In Artikel

DI ANTARA FILM-filmnya yang terkenal di kalangan kritikus, Kira Muratova konon pernah menyatakan bahwa filmnya yang berjudul Change of Fortune (atau Перемена участи, 1987—kadang judul Inggrisnya juga ditulis Change of Fate) mengemban estetika yang menjadi fundamen atau prinsip-prinsip penting bagi eksperimen-eksperimen yang ia lakukan pada film-filmnya belakangan. Informasi ini sebagaimana yang disampaikan oleh Mikhail Iampolski, seorang akademisi yang merupakan teman dekat sekaligus “ahli Muratova”, dalam kuliahnya yang berjudul “Muratova: A World without Reality” itu.1

Menyepakati Iampolski, bolehlah kita menyebut di sini bahwa Change of Fortune (yang dalam bahasa Indonesia, judul ini dapat kita artikan “Peralihan Nasib”) adalah “garis batas”, milestone, atau titik persimpangan paling penting di dalam perkembangan praxis Muratova atas sinema. Apa sebab?

Seperti yang telah kita coba ulas dalam tulisan-tulisan sebelumnya, mesti disadari bahwa, bahkan sejak periode “provincial melodramas”-nya, Muratova sudah gandrung dengan eksperimen nyeleneh baik dari segi naratif maupun konstruktif film. Dari segi naratif, misalnya, ia memilih untuk “mengacaubalaukan” visi kepahlawanan dalam skenario asli yang ditulis Balkanov untuk film Getting to Know the Big, Wide World (1978), menjadi dunia tuturan yang puitik, namun semarak dengan olok-olok dan permainan. Dari segi konstruktif film (secara visual), contoh lainnya, di dalam Among Grey Stones (1983), ia lebih senang mendefamiliarisasi latar sosial In Bad Company-nya Korolenko, yang menawan lagi syahdu itu, menjadi medan fantastis yang penuh dengan histeria dan bentuk-bentuk komunikasi mekanikal.

Bukan bermaksud mensubordinasi eksperimen di film-filmnya terdahulu, tetapi kegandrungan eksperimental Muratova agaknya memang menjadi kian ekstrem dan masif dalam praktik sinematiknya di kala menjelang berakhirnya era “reformasi politik-ekonomi Gorbachev”. Dan teruntuk karya film yang satu ini, Change of Fortune, rasa-rasanya tidak berlebihan jika kita melabelinya sebagai “sebuah lompatan paradigmatik”. Sebab, paling tidak di mata saya sendiri, inilah film yang menunjukkan betapa penjelajahan estetika Muratova telah mencabangkan—kalau bukan berbelok tajam dari—jalur “eksperimental-naratif (dalam rangka kritisisme sosiopolitik)”-nya ke jalur “eksperimental-filosofis (dalam rangka subversivisme sinematik)”.

Dalam kasus Change of Fortune, kegandrungan Muratova untuk menyimpang secara naratif tentunya tetap ada, dan itu tampak jelas dari bagaimana ia mengolah cerita. Faktanya, film ini adalah ekranisasi dari karya sastra, di mana kisahnya berdasarkan pada cerpen berjudul The Letter, karya W. Somerset Maugham, yang pertama kali terbit tahun 1926 dalam buku kumpulan cerita berjudul The Casuarina Tree. Sementara plot pada cerpen Maugham terasa sangat sederhana dan datar, Muratova memperluas struktur naratif ceritanya dengan permainan plot yang jauh lebih kompleks. Ia mengubah cara penyampaian kejadian dari sejumlah peristiwa dan juga menambah peristiwa-peristiwa lain yang tidak ada di dalam versi cerpen.

Sementara itu, dari segi konstruksi filmis, ia manantang pemahaman konvensional penonton dengan menyajikan paduan-paduan tertentu yang bersifat kontrapuntal (baik visual maupun auditori) di tengah-tengah suasana latar oriental yang, uniknya, menyuguhkan sifat anti-naturalistik tapi juga kontra-romantik sekaligus.

Pun demikian, sejumlah adegan di dalam film ini, kurang-lebih, juga menawarkan suatu model tuturan yang membantah signifikansi dari kausalitas simbolik sehingga menempatkan konsepsi mengenai fantasi dan fantastisisme ke dalam tataran yang lebih materialis. Dalam konteks itu, eksperimen Muratova bukan lagi sekadar soal siasat estetika (atau politik estetika), tetapi lebih jauh menjangkau perihal “filsafat (atas) sinema”.

