In Artikel

ANTI-REALISME MURATOVA, sebagaimana banyak kritikus gemar memperdebatkannya, dianggap berhubungan dengan paham formalisme sinema avant-garde Rusia 1920-an. Film-film Muratova secara umum memang tidak asing dengan eksperimen penyusunan gambar yang kejarannya rada-rada “searah” dengan “tujuan naratif” Montase,1 meskipun tidak sepenuhnya tepat demikian. Konstruktivitasnya tentu jelas berbeda, dan oleh karena itu cita-cita sinematiknya pun berbeda.

Jika sinema avant-garde Rusia ‘20-an (dan bahkan juga, lebih ke belakang lagi, sinema futuris ’10-an) berniat melupakan masa lalu dan berupaya mendorong tatanan masyarakat baru lewat imajinasi tentang “realitas alternatif yang konstruktif”, sinema Muratova dengan sengaja menjungkirbalikkan ilusi-ilusi mutakhir dari negara totaliter-otoriter melalui penegasan fakta sosial kontemporer dalam skala personal-individual. Alih-alih “sinema untuk jutaan umat”, film-film Muratova hadir bagaikan mikroskop: meninjau dan menelaah hal-hal partikular yang luput dalam “realitas ideal terbayang”-nya Realisme Sosialis.

Sebagai awalan, mari kita tinjau rangkaian bidikan (shot) pada sekuen akhir The Long Farewell (atau Долгие проводы, 1971). Kita bisa saja berargumen bahwa sekuen ini mengindikasikan preferensi formalis Muratova terhadap 4 dari 5 tipe teknik montase ala Eisenstein ataupun Pudovkin, yaitu menyusun gambar secara efektif untuk “mengongkretkan” efek emosional. Kegundahan dan kejengkelan Yevgenia Vasilyevna—yang kala itu tampak rongseng dan gagal menemukan coping mechanism pasca-keputusannya mengabulkan keinginan si anak lelaki semata wayang untuk merantau ke kota tempat mantan suaminya berada—digambarkan lewat susunan gambar yang bersifat metrik-ritmis/paralel-simultan (lihat adegan: si ibu mencari anak di tengah keramaian lantai dansa), dengan sisipan leitmotif—yang terbilang lumayan bisa menjebak kita pada pemaknaan “simbolik” meskipun bukan itu sasaran Muratova yang sesungguhnya—(lihat adegan: si ibu bersikukuh soal nomor kursi yang sudah dipesannya dan berdebat dengan penonton lain tatkala drama tengah berlangsung di panggung), serta penekanan tonal-overtonal (adegan: si anak merayu dan berusaha menenangkan ibunya yang gusar di sudut pesta). Sekuen yang menyasar konsekuensi afektif ini, terutama karena penerapan teknik-teknik montase semacam itu, tentunya juga mengamini simpulan yang bersifat ekstatik.

Namun begitu, seperti yang dapat kita ketahui, kisah melodrama ibu-anak tersebut berujung rikuh karena resolusi naratifnya sengaja ditangguhkan dan bahkan samar-samar menyisakan getir.

Dapat disadari bahwa Muratova menerapkan teknik montase dengan visi serta perilaku yang non-konvensional sehingga gaya penceritaannya menjadi eksentrik, dan justru mengetengahkan atau menuju gagasan estetika yang sama sekali berbeda. Sebagaimana yang dirangkum oleh Jane A. Taubman,2 sinema Muratova (1) merangkul perspektif individual ketimbang hanya komunal/massa, sehingga (2) “mengintensifkan ketelitiannya terhadap kenyataan domestik sehari-hari”, untuk (3) fokus pada “krisis-krisis yang ada di dalam penerimaan tokoh-tokohnya akan realitas alih-alih perubahan di dalam realitas itu sendiri”, dengan (4) menggunakan plot-plot yang subtil (penuh teka-teki—enigmatis) ketimbang bersifat dramatik belaka, dan karenanya menjadi (5) alternatif terhadap kanon dan pusat industri film Rusia yang, terutama, dibangun oleh wacana Moskwa.

Poin keempat, khususnya, merujuk pada ambiguitas naratif yang kerap terindikasi dalam film-film Muratova, yang mana hal ini adalah kunci untuk membuka pintu pemahaman kita akan orientasi estetikanya yang terbilang merupakan “wacana-tanding” bagi sinema avant-garde Rusia; ia mensitesis gagasan-gagasan konstruktivis dan produktivis. Sementara tatanan masyarakat mapan mengandaikan (atau mengupayakan) kisah-kisah yang tuntas, film-film Muratova justru mengakui bahwa “tidak ada kisah yang benar-benar selesai” dalam masyarakat progresif—suatu gagasan yang, dalam derajat tertentu, malah terkesampingkan dalam proyek-proyek sinematik kanon para teoritikus futuris 1910-an dan konstruktivis 1920-an karena hasrat mereka terhadap “tatanan masyarakat baru”.

