In Artikel

PADA ARTIKEL KE-4 untuk seri ulasan tentang Change of Fortune ini, kita menjeda sejenak analisis filmis. Dengan mengacu kepada dua sumber utama, yaitu penjelasan “filmografis” Jane A. Taubman dan kuliah umum Mikhail Iampolski tentang Kira Muratova, kita perlu meninjau beberapa konteks untuk dapat memaklumi keunikan film tersebut dan memahami kenapa dia patut disebut unik (secara positif).

Taubman pernah menyarankan kepada kita sebuah model kategorisasi untuk film-film Muratova,1 yaitu dengan membaginya ke dalam tiga kelompok periode. Pertama, periode “Provincial Melodramas,” yaitu masa ketika Muratova membuat dua film hitam-putih berjudul Brief Encounters (1967)  dan The Long Farewell (1971).

Kedua, periode “Keterpesonaan Ornamental,”2 yaitu masa ketika Muratova mulai menunjukkan minat yang lebih mencolok terhadap eksperimen faktural, estetika haptik, dan elemen-elemen ornamental yang ada pada subjek-subjek (karakter-karakter), objek-objek, dan ruang di dalam filmnya. Pada masa ini, ia membuat film berwarna yang berjudul Getting to Know the Big, Wide World (1978) dan Among Grey Stones (1983).

Ketiga, periode “Pasca-1987,” yaitu periode yang pada kalanya nanti Muratova menghasilkan filmnya yang paling terkenal, The Asthenic Syndrome (1989), dan juga film-film setelahnya yang, sebagaimana dapat diketahui hari ini, tidak kalah menarik perhatian begitu banyak kritikus dan pengkaji film di ranah akademik.

Lebih dari satu dekade kemudian, Taubman memberikan sedikit revisi soal kategorisasi ini meskipun ia tidak menyampaikannya dengan cukup jelas dan tegas. Di dalam tulisannya yang lebih awal (sebuah esai dalam bentuk makalah akademik—telah saya kutip di atas), Taubman memasukkan Change of Fortune ke dalam kategori periode “Pasca-1987” (padahal diketahui bahwa film ini dibuat tahun 1987, bukan tahun setelahnya), sedangkan pada halaman 27 dalam bukunya yang berjudul Kira Muratova (2005),3 Taubman memasukkan Change of Fortune ke dalam periode yang ia sebut “fase pergeseran gaya visual” [dari melodramatik ke ornamentalis]. Dalam hal ini, “fase pergeseran gaya visual” yang dimaksud Taubman sepadan dengan periode “Keterpesonaan Ornamental” yang saya singgung di paragraf sebelumnya.

Kalau kita mencerna lebih saksama pengoreksian Taubman terhadap kategorisasi tersebut, kita bisa saja memberikan pernyataan di sini bahwa Change of Fortune merupakan sebuah karya ultima—menunjukkan capaian eksperimentatif terpuncak—dari periode ke-2 dalam perkembangan kesenimanan Kira Muratova. Meskipun Taubman tidak menganggapnya demikian,4 saya pribadi lebih setuju untuk mengapresiasi Change of Fortune sebagai film yang “paling ornamentalis” (dalam sudut pandang filsafat sinematik yang digagas Muratova, tentu saja). Sebab, film ini relatif telah menerapkan dan memanifestasikan gagasan “Ornamentalisme” yang dimaksud Muratova secara menyeluruh dan matang, bukan saja dari aspek formalnya tetapi juga secara “ideologis”.

Usulan saya di atas mengemuka sebagai sebuah proposisi yang hendak dibicarakan di sini karena persoalan itu punya kaitan dengan penjelasan Mikhail Iampolski dalam kuliahnya yang berjudul “Muratova: A World without Reality”, bahwa Change of Fortune dan The Asthenic Syndrome dibuat pada sebuah “masa peralihan” yang mengantarai pergeseran situasi sosial, ekonomi, dan politik di Uni Soviet pada kisaran tahun 1980-an, dari yang awalnya didominasi oleh kemapanan ideologis, perlahan menuju sebuah kemapanan baru yang mulai didominasi oleh pasar (kemapanan komersial). “Masa peralihan” itu, menurut Iampolski, merupakan sebuah “periode antara” yang Muratova juluki dengan sebutan “temporary paradise” (‘surga yang singkat’).5

Perangko peringatan 5 kopeck perestroika, 1988. (Sumber gambar: USSR Post, Domain Publik, via Wikimedia Commons).