Lalu mungkin kita akan bertanya-tanya, apakah sinemanya mendasarkan keyakinan pada citra (seperti mazhab Soviet), atau pada kenyataan (seperti mazhab Neorealis), atau pada kuasa kepengarangan (seperti Auteurism)…?

Barangkali bukan ketiganya, dan toh ia juga bukan tengah berada pada mazhab mana pun (sebagaimana banyak kritikus dan pengkaji film masih berpikir keras untuk menempatkan Muratova ke dalam kategori gerakan sinema apa yang paling pas untuknya, atau berupaya menemukan terma yang paling tepat untuk menggambarkan praktiknya).

***

JIKA KITA MENINJAU lebih jauh aspek naratif, maka kita akan mendapati bahwa tokoh utama di dalam cerpen The Letter, seorang advokat bernama Tuan Joyce, berubah menjadi tokoh tak bernama (hanya disebut “si advokat”) yang diperankan oleh Yury Shlykov di dalam cerita versi film yang dibuat Muratova ini. Penokohannya pun agak digeser menjadi deuteragonis. Sedangkan yang menjadi protagonis film ini adalah justru Maria (diperankan oleh Natalia Leble), tokoh yang di dalam cerita versi cerpennya bernama Leslie (atau Nyonya Crosbie). Sementara itu, tritagonis di dalam cerpen tersebut, antara lain Tuan Crosbie (suami Leslie) dan Geoff Hammond (selingkuhan Leslie), masing-masing secara berurutan bernama Filip (diperankan oleh Vladimir Karasev) dan Alexander (diperankan oleh Leonid Kudriashov) di dalam versi film. Seorang tokoh lainnya yang juga tidak diberi nama di dalam film adalah tokoh yang pada versi cerpennya bernama Ong Chi Seng, seorang beretnis Cina yang sedang magang di kantor si advokat.

Dalam versi cerpen, kisah dimuai dari suasana di dalam kantor Tuan Joyce yang sedang menjamu Tuan Crosbie, teman dekatnya. Tuan Crosbie tidak henti-hentinya berkeluh kesah, mengutuk pihak berwajib yang memenjarakan istrinya, Leslie (Nyonya Crosbie), gara-gara menjadi terdakwa kasus pembunuhan Geoff Hammond.

Tuan Joyce, yang menjadi pengacara Leslie, sebenarnya cukup percaya diri bahwa dia bisa memenangkan kasus itu dan membantu membebaskan kliennya. Namun, ada satu hal yang masih mengganjal di dalam kepalanya berdasarkan cerita yang disampaikan kliennya dalam wawancara pengakuan: perempuan itu, yang secara berulang-ulang digambarkan oleh Maugham (melalui sudut pandang Tuan Joyce) sebagai “perempuan terhormat”, menembak korbannya dengan pistol (revolver) sebanyak enam kali.

Maugham, masih menggunakan sudut pandang Tuan Joyce, bercerita bahwa “…pemeriksaan terhadap mayat menunjukkan kalau empat peluru ternyata ditembakkan dalam jarak yang dekat dengan tubuh korban. Orang bisa saja berpikir, saat laki-laki itu tersungkur, si perempuan sedang berdiri di dekatnya dan menembakkan semua peluru ke laki-laki itu.”2

Terdapat suatu kontradiksi di sana, pikir Tuan Joyce. Sementara tindakan menghabiskan peluru bisa mengindikasikan kemarahan yang tidak terkendali, kepanikan akut, dan pikiran yang kosong, Leslie justru begitu akurat menceritakan detail kejadian dalam kondisi yang sangat tenang.

Dan menembak dalam jarak dekat…? Bukankah itu bisa dicurigai sebagai kesengajaan? Begitulah siratan dari kegelisahan si advokat.

Setelah Tuan Crosbie meninggalkan kantor Tuan Joyce, Ong Chi Seng masuk ke ruangannya dan memberikan informasi mengejutkan: ada sebuah surat yang ditulis oleh Leslie pada malam terjadinya peristiwa pembunuhan, yang ditujukan kepada Hammond. Isi dalam surat itu adalah permintaan agar Hammond mendatangi Leslie. Itu adalah fakta yang berkebalikan dengan pengakuan Leslie sebelumnya, di mana ia menyatakan bahwa Hammond datang tiba-tiba tanpa diundang dan kemudian berusaha memperkosa dirinya, dan bahwa dalam tiga bulan terakhir dirinya tidak pernah berkomunikasi dengan si korban.

