In Editorial

KITA TIDAK DAPAT membantah bahwa, dalam lima tahun terakhir, sejumlah film nasional menunjukkan minat tertentu terhadap isu perempuan ataupun keadilan gender. Mengacu kepada daftar pemenang Festival Film Indonesia saja, misalnya, sejak tahun 2018, film-film yang mempunyai kaitan dengan isu perempuan ataupun keadilan gender menempati posisi sebagai film terbaik. Cara beberapa film itu dalam membicarakan isu-isu tersebut, tentu saja, masih bisa kita perdebatkan. Namun, terlepas dari keberhasilannya atau kegagalannya, fenomena ini mewakili fakta bahwa frekuensi dari upaya-upaya pegiat film dalam menggiring kepedulian masyarakat terhadap isu-isu mengenai kelompok-kelompok yang dimarginalkan tengah mengalami lonjakan ke tingkat tertentu dan tak boleh diabaikan.

Hal itu, sebagaimana yang dapat kita saksikan sekarang ini, didukung pula oleh aksesibilitas yang dihadirkan oleh media sosial sehingga publik dapat secara bebas mendistribusikan pandangan mereka tentang film-film yang dianggap ramah gender. Publik (netizen) pun bisa melayangkan kritik terhadap film-film yang tidak berpihak pada keadilan gender. Secara organik, dengan ramainya perbincangan tentang film-film nasional di media sosial, isu perempuan dan keadilan gender dapat bergulir di linimasa sehari-hari, menjadi suatu wacana yang signifikan. Film-film nasional dengan tema seperti itu pun, nyatanya, mendapat perhatian para mahasiswa dan akademisi di negeri kita, di dalam upaya mereka untuk mengkaji representasi gender pada sinema.

Pada tahun 2020, Asosiasi Pengkaji Film Indonesia menyelenggarakan konferensi virtual, bertajuk “Perempuan dalam Film dan Perfilman Indonesia”. Konferensi ini seakan merespon suatu tren di medan sosial perfilman nasional yang konon mulai menunjukkan arah baik menuju kesetaraan dan keadilan gender. Tahun berikutnya, asosiasi yang sama menerbitkan sebuah buku penelitian, berjudul Menuju Kesetaraan Gender Perfilman Indonesia: Analisis Data Terpilah-Gender Dan Rekomendasi Rencana Aksi. Meskipun malah menunjukkan betapa kancah perfilman kita masih saja didominasi oleh laki-laki, riset yang dilakukan oleh Sazkia Noor Anggraini, Rahayu Harjanthi, dan Tito Imanda itu mewakili sekian banyak inisiatif di ranah film yang menaruh perhatian tinggi terhadap pentingnya kesetaraan dan keadilan gender di dalam karya film dan bidang perfilman.

Dengan menyadari tren yang ada, marilah kita mengamini situasi yang agaknya tengah berproses membangun gerbang sekaligus bersiap-siap menyongsong wacana sinema nasional berkeadilan gender ini. Bagi Jurnal Footage, keadaan ini wajib dirayakan!

***

MERESPON FENOMENA YANG dipaparkan di atas, dan sebagai salah satu bentuk perayaan yang dimaksud, Redaksi Jurnal Footage menawarkan “Materialisme, Ornamentalisme, dan Fantastisisme” sebagai tajuk untuk Editorial 10. Secara khusus, Editorial 10 juga didedikasikan untuk menjadi semacam “retrospeksi kecil” atas Kira Muratova, seorang sutradara penting asal Romania-Ukraina yang nyaris terlupakan.

Meninjau eksperimen sinematik, baik dari segi naratif maupun formal, melalui konstruksi idiosinkratik Muratova, menurut kami, akan mengantarkan kita pada pemahaman tentang kemungkinan-kemungkinan bahasa disruptif film dalam merepresentasikan, mempertanyakan, dan merevaluasi realitas sosial yang, nyatanya, selalu identik dengan latar politik tertentu dan tak akan pernah lepas dari pengaruh dinamika kekuasaan dan peralihan kekuasaan rezim; yang di dalam bahasa disruptif itu, perihal perjuangan soal kesetaraan gender dan penciptaan agensi sinema selalu berpeluang untuk dibicarakan lagi dan lagi.

