In Artikel

TUJUH TAHUN SETELAH fase provincial melodramas-nya, Kira Muratova masih berkutat dengan tema cerita cinta segitiga. Melalui Getting to Know the Big, Wide World (judul Rusianya, Познавая белый свет, malah berarti “Knowing the White Light”) yang ia buat pada tahun 1978, Muratova (yang telah berusia 44 tahun) menghadirkan kisah percintaan tersebut di tengah-tengah hamparan lanskap sebuah situs pembangunan kompleks apartemen yang tak teridentifikasi. Merupakan film berwarna pertama yang ia buat, konon inilah film yang Muratova sebut “paling ia senangi” di antara film-filmnya yang lain; sebuah film dengan konstruksi ganjil, yang mengontraskan identitas “sosio-spasial Soviet” kala itu—yang kian mengalami kemerosotan ekonomi dalam keuzuran Era Stagnasi negara adidaya Blok Timur—dengan “realitas terteatrikalisasi”—suatu kenyataan dalam kehidupan bernegara masyarakat Rusia yang di dalamnya individual dilenyapkan atau mesti bergantung pada spektakularistas perayaan massal1 yang dipaksakan di bawah panji-panji sloganistik “periode sosialisme maju”-nya Brezhnev.

Secara terang-terangan menerapkan eksperimen aneh (grotesque) pada plot cinta romantis, yang dikombinasi dengan eksperimen visual penuh maksud sebagai reaksi terhadap estetika yang diakui negara, banyak pengamat berpendapat bahwa Getting to Know the Big, Wide World adalah lompatan pertama Muratova (setelah The Long Farewell) untuk menjadi semakin radikal terhadap Realisme Sosialis. Agaknya, film ini bisa dilihat pula sebagai maneuver penting Muratova yang, satu dekade lebih awal, mengamini puitika pesimisme sebagai muslihat estetik demi mengempang dominasi “budaya resmi Soviet”. Improvisasi naratif yang dilakukan Muratova pada film ini2 seakan menyambut kedatangan gelombang chernukha yang, nantinya, berkembang signifikan di penghujung era Perestroika dan menjadi kecenderungan khas gerakan-gerakan kultural era itu yang dihantui slogan politis Glasnost; suatu massa di kala pergeseran nilai dan perjuangan ideologis terkait warisan negara dan arah masa depan Soviet menjadi isu yang tak terelakkan untuk selalu ditelanjangi para seniman, sastrawan, jurnalis, dan tentunya, pembuat film lewat karya-karya yang mengeksplorasi isu-isu tabu.

Sebagaimana yang akan kita coba uraikan nanti, Getting to Know the Big, Wide World merupakan wahana imajinasi yang menarik untuk semakin memahami visi-misi Muratova yang terus bergerak mendekati dan menemukan bentuk filsafat Ornamentalisme, yaitu pendekatan materialisme khas Muratova terhadap dan dalam sinema, yang menentukan upaya penggambaran aktualitas sosial, pada satu sisi, dan upaya pengungkapan cita-cita emansipatif, pada sisi yang lain. Konsepsi materialisme ini, dalam kasus praxis-nya Muratova terkonstruksi dengan jelas di dalam struktur filmnya tanpa ekses-ekses abstrak yang mengernyitkan jidat. Barangkali memang terkesan eksentrik saat pertama kali menontonnya, namun eksperimen Muratova di dalam Getting to Know the Big, Wide World pada dasarnya bukanlah semata penampakan artistik yang dianeh-anehkan, dan menurut saya, tidak pula “se-absurd” label “terlalu metaforis” yang dilekatkan para pencelanya.

***

Film ini mengisahkan cinta segitiga antara seorang perempuan yang berhati tulus, bernama Lyuba (diperankan oleh Nina Ruslanova), dengan dua laki-laki yang punya karakter saling berseberangan, yaitu si kasar, arogan, dan rada brengsek—Koyla (diperankan oleh Alexei Zharkov)—dan si canggung, pemalu, dan penggemar susu—Misha (diperankan oleh Sergei Popov).

