In Edisi Khusus, Katalog ARKIPEL

Oleh Manshur Zikri

Artikel ini pertama kali terbit sebagai esai (pengantar) kuratorial untuk sebuah program penayangan yang berjudul sama dengan judul esai, dalam katalog festival ARKIPEL – International Documentary & Experimental Film Festival 2013.

Makbul Mubarak, sang kurator, menyajikan dua film dokumenter yang pernah diproduksi oleh Forum Lenteng (organisasi yang mengelola situs web Jurnal Footage), yaitu Dongeng Rangkas (2011) dan Naga yang Berjalan di Atas Air (2012). Kedua dokumenter tersebut merupakan keluaran dari program AKUMASSA yang pernah dikerjakan oleh Forum Lenteng dari tahun 2008-2016, bersama dengan belasan komunitas akar rumput yang aktif di beberapa kota. Forum Lenteng berkolaborasi dengan Saidjah Forum (Lebak) untuk memproduksi film yang pertama, dan dengan Komunitas Djuanda (Tangerang Selatan) untuk film yang kedua.

Di dalam tulisannya, Mubarak menyoroti visi sinematik pada kedua dokumenter tersebut (yang adalah juga merepresentasikan visi Forum Lenteng dan kedua organisasi kolaborator), yaitu literasi media; ia menggarisbawahi bagaimana sinema disikapi sebagai sarana pemberdayaan sekaligus ranah bereksperimen atas medium film itu sendiri. Beriringan dengan visi itu, kedua dokumenter ini, menurut Mubarak, juga membingkai isu “keterpinggiran” sebagai dampak, kalau bukan ekses, dari perubahan sosial masyarakat pasca-Reformasi. Di dalam isu tersebut, bagaimana kita, atau sinema, melihat relasi antara kehidupan subjek mempunyai relasi dengan figurasi ruang sosial tempat subjek itu hidup.

Artikel ini menarik dan penting untuk dibaca kembali dalam rangka merenungkan perkembangan dari upaya-upaya yang dilakukan oleh para pegiat film nonarus utama di era Reformasi, untuk membicarakan isu-isu yang acap kali luput dari perhatian media massa arus utama.

Tulisan Mubarak ini pernah dimuat di situs Jurnal Footage pada tanggal 24 Februari 2014. Redaksi Jurnal Footage kembali menerbit-ulangkannya di situs ini menggunakan tanggal baru, dengan suntingan kecil di beberapa bagian, sebagai bagian dari Editorial 09: Diskursus Satu Dekade.

Selamat membaca!

Dokumenter Kreatif dan Figurasi Ruang

DALAM BEBERAPA DOKUMENTER yang diprakarsainya, Forum Lenteng kerap berusaha keluar dari pakem dokumenter dengan subjek manusia yang bulat, atau dengan struktur yang menekankan pada naik-turun alur drama. Dua yang menjadi konsentrasi program ini adalah Dongeng Rangkas dan Naga Yang Berjalan Di Atas Air, dokumenter yang dibuat atas kerjasama antara Forum Lenteng dengan komunitas setempat, dengan Saijah Forum dalam Dongeng Rangkas, dengan Komunitas Djuanda dalam Naga Yang Berjalan Di Atas Air.

Dongeng Rangkas memotret terik-gigil kehidupan di kota kecil Rangkasbitung, 120 km dari Jakarta. Selain bingkai konseptualnya sebagai penyedot partisipasi masyarakat dalam permediaan, Dongeng Rangkas juga menyertakan komponen praktikalnya, sebagai pemotret ruang pinggiran setelah 10 tahun Suharto lengser; detik yang diyakini sebagai penanda perubahan di segala lini. Hal yang sama terjadi dalam Naga Yang Berjalan Di Atas Air, di mana yang menjadi konsentrasi adalah kelenteng sebagai ruang temu sosial. Koh Liong yang diwawancarai berfungsi sebagai semacam personifikasi kelenteng yang telah menjadi tuan rumah bisu bagi tak terhitung sudah pengunjung. Yang menarik, terlontar pula pertanyaan mengenai peristiwa 98, sesuatu yang juga menjadi penting dalam Dongeng Rangkas.

