In Artikel

“Saya tertarik kepada kisah Sudarto, karena menceritakan secara jujur kisah manusia Indonesia dengan tidak jatuh menjadi filem propaganda yang murah” (Usmar Ismail)((Usmar Ismail, Filem Saya yang Pertama, Intisari No. 1, Thn. 1, 17 Agustus 1963, hal. 27.))

 

Pada sejarah kebudayaan modern Indonesia, filem merupakan bidang kebudayaan yang hampir tidak memiliki gesekan langsung dengan situasi politik. Tidak seperti kehadiran sastra di masa kolonial hingga periode kemerdekaan, dimana kita mengenal Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru dan Angkatan 45 yang merupakan tonggak-tonggak perkembangan sastra di Tanah Air. Begitu juga bidang seni lukis—seni lukis modern Indonesia—yang secara jelas terjadi gesekan sosial politik yang cukup keras pada saat kehadirannya dengan penyataan nasionalisme dan kebangsaan yang dibawa oleh S. Soedjonono dan kawan-kawan (PERSAGI 1937). Pada sejarah sinema Indonesia, kehadiran bioskop di Hindia Belanda pada awal abad ke 20 adalah sebagai bidang hiburan semata. Masa itu filem yang diputar adalah filem-filem aksi laga dari Amerika dan lain sebagainya. Meski pada tahun 1926, filem pertama produksi Hindia Belanda dimulai, persoalan kecenderungan filem sebagai barang hiburan, tidak pernah lepas. Produksi filem banyak didominasi kalangan para produser peranakan Tionghoa yang melihat filem hanya sebagai barang dagangan. Hal ini terus berlanjut hingga pasca kemerdekaan. Pada masa penjajahan Jepang, filem digunakan sebagai kepentingan propaganda sosial politik Jepang.

Terinspirasi oleh penggunaan filem sebagai alat kepentingan sosial politik pada masa penjajahan Jepang, Usmar Ismail mulai membangun cita-cita filem nasional Indonesia untuk lepas dari semangat filem sebagai barang komersial semata. Ia mendirikan Perfini (Perusahaan Filem Nasional Indonesia) bersamaan dengan hari pertama pengambilan gambar filem Darah dan Doa yaitu pada 30 Maret 1950. Hari itu kemudian secara resmi ditetapkan sebagai Hari Filem Nasional. Yang menarik, justru bukan karya filem produksi Perusahaan Filem Negara (PFN) yang dianggap sebagai awal kelahiran filem nasional. Padahal di tahun yang sama, PFN memproduksi filem Untuk Sang Merah Putih karya sutradara Mohammad Said((JB Kristanto, Katalog Film Indonesia 1926-2007, Jakarta 2007, hal.16.)).

darah-dan-doa-1950-del-juzar

 

Cerita Darah dan Doa: Pemaknaan Revolusi

Darah dan Doa ditulis Usmar berdasarkan naskah Sitor Situmorang, salah seorang tokoh penulis Angkatan 45. Jika diamati dari alur cerita dan dialog-dialog yang dihadirkan, semangat sastra yang membongkar “keakuan” cukup mewarnai dalam filem ini. Cerita berkisah tentang pergulatan seorang prajurit komandan salah satu batalyon Divisi Siliwangi, Kapten Soedarto (Del Juzar) pada masa revolusi. Kapten Soedarto memimpin batalyon-nya bersama Panglima Batalyon, Kapten Adam (R. Soetjipto), seorang prajurit sejati dan sangat disiplin. Karakter kedua sahabat ini sangat berbeda, Soedarto seorang yang menginginkan kebebasan dan sangat menempatkan sisi kemanusiaan di atas segala-galanya, sedangkan Adam adalah seorang yang sangat teguh pada aturan. Namun, kedua sahabat ini selalu bisa mengatasi perbedaan ini karena kedekatannya. Usmar Ismail menjadikan pertikaian yang tidak tampak antara Sudarto dan Adam sebagai bangunan cerita Darah dan Doa.

Pada awal cerita, filem dibuka dengan suara seorang narator, “Ini adalah kisah perjalan pasukan Tentara Nasional Indonesia. Juga kisah perjalan hidup manusia dalam revolusi (…) Kisah dimulai tentang darah, dan air mata. Cerita tentang harapan dan doa yang tidak putus-putusnya”. Gambar dibuka dengan pemandangan alam pegunungan. Para prajurit berlarian di antara bukit-bukit, jembatan. Kemudian, terlihat Soedarto dan Adam sedang memperhatikan satu arah dengan memegang teropong di tangannya. Dikisahkan peristiwa dalam filem ini adalah para prajurit yang berada di sekitar Sarangan, Jawa Tengah, setelah peristiwa Madiun terjadi.

Usmar Ismail memulai bangunan cerita dengan menghadirkan adegan Kapten Soedarto dengan beberapa prajurit. Dalam adegan tersebut, tergambar Soedarto sangat tidak setuju atas pembunuhan seseorang bernama Kasino oleh seorang prajurit.

01
Kapten Soedarto (Del Juzar) dan Kapten Adam (R. Soetjipto), dua sahabat dengan karakter dan prinsip berbeda yang menjadi tokoh sentral pada Darah dan Doa.

02
Lanskap menawan yang dihadirkan Usmar Ismail pada Darah dan Doa.

“Aku tidak mau tentara dipakai sebagai alat pembalasan dendam”, ucap Soedarto pada sang prajurit.

Setelah itu, Adam berkata pada Soedarto saat mereka berdua saja, “Aku kira kau berlebihan Bung Darto, ini revolusi. Teman bunuh teman, saudara bunuh saudara”.

“Kalau itu yang kau maksud dengan revolusi, kirim saja aku ke Jawa Barat, tahu (jelas-red) siapa yang aku hadapi”, jawab Soedarto.