Mendapati fakta baru itu, Tuan Joyce bergegas mengunjungi Leslie ke penjara untuk memverifikasi keberadaan surat itu. Meskipun awalnya ia membantah telah menulis surat tersebut, Leslie akhirnya mengaku bahwa ia memang telah meminta Hammond datang ke kediamannya, agar dia bisa berkonsultasi soal senapan yang ingin dibelinya untuk hadiah ulang tahun suaminya. Hal ini sengaja tidak ia sampaikan dalam pengakuan karena khawatir orang-orang tidak akan percaya sehingga ia memilih pura-pura lupa.

Sekali lagi, di mata Tuan Joyce, ini membuat semuanya jadi rumit. Para juri dan hakim tentunya akan mencurigai bagaimana kejadian sepenting itu bisa terlupakan sementara hal-hal lain yang tak begitu penting justru diceritakan dengan begitu rinci oleh si terdakwa. Situasi ini akan mengarahkan penilaian pada kesimpulan bahwa Leslie, si terdakwa, telah memberikan kesaksian palsu, dan surat itu akan dikejar dan dihadirkan sebagai bukti persidangan (dan tidak sulit bagi pengadilan untuk membuktikan keasliannya). Hal ini tentunya akan memberatkan posisi mereka untuk memenangkan kasus dalam proses pengadilan.

Kisah terus berlanjut: Tuan Joyce akhirnya membujuk Tuan Crosbie, atas saran dari Ong Chi Seng, untuk menebus surat itu ke orang yang menyimpannya, yaitu seorang perempuan pribumi yang ternyata merupakan gundik Hammond, dengan uang tebusan sebesar $10.000 (menghabiskan nyaris seluruh kekayaan Tuan Crosbie). Bagaimanapun, demi istri tercinta, Tuan Crosbie menyanggupi hal itu. Mereka pun pergi ke sebuah lokasi, semacam kampung pecinan, mendatangi rumah si pemegang surat.

Singkat cerita, mereka berhasil menebus surat, menyembunyikannya dari persidangan sehingga pengadilan pun membebaskan Leslie.

Di penghujung kisah, masih dalam sudut pandang Tuan Joyce, di waktu jamuan makan malam untuk merayakan kebebasan Nyonya Crosbie, si advokat menyaksikan kejadian yang mengerikan. Leslie diceritakan menjadi histeris dan panik karena suaminya, gara-gara surat itu, telah mengetahui perselingkuhannya dengan Hammond, yang selama ini telah ia sembunyikan rapat-rapat. Leslie pun menceritakan kebenarannya: bahwa ia membunuh Hammond gara-gara dibakar api cemburu, karena laki-laki itu berpaling dari dirinya dan memilih hidup bersama gundik barunya yang beretnis Cina.

Di bagian penutup cerpen ini, disebutkan pula bahwa Tuan Joyce menyaksikan kepribadian yang lain dari Leslie. Perempuan yang selama ini dikenal terhormat, pendiam, dan halus itu, ternyata “…mampu memiliki gairah yang begitu jahat… Dia benar-benar terkejut melihatnya. Itu bukan wajah, tapi sebuah topeng menyeramkan yang sedang meracau.”3

***

SAYA SEMENTARA INI menggarisbawahi plot di film Change of Fortune sebagai hal yang “kompleks”. Akan tetapi, sebagaimana yang dijelaskan nanti, plot yang kita maksud juga membawa gagasan tentang kelenturan dan kelonggaran. Dalam memproduksi Change of Fortune, Muratova konon tidak mengacu pada skenario yang final dengan plot yang tetap (tidak dapat diubah), dan demikian pula dengan karakter-karakternya di dalam film ini, yang juga tidak berada di bawah dikte plot.4 Dengan kata lain, “kompleksitas” yang dimainkan Muratova di film ini pada dasarnya mencerminkan suatu penolakan terhadap jenis stereotipe yang menggejala dalam tradisi film-film komersial Barat (‘western cinemas’): “kepatuhan pada plot” menyebabkan terciptanya karakter-karakter yang juga mengalami stereotipifikasi.

Lalu, terhadap The Letter-nya Maugham, bagaimana bentuk dari perluasan struktur naratif dan kompleksitas plot yang diterapkan oleh Muratova di dalam Change of Fortune…?

Hal pertama yang perlu kita telaah adalah cara Muratova menyajikan detik-detik peristiwa pembunuhan yang dilakukan Maria terhadap Alexander. Menurut saya, Muratova mengembangkan struktur naratifnya ke dalam konstruksi yang bertingkat, sebagai salah satu strategi plot. Setidaknya, ada empat tataran narasi di dalam cerita ini, sehubungan dengan kejadian penembakan dan hal-hal lain yang melatarbelakanginya. Masing-masing tataran itu merepresentasikan nilai dan sudut pandang yang berbeda satu sama lain.