Film diawali dengan adegan Koyla yang bergegas di atas jalanan berlumpur, mengejar sebuah truk yang melintas. Saat Koyla berhasil bertengger di pintu truk itu dan berhadapan dengan pengemudinya, Misha, dia memohon bantuan untuk menarik sebuah mobil Zhiguli3 yang terjebak di tengah jalanan tanah yang becek. Saat truk mendekat ke lokasi Zhiguli, sekelebat kita melihat sosok perempuan, Lyuba, yang bergaun biru dan memegang sebuah balon kuning, berdiri di atas gundukan tanah. Lalu, sementara shot berganti-ganti memperlihatkan potret Misha dan aktivitas beberapa orang di lokasi yang tampak sedang memikirkan cara menggeret kendaraan yang terjebak lumpur itu, kita mendengar sulih suara perempuan (suara Lyuba) mengujarkan kalimat yang, nantinya di sepanjang film, akan diulang sebanyak tiga kali:

“Betapa besar suka cita ini. Kita sedang membangun sebuah pekarangan yang sangat luas. Kita sedang membangun sebuah kota raksasa. Rumah-rumahnya bisa besar, bisa kecil, tapi itu bukanlah soal. Yang terpenting di dunia ini ialah kebahagiaan sejati. Orang tidak membuatnya di pabrik-pabrik, bahkan yang terbaik sekalipun. Dan jika kebetulan kau bahagia mencintai seseorang, kau tak butuh yang lainnya.”

Tokoh Lyuba lantas diperkenalkan dari dekat saat Misha menyapanya dan bercerita bahwa ia teringat seorang perempuan yang perawakannya mirip Lyuba jika dilihat dari belakang. Di adegan ini pula kita kemudian menjadi paham bahwa ada hubungan khusus antara Koyla dan Lyuba.

Setelah Zhiguli berhasil ditarik dengan truk, kita menyimak dialog yang menyiratkan bahwa Koyla dan Lyuba sedang terburu-buru menuju sebuah lokasi. Misha pun menawarkan tumpangan, dan jadilah kemudian film ini berlanjut menceritakan perkembangan interaksi dan perubahan perasaan yang terjadi di antara ketiga tokoh tersebut. Dimulai dari dalam mobil truk di bagian kemudi yang sempit, kita semakin diperkenalkan dengan karakter Koyla yang kasar serta bentuk hubungannya yang tak harmonis dengan Lyuba, serta watak pendiam Misha yang sedikit memancing rasa penasaran si tokoh perempuan. Kemudian, sekuen berpindah ke gubuk kerajinan tembikar sebelum tiba di lokasi tempat berlangsungnya pernikahan massal—bagian naratif film yang menunjukkan kekecewaan mendalam Lyuba terhadap Koyla yang tuna-empati; si perempuan malah perlahan bersimpati dengan keberadaan Misha yang terus-menerus memperhatikannya. Selanjutnya, sekuen berpindah lagi, yaitu ke sebuah lokasi tempat berlangsungnya proyek konstruksi sebuah pemukiman, di mana Lyuba turut menjadi pekerja di sana bersama dengan para pekerja perempuan lainnya, begitu pula dengan Misha dan Koyla yang bekerja sebagai supir truk. Pada situs yang ketiga ini, kita menyaksikan hubungan Koyla dan Lyuba yang semakin renggang seiring dengan semakin intimnya interaksi antara Misha dan Lyuba. Bahkan, cerita yang berlangsung pada situs ini dilengkapi dengan adegan-adegan imajinatif dari sudut pandang Misha mengenai ekspektasinya akan keintiman tersebut.

Menariknya, meskipun perubahan rasa dan arah hubungan romansa tampak mencolok, cerita cinta segitiga di film ini nyatanya tidak menekankan nuansa perjuangan dan keberhasilan para karakter dalam menghadapi rasa gundah dari kemenduaan hati ataupun gulana perselingkuhan. Sebagai seorang sutradara yang dapat dipahami bebas dari beban sentimentalitas naif drama percintaan—sebagaimana dapat kita pelajari corak pikirnya melalui Brief Encounter dan The Long Farewell—namun tetap memiliki sensibilitas yang tinggi dalam merefleksikan isu tersebut sebagai persoalan dasar kemanusiaan, Muratova lagi-lagi meletakkan simpulan kisahnya secara taksa—tentu saja dengan kebiasaannya untuk menyajikan resolusi naratif yang sengaja ditangguhkan itu. Di dalam permainan sinematiknya di film ini pun, tidak teruraikan dengan cukup jelas apakah cinta antara Lyuba dan Misha benar-benar lestari sebagai suatu “happy ending”, begitu pula dengan kesejahteraan sosial, finansial, dan emosional setiap karakter.