Gambaran dialog ini secara jelas menghadirkan sosok Kapten Soedarto yang tidak menerima aksi kekerasan pada bangsa sendiri. Ketika ia mengatakan, “Kirim saja aku ke Jawa Barat”, Usmar Ismail dengan tegas memposisikan karakter Kapten Soedarto, karena “Jawa Barat” yang dimaksud adalah para pemberontak Darul Islam (DI) yang merupakan bangsanya sendiri. Pada masa itu, batalyon yang dipimpin Soedarto dan Adam (Divisi Siliwangi) tidak mendapat informasi yang jelas tentang pemberontak Darul Islam di Jawa Barat. Hal ini digambarkan oleh Usmar Ismail pada cerita berikutnya.

Selama di Serangan, Kapten Soedarto bertemu dengan Connie (Ella Bergen), seorang gadis Indo-Jerman, yang mengungsi di markas batalyon. Connie dan Soedarto menjadi akrab, yang membuat beberapa prajurit tidak suka. Kapten Adam akhirnya mengirim Connie ke Bandung, tempat dia berasal.

“Bung Darto, surat jalan untuk gadis Jerman itu telah selesai”, kata Adam pada suatu kesempatan.

“Surat Jalan? Kenapa?”, tanya Soedarto.

“Aku sendiri tak enak tentang omongan anak-anak tentang Bung dengan gadis Jerman itu”, kata Adam.

Akhirnya Surat Jalan itu diserahkan oleh Kapten Soedarto kepada Connie, yang terkejut menerima pengusirannya. Ia pun protes, “Aku bosan dengan alasan-alasan ini semua; Perjuangan, Revolusi. Tak ada alasan lebih baik untuk mengusir aku dari sini?”. Setelah melampiaskan protes pada situasi revolusi yang selalu menjadi alasan para prajurit, Connie pun menerima keadaannya. Connie meminta Soedarto untuk dapat mengunjunginya jika suatu saat ia ke Bandung.

Batalyon yang dipimpin Adam dan Soedarto diperintahkan untuk melakukan perjalan ke kawasan Barat, Jawa. Bagian ini dimulai dengan penjelasan tentang waktu, 18 Desember 1948. Kemudian narator mengantar cerita, “Demikianlah, dimulai perjalanan tentara yang beriwayat itu yang kemudian terkenal dengan The Long March, Perjalanan Jauh. Memang. Jauh, karena jarak yang harus ditempuh. Jauh, karena tak ada ketentuan apa yang akan menimpa diri, hari ini, besok, atau dimasa depan. Berkilometer panjangnya barisan yang tak bernama ini. Berangkat dengan satu keyakinan. memenuhi tugas, menjadikan tanah yang suci ini neraka bagi segala penjajah dan penindas.” Digambarkan para pejuang berjalan melintasi bukit, gunung dan padang menbentuk garis seperti ular dari kejauhan.

03
Dua sahabat Soedarto dan Adam bercerita tentang keluarga. Sebuah sisi lain dari tokoh Adam yang sangat teguh pada disiplin militer.

04
Kapten Soedarto dan Connie (Ella Bergen). Dua orang kesepian di tengah revolusi.

Selama dalam perjalanan terjadi berbagai peristiwa, Kapten Soedarto mendapatkan tambatan hati pada Suster Widya (Farida). Mereka bertemu saat Suster Widya membantu kelahiran anak dari Sersan Sumbara Karta. Pada Widya, Soedarto menemukan perasaan hatinya yang paling dalam. Pada saat yang sama, batalyon yang dipimpin Adam dan Soedarto sampai di sebuah kampung. Warga kampung menerima mereka dengan terbuka. Pak Lurah menjamu para prajurit dengan makan malam. Pada malam harinya warga kampung menyerbu ke rumah-rumah dimana para prajurit sedang istirahat. Adam dan Soedarto baru menyadari bahwa mereka diserang oleh Darul Islam. Dari pertempuran singkat itu, para pemberontak DI berhasil dilumpuhkan. Salah seorang pemimpin ditangkap dan langsung disidang yang dipimpin oleh Kapten Soedarto. Sidang memutuskan untuk mengeksekusi mati, dengan ditembak. Prajurit yang diperintah untuk mengeksekusi adalah Sersan Sumbara Karta. Setelah sidang, Sumbara Karta sangat tertekan. Widya dan seorang serdadu menghampirinya. Sumbara mengatakan bahwa orang yang akan dieksekusi itu adalah ayahnya. Cerita tentang bahwa orang yang akan dieksekusi mati itu adalah ayah Sersan Sumbara Karta, baru diketahui Kapten Soedarto dari Widya, saat ia berdebat dengan Adam tentang hubungannya dengan suster itu yang tidak disukai oleh para prajurit. Kapten Soedarto merasa sangat menyesal. Kemudian bagian ini ditutup dengan kalimat-kalimat narator, “Itulah yang dinamakan Adam revolusi. Revolusi yang mempersatukan makhluk yang tadinya bermusuhan. Revolusi yang menceraikan mereka yang berkasih-kasihan. Anak bunuh bapak. Saudara bunuh saudara. Hal-hal inilah yang sukar diterima oleh Soedarto.”

Selanjutnya adalah kisah serangan sangat dahsyat yang menimbulkan banyak korban dari pasukan Adam dan Soedarto. Pada serangan itu, Suster Widya gugur. Meski sempat dirawat, Kapten Adam akhirnya meninggal. Sebelum meninggal, Adam menyampaikan penyesalannya pada Soedarto karena telah mengirim laporan pada komando pusat di Yogyakarta tentang kegelisahan para prajurit selama ini atas hubungan asmara Soadarto. Setelah serangan itu, batalyon yang dipimpin Kapten Soedarto mengalami rasa frustrasi yang dalam. Kematian Widya sangat memukul perasaan Soedarto, sementara logistik yang tersedia sudah menipis. Hal inilah yang mendorong Kapten Soedarto pergi untuk meminta bantuan dari kawan-kawan revolusi di kota dan akhirnya menyerahkan pimpinan pasukan pada Letnan Leo.