Dua hal penting yang diangkat oleh kedua dokumenter ini adalah keterpinggiran. Dongeng Rangkas mengangkat kota-kota pinggiran dan seberapa ia dipengaruhi, atau tidak dipengaruhi, oleh kejadian-kejadian revolusioner yang terjadi di pusat. Sementara Naga Yang Berjalan Di Atas Air mengaduk keterpinggiran itu ke sebuah ruang yang lebih sempit dan spesifik: kelenteng yang menampung narasi tentang pasangan pinggiran: Koh Liong dan Istrinya; tentang etnis pinggiran: etnis Tionghoa yang alih-alih digambarkan sebagai etnis kalem yang rajin berdagang, malah digambarkan sebagai etnis yang sama saja dengan etnis mana pun di nusantara ini sepanjang ia ditempatkan dalam ruang sosialnya masing-masing.

Dongeng Rangkas, 2011, karya A. Kelana, B.Munir, F. Fauji, Hafiz, dan S. Anwar

Sisi dokumenter kreatif yang dipilih oleh teman-teman di Forum Lenteng tidak pernah terlepas dari acuan-acuan visual yang mereka gunakan. Sejak proses produksi hingga ke detil pengambilan gambar, selalu ada saat yang mengingatkan kita pada corak khas pengambilan gambar dalam karya-karya kanon fiksi dunia. Ini bukan serta-merta menyamaratakan karya-karya Forum Lenteng dengan kanon dunia itu, melainkan untuk menjelaskan bahwa Forum Lenteng adalah komunitas yang sadar pada bahaya produksi yang tuna acuan. Mereka mementingkan produksi pada tingkatan yang sama dengan perhatian mereka atas literasi. Memang inilah yang menjadi tulang punggung estetika dokumenter kreatif, di mana informasi bukanlah saja sekadar bongkahan-bongkahan mentah dengan narator orang ketiga dan narasumber lainnya, melainkan juga terbungkus rapih dalam teknik penyampaian khas sinema, sebagai sebuah pemberdayaan maksimal atas kemungkinan mediumnya.

Hal penting lain dari dua dokumenter ini adalah penekanannya pada ruang. Ruang senantiasa dipotret sebagai ruang arsitektur sosial yang spesifik dan penuh makna yang belum sempat terbaca. Uniknya, pemotretan ruang yang dilakukan dalam kedua dokumenter ini tidak pernah terlepas dari orang-orang yang menghuninya, itulah kenapa saya sebut ruang pemotretan ini sebagai ruang arsitektur sosial. Dalam Dongeng Rangkas, Iron dan Kiwong dipinjam sebagai Orang Rangkas, dua subjek yang keberadaan dan kemengadaannya senantiasa dipengaruhi oleh tekstur sosial di sekitarnya. Hal-hal yang dilakukan oleh Iron dan Kiwong (metal satu jari, dagangan tahu, dsb.) adalah hasil interaksi antara ruang arsitektur berupa kota Rangkas dan orang-orang sosial yang menghuninya. Demikian pula dalam Naga Yang Berjalan Di Atas Air, ruang arsitektur berupa kelenteng dipotret melalui pengalaman orang-orang yang meninggalinya: Koh Liong dan istrinya, serta orang-orang yang bolak-balik mengunjungi kelenteng. Dalam kelenteng itu tidak melulu berfokus pada ruang transenden antara manusia dan tuhan, tetapi lebih banyak membidik interaksi yang dimungkinkan oleh ruang arsitektur sosial seperti kelenteng tersebut.

Naga yang Berjalan di Atas Air, 2012, karya Otty Widasari

Yang diupayakan oleh Dongeng Rangkas dan Naga Yang Berjalan Di Atas Air di sini bukanlah semata representasi ruang yang disampaikan dalam bentuk informasi telanjang, bukan pula presentasi yang sekadar bertumpu pada bentuk penyampaian, melainkan adalah figurasi ruang, sebuah upaya untuk melahirkan kembali ruang dalam konteks kemeruangannya, sebuah upaya pemaknaan baru lewat bukti-bukti yang bersifat segera dan sehari-hari dalam rangka figurasi tiga aspek paling penting tentang ruang: bagaimana ia dibaca, bagaimana ia diterima, dan bagaimana ia hidup dan dihidupi. Dokumenter kreatif dan figurasi ruang adalah persimpangan konseptual antara bentuk penyampaian dan pembacaan baru atas ruang-ruang yang tidak sekadar berhenti pada permasalahaan konten representasi dan presentasi, melainkan bermain dengan bingkainya, melampaui konsep-konsepnya untuk melahirkan makna ruang sebagai arsitektur sosial lewat tangkapan gambar yang dibidik secara kini. []

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search