 1974, di saat Orde Baru berkuasa hampir satu dekade dan tapol Gestok masih di penjara serta dibuang di Buru.

Makelar Kodok (Norman Benny, 1989).

Saduran Norman Benny di Makelar Kodok berbeda lagi. Norman Benny pernah menjadi editor di filem terakhir Sjumandjaja, Opera Jakarta (1985). Saduran ini semacam parodi, menertawakan baik itu tangga Prymorskyi dalam wacana estetika, kultural, dan ideologi melalui kekomikan tokoh Kadir (diperankan oleh Mubarak) yang dicitrakan lugu dan baik hati. Lokasi tangganya tidak dijelaskan dalam filem, namun besar kemungkinan adalah tangga panjang di Mall Sarinah di Thamrin. Saduran ini sangat menarik dibaca karena tidak ada subjek penindas yang terlihat (namun, penindas di sini bisa saja dibaca secara kontekstual dalam realitas sosio-ekonomi Orde Baru), sehingga relasi konflik yang muncul bukanlah konflik vertikal seperti dalam Battleship Potemkin dan Atheis, namun konflik horizontal yang terbentuk karena ketimpangan antar kelas sosial di Jakarta.

Durasi sekuens ini 100 detik, dengan total 60 pergantian bidikan dihitung dari adegan dijambretnya Ibu pembawa kereta bayi. Urutannya adalah: seorang Ibu yang membawa kereta bayi dijambet di atas tangga, jambret kabur dan menjatuhkan Ibu yang lalu menyenggol kereta bayi, Kadir dan warga berkerumun menangkap jambret, kereta bayi meluncur liar tanpa ada yang melihat hingga ke jalan raya, kereta bayi berselap-selip di antara mobil dan motor, Kadir mengejar dengan membonceng sepeda yang lewat, kereta bayi lalu ditabrak mobil di perempatan, bayi dalam kereta bayi ternyata sudah diselamatkan lebih dulu oleh Kadir, semua warga tertawa bahagia. Jambret yang pada awalnya menjadi permasalahan, menghilang. Kadir menyelamatkan komedi yang hampir menjadi tragedi karena telah melindungi bayi dari kendaraan roda empat.

Perbandingan singkat ketiga sekuens Makelar Kodok – Battleship Potemkin – Atheis.

Kereta bayi di sini tidak melintasi mayat-mayat martir revolusi seperti dua filem yang dibicarakan sebelumnya. Kereta bayi berpacu dengan kendaraan bermesin yang justru tidak memberikan upaya apapun dalam menghentikan lajunya. Hal ini tentu adalah upaya komikal pemancing tawa dan lelucon ini menjadi jauh lebih menggelikan bagi penonton yang sadar dengan referensi sekuens yang dirujuk oleh pembuat filem. Namun di sisi lain, saya rasa pembuat filem cukup tajam menempatkan keliaran kereta bayi di jalan raya ini sehingga fungsinya tidak hanya sekedar pemancing tawa saja. Kereta bayi yang berpacu dengan mobil dan motor menjadi metafor sekaligus kritik, baik terhadap lanskap sosio-ekonomi Indonesia di masa Orde Baru, juga estetika sebagai bagian dari kritik yang sifatnya subversif. Ketidakberdayaan—yaitu kereta bayi—seakan secara langsung dihadapkan dengan buasnya jalanan Ibukota. Dalam Battleship Potemkin dan Atheis, nyawa bayi tersebut direnggut oleh peluru dan bayonet tentara. Bayi memang tidak diperlihatkan mati secara langsung, tapi dia dikesankan demikian dengan imaji kereta bayi yang jatuh dan kematian ibu dari bayi tersebut. Dalam Makelar Kodok, keberadaan peluru yang mengiringi laju bayi digantikan oleh kendaraan bermotor yang hampir membunuhnya. Bila kita merujuk pada sekuens tangga Prymorskyi di Battleship Potemkin, maka secara tidak langsung Norman Benny seakan mengatakan bahwa permasalahan dari masyarakat saat itu bukanlah Kadir yang hidup miskin tanpa rumah, atau penjambret yang ada di sekuens awal, tapi kelas menengah yang memililki daya beli kendaraan bermotor, yang menikmati kejayaan ekonomi semu Orde Baru pada akhir periode 1980-an. Merekalah tentara Kosak, atau Kempetai dalam sekuens tangga Prymorskyi Makelar Kodok. Sehingga menjadi logis bahwa satu-satunya yang bisa menolong bayi ini adalah Kadir yang membonceng sepeda. Dan kritik ini menggunakan rujukan bahasa filem yang berakar dari ide dialektika materialisme, pemikiran yang terang-terangan dilarang Orde Baru. Dengan kata lain, apa yang dilakukan oleh Norman Benny adalah sebuah keberanian luar biasa karena Makelar Kodok bukanlah filem ‘seni’ atau filem ‘politis’, tapi filem yang memang diperuntukan bagi pasar luas, yang mengharuskannya diterawang lebih dulu oleh badan sensor sebelum bisa ditayangkan.

***

Apakah montase memiliki ideologi? Saat ini metode montase Eisenstein bisa kita temukan di mana-mana, tidak hanya dalam filem, tapi juga di video musik dan iklan. Sejauh mata memandang, kita akan menemukan bentuk montase intelektual, montase ritmik atau montase tonal dalam iklan-iklan di televisi yang menawarkan kendaraan bermotor, minuman sodaatau di video musik terbaru di layar komputer saat sedang menonton YouTube atau di videotron di pinggir jalan. Akar ideologinya sudah tercerabut dari estetika, dan bahasa visual yang awalnya dibentuk dengan semangat revolusioner, sekarang menjadi bagian dari alat standar pasar. Apropriasi seperti ini adalah konsekuensi logis dan umum terjadi dalam medium seni manapun. Namun penting pula untuk memahami embrio ide terhadap pembentukan suatu estetika; bukan untuk meromantisir gagasan awalnya tersebut, tetapi untuk merefleksikan perkembangan mutasi estetika dan evolusi bahasa yang terjadi dalam medium. Pernyataan politis tidak harus menggunakan teks yang diucapkan secara langsung ke penonton. Di tangan seniman yang tajam, pilihan estetika bisa menjadi sebuah penyataan tegas. Estetika selalu ideologis, sehingga politis.

***

Daftar Pustaka

Arsenjuk, L. (2018). Movement, Action, Image, Montage: Sergei Eisenstein and The Cinema in Crisis. University of Minnesota Press.

Eisenstein, S., & Leyda, J. (1960). Film Form: Essays in Film Theory: The Film Sense. Meridian Books, Inc.

Robertson, R. (2011). Eisenstein on The Audiovisual: The Montage of Music, Image and Sound in Cinema. London: Tauris.

Said, S. (1991). Pantulan Layar Putih: Film Indonesia dalam Kritik dan Komentar. Pustaka Sinar Harapan

Ardan, S. M. (October 1985). In Memoriam: Sjuman Djaya (1934–1985). Indonesia. Ithaca: Cornell University

Recommended Posts
Comments
  • Manshur Zikri
    Reply

    Senang membaca tulisan ini, Rian! Mantap!

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search