05

06
Barisan tentara melakukan Long March hingga ‘mengular’ di bebukitan.

Di kota, Soedarto bertemu dengan para pejuang revolusi yang telah menyediakan logistik dan amunisi untuknya di sebuah hotel. Sebelum kembali ke hutan, Soedarto teringat pada janjinya pada Connie untuk mampir ke rumahnya jika ia datang ke Bandung. Ia pun datang ke rumah Connie. Di hotel, dua orang pejuang dengan gelisah menunggu Soedarto kembali, karena ada aturan jam malam di kota. Lewat tengah malam, Kapten Soedarto kembali ke hotel, dua orang pejuang yang menunggu sudah tidak ada di tempat dan logistik pun tidak ada. Tiba-tiba seorang tentara Belanda masuk ke dalam kamar lalu menangkap Kapten Soedarto.

Menjadi tawanan perang, membuat Kapten Soedarto sadar akan kesalahannya selama ini. Setelah beberapa lama, ia akhirnya dibebaskan. Ia mencoba untuk kembali ke kesatuannya. Namun, ia harus mengikuti sidang militer karena surat laporan sahabatnya, Kapten Adam kepada komando pusat di Yogyakarta. Narator bercerita, “Buat pertama kali dia berpikir tentang masa lalunya. Kepada Tuhan ia berkata, berilah aku kesempatan sekali lagi, memperbaiki kesalahan, hanya sekali lagi”. Soedarto akhirnya menerima kenyataan dipecat dari tentara. Ia menggelandang di kota, tanpa tujuan. Suatu ketika, ia bertemu dengan mantan prajuritnya. Sang prajurit yang pernah ia marahi karena membunuh Kasino di Serangan Jawa Tengah, sekarang telah hidup layak. Ia berpangkat kapten, sama seperti Soedarto sebelum dipecat. Sang prajurit mengatakan, inilah hasil perjuangan, fasilitas dan pandai-pandai menghadapi situasi.

07

08

Pada bagian akhir filem, Soedarto digambarkan sedang masuk sebuah ruangan. Duduk di belakang meja, sembari membuka-buka catatan hariannya. Dari situ muncul gambaran masa lalu yang ia lewatkan selama ini bersama Connie, Widya, Adam, dan pasukannya. Pada saat bersamaan terdengar suara pidato Presiden Soekarno tentang penyerahan kekuasan Belanda secara penuh ke Indonesia. Tiba-tiba seseorang datang menyelinap di kegelapan.

“Kau kenal aku?”, suara di kegelapan berkata.

“Aku rasa kita pernah bertemu”, jawab Soedarto.

“Serangan, Kasino dan aku adalah temannya. Nyawa dibayar dengan nyawa. Darah dibayar dengan darah”, ucap sosok misterius.

Soedarto membantah bahwa ia setuju dan menyuruh pasukannya untuk membunuh Kasino. Namun, sosok misterius itu tidak mau terima alasannya.

Soedarto mengatakan, “Lebih baik aku mati daripada membunuh saudaraku. Itu prinsip hidup. (…) Bunuhlah aku. Bagiku hidup ini tiada arti lagi. Barangkali aku yang tolol. Seketika, terdengar suara letusan. Soedarto ditembak.

“Jangan diulangi lagi. Biar aku saja”. Sang pejuang pun terjatuh. Sambil tetap memegang catatan hariannya dengan tangan penuh darah, ia pun mati.

 

Pengaruh Sastra Angkatan 45

Dari kisah yang disampaikan dalam Darah dan Doa, sangat jelas pengaruh konsep individu, kebebasan, humanisme dan eksistensialime dipakai dalam menjelaskan karakter yang ada dalam cerita. Cara ini juga yang banyak digunakan dalam karya-karya sastra Angkatan 45. Sitor Situmorang, sebagai penulis, adalah seorang tokoh utama dalam sastra Angkatan 45 selain yang paling dikenal oleh publik, Chairil Anwar. Konsep-konsep kebebasan individu dan humanisme yang jelas digambarkan oleh Usmar Ismail pada tokoh Kapten Soedarto. Tokoh ini digambarkan seseorang yang menempatkan posisi “kemanusiaan” di atas segala-galanya. Situasi revolusi hanya sebagai latar untuk menjelaskan kisah-kisah individu dalam filem ini.

Kisah tokoh-tokoh lainnya seperti Connie, Widya, Kapten Adam dan Sersan Sumbara Karta adalah kepingan penting yang menjelaskan dan mempertegas sisi kemanusian dalam filem Darah dan Doa. Pada kisah Sumbara Karta, digambarkan ia seorang prajurit yang patuh kepada perintah atasan. Sumbara Karta baru mendapatkan kelahiran bayi dari istrinya yang kemudian meninggal dunia karena sakit. Lalu, ia menghadapi cobaan yang lebih besar saat diperintahkan untuk menembak seorang terhukum, yaitu ayahnya sendiri. Usmar menghadirkan otentisitas pertarungan ideologi (seorang terhukum yang beda ideologi) Indonesia tidak selalu dengan entitas masyarakat saling berseberangan, atau sebuah konflik yang memiliki wilayah sosial yang jelas.

09

10

Connie dan Widya adalah dua tokoh perempuan revolusi yang digambarkan oleh Usmar dalam filem Darah dan Doa. Kedua perempuan ini, digambarkan tidak dapat diterima dalam suasana revolusi, karena persoalan-persoalan emosi dan perasaan harus dibuang jauh. Connie, sosok perempuan Indo-Jerman yang kehilangan identitas dirinya karena perubahan situasi sosial dan politik. Begitu juga Widya, yang kehilangan kesempatan untuk merasakan cinta dari seseorang yang ia cintai, karena revolusi tidak menghendakinya.