Getting to Know the Big, Wide World menggiring kita ke suatu perjalanan yang pelik dalam menyimak sejumlah premis mengenai keberadaan cinta dan harmoni. Akan tetapi, secara jenaka pula Muratova mengakhirinya dengan ujung yang tak pasti, seakan-akan membalikkan gagasannya di awal. Bahwa, pada setiap optimisme, cita-cita, dan harapan akan cinta dan keharmonisan itu, tersisa kemungkinan pesimistik yang akan menahan kita untuk mau tak mau terus berdiri di “antara”. Di balik semua keadaan itu, kita bisa berkaca bahwa harmoni dan cinta bukanlah ujung yang abadi (sebagaimana Koyla merespon pertanyaan Lyuba: “Cinta itu sementara…!” katanya). Sebab, pada dasarnya, semua adalah kaos, meskipun terdapat keindahan tertentu di dalam kaos tersebut, dan manusia hanya mempunyai pilihan untuk melipur kaos yang ada menjadi momen puitik.

Tukikan naratif di atas bergema dengan pandangan Muratova sendiri mengenai nasib Rusia Soviet: pahit getir sebuah negara adidaya yang kerap bergejolak dalam banyak transformasi sosial-politik, seturut dengan rentetan pembaharuan kebijakan ekonominya, dalam upaya menggapai titik kesetimbangan dengan situasi global, tetapi secara ironis malah mendorong penguakan fakta-fakta sejarah yang kelam dan kecanggungan sosial terhadap dampak terkini dari masa keterbukaan pascarezim. Semuanya hanyalah perulangan dan akan selalu buruk,4 sebagaimana Muratova memahami masa lalu, kekinian, dan masa depan Soviet, maka tindakan-tindakan puitik (atau “aksi seni”) adalah upaya untuk melindungi diri dari—sebelum dicekik oleh—kaos.

Kembali ke film ini, kita bisa memahami bahwa, dalam sudut pandang karakter Lyuba, mencintai adalah upaya untuk berlindung dari kekacauan emosional alih-alih membiarkan diri terjebak dalam keputusasaan, dan “Aku tidak perlu tahu itu… [bahwa cinta itu sementara…],” celetuknya kepada Koyla.

***

Taubman memaparkan dengan cukup jelas bagaimana Muratova mengimprovisasi skenario asli yang ditulis Baklanov menjadi film yang menentang kanon Realisme Sosialis. Berkebalikan dengan Baklanov, Muratova menggambarkan tokoh Koyla sebagai karakter yang lebih gelap daripada sekadar laki-laki Rusia yang ingin menjadi pusat perhatian; Koyla-nya Muratova adalah gambaran laki-laki yang senang melakukan kekerasan terhadap perempuan. Muratova juga memenggal “kesempurnaan moral” Misha dengan menghilangkan satu adegan penting yang merepresentasikan “kepahlawanan laki-laki Rusia”, menjadikannya sebagai pria eksentrik yang lembut dan menaruh rasa hormat pada hal-hal yang spesifik saja—seperti kerajinan tradisional tembikar—ketimbang sebagai manusia gagah penuh keberanian untuk berkorban demi masyarakat luas. Tokoh Vera yang dalam skenario aslinya merupakan seorang perempuan muda, juga diubah oleh Muratova menjadi seorang gadis enerjik yang memiliki kembaran bernama Zoya.5

Dan yang terutama, Muratova menempatkan tokoh Lyuba sebagai karakter pusat dalam cerita ini; ia bukan menjadi objek hasrat laki-laki, melainkan figur yang mempunyai sifat, perangai, dan watak tegas yang dimilikinya sendiri. Di tangan Muratova, Lyuba adalah perempuan yang teguh, tidak bisa didikte ataupun digoda, piawai berpidato di depan umum, dan menjadi semacam corong bagi ekspresi subjektif dalam keterkaitannya dengan kepentingan kolektif. Leitmotif yang menjadi pertanyaan dasar hampir di semua film-film Muratova, bahkan, “disuarakan” di film ini melalui subjek Lyuba: “Tiada seorang pun yang mencintai orang lain…”.6 Dan pada satu sekuen, ekspresi subjektif lainnya juga tersalurkan melalui mulut Lyuba, yaitu peristiwa pembacaan surat rahasia milik seorang perempuan asing, sesaat setelah Misha menolong memperbaiki mobil mogok perempuan itu.