Sampai di sini, patut dipahami pula bahwa, anti-realisme dalam pengertian bahasa sinematik Muratova bukanlah soal penciptaan ruang-waktu di luar apa yang nyata, tetapi lebih berupa penolakan tegasnya terhadap “realitas yang semestinya (yang diidealkan)”; penolakan terhadap “realitas yang dikehendaki” rezim, ataupun terhadap “realitas yang diakui” sang mapan. Dengan kata lain, penerapan montase konstruksional pada narasi “non-tuntas” inilah yang merupakan gaya khas Muratova dalam membongkar “realitas ideal” yang dipaksakan rezim Soviet (terutama sejak era Stalin), baik di masa ketika ia aktif maupun vakum (karena sempat dilarang pemerintah) dalam memproduksi film.

Anti-realisme Muratova ini, dalam takaran tertentu, sekaligus juga menunjukkan kecenderungannya untuk mengkritisi orientasi abstraktif dari realisme versi avant-garde yang kepalang usang, kalau bukan terbilang “gagal”, dalam mengungkap kenyataan apa adanya.

***

Sebagaimana Brief Encounter (atau Короткие встречи, 1967), garis besar cerita The Long Farewell terbilang sederhana sebagai drama coming-of-age: Vasilyevna, seorang penerjemah profesional yang telah bekerja belasan tahun, tengah berusaha berdamai dengan situasinya yang terkungkung dalam perannya sebagai seorang ibu (yang sudah bercerai dengan suami) dan perempuan karir, sekaligus berhadapan dengan kenyataan bahwa anak lelaki semata wayangnya, Shasha, telah dewasa dan punya keinginan untuk merantau ke kota tempat mantan suaminya berada. Tema percintaan yang mencuat justru cinta dalam hubungan ibu dan anak ini, yang “ditigai” oleh bayang-bayang sang bapak, sedangkan adegan kisah kasmaran di luar itu—antara si ibu dan calon pacar barunya atau antara si anak dan sahabat perempuannya—sekadar hadir sebagai momen pendukung yang justru memperkuat arah plot terkait bentuk hubungan ibu dan anak tersebut.

Film ini mengalami sensor dari pemerintah Rusia pada masanya karena dianggap sebagai karya yang mencerminkan nilai-nilai realisme borjuis sekaligus bersifat dekaden.3 Namun, setelah dirilis kembali lima belas tahun kemudian, film ini tercatat pernah memenangi penghargaan FIPRESCI Award (1987) dan All-Union Film Festival (1988).4 Sedangkan pada tahun 1998, sebuah jajak pendapat yang diadakan oleh mahasiswa di VGIK, menunjukkan hasil yang menyatakan bahwa The Long Farewell adalah film Muratova yang paling sukses.5

Narasi dalam film ini berkembang dengan pelintiran plot yang menyesakkan, mengharukan, tapi juga melegakan. Kerasnya hati Vasilyevna tampak menonjol hampir di dalam 75% dari total durasi cerita, tetapi secara perlahan menjadi limbung dan makin menunjukkan ketidaknyamanan saat ia menyadari kalau Shasha punya rencana yang dirahasiakan darinya. Hingga akhirnya, Vasilyevna bahkan melanggar moral profesionalnya sendiri: ia menyuap petugas pos agar dapat mengakses korespondensi pribadi (berupa surat-surat yang ditulis mantan suaminya untuk Shasha). Menjelang akhir, Vasilyevna tampak melunak, ikhlas dengan keadaan serta rencana anaknya untuk merantau. Akan tetapi, di ujung cerita kita tahu bahwa karakter Vasilyevna seketika berubah menjadi kekanak-kanakan. Pergantian peran pun terjadi: Shasha yang sebelumnya dianggap bocah, berubah menjadi sosok satu-satunya yang bisa mengayomi dan memenuhi dahaga afeksional sang ibu yang sesungguhnya telah begitu lama mengalami kesepian dan dipenuhi keputusasaan.

***

Bidikan (shot) yang iterative—ungkapan visual yang berulang—dalam The Long Farewell, meskipun muncul sekali-sekali sepanjang film, adalah gaya Muratova yang sangat unik dan bahkan sangat menonjol; menjadi semacam rekaman historik dalam perjalanannya mengembangkan konstruksi bahasa sinema yang spesifik. Banyak pengamat meyakini dan membuktikan kemudian bahwa gaya ini kerap muncul di dalam film-film Muratova berikutnya.

Pada sekuen pembuka The Long Farewell, contohnya, tokoh Shasha—si anak—diperkenalkan dengan bidikan kamera yang lekat, dan pada satu momen, potret dan gesture-nya ditampilkan lewat adegan berulang: di taman bunga, Shasha melamun sambil memegang kayu yang melintang di atas kepalanya, kemudian berbalik badan. Adegan ini diulang dua kali.

Eksperimen editing semacam ini juga kita lihat di adegan setelahnya: dua perempuan berjalan ke arah kamera sambil membawa pot berisi bunga, sebelum bunga itu diminta oleh Vasilyevna—ibu Shasha. Shot tersebut juga diulang dua kali.