Pada tokoh Kapten Adam, meski digambarkan sebagai sosok seorang pemimpin dan prajurit disiplin, namun pada bagian tertentu Usmar Ismail selalu menempatkan Adam sebagai sosok manusia biasa. Suatu ketika Adam memperlihatkan surat dan foto keluarganya pada sahabatnya, Soedarto. Adam digambarkan sebagai sosok yang sangat sayang pada keluarga. Pada saat pertengkaran dengan sahabatnya soal hubungan Soedarto dengan Widya, Adam mengatakan, “Sebagai (Kapten) Soedarto, aku tidak peduli dengan apa yang kau lakukan. Tapi sebagai sahabat, aku wajib mengingatkan engkau”.

sangant jelas filem Darah dan Doa adalah sebuah propaganda perjuanngan militer, tentang pejuang-pejuang yang gugur di masa revolusi. Narasi yang dikisahkan oleh narator, yang menghubungkan satu cerita ke cerita lainnya, selalu ada “bumbu-bumbu” perjuangan dan revolusi. Namun dengan sangat pandai, Usmar mengemasnya menjadi bukan sekedar filem propaganda murahan yang sekedar menonjolkan kisah heroisme. Justru Darah dan Doa menjadi filem tentang eksistensi manusia dalam revolusi.

Realisme Indonesia Awal

Beberapa kalangan banyak menanggap pengaruh Neorealisme Italia sangat besar pada karya-karya awal Usmar Ismail yang bertema revolusi. Di tahun 1986, Rosihan Anwar mengatakan pengaruh Neorealisme Italia tersebut dapat dibaca berdasarkan penggunaan aktor non-profesional pada filem Darah dan Doa. Bagi Rosihan, kenyataan yang sama pada penggunaan aktor non-profesional pada filem-filem Neorealisme Italia adalah “tanda” pengaruh yang tak bisa diabaikan begitu saja((Rosihan Anwar, Pengantar Pada Pertunjukkan Filem Retrospektif Usmar Ismail di Festival Filem Indonesia 1986: Darah dan Doa (Long March Siliwangi).”Darah dan Doa berdasarkan cerita pendek Sitor Sitomorang; skenarionya ditulis oleh Usmar Ismail. Aktor aktrisnya ialah pendatang baru yang tidak punya pengalaman di muka kamera seperti Del Yuzar, Awaludin (bekas Kapolri), Sutjipto, Aedy Moward. Pada masa itu sineas Italia seperti Roberto Rosselini, Vittorio de Sica dan film-film seperti Roma Kota Terbuka (Roma, Città Aperta), Pencuri Sepeda (Ladri di Biciclette), dengan aliran-aliran neorealisme nya sedang menarik sekali. Usmar pun terpengaruh dibuatnya dalam memilih para pemain Darah dan Doa.”)). Tentu banyak konteks yang berbeda, walau secara artistik ada situasi kesejajaran antara Neorealisme Italia dengan karya-karya Usmar Ismail tentang Revolusi. Namun, Usmar memiliki pengalaman yang justru jauh berbeda dengan realisme (dalam hal ini aktor) dalam filem jika disandingkan dengan Neorealisme Italia. Kebutuhan aktor non-profesional bukan merupakan otentisitas seperti pada elemen realisme pada Neorealisme Italia. Pada Darah dan Doa, penggunaan aktor non-profesional lebih kepada persoalan-persoalan “teknis”, seperti biaya dan ketersediaan aktor profesional pada masa itu. Sedangkan pada karya-karya Neorealisme Italia, merupakan bagian dari persoalan “artistik”, yaitu pada kebutuhan otentisitas lokasi perekaman gambar. Hal ini juga dipicu oleh kehancuran studio-studio filem pasca Perang Dunia II yang menyebabkan sarana studio tidak bisa digunakan dalam memproduksi filem. Jadi, persoalan penggunaan aktor non-profesional pada dua sisi ini sangat berbeda. Pada karya Usmar Ismail, otentisitas sejarah (ruang dan waktu) yang dihadirkan oleh para aktor terpinggirkan. Hal ini sangat jelas tergambar pada filem Darah dan Doa.

Darah dan Doa mengambil bingkai cerita tentang kisah perjalan panjang (long march) pasukan Divisi Siliwangi yang bergerak ke arah kawasan barat Jawa. Dari cara Usmar mengemas filem ini, kisah revolusi cukup menjadi beban politik bagi Usmar karena kebutuhan otentisitas. Kebutuhan itu, atas dasar kepentingan dokumentatif peristiwa-peristiwa dalam perspektif militer dan para pejuang revolusi. Tentu beban ini muncul karena peran dari Divisi Siliwangi yang memiliki kepentingan “politis” atas jasa dan perjuangan para serdadunya saat revolusi. Divisi Siliwangi menjadi pendukung utama produksi filem Darah dan Doa. Namun Usmar Ismail sebagai seorang sutradara memilih cara yang berbeda dari apa yang dibayangkan oleh para pendukung produksi filem ini. Usmar justru berusaha untuk memaknai filem sebagai “seni” yang make believe. Sutradara ini menganggap filem adalah seni, yang meyakinkan orang terhadap realitas baru yang dihadirkan pada layar (sinema). Secara gamblang Usmar mengatakan dalam tulisannya pada tahun 1963, “Salah satu kesalahan saya sebagai orang baru ialah bahwa saya ingin segala-galanya otentik, seperti aslinya dan di tempat aslinya. Tambah-tambah lagi para penasihat saya yang resmi dan tidak resmi juga mendorong saya, supaya jangan menyimpang dari kejadian-kejadian yang sebenarnya. Hanyalah perlahan-lahan saya mengerti, bahwa filem itu adalah betul-betul seni “make believe”, membuat orang percaya tentang sesuatu, membuat kenyataan baru dari yang ada. Karena, banyak kali yang dibuat di tempat lain atau di studio misalnya, lebih meyakinkan dari jika dibuat di tempat asalnya”(( Usmar Ismail, Ibid, hal. 123.)). Dari sini tergambar jelas di mana posisi Usmar jika dikaitkan dengan cara pandang pengaruh Neorealisme Italia pada karya-karyanya.

