In Kronik

Oleh Redaktur Jurnal Footage

Artikel ini ditulis oleh B. J. Bertina, berasal dari buku beliau berjudul Film in opspraak (1950/1951) yang diterbitkan oleh de Koepel, Nijmegen. Bagian isi dari buku itu telah diterjemahkan dan dimuat berseri dalam majalah Aneka di tahun terbit VI tahun 1955. Nomor-nomor terbitannya: 9 (20 Mei 1955); 10 (1 Juni 1955); 11 (10 Juni 1955); 12 (20 Juni 1955); 13 (1 Juli 1955); 17 (10 Agustus 1955); 19 (1 September 1955); 20 (10 September 1955); 21 (20 September 1955); 22 (1 Oktober 1955); 23 (10 Oktober 1955); 24 (20 Oktober 1955); 25 (1 November 1955); 26 (10 November 1955).

Jurnal Footage memuat kembali artikel ini dalam tajuk khusus “Sejarah Film Sebagai Seni”, untuk melihat bagaimana kritisisme perfilman pada masa itu membingkai sinema, baik dari segi estetika maupun konteks isu (sosial, budaya, ekonomi, dan politik)-nya. Arsip artikel dari Aneka ini menunjukkan bahwa perhatian para pengamat, serta arah kebijakan redaksi dari media massa yang bersangkutan, terhadap film terbilang kritis menanggapi fenomena industri; mereka mencoba mencari jalan bagi masuknya argumentasi seni untuk melihat film sebagai produk pengetahuan.

Silakan tinjau di bagian paling bawah halaman artikel ini untuk tautan artikel-artikel lainnya dalam seri Kronik “Sejarah Film Sebagai Seni”, atau bisa juga mengklik tautan berikut ini.

Selamat membaca!

KADANG-KADANG KITA tercengang, kalau dalam percakapan dengan orang-orang terpelajar kita, dengan betapa sedikit pengetahuan mereka tentang seni abad ke-20, yakni seni film, yang dapat membedakan diri dari seni-seni lain. Kalau percakapan itu bertambah dalam, tampaklah dengan segera, kendati segala kerelaan untuk menganggap sesuatu film bagus, masih banyak perselisihan paham tentang “sebab-sebab” penghargaan itu.

Dan kalau dalam percakapan-percakapan itu kita masukkan pula seni teater, seni sandiwara, maka makin jelas kesalahan pengertian ini. Terlalu besar jumlah mereka yang pada hakikatnya tidak tahu membeda-bedakan sandiwara dengan film. Mereka tidak tahu, bahwa dari kedua pernyataan seni itu, yang satu sekali-kali tidak ada sangkut-pautnya dengan yang lain, bahwa mereka harus mempelajari dahulu pengertian-pengertian dasar estetika, bahwa film telah menjadi suatu pedoman di bioskop-bioskop setelah mengalami praktik penciptaan selama setengah abad. Dan kalau dipikirkan pula bahwa besar sungguh jumlah para intelektual yang ingkar mengakui film sebagai seni, maka tidaklah sia-sia untuk rekonstuir (merekonstruksi) asal-usul seni film yang otonom dari sejarahnya sendiri.

Estetika film itu ada, suatu kumpulan pengertian-pengertian yang dapat dipakai sebagai ukuran untuk menentukan apakah suatu film itu seni atau penghibur saja, atau sesuatu yang mesti kita bantah dengan segala usaha karena dengan sengaja ia memberi nilai-nilai hidup yang palsu atau menyangkal adanya suatu seni film yang merdeka atau tidak mengacuhkannya sama sekali. Masih terlalu banyak pengertian-pengertian salah tersiar, bahwa kritik-kritik film, seperti terbaca dalam majalah-majalah yang baik dan dalam beberapa harian-harian, adalah pendapat seseorang belaka, yang mencela kebanyakan film dan sekali-kali saja memujinya. Masih sedikit orang yang tahu, bahwa ada suatu estetika film yang memberikan kewajiban dan tanggung jawab kepada setiap ahli kritikus film terhadap pembacanya.

Apakah tercantum dalam estetika film itu dan dari mana datangnya? Sudah pasti bukan teori yang hampa, yang disusun oleh beberapa orang idealis yang ingin mendesakkan pendapatnya yang personal kepada khalayak. Estetika film zaman sekarang, ayat demi ayat, diperjuangkan oleh mereka yang mempunyai keyakinan bahwa film dapat dijadikan alat seni, walaupun dengan cara yang berlainan dengan sandiwara, musik, tari, seni lukis, dan seni pahat. Keyakinan itu didasarkan pada sejarah film sendiri, mulai dari gambar-gambar hidup pertama sampai ke film bicara zaman sekarang. Sebab, bukan manusia yang menyatakan film menjadi seni, tetapi film itu sendiri telah membuktikan film itu seni, setidak-tidaknya dapat menjadi suatu seni.

Sungguh sangat aneh untuk mengatakan bahwa seni film tidak selamanya ada, sedangkan sejak dahulu kala orang telah bermain musik, menari, sandiwara, walaupun dengan cara yang sangat berlainan, ada yang primitif dan ada yang sangat tinggi mutunya. Barangkali, inilah sebabnya mengapa demikian besar jumlah mereka yang tidak dapat menghargai seni film, andai kata mereka mempercayainya.