Begitu pula di sekuen berikutnya, ketika ibu dan anak ini bertamu ke rumah salah satu kerabat mereka: Shasha yang menatap jauh, lalu diikuti dengan bidikan kamera ke wajah Masha (gadis yang ditaksirnya) dan adegan Shasha yang menciumi rambut gadis itu. Bidikan kamera ke wajah Sasha diulang dua kali, sedangkan adegan Shasha menciumi rambut Masha akan muncul lagi di adegan berikutnya saat kedua muda-mudi ini berjalan-jalan di pantai.

Akan tetapi, Muratova menghadirkan perulangan shot di dalam suatu adegan bukan dengan menggunakan material yang sama. Muratova menggunakan shot yang berbeda meskipun adegannya sama. Sebagaimana dapat diamati pada contoh-contoh adegan yang sudah saya sebut di atas, indikasi itu juga terlihat jelas pada adegan saat Shasha dan Masha duduk bersantai menikmati pemandangan pantai, sembari mengelus anjing. Kamera membidik wajah Shasha dari samping, lalu bergerak perlahan ke kanan, menyorot kursi yang diduduki Masha yang membelakangi kamera. Di antara dua subjek ini, kita dapat melihat garis pantai yang kosong. Adegan serupa diulang kembali seketika, tetapi di bagian yang diulang ini, pada latar pemandangan itu kita melihat ada seseorang di pinggir pantai yang berlari ke arah kiri kamera.

Saat Shasha mengikuti pelajaran olah raga di sekolahnya, dan diminta untuk melakukan aksi atletik lompat tinggi, shot yang menunjukkan ia berlari setelah mengambil ancang-ancang pun muncul dengan perulangan sebanyak tiga kali (dan ketiganya juga merupakan material shot yang berbeda), sebelum akhirnya ia gagal melompati palang kayu horizontal. Di sini, Muratova seakan-akan mengintervensi peristiwa melompat itu, “mengganggu” konsentrasi Shasha; “mengganggu” konsentrasi kita yang tengah menyaksikan adegan cerita.

Sebagaimana yang dapat dipahami, Muratova agaknya senang mengobrak-abrik linearitas adegan dengan selaan-selaan, berupa perulangan shot, seolah sengaja menunda tuntasnya adegan dari susunan shot yang diharapkan; makna adegan disimpangkan secara formal dari kesemestian yang diekspektasikan penonton.

Dalam satu sekuen lainnya, sebagai contoh, obrak-abrik ini kian kentara, di mana perulangan bahkan terjadi bukan dalam susunan jukstaposisional, tetapi resonansial: setelah adegan di taksi (momen ketika Vasilyevna gagal kencan dengan calon pacarnya karena kerisauan yang melanda dirinya), kita dibawa kembali ke dalam kamar tempat tinggal ibu dan anak tersebut, di mana Shasha tengah termenung di kursi goyang. Sekonyong-konyong, Muratova menyelipkan dua shot yang berulang, yang menunjukkan Vasilyevna berdandan, mengenakan anting, lalu memandang anaknya melalui teropong. Meskipun disorot dari arah yang berbeda (dari depan), jelas bahwa dua shot berulang tersebut merujuk kepada sebuah shot lain (yang dibidik dari belakang Vasilyevna) yang muncul lebih dulu dalam adegan sebelumnya, yaitu ketika Vasilyevna berdandan sambil bercakap-cakap dengan anaknya, sebelum pergi kencan. Pada susunan sekuen sini, Muratova menerapkan perulangan dengan menggunakan material yang secara substansial (tindakan tokoh) sama, tetapi secara formal (arah bidikan kamera) berbeda, sebagai suatu selaan yang menguatkan ambiguitas dari motif masing-masing karakter.

Untuk kasus The Long Farewell, gaya “ungkapan berulang” adalah kunci, dan efeknya mencapai puncak di sekuen-sekuen akhir: adegan Vasilyevna memberikan piagam penghargaan di atas panggung, dan adegan Vasilyevna mencari Shasha di tengah kerumunan di lantai dansa, masih menerapkan “shot berulang dalam adegan” yang disusun berturutan. Sementara itu, sesaat menjelang akhir film, dalam adegan Vasilyevna kukuh ingin menempati bangku sesuai nomor yang sudah ia pesan, perulangan hadir dalam tingkah si ibu yang menolak ajakan si anak menuju ke belakang aula; ia memilih kembali berdiri ke posisi di belakang tempat duduk yang sudah ditempati orang lain. Bolak-balik ini terjadi sebanyak dua kali, dengan dua shot berbeda yang disela sebuah shot yang memperlihatkan penyanyi di atas panggung.