Sebagaimana yang kita semua tahu, gerakan reformasi politik yang digiatkan Gorbachev, yaitu Perestroika (dimulai tahun 1984)—dalam usahanya menangani kemandekan sistem ekonomi dan politik yang tengah menimpa negaranya—menyerukan suatu restrukturisasi ekstrem dan fundamental di tubuh partai komunis Soviet.6 Tujuannya adalah “demokratisasi seluas-luasnya” pada segala aspek kehidupan masyarakat.7 Namun, banyak pengamat yang percaya bahwa, meskipun sempat ditolak oleh sebagian besar politikus di lingkup partai, realisasi yang perlahan-tapi-pasti dari gerakan ini justru “berhasil” melenturkan—atau bahkan menggugah dan menggoyahkan—autoritarianisme Uni Soviet era itu.

Dilanjutkan dengan program reformasi dan slogan politik berbasis konsep Glasnost (yang mulai digiatkan tahun 1986), Gorbachev juga mengupayakan transparansi kebijakan, keterbukaan informasi, dan kebebasan berpendapat di negaranya.8 Ia juga menyerukan dan menerapkan suatu model “sentralisme baru” (alih-alih desentralisasi) atas kendali ekonomi dan birokrasi.9 Langkah-langkah pewujudan dari “keterbukaan” tersebut berdampak pada meningkatnya kritisisme masyarakat terhadap rezim Stalin yang lampau. Bersamaan dengan itu, sentralisme baru atas ekonomi juga mendorong terjalinnya hubungan internasional antara Uni Soviet dengan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat, khususnya di bidang pariwisata,10 yang mana kondisi ini memicu semacam “investasi” pasar global secara besar-besaran dan “invasi” budaya populer Barat ke negara transkontinental Uni Soviet.

Unjuk rasa publik pertama di dekat gedung KGB di Moskow di Lapangan Lubyanka untuk mengenang para korban Stalin pada Hari Tahanan Politik, 30 Oktober 1989. (Sumber gambar: Dmitry Borko, CC BY-SA 4.0 <https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0>, via Wikimedia Commons).

Rival Negara Paman Sam itu pun mulai beralih dari bangsa yang awalnya dilihat memiliki identitas yang kuat secara ideologis (terutama ideologi kiri) menuju masyarakat yang mulai mengamini (dan mengadopsi) elemen-elemen ekonomi liberal11 demi menyongsong manfaat dari sistem pasar bebas. Secara politik, negara yang dijuluki Negeri Tirai Besi itu pun mengalami goncangan dan konflik internal, karena penerapan Perestroika dan Glasnost juga menjadi salah satu penyebab bangkitnya gerakan-gerakan nasionalis di sejumlah negara-negara konstituen Soviet.12 Di penghujung 80-an dan awal 90-an, kedigdayaan Blok Timur runtuh, negara Uni Soviet bubar, dan Perang Dingin pun berakhir.

Pada tahun-tahun tersebut, dalam pandangan Muratova—menurut Iampolski13—Uni Soviet mengalami krisis identitas, stabilitas, dan bahkah Realitas (dengan “R” besar). Orang-orang di Uni Soviet sedang berada pada masa-masa ketika kemapanan tiada. Iampolski berargumen bahwa Muratova merespon dan merefleksikan “Destabilisasi Realitas” Soviet kala itu melalui Change of Fortune (dan juga The Asthenic Syndrome) dengan diiringi kesadaran penuh tentang karakteristik dari “masa-masa transisi sosio-politik-ekonomi”, yaitu masa-masa di saat segala bentuk stereotipe [‘kaidah mapan’, ‘pengetahuan yang sudah umum diterima’, atau ‘ketentuan-ketentuan yang sudah terstandarisasi’] tengah disangkal.