Fakta tentang improvisasi ini mengindikasikan sudut pendirian Muratova yang selalu mempunyai agenda berlawanan dengan wacana yang diidealkan negara mengenai “masyarakat sejahtera”. Memilih skenario yang berisikan cerita cinta segitiga berlatar situs proyek pembangunan, Muratova mengorientasikan Getting to Know the Big, Wide World bukan sebagai representasi dari derap kemajuan masyarakat sosialis yang memaklumi penghancuran desa sebagai langkah pembangunan. Sebaliknya, ia justru melihat latar kaos sebagai ruang yang di dalamnya belum terdapat sama sekali asumsi, aksioma, gaya, estetika, dan budaya apa pun sehingga berpeluang untuk menjadi medan penciptaan hal-hal di luar kanon.7

Apa yang terasa sangat mengesankan dari improvisasi tersebut, tentu saja, bukan hanya terletak pada aspek divergensi naratif Muratova,8 tetapi juga kualitas kontras visual yang dimainkannya. Latar sendu penuh warna lumpur, kesan abu-abu semen dan merah redup batu bata pada reruntuhan atau pada bagian-bagian gedung yang sedang dibangun, kusam putih dari bingkai kayu yang rapuh, serta hamparan langit yang hampir selalu tampak senja dan menguatkan nuansa sendu, berpadu dengan warna-warni tajam dari kostum-kostum subjek, cahaya lampu, benda-benda, dan rerumputan, serta dengan poster-poster propaganda.

Kualitas kontras, dalam konteks ini, bagaikan dipelintir menjadi semacam satire—juga ironi—yang nostalgis atas ruang sosial, dan menjadi semacam ode bagi ekspresivitas individual: di dalam apa yang telah menjadi konvensi komunikasi berbasis kepentingan massa, kerap terselip ragam celetukan yang menekankan aktualitas orang per orang di tataran paling personalnya. Merujuk kepada permainan kontras visual ini jugalah langgam ornamental khas Muratova dapat kita pahami berfungsi sebagai sebuah perspektif untuk secara kritis merefleksikan kembali gelagat sosial masyarakat Rusia di massanya.

Giuliano Vivaldi (2019) menyoroti salah satu adegan di film ini sebagai contoh kepekaan Muratova dalam memainkan kontras; Muratova dengan “jahil” membangkitulangkan imajinasi Romantik Soviet masa lalu yang tampak begitu jauh berbeda dengan corak visual dari keadaan terkini yang diamini dalam bayangan agenda Realisme Sosialis.9 Yaitu, adegan saat tokoh Galya (diperankan oleh Natalya Leble), lewat gelagat teatrikalnya, lengkap dengan selempang merah mencolok yang menyelimuti baju kerjanya yang abu-abu, melafalkan kutipan monolog dari Princess Marry-nya Mikhail Lermontov (salah seorang sastrawan terkemuka dalam gerakan Romantisisme Rusia) di antara bilik-bilik gedung apartemen yang tengah dibangun.

Pada sekuen lain yang lebih awal: sesaat setelah Lyuba, dari atas bumper truk di suatu lokasi tempat berlangsungnya pesta pernikahan massal, mengumandangkan pidatonya dalam gaya retorika politis khas intelektual sosialis dan kelas pekerja, yang berisi ujaran optimis tentang cinta dan pernikahan, kita menyaksikan “teguran pesimistik” mengenai kesementaraan cinta pada percakapannya yang penuh ketus dengan Koyla. Sementara pengumuman dari pengeras suara (yang tidak kelihatan) terus berkumandang menyatakan bahwa pesta telah berakhir, Lyuba lantas turun dari posisinya berpidato itu dan berjalan murung di antara dua truk, untuk kemudian menemukan seorang balita (mengenakan baju merah dan memegang balon berwarna kuning) yang tengah menangis mencari ibunya. Sekuen ini kemudian dipadu dengan rententan shot yang menunjukkan banyak pasangan, dalam kostum pengantin yang mereka kenakan, saling berpelukan dan berciuman. Di saat itu pula Lyuba melepas wig-nya, untuk selanjutnya ditatap dengan simpati oleh Misha.