Tataran pertama, ialah skenario dalam memori ataupun imajinasi Maria tentang dirinya yang berkonsultasi dengan Alexander perihal rencananya yang ingin membeli senjata untuk dijadikan hadiah ulang tahun suaminya. Dalam skenario ini, Maria menempatkan dirinya sebagai sosok yang dikontrol oleh agresivitas maskulin, seolah dirinya terjebak dalam hubungan toxic yang penuh risiko. Narasi tataran pertama ini, oleh Muratova, justru menjadi sekuen pembuka film. Penonton disuguhkan sebuah sekuen tentang peristiwa intim dari suatu hubungan yang timpang karena didominasi laki-laki, sekuen yang berisi rangkaian adegan yang terkesan agak semi-fantasmagorikal. Di dalam skenario imajiner atau ingatannya ini, Maria menggambarkan dirinya (atau digambarkan oleh si sutradara) sebagai pihak yang berusaha menolak dengan lemah di tengah ketidakberdayaannya menyetarai godaan dan pengaruh Alexander.

Tataran kedua, ialah skenario dalam kesaksian Maria tentang dirinya yang berusaha membela diri dari kekerasan seksual yang dilakukan Alexander, yang mana skenario itu berujung pada peristiwa penembakan yang tidak disengaja. Untuk tataran ini, alih-alih menarasikannya dari sudut pandang si advokat (sebagaimana Maugham, di dalam cerpennya, menggunakan sudut pandang Tuan Joyce yang tengah mengingat cerita Leslie), Muratova memilih untuk menyampaikannya langsung ke hadapan penonton lewat mulut dan gesture Maria, yaitu dalam adegan ketika si advokat mewawancarai si protagonis di penjara bawah tanah. Di sekuen ini, secara visual, penonton hanya melihat dua orang, si advokat dan Maria, berbincang satu sama lain (yang mana keduanya, bergantian atau bersamaan, menunjukkan kondisi emosi yang berubah-ubah: kadang tenang, kadang gusar, atau kadang bersemangat secara tidak wajar). Sementara itu, unsur dramatik dari adegan-adegan ini muncul melalui performativitas karakter (khususnya Maria) saat menceritakan reka-ulang kejadian penembakan; tubuh dan ekspresi Maria seolah menjadi satu-satunya jembatan bagi penonton untuk membayangkan (atau turut merasakan) ketegangan dari peristiwa pembunuhan [yang menurut Maria] tidak disengaja tersebut.

Narasi dalam tataran kedua di atas juga berlanjut dalam adegan wawancara kedua yang berlangsung di hari lainnya (masih di dalam penjara bawah tanah), di mana Maria akhirnya mengaku bahwa dirinya memang telah mendesak Alexander melalui surat agar datang ke rumahnya, agari dia bisa berkonsultasi soal pembelian senapan yang akan dijadikan hadiah ulang tahun bagi suaminya. Bagian ini berresonansi dengan sekuen pertama film. Akan tetapi, karena sebagian kebohongan telah terbongkar, sesuatu di dalam hubungan perselingkuhan itu, yang sebelumnya terasa sebagai agresivitas maskulin, kini tampak sebagai agresivitas impulsif pada diri masing-masing sepasang kekasih itu satu sama lain; agresivitas yang bertopang gejolak hasrat tak terkendali, dalam laku yang diselimuti muslihat dan pengkhianatan. Hal itu juga membuka aspek kepribadian lainnya dari si protagonis: ketakutannya akan kematian.

Tataran ketiga, ialah narasi pengungkapan peristiwa pembunuhan. Narasi pada tataran ini mungkin terasa sebagai bagian dari dunia ingatan Maria (di sini kita telah mengetahui bahwa pada sekuen sebelumnya, yaitu sekuen wawancara kedua di dalam penjara bawah tanah itu, Maria pingsan karena shock memikirkan kemungkinan bahwa dirinya akan dihukum gantung). Tapi, perlu disadari terlebih dahulu bahwa, setelah sekuen wawancara pertama di penjara bawah tanah, kita menyaksikan adegan yang memperlihatkan suasana pasca-penembakan di ruang tamu rumah Maria. Adegan tersebut tampak sebagai kelanjutan (atau penegasan bagi) cerita reka-ulang yang disampaikan oleh Maria kepada si advokat. Sedangkan adegan-adegan di dalam narasi tataran ketiga yang saya maksud di sini, ialah sekuen yang menunjukkan detik-detik menuju peristiwa penembakan di lokasi yang sama, yang mana kejadiannya jauh berbeda dari versi yang diceritakan Maria kepada si advokat. Maka, narasi pada tataran ketiga ini juga dapat dilihat sebagai narasi dalam tuturan si sutradara yang, dengan menggunakan kekuasaan dan keleluasaannya sebagai “pengarang film”, berniat untuk menguak “kronologi kejadian penembakan yang sebenarnya” kepada penonton.