Stereotipe, di mata Muratova, pada dasarnya adalah kemapanan itu sendiri. Sementara itu, situasi krisis atau situasi yang tidak mapan, baginya, adalah surga yang di dalamnya standar-standar baku tidak berlaku. Oleh karena itu, ketika Change of Fortune berhasil dibuat, film tersebut secara estetik dan filosofis juga menolak stereotipe—menolak kemapanan [dalam konteks bahasa sinema]. Lebih jauh, Iampolski menjelaskan bahwa Muratova bahkan juga menolak psikologisme dan simbolisme—dua contoh dari sekian banyak stereotipe yang ada—dalam mengkonstruksi film ini, seolah meneruskan jejak para pendahulunya (avant-gardis era Revolusi Oktober) yang, berkebalikan dengan Muratova, mengalami “masa peralihan” dari dominasi pasar ke dominasi ideologis.14

Dengan menyadari adanya konteks pemikiran dan pengalaman Muratova terkait “masa peralihan”, judul film ini pun menjadi lebih signifikan. Change of Fortune adalah film yang dibuat pada masa peralihan situasi sosial-ekonomi-politik; bercerita tentang peralihan nasib (pada karakter-karakternya); dan gaya bahasa sinema yang ada di dalamnya juga menunjukkan titik-titik peralihan Muratova dari gaya-gaya berbahasa yang ia pernah pakai di film-film sebelumnya. Maka, dua kata “Перемена участи” (diromanisasi menjadi ‘Peremena uchasti’), yang sering diterjemahkan menjadi ‘Change of Fortune’ atau ‘Change of Fate’ dalam bahasa Inggris, bukan lagi semata judul drama. Konteks tersebut seakan melegitimasi judul film ini sebagai pernyataan artistik-kultural yang mewakili sekaligus “merangkum” serangkaian asumsi yang lebih luas dan bahkan melampaui “alam sinema” Muratova: estetikanya sedang berubah, bukan hanya karena zaman tengah berubah, tetapi juga karena berproses untuk merespon keberubahan zaman itu sendiri, dan juga dalam rangka mengamini keberubahan gaya sinematik sebagai sebuah hakikat berbahasa.

Akan tetapi, betapa pun kuatnya konteks ekososbudpol yang melatarbelakangi eksperimen Muratova atas Ornamentalisme di dalam film Change of Fortune ini, faktanya kita bukan sedang disuguhkan sebuah “film politik”. Di sini saya dengan sengaja menggunakan tanda petik saat menyebut “film politik” untuk merujuk jenis film yang secara intensional—dan gamblang dari segi naratif maupun visual—menyajikan semacam kritisisme tentang suatu rezim politik/kekuasaan yang menganut ideologi politik tertentu. Dan sebagaimana kita semua tahu, pengertian umum dan sederhana dari ideologi politik adalah “…seperangkat etis dari cita-cita, prinsip, doktrin, mitos, ataupun simbol-simbol dari suatu gerakan sosial, lembaga, kelas, dan kelompok yang menjelaskan bagaimana seharusnya masyarakat bekerja; ideologi ini menawarkan sejumlah cetak biru politik dan budaya demi tatanan sosial tertentu.”15 Perangkat etis yang melandasi “cita-cita peradaban” inilah yang nantinya akan menciptakan dan memproduksi Realitas yang diamini (atau dipaksa untuk diamini) oleh masyarakat atau warga negara yang dinaunginya. Ideologi politik adalah fondasi utama bagi berdirinya sebuah Realitas (dengan “R” besar) itu. Dan “film politik” (yang bertanda kutip ini) biasanya menunjukkan suatu ekspresi yang lantang (kalau bukan gamblang) untuk mengkritik atau memuji, mempertanyakan ulang atau membenarkan, dan untuk melawan atau mendukung Realitas tersebut beserta dengan perangkat-perangkat etis yang membangunnya. Namun, dalam “film politik”, entah itu berupa film propaganda ataupun kontra-propaganda, ekspresi (atau proposisi) muncul secara harfiah—secara representasional menyasar aktivitas-aktivitas baik konkret maupun simbolik dari suatu paham politik yang spesifik.

Salah satu adegan di sekuen pengusiran kaum pengemis dan gelandangan dalam film "Among Grey Stones" (1983) karya Kira Muratova.