Dalam suatu wawancara,6 Muratova mengakui bahwa perulangan shot di dalam adegan (sebut saja “bidikan berganda”) yang ia terapkan memang tidak tercantum di dalam skenario. Keputusan tersebut muncul dan terbentuk karena dan pada proses editing. Shot demi shot untuk sebuah adegan dapat di-take beberapa kali saat proses syuting. Lalu, pada proses editing-nya, Muratova kerap memasukkan semua shot itu; dengan sengaja menyusunnya menjadi shot berulang di dalam adegan—atau, sebagaimana dapat kita amati, menjadi penyela adegan-adegan. Bagi Muratova, menghadirkan perulangan shot di dalam adegan, dalam konteks keyakinannya pada editing sebagai kaidah utama film, adalah suatu gaya untuk merespon segala nuansa unik yang dikandung citra (image), di mana setiap citra dalam shot membawa informasi berbeda dan baru satu sama lain. “Saat film telah melalui beberapa tahapan…, semua kronologi telah hilang dan film hanya terdiri dari sekumpulan kilas balik, ingatan, perulangan, dan asosiasi.”7

Alih-alih sebagai ungkapan berlanggam simbolik untuk memancing interpretasi maknawi dari segi naratif, perulangan shot dan adegan yang dilakukan Muratova merupakan suatu praxis dalam proses “studi ulang” atas frame, atas citra. Yang mana, di dalam praxis seperti itu, segala macam kebetulan (coincidence), yang bisa saja tidak mempunyai hubungan kausalitas sama sekali, dirangkul dan diamini sebagai hal yang dapat disusun untuk menyajikan suatu “kans” (contingency), yaitu suatu “kebetulan” yang di dalamnya tersimpan banyak kemungkinan dan potensialitas tertentu. Salah satunya, mendorong suatu perasaan emosional (di kepala penonton) lewat pengolahan material filmis yang tidak lagi bergantung pada motif-motif karakter yang melulu berurusan dengan konsistensi plot dan narasi film. Dalam hal ini, Muratova agaknya sepaham dengan para konstruktivis yang melakukan oposisi terhadap pendekatan realisme psikologis-nya Stanislavsky. Oleh Muratova, rasa emosional penonton dihidupkan bukan secara psikologis lewat kepiawaian aktor yang memainkan peran karakter dengan mencapai hal paling realistis di atas panggung atau di dalam bingkai, melainkan lewat olahan konstruktif atas citra. Meminjam istilah yang digunakan Ana Hedberg Olenina dalam tinjauan teoretisnya atas Eisenstein,8 pendekatan yang dilakukan Muratova ini juga dapat kita artikan sebagai upaya konstruktif untuk memancing empati penonton melalui “gerak”, khususnya “gerak non-manusiawi”, yaitu “gerak yang tersirat oleh struktur komposisi bidikan, penyuntingan, dan perangkat formal lainnya,”9 suatu konstruksi yang menyasar “empati kinestetis”.

Dalam The Long Farewell, sekuen akhir (penutup film) agaknya merupakan contoh dari demonstrasi tentang bagaimana “agitasi formal berkesesuaian dengan ketidakstabilan karakter, dengan irama kegelisahannya.”10 Dalam praktik sinematik Muratova, akumulasi perasaan emosional penonton berasal dari agitasi formal yang dikedepankannya.

***

Eksplorasi montase a la Muratova di dalam The Long Farewell, sebagai teknik untuk memperkaya plot, terbilang sangat menarik bukan hanya karena aspek “perulangan” seperti yang sudah saya coba utarakan di atas. Nyatanya, di sepanjang film ini, kita dapat menemukan banyak adegan kejutan yang, secara maknawi, justru menyisakan misteri ketimbang resolusi naratif.

Dalam sebuah adegan di kamar mereka yang gelap, Shasha memproyeksikan slides berupa gambar-gambar binatang ke atas pintu kamar, sambil mencari uangnya yang hilang. Lalu, gambar-gambar binatang itu terbelah ketika pintu dibuka oleh Vasilyevna yang baru saja pulang dari kerja dan harus bersiap-siap untuk pergi menonton teater. Saat si ibu berangkat kencan, tinggalah si anak yang lantas melafalkan bait-bait puisi sembari tetap membiarkan gampar-gampar itu terproyeksi ke pintu. Kemudian, setelah sekuen kencan dan sekuen di stasiun kereta, muncul kembali adegan di dalam kamar yang sama, tetapi dengan komposisi dramatik yang berkebalikan: kali ini Vasilyevna yang memproyeksikan gambar-gambar berupa foto liburan Shasha bersama ayahnya, dan foto-foto yang terproyeksi itu terbelah ketika Shasha masuk ke dalam kamar.