11

Pada Darah dan Doa, aktor-aktor non-profesional didapatkan oleh Usmar dari iklan di sebuah surat kabar. Merujuk pada pernyataan Rosihan Anwar pada tahun 1986 di atas, yang mengatakan elemen aktor non-profesional ini adalah pengaruh Neorealisme Italia pada karya Usmar Ismail. Hal ini mengingatkan kita untuk membandingkan Darah dan Doa dengan karya Roberto Rosselini,  Paisà (1946) yang memiliki setting sama. Filem Paisà juga menggunakan setting perang seperti Darah dan Doa. Namun dua filem ini memiliki pendekatan yang berbeda dalam penggunaan aktor non-profesional. Pada Paisà, Rosselini bermain dengan montase dan menghadirkan filem berita (newsreel) untuk mengkonstruksi filem. Dalam beberapa bagian pada filem ini, adegan Perang Dunia II (invasi Sekutu) oleh Rosselini dihadirkan dengan sangat dingin. Para aktor sepertinya dihadirkan hanya sebagai pelengkap dalam membangun dramatisasi filem. Berbeda dengan Darah dan Doa, Usmar Ismail berusaha untuk menghadirkan aktor non-profesional untuk berakting dengan kemampuan mereka yang terbatas.

Ekperimentasi Bahasa Filem yang Masih Lemah

Darah dan Doa diproduksi oleh Usmar Ismail sebagai usaha untuk aktualisasi ke-Indonesia-an dalam filem. Namun, usaha-usaha itu tidak didukung oleh kesiapan yang cukup pada pengetahuan “bahasa filem” dan tenaga pendukungnya. Filem ini penuh ambisi untuk menghadirkan ke-Indonesia-an dengan struktur filem yang tidak biasa. Usmar mencoba mengatasi keterbatasan kemampuan para pemain non-profesional dan para pekerjanya dengan menyederhanakan berbagai adegan. Akan tetapi, pada banyak bagian, sutradara secara jelas memasukkan permainan montase tidak biasa, seperti penceritaan beberapa tokoh dalam satu adegan.

Pada bagian awal filem, gambar lanskap sangat mempesona. Shot-shot panjang yang indah dihadirkan ke penonton dengan menarik. Tapi shot-shot indah itu menjadi tidak berkesan, ketika Usmar memasukan gambaran dua tokoh utama, Soedarto dan Adam yang sedang melihat ke satu arah sambil memegang teropong. Shot ini sangat menggangu, karena hanya menjadi tempelan untuk mendeskripsikan secara visual tentang dua tokoh yang dikisahkan oleh narator. Usmar sepertinya masih terjebak pada penggambaran linear sebagai prolog dalam memperkenalkan tokoh yang hadir dalam filem. Ada perbedaan yang sangat jelas dalam atmosfer yang ia hadirkan antara gambar-gambar pemandangan dengan latar dua tokoh yang berdiri di bawah pohon. Yang paling celaka adalah, ketika Usmar memasukkan gambar-gambar prajurit yang sedang berlari (medium shot) di jembatan, sehingga merusak logika gambar dalam adegan ini.

12
Kapten Soedarto dan Suster Widya (Farida). Saling kasih, namun hilang ditelan revolusi.

13
Sersan Sumbara Karta melaksanakan eksekusi tembak mati pada Ayahnya, karena menjadi anggota DI/TII.

14
Sersan Sumbara Karta.

Dalam membangun alur cerita, Darah dan Doa bertumpu pada “pengantar narator” di tiap perpindahan adegan. Di bagian awal, adegan interogasi pada salah seorang prajurit yang dilakukan oleh Kapten Soedarto dan Kapten Adam dihadirkan, menjadi pengantar dua karakter yang berbeda ini dalam menilai suasana revolusi. Adegan ini dihadirkan secara padat dan langsung pada inti persoalan, pembunuhan masyarakat sipil. Soedarto digambarkan sangat keras pada persoalan kemanusiaan itu, namun Adam bisa menerima karena keadaan dalam suasana revolusi. Adegan ini ditutup dengan menampilkan sisi kemanusian Adam yang memamerkan surat dan foto keluarganya pada Soedarto. Adegan langsung berpindah ke sebuah rumah dengan beberapa perempuan di dalamnya. Di sini, Usmar juga langsung masuk ke inti persoalan, kehadiran gadis Indo-Jerman di antara para perempuan desa. Pada dua adegan ini, Usmar tidak berusaha menemukan bahasa visual yang memiliki keterkaitan lebih antara satu dan lainnya. Detail-detail pada dua adegan ini tidak ada. Semua dihadirkan dengan shot-shot yang sangat sederhana. Tracking yang digunakan pada adegan interogasi prajurit juga tidak memberikan dramatisasi yang memadai.

Adegan perang dan serangan mortir musuh juga dibuat sangat sederhana. Usmar tidak berhasil membangun ketegangan dari suasana tembak menembak dan serangan mortir musuh. Para tentara hanya disuruh untuk mengendap-endap di balik pohon dan semak-semak. Yang dominan hanyalah suara tembakan dan musik yang sangat kacau. Ada juga ibu-ibu yang sepertinya tegang, namun tidak menghasilkan ketegangan suasana. Ini mungkin karena kegagalan Usmar untuk menghadirkan aktor non-profesional itu dengan lebih rileks. Mereka sepertinya berusaha untuk berakting, namun gagal. Kekuatan jumlah pemain yang banyak tidak dapat digunakan oleh Usmar dalam membangun dramatisasi, karena ia sepertinya tidak bisa membuat koreografi kumpulan pemain yang banyak dengan koreografi kamera.