Lebih daripada sekadar taktik plot, kualitas kontras di dalam adegan tersebut nyatanya juga bekerja dalam tataran visual dan auditori. Muratova memberi durasi yang cukup panjang untuk sekuen ini dengan susunan close-up yang metrikal, dan terasa menjadi seperti interluda puitik yang masih mengandaikan keindahan hubungan laki-laki dan perempuan di tengah-tengah prosa yang subject matter-nya justru menuju kepada keambiguan topik semacam itu. Selipan sekuen dengan “montase penuh harapan, senyuman, dan pelukan”10 tersebut, bersanding dengan ujaran negatif Koyla, kemurungan Lyuba yang ditatap simpatik oleh Misha, dan suara instruksi untuk segera menyudahi pesta yang terdengar dari pengeras suara, serta hiruk-pikuk keramaian yang bersanding dengan ketenangan intim hubungan manusiawi yang syahdu. Kombinasi dari semua elemen ini, secara paradoks, menguatkan kesan getir—bersitumpuk dengan satire—yang menjiwai seluruh naratif film ini.

Sekali lagi kita mengurai contoh dari sekuen lain, ialah adegan pidato si kembar Vera-Zoya yang terbata-bata dalam suatu acara peresmian gedung, yang lantas diikuti dengan adegan yang menunjukkan salah satu dari si kembar tersebut berbicara dalam komunikasi yang tak lancar bersama ibunya melalui telepon umum. Struktur kontras nyatanya juga bekerja dalam urutan kedua adegan ini: spektakularitas massal dalam setingan di mana individu “diisolasi” di atas panggung untuk berbicara ke khalayak, mengalami kendala komunikasi berupa kealpaan manusiawi, sedangkan “isolasi” dalam bilik telepon di tengah-tengah kerumunan mengalami kendala komunikasi berupa keterbatasan teknologis. Faktanya, dalam kesamarataan yang dicita-citakan untuk masyarakat bebas kelas, sistem perhubungan dan komunikasi bukanlah sebuah jaminan. Komunikasi kaotik kerap menjadi momok dalam berbagai keadaan. Spektakularitas massa dan spektakularitas teknologi tidak serta-merta merupakan indikator dari kesuksesan sebuah rezim.

Akan tetapi, aspek yang lebih menarik ialah jika kita merefleksikannya dari segi eksperimen formal. Barangkali, itulah sekuen yang paling mencolok menunjukkan preferensi parodikal Muratova terhadap gaya kitsch dari Soviet Pop Art yang tren di era 1970-an11; tentang bagaimana si sutradara “posmo” ini, dalam pengertiannya yang kritikal, mengeksploitasi anasir-anasir materialisme populer dari budaya konsumerisme Rusia kontemporer ke dalam suatu gesture sinematik yang provokatif, yang mengolok-olok hipokrisi dari genre tunggal “seni tinggi” atau “seni resmi” yang diakui pemerintah, sekaligus menggarisbawahi kehampaan sosial dan kondisi ironis dari budaya visual Rusia yang dianggap bergerak maju (atau menjadi faktor penggerak ke arah kemajuan) di atas lintasan prospek utopian Realisme Sosialis.

Melalui Getting to Know the Big, Wide World, sekali lagi, Muratova mengolah konsepsi “keraguan”, juga skeptisisme, menjadi ekspresi genial untuk mempertanyakan kembali kemapanan. Olahan itu termanifestasi melalui kontradiksi-kontradiksi, komparasi-komparasi, dan juga ambiguitas; tiga kecenderungan naratif yang dapat kita temukan kembali pada film-filmnya di masa-masa kemudian. Di samping improvisasi plot yang begitu kaya eksperimen, konstruksi visual film ini demikian eksentrik dan, secara tak terbantahkan, terbilang sangat fantastis; tak bisa dielakkan bahwa ia merangsang penelaahan yang lebih dalam, sekaligus menggoda suatu penjelajahan kontekstual atas perkembangan estetika sinema Rusia sejak era revolusioner. []

Artikel berjudul “Tentang Cinta dan Harmoni dalam Mengenal Dunia yang Luas dan Besar” merupakan bagian dari seri artikel dalam Editorial 10, bertajuk “Materialisme, Ornamentalisme, dan Fantastisisme”, yang secara khusus mengulas karya-karya dan praktik sinematik Kira Muratova.

Endnotes[+]

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search