Dalam adegan “proyeksi gambar ke pintu” yang kedua itu, Vasilyevna tampak gerogi ketika Shasha memasuki kamar. Ia segera mematikan rokoknya (dengan menekan ujung rokok ke kertas yang ada di dalam laci) dan cepat-cepat menyembunyikan foto-foto dan proyektor yang dioperasikannya. Tanpa ia sadari, bara pada puntung rokok di dalam laci masih menyala, menyebabkan api berkobar dari dalam laci. Tanpa berbasa-basi, ibu dan anak itu buru-buru memadamkan kobaran api tersebut. Tidak ada percakapan sama sekali, sampai akhirnya Shasha menemukan surat yang ditulis ayahnya. Tak lama kemudian, masih di dalam ruangan yang sama, ibu dan anak itu berbincang dengan sangat intim, mengenai hal yang serius sekaligus penuh nostalgia: tentang rencana kepergian Shasha, juga tentang kenangan sang ibu bersama mantan suaminya di masa lalu saat mereka menemukan seekor burung beo merah yang kabur dari dalam kandang, tetapi burung itu tidak pergi ke mana-mana selain hanya bertengger di atas pohon. Momen percakapan mereka ini, secara naratif, mengindikasikan titik balik perasaan Vasilyevna, bahwa sebagai ibu yang menyayangi dan peduli akan masa depan anaknya, ia memutuskan untuk bersedia melepas Shasha pergi merantau.

Di sekuen lain, yaitu di stasiun, kegugupan Vasilyevna saat akan menulis surat untuk mantan suaminya, menjadi kontras dengan keluwesannya menuliskan surat yang didiktekan oleh seorang asing—tokoh baru yang sekonyong-konyong muncul mengintervensi narasi film—yang ingin mengirimkan surat untuk anaknya. Dualitas karakter Vasilyevna muncul dalam adegan ini: ketidakmampuannya untuk berungkap secara mandiri sebagai diri sendiri, dan kepiawaiannya menjadi penyambung kata-kata bagi orang lain; dua karakteristik yang bergaung dengan dualitas peran yang dimilikinya, antara sebagai ibu yang single parent dan perempuan pekerja profesional. Akan tetapi, sekali lagi, signifikansi dari adegan ini terasa minor dari segi naratif. Kemunculannya seakan menjadi interluda cerita. Meskipun adegan ini penting dalam kaitannya dengan penggambaran tentang perubahan mood tokoh utama, peristiwa ini nyatanya juga tidak membawa konsekuensi naratif apa pun terhadap permainan plot utama film.

Jika kita mempertimbangkan analisis para ahli mengenai kecenderungan sinematik Muratova yang “menolak” simbolisme, “menantang” pendekatan psikologis, dan mengamini eksperimen anti-plot, patut kita garis bawahi bahwa beberapa adegan yang saya sebutkan di atas agaknya tidak bisa serta merta kita tarik sebagai ungkapan dengan intensi alegoris tertentu, apalagi berpretensi menjadi representasi dari kritisisme meta-politik—toh kritisisme ideologis Muratova sejak awal sudah berakar-berurat dalam keputusannya untuk memproduksi narasi yang bertentangan dengan kemauan pemerintah, dan hal itu kiranya tak lagi ia nyatakan secara pleonastis di dalam adegan-adegan.

Keberadaan adegan-adegan tersebut, bisa kita argumentasikan, agaknya didasari oleh ketertarikan formalis (yang bukan hanya dalam tataran komposisi visual di dalam bingkai, tetapi juga pada tingkatan konstruksi film secara keseluruhan). Selain itu, mereka tampaknya juga tidak menjadi elemen yang bisa mengandaikan konsekuensi kontekstual tertentu yang menghubungkan makna cerita pada perihal-perihal ekstrinsik di luar film; kita tidak akan menemukan indikasi itu dalam adegan-adegan setelahnya. Citra yang diproyeksikan ke pintu itu, misalnya, menjadi semacam penggambaran instrinsik untuk menegaskan ketiadaan fisikal dari “figur ketiga” yang secara eksistensial justru memanifestasikan kehadiran-diam (silent presence) sang bapak. Sementara itu, dari segi naratif, tidak ada resolusi apa pun yang akan menjelaskan nasib dokumen yang terbakar, foto-foto yang diproyeksikan, dan begitu pula dengan surat yang dibaca oleh Shasha. Rekonsiliasi komunikatif yang berlangsung antara ibu dan anak tersebut, sebagaimana tampak dalam kelanjutan adegan, dimunculkan secara konkret lewat percakapan berbasis ingatan (citra mental yang tak berwujud secara visual). Selain itu, posisi surat tersebut, yang menunjukkan bentuk komunikasi antara si anak dan sang bapak, dalam hal ini mungkin dapat dianggap sebagai tanda yang justru menggarisbawahi masalah tentang kurangnya komunikasi antara sang ibu dan si anak. Akan tetapi, dalam rentang kemunculannya sebagai “objek kunci” hingga ke peristiwa-peristiwa sesudahnya, objek komunikatif ini tidak membawa orientasi yang mengarah pada pendalaman karakteristik Vasilyevna maupun Shasha. Lagipula, sebagai perwakilan eksistensial sang bapak (atau mantan suami), surat itu tampak tidak menjadi tujuan yang disasar atau pun pangkal dalam perkembangan motif-motif tingkah laku para protagonis.

Dan orang asing yang meminta dituliskan surat? Tentu akan menjadi terlalu sederhana jika adegan ini malah ditarik-tarik untuk membicarakan soal representasi kesenjangan sosial.