15

16

Untuk mengantar kehadiran sebuah karakter dalam cerita, Usmar perlu mendapat apresiasi. Ia selalu menghadirkan karakter-karakter itu pada beberapa adegan sebelumnya. Sehingga, ketika kisah pada sebuah adegan berfokus pada sebuah karakter, hal itu terasa ‘normal’. Inilah cikal bakal karakteristik filem-filem Usmar selanjutnya. Ia selalu menghadirkan karakter-karakter itu lebur dalam peristiwa-peristiwa dalam ceritanya. Terkadang penonton tidak menyadari bahwa tokoh tertentu telah dihadirkan sebelumnya. Teknik montase ini cukup jenial, karena kaitan satu peristiwa atau satu cerita dengan lainnya tidak terpisah. Meski fokus persoalannya kadang berbeda.

Peran narator pada Darah dan Doa, juga sangat dominan. Ia menjadi pengantar dalam membangun dramatisasi filem. Usmar menggunakan kalimat-kalimat tidak langsung dalam narasi ini. Ia menggunakan teknik penceritaan seperti tonil-tonil dalam teater rakyat. Namun, terkadang kalimat-kalimat yang disampaikan oleh narator terasa berlebihan. Usmar sepertinya terjebak dalam bangunan cerita yang menghadirkan narator sebagai penjaga konsistensi cerita. Padahal, dalam beberapa adegan, bangunan cerita sudah terbangun dari shot-shot yang menarik. Saat diisi oleh suara narator, shot-shot yang menarik itu menjadi hambar.

Salah satu elemen filem Darah dan Doa yang tidak tergarap dengan baik adalah musik. Hampir di seluruh adegan selalu diisi dengan musik yang berubah-ubah. Pada bagian-bagian tertentu, Usmar menempatkan musik-musik khusus, seperti pada adegan Soedarto dengan perempuan-perempuannya, selalu menggunakan musik yang melankolis, musik Jawa. Namun, hal tidak diikuti dengan konsistensi yang jelas. Usmar sepertinya tidak terlalu memperhatikan peran musik yang sering mereduksi drama dalam filemnya ini. Pada adegan perang dan para serdadu, ia menghadirkan musik latar march, yang sering tidak nyambung dengan suasana yang digambarkan. Terlihat jelas Usmar Ismail masih meraba dalam penggunaan musik dalam filemnya. Yang menarik adalah, pada filem-filem Usmar selanjutnya, musik jadi bagian penting. Hampir seluruh filemnya adalah filem musikal. Sutradara ini akhirnya menemukan penggunaan musik sebagai pengantar atau “narator” dalam filem-filem sesudah Darah dan Doa.

17

Walau banyak kekurangan, Darah dan Doa bisa dianggap sebagai ekperimentasi visual yang cukup perlu mendapat apresiasi. Usmar secara berani menggunakan puluhan atau bahkan ratusan pemain pendukung dalam menghadirkan suasana long march. Gambar-gambar long shot pemandangan dengan barisan para pejuang melintasi bukit merupakan salah satu kekuatan visual yang dihadirkan dalam filem ini. Disadari ataupun tidak, gambar-gambar ini adalah salah satu yang terbaik dari era filem-filem awal di Indonesia.

Sebagai filem dengan latar sejarah revolusi Indonesia, Darah dan Doa dianggap oleh Armijn Pane, cukup memiliki keberanian((Armijn Pane, Enam Jam di Jogja, Mimbar Indonesia, No. 19, 12 Mei 1951, hal. 22 “Usmar Ismail berani memberi isi kepada The Long March: seorang opsir (tentara) yang tidak dapat menahan hatinya, baiklah keluar tentara; cadaver-disiplin juga tidak baik; dendam janganlah dibalas dengan dendam; akhir cerita, di bawa kita kepada suatu sequence tentang opsir yang lemah, tetapi bertanggung jawab didalam salah satu kejadian di Madiun, opsir itu ditembak mati oleh opsir dari kerusuhan di Madiun itu (…) Di dalam Darah dan Doa, kita bertemu dengan sifat-sifat feature, dapat dikatakan, feature itu ditopangkan kepada kejadian-kejadian dokumenter.”)). Sebagai kisah tentang manusia Indonesia di tengah kancah revolusi kemerdekaan, Darah dan Doa justru menghadirkan segi-segi ‘feature’ atau penokohan, tentang kisah pergulatan manusia dalam revolusi Indonesia. Sedangkan sisi dokumenter yang menarasikan sejarah dalam Darah dan Doa, hanya dijadikan perekat dalam sekuen filem. Visi dan teknik pengisahan pada Darah dan Doa, yang bercerita tentang prajurit Soedarto sebagai manusia Indonesia, menjadi semacam “penghidupan” seperti yang banyak dituangkan dalam gaya-gaya sastra 45.