Dan inilah sebabnya mengapa sepanjang sejarah seni film, sampai ke zaman kini, selalu orang mencoba mencangkol [mengaitkan—red.] seni film ke salah satu seni lain yang telah ada, juga oleh mereka yang mempunyai minat sungguh-sungguh. Saya harap para pembaca tidak berkeberatan jika saya bimbing pembaca kembali sampai 50 tahun yang lalu ke hari bersejarah itu: 28 Desember 1895. Pada hari itulah kedua saudara Lumiére [Auguste Marie Louis Nicolas (1862- 1954) dan Louis Jean (1864-1948)—red.] mengadakan pertunjukan film yang pertama di kedai kopi di Boulevard des Capucines [Salon Indien du Grand Café—red.] di Paris. Ruang pertunjukan yang sempit itu penuh dengan orang-orang yang gemar akan sensasi, dan dengan tiada sadar mereka menjadi saksi dari sebuah pertunjukan film dokumenter pertama, reportase film pertama, dan filem alam pertama, kalau gambar hidup yang mempertunjukkan pabrik itu [La Sortie de l’Usine Lumière à Lyon—red.], kedatangan kereta api [L’Arrivée d’un Train en Gare de la Ciotat—red.], dan senda-gurau di pantai [La Mer (Baignade en mer)—red.] dapat disebut suatu “film”.

Apakah seni film muncul dengan tiba-tiba kepada manusia di ruang café di Boulevard des Capucines itu?! Apa yang dipertunjukkan di tempat itu hanya variasi gambar-gambar teropong, yang sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan seni? Para penonton hanya dapat melihat suatu penemuan teknik baru, suatu alat pernyataan baru, yang kepada seorang pun belum tampak tanda-tanda suatu seni baru. Pertunjukan-pertunjukan yang serupa pertunjukan kedua saudara Lumiére itu merupakan lomba-lombaan, masing-masing ingin dinamakan pertunjukan yang pertama. Di Berlin, pertunjukan demikian pertama kali diorganisir oleh kedua saudara Skladanowski [Max Skladanowsky (1863-1939) dan Emil Skladanowsky (1866) mendemonstrasikan konsep sinema dengan menarik bayaran kepada penonton di 1 November 1895—red.], di Amerika seorang yang bernama Le Roy, di London ialah Robert W. Paul [1869-1943—red.], atau William Friese Green [1855-1921—red.]. Dapat kita sebut nama-nama lain, yang pada waktu yang bersamaan telah menemukan sinematografi, yakni kemungkinan mempertunjukkan gambar-gambar hidup. Masalah teknis ini, saya sebut sebagai bukti dari keadaan-keadaan di akhir abad yang lampau: film telah lahir, tetapi sejak dilahirkan ia diperlakukan sebagai adik yang tidak cantik dari fotografi. Bayi itu—dalam ilmu pedagogi—diletakkan di tepi jalan ke pasar malam. Yang pertama-tama tertarik oleh film itu ialah tamu-tamu pasar malam. Menurutnya, film itu adalah bagian dari acara-acara anekaragam (variety) dan sebagai bentuk baru dari “Schauerszenen” (adegan samar).

Ada baiknya menyebut beberapa angka tahun dari prasejarah film.

Demikianlah, dalam tahun 1897, untuk pertama kali di Berlin dipertunjukkan suatu film reklame. Di tahun itu, film perang propaganda “Enyahkan Spanyol”—suatu dokumentasi tiruan tentang perang Spanyol-Amerika—membuat publik New York kagum. Di tahun 1898, ahli potret istana Denmark Peter Elfelt [1866–1931—red.] membuat film tentang istana Denmark beserta para tamu. Dalam beberapa meter, tampak opname-lengkap [rekaman utuh—red.] raja-raja Eropa. Dapat dikatakan bahwa ahli potretlah yang pertama-tama membikin film sejarah. Di tahun 1898, dibuatlah film cerita yang pertama di Prancis: “Les méfaits d’une téte de veau” [disutradarai oleh Ferdinand Zecca—red.]. Di tahun 1903, Amerika melihat film “wildwest” yang pertama. The great train robbery, ciptaan Edwin Porter [1870-1941—red.]. Menurut pengertian kita sekarang, film itu tak ada artinya. Tak ubahnya dengan suatu melodrama yang dipotret. Gerak-gerik para pemainnya yang ganjil sangat kaku. Tersenyum-senyum kita dapat melihat perempuan-perempuan yang gerak-geriknya dibuat-buat, diambil dengan kamera juga tak dapat dipindah-pindahkan. Saya harap akan mendapat kesempatan untuk menjelaskan kepada para pembaca—kendati segala kekurangan—bahwa, dalam pertunjukan-pertunjukan ini, ada kemungkinan-kemungkinan untuk menyatakan seni dalam bentuknya yang pertama, walaupun ketika itu, seorang terpelajar akan menjadi tertawaan jika ia mengatakan, bahwa dalam Lumiére itu ada tersisip suatu seni baru. Hanya pada seseorang timbul pikiran untuk mengadakan percobaan-percobaan dalam hal ini.

Nama seorang Prancis, Georges Méliès [1861-1938—red.], umpamanya, senantiasa akan tertera sebagai pelopor besar dalam teknik film zaman sekarang.

Dalam zamannya, ia telah menyelidiki kemungkinan-kemungkinan alat film yang dapat dikatakan mengagumkan. Akan tetapi, tak dapat dikatakan bahwa, Méliès bergerak di lapangan seni film, paling banyak dapat dikatakan di lapangan kesenian. Memang tidak bisa lain halnya di waktu itu, waktu film hanya merupakan penghibur belaka di pasar malam, jadi suatu alat untuk membuat kaum tani dan orang-orang desa yang datang di kota menjadi terpesona dengan mengadakan pertunjukan-pertunjukan yang gila itu. *

Baca Semua Kumpulan Kronik “Sejarah Film Sebagai Seni”

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search