Eksplorasi montase “misterius” lainnya, misalnya, juga dapat kita lihat di adegan awal saat Vasilyevna berada di makam ayahnya: susunan cut-to-cut yang terdiri dari bidikan ke atap makam (dengan puncak bintangnya itu), potret mendiang ayah Vasilyevna, kepala Vasilyevna yang mengenakan selendang hitam transparan, gerak tangan yang menyiapkan air siraman, dan diikuti adegan Shasha membantu ibunya mencuci tangan (kamera membidik dari balik pagar), serta gerakan tangan Vasilyevna menyingsingkan lengan baju untuk mencuci tangan, sebelum akhirnya ibu dan anak itu diam sejenak untuk berdoa. Adegan ini ditingkahi oleh suara latar berupa dengung serangga yang sayup-sayup. Tenang, khidmat, sekaligus suram, dan menegangkan.

Atau, ketika Vasilyevna hendak menaiki taksi untuk pergi kencan. Muratova menyajikan cut-to-cut dengan menyandingkan tingkah laku Vasilyevna yang tak ingin ketahuan tetangga dengan bidikan seorang balita yang melongok dari jendela apartemen. Adegan ini, seolah-olah, ingin memunculkan situasi pengawasan atas perihal moral-etik melalui tatapan sosok yang bebas nilai. Namun, sepanjang film, kita bahkan tidak menemukan referensi apa pun yang dapat dijadikan landasan bagi alasan kemunculan sosok bayi di jendela tersebut.

Kalau begitu, apakah yang sebenarnya dipikirkan Muratova dengan menyajikan susunan-susunan aneh seperti ini?

Susunan shot dan scene yang ada pada adegan-adegan tersebut agaknya menyimpang dari logika sekuensial dalam tradisi Montase Rusia terdahulu—yang berakar pada teori jukstaposisi citra yang dikembangkan Kuleshov. Hal ini sebagaimana pendapat kritikus Irina Izvolova,11 bahwa “dunia di dalam sinema Muratova adalah dunia tanpa tanda (landmark), yang di dalamnya ruang, serta urutan peristiwa, justru dihancurkan. Bingkai-bingkai di dalam filmnya ada/hidup secara mandiri dalam hubungannya satu sama lain.” Izvolova berpendapat bahwa gagasan ini terang-terangan berseberangan dengan tujuan dari Efek Kuleshov.

Dalam teori tentang Efek Kuleshov, sebagaimana penjelasan Izvolova, satu bidikan mengandaikan kehilangan sifat aslinya karena akan menerima sifat baru yang muncul dalam jukstaposisinya dengan bidikan lain, sebagai suatu sistem kerja Montase, dalam rangka menghasilkan makna yang secara konseptual tak tergambarkan pada masing-masing gambar bidikan. Muratova, sebaliknya, justru menekankan fokus pada potensialitas gampar dari setiap bingkai daripada sekadar mengejar kemungkinan makna konseptual mereka sebagai material yang perlu disusun secara sistematik. Susunan arbitrer, dengan arti-arti yang misterius, adalah hal yang dirayakan dalam sinema Muratova.

Sampai di sini, kita bisa mengingat lagi stand point Muratova dalam wawancara yang saya kutip di bagian sebelumnya: film adalah sarana bagi studi citra. Dengan memaksimalkan potensi dari konstruksi bidikan dengan susunan eksentrik melalui ragam teknik penyuntingan, serta memperluas eksperimen perangkat formalnya untuk menciptakan efek filmis, intensi formalisme Muratova, sebagaimana pendapat Izvolova,12 adalah “pemugaran gerak”, dalam arti: “mengetengahkan pemahaman soal keleluasaan yang tak terelakkan dari suatu bidikan tunggal dalam rangka mengungkapkan sifat khusus dari citra sinematik,” yaitu dengan “menciptakan ilusi gerak di layar lalu menghentikannya, yang dengan demikian mencoba memahami kembali mekanisme terjadinya gerakan itu sendiri.”

Gaya Muratova yang menerapkan “bidikan berganda” (shot berulang dalam suatu adegan), jika kita analisis berdasarkan interpretasi Izvolova, merupakan suatu upaya yang berorientasi pada konsep “pemugaran gerak” tersebut. Peristiwa yang sama, direkam beberapa kali (dengan sudut pandang yang sedikit berbeda), lalu diletakkan menjadi susunan “shot berulang”. Izvolova menyatakan bahwa,13 melalui gaya ini, Muratova “mendorong setiap bingkai agar berinteraksi dalam basis yang berbeda sama sekali” dari logika umum Montase. Muratova memposisikan setiap bingkai “bukan untuk masuk ke dalam suatu interaksi yang terikat dengan bingkai-bingkai lainnya,” tetapi ke dalam suatu interaksi yang lebih longgar, yang memberikan kedudukan bagi setiap bingkai itu untuk terbebas dari konsepsi perbandingan antarbingkai. Gaya ini, menurut Izvolova, “mencerabut setiap bingkai dari kepurnaan semantiknya,” dengan “merampas mereka dari makna original” dan “memberi mereka kebebasan mutlak dan peluang untuk memperoleh makna baru yang sepenuhnya sewenang-wenang,” sepenuhnya di luar ikatan jukstaposisional.