Ekspresi politik semacam itu, walau bukan dalam bentuk “film propaganda”, relatif masih dapat kita temukan kasat mata di beberapa film yang Muratova buat sebelumnya—setidaknya pada tiga dari total empat film fiksi yang mendahului Change of Fortune. Bahkan, pada film berjudul Among Grey Stones yang, menurut Taubman, sudah bernuansa “surrealis”-cum-“hiperrealis”16 sekalipun, kita masih bisa menemukan bagaimana ekspresi politik mencuat dengan parodikal dalam bentuk yang “diteatrikalisasi”, salah satu contohnya ada pada adegan pengusiran gelandangan di sekuen-sekuen awal film itu.

Sementara, pada film yang sedang kita bahas di sini, orientasi tersebut (yaitu orientasi untuk “berekspresi secara politik”, yang biasanya tersurat pada aspek naratif dan tampilan visual) dapat dibillang sungguh sangat halus, nyaris tak terlihat, kalau bukan hilang sama sekali.

Menonton dan mengamati alam naratif Change of Fortune berulang-ulang, kita akan dapat merasakan bahwa, meskipun ia mengisahkan sebuah drama dengan latar lokasi yang di dalamnya penduduk asli hidup berbaur dengan kaum pendatang (sebuah struktur masyarakat yang lekat dengan stereotipe tentang dunia oriental, laku kolonial, dan masalah kolonialisme), dan juga mengikutsertakan peran sistem peradilan pidana (suatu rangkaian mekanisme yang merepresentasikan eksistensi “pemerintah” dan “negara”—dengan kata lain, adanya “hukum” dan “penghukuman” sebagai “produk politik”), film ini tetap terlihat sebagai sebuah karya sinematik yang dengan sengaja dikonstruksi untuk “mengasingkan” kewajaran-kewajaran ataupun kebiasaan-kebiasaan definitif mengenai lembaga-lembaga sosial. Atau sebaliknya, “mengasingkan” kita dari pengertian-pengertian lazim tentang hal-hal itu.

Jika pun kita bersiteguh bahwa ada konsep “kolonialitas” dan “negara” di dalam film ini, hal yang akan tampak terkait kedua konsep itu adalah sesuatu yang benar-benar tidak biasa, tentang tingkah kehidupan masyarakatnya yang ganjil…, dengan ciri-ciri yang sukar dikenali. Proposisi-proposisi politis, dengan demikian—kalau tetap ingin dicari-cari keberadaannya di dalam film ini dan, katakanlah, berhasil ditemukan—agaknya malah akan muncul sebagai sesuatu yang berbeda dan tidak berhubungan dengan dinamika-dinamika politik praktis dan politik identitas dari dunia riil yang selama ini kita mengerti.

Sehubungan dengan kesan yang saya paparkan di atas, sekali lagi kita dapat mengacu lebih jauh (serta menyetujui) penjelasan Iampolski (yang mengutip Muratova),17 bahwa film ini memang dikonstruksi untuk mendorong penonton agar berlaku sebagai pemirsa yang ignorant—pemirsa yang “tanpa pengetahuan”—melalui sajian visual yang “tidak dapat diidentifikasi”, dengan latar ruang antah-berantah, demi menekankan “kepolosan dalam melihat” (innocence of vision).

Sebagaimana yang dapat disimak, sulit bagi kita untuk menemukan di dalam film ini (yaitu, pada unsur-unsur intrinsiknya) “ideologi politik” apa dan yang bagaimana, misalnya, yang tengah menjadi sasaran dari kritisisme si sutradara, tanpa memahami terlebih dahulu “konteks yang jauh berada di luar film”-nya sendiri, yaitu hal-hal yang melatarbelakangi produksi dan preferensi politik Muratova pribadi, sejak sebelum hingga sesudah “masa reformasi” Gorbachev.