Darah dan Doa, Kemandirian Filem Nasional

Darah dan Doa (1950), bisa dianggap sebagai tonggak awal kelahiran filem Indonesia dalam cara pandang kebangsaan dan nasionalisme Indonesia. Hubungan ekonomi politik sebagai kemandirian dalam proses produksi filem Darah dan Doa menjadi sangat penting dalam memahami nasionalisme yang termuat dalam filem ini. Seperti yang telah sering disebutkan, sebelum filem Usmar Ismail ini, produksi filem di Indonesia selalu ditukangi oleh perusahaan filem peranakan Tionghoa dan peranakan Belanda. Bahkan, jauh di kemudian hari pada tahun 1997, Menteri Penerangan Harmoko (sebelum ia diangkat menjadi Ketua MPR-DPR RI) menganggap filem Darah dan Doa sebagai identitas kelahiran filem nasional. Ia menyandingkan Darah dan Doa dengan 2 karya besar dari Rusia dan Amerika, yakni Battleship of Potemkin (Sergei Eisenstein) dan The Birth of A Nation (D. W. Griffith)((Harmoko pada Sambutan Menteri Penerangan RI, pada peringatan, 25 Tahun wafatnya Usmar Ismail, pada tanggal 25 Januari 1997, di Balai Kota DKI Jakarta.)). Sebagai identitas nasional, Darah dan Doa bisa dianggap sebanding dengan dua nama besar itu karena muatan politik nasionalnya sebagai tema filem.

Nasionalisme pada Darah dan Doa setidaknya mengacu pada dua hal penting, yaitu kelahiran filem yang diproduksi oleh perusahaan filem nasional Perfini (Perusahaan Filem Nasional Indonesia) dan kelahiran tema filem Indonesia yang berbasiskan semangat nasional kebangsaan. Dari dua hal itu, persoalan ekonomi dalam konteks kebudayaan memegang hal penentu terhadap pemaknaan nasionalisme yang dilekatkan oleh beberapa kalangan terhadap filem Darah dan Doa. Kemampuan secara mandiri memproduksi dalam filem; produksi (sumber dana), pemain, distribusi dan target penonton menjadikan filem Usmar ini memiliki ‘perangkat’ yang bisa dilihat posisi ke-Indonesia-annya. Sebenarnya dalam konteks tema yang mengacu pada persoalan nasionalisme, filem Kartinah (1940) karya Anjas Asmara sudah lebih dulu membicarakannya. Semangat nasionalisme ini jelas tergambar dari judul Kartinah yang diambil dari tokoh perempuan Indonesia, Kartini.

18

Pada tahun 1949, Usmar Ismail telah menyutradarai dua filem yaitu Harta Karun (Si Bachil) dan Citra, yang diproduksi oleh perusahaan filem peranakan Belanda, South Pacific Film Cooperation (SPFC). Menurut Usmar Ismail, ia merasakan tidak ada kebebasan ekspresi dalam menuangkan gagasan-gagasan filem secara mandiri saat bekerja untuk perusahaan tersebut(( Usmar Ismail, Ibid, hal.121 “Sebelumnya saya telah membuat dua buah filem untuk maskapai Belanda, ‘South Pasific Film Cooperation’, yaitu film-film Harta Karun, berdasarkan karangan Moliere (Si Bachil) dan Citra menurut sebuah lakon sandiwara yang saya tulis tahun 1943. Tetapi saya tak dapat mengatakan, bahwa kedua film itu adalah film saya. Karena pada waktu penulisan dan pembuatannya, saya banyak sekali harus menerima petunjuk-petunjuk yang tak terlalu saya setujui dari pihak produser. Meskipun Citra mendapat sambutan yang baik dari pihak pers, terus terang film itu terlalu banyak mengingatkan saya kepada ikatan-ikatan yang saya rasakan sebagai pengekangan terhadap daya kreatif saya.”)). Usaha kemandirian dalam produksi, akhirnya dapat diwujudkan dengan berdirinya Perfini. Perusahan filem ini menjadi jembatan dalam menghadapi persoalan ekonomi produksi filem. Usmar Ismail secara tegas mengatakan Darah dan Doa sebagai tonggak awal kemandirian di bidang filem, “Buat pertama kali sebuah filem diselesaikan seluruhnya baik secara teknis-kreatif, maupun secara pertanggung jawab ekonomis, oleh anak-anak Indonesia. Dan buat pertama kali pula filem Indonesia mempersoalkan kejadian-kejadian yang nasional sifatnya”((Usmar Ismail, Filem Saya yang Pertama, Intisari, No. 1, Thn. 1, 17 Agustus 1963, hal.121)). Melihat pada persoalan-persoalan kebangsaan pasca Revolusi Kemerdekaan, kemandirian ekonomi dalam produksi ini dapat dilihat sebagai usaha menghadirkan kesadaran pada kemandirian kebudayaan (dalam perspektif modernitas) masyarakat Indonesia yang dibawa oleh cita-cita filem nasional oleh Usmar Ismail.

Semangat kemandirian filem yang digagas oleh Usmar melalui produksi Darah dan Doa, sepertinya tidak bergayung-sambut dengan perusahaan filem milik negara, Perusahaan Filem Negara (PFN). Seperti yang sudah disebutkan di atas, di tahun yang sama (1950), PFN juga memproduksi filem propaganda dengan tema perjuangan gerilya. Filem yang disutradarai oleh Mohammad Said itu berjudu Untuk Sang Merah-Putih. Mohammad Said pada filem ini juga dibantu oleh dua tenaga profesional asal Belanda, yaitu A. Schilling dan Denningholf-Stelling. Bagi Usmar, kolaborasi Indonesia-Belanda ini adalah berasal dari anasir-anasir filem modern Amerika((Usmar Ismail, Ibid, hal. 32. “Sesudah itu SPFC, melancarkan rentetan produksi yang lebih banyak didasarkan atas perhitungan komersil, dengan Schilling seorang bekas Letnan KNIL sebagai regisseur (sutradara), meskipun keluar ke masyarakat Indonesia ditonjolkan figuur Moh. Said H.J. seorang pemain yang sudah banyak makan garam dalam dunia sandiwara keliling. Film-film SPFC dalam tingkatan ini tidaklah dapat dikatakan seratus persen mengekor pada resep studio-studio Tionghoa, terutama kedua tokoh yang pegang peranan penting dalam pembikinan film-film yaitu Stelling dan Schilling belum ada pengalaman dari jurusan itu dan mereka pun lebih banyak berpegang kepada film-film Amerika Modern”.)). Pada waktu yang berdekatan, terjadi peristiwa pengalihan infrastruktur SPFC (South Pacific Film Company)—yang merupakan perusahan filem Belanda— kepada PFN yang merupakan hasil kesepakatan proses politik nasionalisasi aset-aset pemerintah kolonial Belanda. Bisa jadi dalam proses pengalihan ini terjadi negosiasi tentang kerjasama produksi antara SPFC dan PFN. Hal ini tentu memiliki dampak terhadap perspektif ideologi dalam produksi filem dan dikritik sangat keras oleh Usmar Ismail.