Dualitas karakter protagonis kian ditonjolkan dalam narasi tataran ketiga tersebut, dan konflik di antara dua sejoli yang berselingkuh itu pun berujung pada agresivitas fisik: kekerasan dan kematian sebagai jawaban bagi ketidakikhlasan untuk melepas apa yang dimiliki. Dalam adegan-adegan pada narasi tataran ketiga ini, kita kemudian dapat memahami bahwa pertengkaran antara Maria dan Alexander di kediaman Filip (saat sang suami tidak berada di rumah) disebabkan oleh adanya orang ketiga yang mengganggu perselingkuhan mereka. Tak tahan dengan perilaku Alexander yang mulai menunjukkan rasa muak terhadap dirinya, Maria pun menembak mati kekasih gelapnya itu dengan pistol yang tergeletak di atas meja. Tidak ada peristiwa aksi membela diri dari serangan pemerkosaan sebagaimana yang diakui Maria kepada si advokat.

Di sekuen itu pula, kita melihat bahwa Muratova melakukan sebuah eksperimen yang sangat mengejutkan: ia mengulang rangkaian adegan yang, jika ditotal, berdurasi 5 menit 40 detik. Rangkaian adegan itu diulang sebanyak dua kali, dengan urutan yang sama, menggunakan materi adegan yang juga sama. Suntingan semacam ini tentunya tampak jauh lebih nyeleneh jika kita membandingkannya dengan kemunculan bidikan-bidikan iteratif pada film-film Muratova sebelumnya.

Tataran keempat, adalah narasi yang agaknya “diresolusikan” sebagai kejujuran Maria kepada si advokat, kepada dunia, kepada dirinya sendiri, dan kepada kita (penonton). Narasi ini terkandung dalam salah satu adegan di sekuen penutup, yaitu adegan sesaat sebelum kita diperlihatkan tubuh Filip yang tergantung di tali, tidak bernyawa. (Ya! Di film Muratova yang ini, tokoh yang menjadi suami si terdakwa itu, akhirnya, bunuh diri). Dari puncak salah satu tangga di rumahnya, Maria yang emosional karena mendapati bahwa suaminya sudah mengetahui perselingkuhan yang ia lakukan dengan Alexander, bercerita kepada si advokat (yang mendengar di sisi bawah tangga setelah membakar surat yang menjadi pangkal terkuaknya skandal ini), tentang motivasinya membunuh Alexander: kecemburuan. Narasi tataran keempat ini mengoreksi semua cerita yang ia sampaikan pada bagian narasi tataran kedua, sekaligus mengoreksi bentuk hubungan yang tergambarkan pada sekuen pertama film.

Melalui narasi tataran keempat tersebut, kita mendapati kesimpulan naratif bahwa maskulinitas yang meracuni hubungan perselingkuhan tersebut, ternyata, berbuah sikap posesif dan hasrat kekuasaan atas sesama manusia. Secara bersamaan, bagian tersebut juga memprovokasi kita untuk meninjau kembali persoalan paling pelik tentang cara pandang sistem masyarakat yang ujung-ujungnya mendemonisasi perempuan. Akan tetapi, alih-alih menjadikan tokoh Maria/Leslie “demonik”, arah bidikan kamera dan penyutradaraan karakter Muratova pada sekuen ini agaknya menggemakan sesuatu yang bersifat kontra terhadap bingkaian misoginistik Maugham. []

Baca Bagian 02/05: “Yang Diperluas dari Surat: Interpolasi Naratif dalam Peralihan Nasib
Baca Bagian 03/05: “Yang Diperluas dari Surat: Fantastisisme Peralihan Nasib
Baca Bagian 04/05: “Yang Diperluas dari Surat: Anti-Ideologi dari Peralihan Nasib
Baca Bagian 05/05: “Yang Diperluas dari Surat: Ornamentalisme Sinematik”

Subseri artikel berjudul “Yang Diperluas dari Surat” merupakan bagian dari seri artikel dalam Editorial 10, bertajuk “Materialisme, Ornamentalisme, dan Fantastisisme”, yang secara khusus mengulas karya-karya dan praktik sinematik Kira Muratova.

Endnotes[+]

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search