Tapi justru di situlah letak keunikan film ini: “ketiadaan” (dalam tanda petik) dari Ideologi (yaitu, Ideologi Politik, atau sistem kepercayaan politik, yang kebanyakan diwacanakan dengan afiks “-isme”, seperti “Komunisme”, “Sosialisme”, “Kapitalisme”, “Liberalisme”, “Nasionalisme”, dan lain sebagainya) di dalam Change of Fortune justru perlu dipahami sebagai sebuah cerminan yang menjelaskan bagaimana visi murni Muratova mengenai film: jika sinema harus ber-ideologi, yang ada mestinya hanyalah “ideologi sinema[tik]”. Dan ideologi sinema[tik] itu, jika memang ada, adalah ideologi yang bukan hanya sekadar membongkar Realitas (dengan “R” besar) yang kita “pahami” sehari-hari—sebuah Realitas yang mapan, yang telah didefinisikan (oleh rezim, oleh pengetahuan, oleh sistem), atau sebuah Realitas yang telah distereotipekan dan diideologisasi secara sosiopolitik—tetapi juga ideologi yang menghentikan, memutus, mengakhiri, dan bahkan lebih ekstrem, meniadakan Realitas tersebut. Pendek kalimat: ideologi sinema [adalah] menolak Realitas dengan “meniadakan” ideologi politik… secara radikal.

Tapi tentu, meniadakan ihwal “ideologi politik” di dalam narasi sebuah film bukanlah berarti sama dengan membuat film apolitis ataupun film nir-ideologi. Poinnya, ini adalah tentang menempat-ulangkan fungsi atau me-rekonseptualisasi politik dan ideologi secara berbeda, dan juga perihal tawaran alternatif bagi kontra-ideologi melalui suatu pendekatan estetik; tentang bagaimana politik adalah implementasi artistik dari pengetahuan puitik; dan juga sebaliknya, tentang bagaimana politik diimplementasikan secara artistik sebagai pengetahuan puitik. Sedangkan pengertian dari anti-ideologi dalam film-film Muratova, khususnya Change of Fortune, adalah seturut dengan maksud dari terma “anti-” yang melekat pada konsep itu sendiri, yaitu sebuah langkah atau proses berbahasa (secara sinematik) yang menyasar sintesa ideologis dengan cara yang juga puitik.

Bagaimana gagasan seperti itu terimplementasi di dalam Change of Fortune dalam kaitannya dengan filsafat “ornamentalisme sinematik”? Lantas, Ornamentalisme macam apakah—sebagaimana yang dimaksud oleh Muratova—yang sebenarnya terejawantahkan di dalam film ini? Bagaimanakah Ornamentalisme yang katanya mengafkir Realitas (dengan “R” besar) itu?

Bagaimana pula Ornamentalisme tersebut patut dikatakan matang di dalam Change of Fortune—sebagaimana keyakinan Iampolski yang sebagian besar pandangannya telah dan sedang menjadi acuan teoretik, konseptual, dan kontekstual kita dalam pembahasan di seri tulisan ini?

Mau tidak mau, kita mesti kembali berwisata ke dunia antah berantah tempat Maria dan Alexander menjalin suatu afair yang berbuah kematian; mendengar ritme percakapan musikal antara si terdakwa dengan orang-orang di sekitarnya; dan menyaksikan gejolak emosi para subjek (karakter) yang meledak-ledak dan susah ditebak; sembari terus mengikuti si advokat menelusuri labirin kisah di dalam pengakuan kliennya, sebagaimana ia juga mesti bersabar menelusuri labirin gang di sebuah kampung entah di mana demi mendapatkan sebuah surat yang konon adalah bukti utama skandal.

Hal-ihwal di ataslah yang akan coba kita diskusikan lebih jauh pada artikel berikutnya, sebagai penutup dari seri artikel ulasan tentang Peralihan Nasib-nya Muratova. []

Baca Bagian 01/05: “Yang Diperluas dari Surat: Struktur Naratif Peralihan Nasib
Baca Bagian 02/05: “Yang Diperluas dari Surat: Interpolasi dalam Peralihan Nasib
Baca Bagian 03/05: “Yang Diperluas dari Surat: Fantastisisme Peralihan Nasib
Baca Bagian 05/05: “Yang Diperluas dari Surat: Ornamentalisme Sinematik”

Subseri artikel berjudul “Yang Diperluas dari Surat” ini merupakan bagian dari seri artikel dalam Editorial 10, bertajuk “Materialisme, Ornamentalisme, dan Fantastisisme”, yang secara khusus mengulas karya-karya dan praktik sinematik Kira Muratova.

Endnotes[+]

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search