19

Proses produksi filem yang dilakukan oleh Perfini berbanding terbalik dengan SPFC. Darah dan Doa diproduksi dengan keterbatasan modal dan peralatan. Selain itu, beberapa teman sejawat Usmar yang dianggap berpengalaman di bidang filem, tidak mau terlibat dalam filem tersebut. Hanya penata kamera (cameraman), Max Tera, yang punya pengalaman dalam produksi filem. Ia dengan penuh semangat membantu Usmar menggarap tata kamera untuk filem Darah dan Doa. Posisi perekam dan penata suara (soundman) dilakukan oleh Sjawal Muchtaruddin yang hanya memiliki pengalaman bidang radio. Selain itu, Basuki Resobowo—yang didaulat menjadi penata artistik—hanya memiliki pengalaman di bidang teater dan panggung. Bermodalkan semangat, serta trial and error, Darah dan Doa dihadirkan Usmar sebagai tonggak cita-cita filem nasional.

Meski Darah dan Doa memiliki cita-cita luhur tentang ke-Indonesia-an, filem ini juga mengalami kendala distribusi. Pada masa itu, ada banyak kalangan memprotes filem ini, bahkan melarang pemutarannya. Pemutaran perdana Darah dan Doa dilakukan di Istana Negara disaksikan oleh Presiden Indonesia, Soekarno. Namun, filem ini juga mengalami sensor oleh beberapa kalangan yang keberatan terhadap muatan filem secara politis. Beberapa kelompok politik kala itu, menganggap bahwa narasi Darah dan Doa yang lebih banyak menekankan peran Divisi Militer Siliwangi dalam revolusi Indonesia pasca kemerdekaan. Tentu ini terkait dengan peran Divisi Siliwangi yang menjadi salah satu produser Darah dan Doa. Kritik lainnya adalah filem ini hanya mengisahkan eksistensi manusia dalam kancah revolusi Indonesia, bukan pejuang dari segi kepahlawanan. Bagi Usmar, pilihan untuk menitikberatkan manusia pejuang dan eksistensi manusia, tentu harus menghadirkan sisi gelap para pejuang itu. Termasuk juga konflik horizontal yang terjadi di antara sesama pejuang.

20

21

Sebagai catatan sejarah kebudayaan di Indonesia, kehadiran Darah dan Doa tidak bisa begitu saja diabaikan. Kekuatan filem yang merekam secara visual dan suara tidak dapat digantikan oleh dokumentasi lainnya. Sifat dokumentatif dari filem inilah yang perlu mendapat perhatian serius, selain cerita, bahasa filem dan temuan-temuan penggunaan teknologi dalam seni. Usaha Usmar Ismail yang merekam peristiwa revolusi meski dalam format fiksi pada Darah dan Doa, menemukan konteksnya saat dilihat dari tahun produksinya, 1950. Hanya berselang satu tahun saat revolusi kemerdekan di Indonesia usai. Sehingga sifat dokumentatif peristiwa dan suasana kala itu, sangat kuat dan penting bagi sejarah politik dan kebudayaan Indonesia.

Meski negara telah mengakui Darah dan Doa sebagai tonggak kelahiran filem nasional, dengan mengukuhkan hari pertama pengambilan gambar filem ini, 1 Maret sebagai Hari Film Nasional, namun perlakuan terhadap filem ini sangat tidak baik. Saat Forum Lenteng memutar Darah dan Doa untuk keperluan pembacaan dalam tulisan ini, kualitas tayangan sangat buruk. Kondisi suara dan gambar sudah sangat memprihatinkan. Yang paling menyedihkan adalah akses untuk menonton filem ini sangat sulit didapatkan. Forum Lenteng masih beruntung mendapatkan preview copy dari Kineforum Dewan Kesenian Jakarta, yang itupun didapat dari master copy dari tayangan sebuah stasiun televisi swasta. Harus ada usaha dari berbagai pihak untuk menyelamatkan arsip kebudayaan yang sangat penting ini. Semoga hasil pembacaan ini bermanfaat.


*Tulisan ini adalah rangkuman dari hasil diskusi dalam Program “Kami Membaca Usmar Ismail” yang digagas oleh Forum Lenteng, Jurnal Footage dan Kineforum Dewan Kesenian Jakarta dalam rangka Bulan Film Nasional (Maret 2011). Program workshop penulisan ini merupakan salah satu usaha Forum Lenteng untuk membaca para founding father dunia perfileman Indonesia yang hingga saat ini masih sangat sulit untuk mendapatkan sumber-sumber bacaan dan filemnya. Ada 7 filem Usmar Ismail yang dapat diakses oleh Forum Lenteng atas bantuan Kineforum. Tulisan yang dihasilkan dari 7 filem ini akan dimuat secara berkala di Jurnal Footage. Pada workshopini partisipan adalah anggota Forum Lenteng, yaitu Bagasworo Aryaningtyas, Mira Febri Mellya, Manshur Zikri, Syaiful Anwar, Dian Komala, dan Akbar Yumni, dengan fasilitator Hafiz.

 

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search