Berkaitan dengan gagasan di atas, kita bisa pula berargumen bahwa citra yang diproyeksikan protagonis ke pintu, kobaran api dari dalam laci, sosok balita di jendela, atau bahkan bidikan close up Shasha saat berkomunikasi dengan ayahnya menggunakan telepon umum di stasiun, adalah beberapa contoh adegan yang—meskipun tidak menerapkan “shot berulang”—turut mendemonstrasikan konsep dari gaya “pemugaran gerak” ini. Akan tetapi, “pugaran”-nya terjadi dalam tataran hubungan antar-scene ketimbang antar-shot. Kemunculan mereka yang sekonyong-konyong, atau keberadaannya dalam susunan scene yang tanpa mengandaikan resolusi, berperan sebagai penyela yang “mengganggu” gerak linear naratif dari segi konstruksi formal—Muratova mengagitasi formalitas adegan dengan menghadirkan teka-teki.

Sedangkan dalam konteks struktur yang lebih kompleks daripada sekadar susunan shot ataupun scene, kita juga bisa berargumen bahwa beberapa adegan lainnya—seperti yang terdapat dalam sekuen stasiun (di situ ada peristiwa Vasilyevna menuliskan surat untuk orang lain), atau sekuen dua ibu muda yang tiba-tiba nongol membicarakan anak mereka, atau sekuen di dalam trem (di situ ada peristiwa Shasha melongok ke luar jendela dan melihat segerombolan perempuan berlari di ladang bunga)—memainkan fungsi-fungsi khusus yang mendisrupsi semantika sekuen-sekuen. Disrupsi semacam ini merupakan bagian dari suatu keutuhan eksperimen formal film ini secara keseluruhan. Dengan kata lain, agitasi formal Muratova di dalam The Long Farewell bekerja di semua level, yaitu pada susunan antar-shot, antar-scene, dan bahkan antar-sequence.

***

Kembali kita kepada ide tentang anti-realisme yang melekat pada Muratova, The Long Farewell barangkali memang belum sepenuhnya pas untuk membicarakan filsafat Ornamentalisme yang di kemudian hari menjadi ciri khas dari ke-serba-anti-an sutradara posmo terkemuka ini. Akan tetapi, sebagaimana ulasan saya tentang Brief Encounter, saya berpendapat bahwa eksperimen montase Muratova dalam The Long Farewell juga mempunyai orientasi ke arah proto-ornamentalisme.

Mengartikan anti-realisme sebagai suatu penolakan terhadap “realisme ideal” atau realisme yang dikehendaki kekuasaan (dalam hal ini, ialah kekuasaan baik oleh rezim politik maupun rezim pengetahuan), itu berarti memahami ide tentang kritisisme terhadap kemapanan. Eksentrisitas Muratova, baik dalam aspek naratif maupun formal, berada di dalam jalur kritisisme tersebut. Ketimbang menyajikan cerita tentang “perempuan Soviet” yang dicita-citakan dalam estetika Realisme Sosialis, Muratova menjelajahi segala hal yang agaknya terlewatkan dari kehidupan perempuan Rusia kontemporer.

Barangkali Anda akan menyimpulkan, bahwa pilihannya atas pendekatan Konstruktivis mengindikasikan pemahaman ideologis dan kesetujuan Muratova terhadap progresivitas masyarakat sosialis. Akan tetapi, ide-ide Konstruktivisme (yang lahir di era Revolusi Rusia) dalam kenyataannya juga mengimpikan tatanan masyarakat yang mapan meskipun bersifat baru. Sebab, niatan gerakan ini adalah mengganti total sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya terdahulu sehingga “kemapanan baru” adalah tujuannya. Baru kemudian, setelah Revolusi, mimpi akan kemapanan itu dikritisi kembali oleh gerakan Produktivisme lewat upaya-upaya artistik dan estetika yang lebih fokus berurusan dengan aktivitas memproduksi sesuatu dalam rangka “untuk [selalu] berubah tanpa perlu memapankan (menstabilkan) apa yang dikerjakan [dalam konteks] bentuk (form).”14 Merujuk Iampolski,15 kita perlu menggarisbawahi bahwa kemapanan—baik kemapanan ideologi maupun kemapanan pasar—selalu menciptakan “realitas yang terstereotipe”. Sementara itu, menurut Iampolski, di dalam kerangka praxis sinematik Muratova, justru stereotipe-stereotipe atas realitas itulah yang sedang dikritisi ulang, terutama dalam upayanya mengurai isu-isu marginal yang sulit dipahami bahkan oleh anggota kelompok yang termarginalkan sekalipun, salah satunya isu perempuan. Dengan kata lain, kita bisa berargumen bahwa preferensi Muratova terhadap Konstruktivisme agaknya lebih didasarkan pada minatnya terhadap orientasi formalis-materialis ketimbang didasari oleh orientasi “politik sebagai sebuah ideologi”. Muratova menolak “realitas mapan” (realitas yang disetujui Rezim) dengan berkelana secara sinematik ke “realitas” yang lain sama sekali, yaitu, meminjam kata-kata Iampolski, “realitas material murni”.16