Tiga kata “materialisme”, “ornamentalisme”, dan “fantastisisme” dipilih sebagai kunci untuk membuka pintu pemahaman terhadap eksperimen Muratova akan konstruksi visual sinemanya. Kata pertama mewakili himbauan untuk tetap melihat film-film Muratova sebagai suatu pengembangan estetika yang, bagaimanapun, juga memandang dan menempatkan gejala-gejala sosial dan perubahan-perubahan historis di dalam masyarakat sebagai wujud dari pertentangan kelas. Kata kedua, mewakili pandangan filosofis Muratova dalam mendefinisikan praktik artistiknya sendiri; melalui filmnya, ia hendak menggiring penonton untuk sepenuhnya menyimak, ketimbang menafsir, realitas; menikmati puitika dari brutalitas arsitektural ataupun vulgaritas dekoratif kehidupan pasca-Soviet yang krisis. Sedangkan yang ketiga, menyiratkan peluang imajinasi atas permainan plot dan visual sinema Muratova yang, pada satu sisi terkesan melampaui kewajaran dan menuansakan diskontinuitas, tapi pada sisi yang lain, apa yang terasa ganjil dan fantastis itu, hakikatnya, merupakan cerminan paling logis dari dampak sistemik kegilaan rezim terhadap masyarakat.

Ketiga kata kunci tersebut agaknya dapat menjadi ramuan bagi pembacaan —kalau bukan ramuan yang memang terdapat dalam eksperimentasi film-film Muratova—terhadap bahasa disruptif nan eklektik-parodistik dalam karya-karya sutradara yang disebut-sebut sebagai salah satu sutradara post-modern paling istimewa ini.

Dalam konteks aktivisme estetika di dalam film-film Muratova, potensialitas bahasa disruptif tersebut, terutama, terlihat pada pertentangan gaya dan bahasa filmnya dengan estetika Realisme Sosialis, serta kritisisme uniknya terhadap metode naratif berbasis montase ala avant-garde Soviet. Sinema Muratova dengan genial justru memainkan gagasan-gagasan materialisme Marxis dengan “menggeser” interpretasinya ke dalam dunia pahit-getir kehidupan sehari-hari yang bersifat domestik, yang dengan demikian memungkinkan sorotan kisah pada eksistensi individual dalam keterhubungannya dengan perilaku massa, dan dapat menunjukkan kepekaan spasial dalam membahasakan biografi ruang menjadi unsur metaforis bagi pembangunan cerita, serta mentransfigurasi femininitas menjadi bahasa perlawanan. Dalam tataran ekstremnya, bahkan, fantasi sinema Muratova terbilang bersifat anti-realis.

***

BERIRINGAN DENGAN PENERBITAN artikel-artikel kritik tentang karya-karya Muratova, di dalam Editorial ini kami juga akan menyajikan sejumlah ulasan mengenai film-film dari sutradara dunia lainnya, yang kiranya menunjukkan bentuk penjelajahan estetika tertentu yang khas, dan signifikan, dalam menghadirkan alternatif bagi interpretasi-interpretasi materialis-realis di dalam sinema. Nama-nama sutradara itu, antara lain Chantal Akerman, Sarah Maldoror, dan Marguerite Duras.

Selain itu, Jurnal Footage juga akan menyajikan artikel kritik yang meninjau estetika sinema dari tiga sutradara perempuan Indonesia, yaitu Chitra Dewi, Sofia W. D., dan Ida Farida, baik dalam rangka melihat bagaimana ketiganya menerjemahkan situasi dan isu-isu kontemporer di masa mereka aktif sebagai pembuat film, maupun dalam konteks pembahasan mengenai representasi gender dan aspek agensial dari produksi dan keberadaan film-film mereka.

Di luar lingkup tema Editorial 10, selain tetap menerbitkan artikel-artikel ulasan film karya sutradara-sutradara di luar nama-nama yang telah disebut di atas, yang ditulis oleh kontributor-kontributor setia kami, Jurnal Footage juga akan terus menerbit-ulangkan artikel-artikel tulisan dari arsip katalog ARKIPEL (yang menjadi fokus dari Editorial 09: Diskursus Satu Dekade). Hal ini masih akan terus berlanjut hingga seluruh tulisan di dalam semua katalog tersebut diunggah. Artikel-artikel ini akan terbit setiap minggu, memperkaya ragam tulisan di dalam jurnal daring ini.

Selamat membaca!


Sumber foto sampul untuk artikel ini: salah satu adegan dalam film Getting to Know the Big Wide, World (1978) karya Kira Muratova.

Baca Semua Kumpulan Artikel dalam Editorial 10
“Materialisme, Ornamentalisme, dan Fantastisisme”

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search

Darafsh, CC BY-SA 4.0 , via Wikimedia Commons.