Berkaitan dengan hal itu, di sini kita perlu sekali lagi mengutip lebih banyak pendapat Mikhail Iampolski, bahwa konstruktivisme a la Muratova adalah konstruktivisme yang menolak organisitas,17 sebagai suatu oposisi terhadap paradigma konstruktivis pendahulunya. Alih-alih mengorganisasi material dengan ketat, logis, dan bersifat produktif (merangsang mobilitas penonton), Iampolski berpendapat bahwa Muratova dapat dibilang mengadopsi konsep Assemblage (‘penghimpunan’) dalam pengertian Deleuzian.

Muratova lebih “…tertarik pada heterologi dunia yang berdasarkan pada elemen-elemen material yang sangat berbeda, yang tidak pas (fit) satu sama lain dengan baik.”18 Dalam hal ini, Muratova merayakan “roughness of elements19 (yaitu suatu kualitas untuk tidak sempurna atau tidak tuntas), suatu mekanismenya yang khas untuk memproduksi beragam intensitas filmis. Assemblage, dalam pengertian Deleuze, menurut Iampolski, adalah “kombinasi elemen yang bersifat lebih longgar, menolak totalitas dan organisitas,”20, sedangkan “totalitas dan organisitas kerap menuntun kita kepada Konsep, Simbolisasi, dan ‘Realitas’,… kepada Totalitas Representasional Dunia,”21 yang dipenuhi oleh stereotipe-stereotipe dan nilai-nilai absolut. Lebih lanjut Iampolski menyatakan, konsep Assemblage ini, seturut dengan filsafat Ornamentalisme Muratova, ialah konsep yang memaknai dunia yang sebenarnya sebagai “…sesuatu yang berurusan dengan ketidakmungkinan dari kenyataan untuk menjadi mapan.”22

Dapat dipahami kemudian, kelenturan naratif dan montase nyeleneh Muratova dalam The Long Farewell adalah juga permulaan eksperimen menuju filsafat Ornamentalisme—paradigma sinematik yang nantinya akan semakin mencolok di film-film Muratova pasca-provincial melodramas. Dalam melodrama tentang hubungan cinta dan komunikasi yang pelik antara ibu-anak—Vasilyevna dan Shasha—ini, Muratova mendisrupsi kelaziman dari sekuen peristiwa, mengobrak-abrik linearitas naratif, mencabangkan plot, menganggarkan peran formal karakter-karakter minor, dan mengamini empati kinestetik (menyasar emosionalitas lewat agitasi formal ketimbang melalui jalur realisme psikologis dan simbolisme) dalam menyajikan suatu narasi yang resolusinya ditangguhkan. “Sinema ketertundaan” (cinema of irresolution), meminjam istilah Masha Shpolberg,23 adalah sinema Muratova, yang membingkai isu sosial, khususnya perempuan, dengan mengetengahkan konflik yang justru berada pada proses penerimaan subjek (perempuan) atas realitas ketimbang pada perubahan-perubahan yang terjadi dalam realitas itu sendiri.24 Isu diolah secara filmis untuk menjadi hal yang materialistis, untuk diamati lekat-lekat, daripada substansi yang perlu diinterpretasi maknanya. Estetika, dalam praktik sinematik Muratova, “…tidak menjadi ranah pelarian dari politik; karena estetika itu sendiri telah bersifat politis, merupakan jalan masuk menuju dunia kritik.”25 Yaitu, kritik atas isu, dan kritik atas cara mengungkap isu tersebut.

Anti-realisme Muratova, jika kita sama-sama menyetujuinya sebagai sintesis atas realisme abstraktif para pendahulunya (Futurisme, Konstruktivisme, dan Produktivisme), adalah sebuah gaya ungkap sinematik yang merangkul fakta-fakta biasa sebagai tukikan untuk menawarkan spekulasi emansipatif, sinema yang menolak simpulan mutlak, dan malah menjadikan “keragu-raguan” sebagai bahasa arif dalam menimbang ulang persoalan sosial, sehingga memungkinkan imajinasi yang melampaui rasionalitas dan konvensi, dan sekaligus menghindar secara jitu dari godaan untuk menggembar-gemborkan ilusi tentang masyarakat “manusia super” yang digadang-gadang lahir dalam zaman serba modern dan pasca-revolusi. []

Artikel berjudul “Menjejaki Cikal Bakal Anti-Realisme dalam Selamat Tinggal yang Panjang” merupakan bagian dari seri artikel dalam Editorial 10, bertajuk “Materialisme, Ornamentalisme, dan Fantastisisme”, yang secara khusus mengulas karya-karya dan praktik sinematik Kira Muratova.

Endnotes[+]

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search