In Artikel

MURATOVA MEMANG TIDAK kehabisan akal untuk membuka filmnya dengan cara yang mencolok, kalau bukan mempesona mata. Adegannya memaku—kalau bukan memukau—perhatian kita.

Tinjau saja: “gerak pensil yang menyahut suara detak jarum jam di dinding” (pembuka Brief Encounter), “kuliah botanikal oleh dua perempuan muda di kebun bunga” (pembuka The Long Farewell); dan “aksi mengejar truk di atas lumpur” (pembuka Getting to Know the Big, Wide World).

Lalu, pada film yang akan kita bahas kali ini, karya eksentrik ke-2 yang ia buat pada periode pasca-Provincial Melodramas-nya: “Dua telapak tangan pria dewasa menutup wajah”, ditampilkan dalam bidikan close up yang hening…

Mengesankan!

Modus gestural yang terlihat dalam shot pada adegan pembuka film berjudul Among Grey Stones ini merupakan salah satu leitmotiv cerita. Kita akan menyaksikan gestur semacam itu lagi nanti di adegan lain oleh subjek yang berbeda pula.

***

Memproduksinya tahun 1983, Muratova membangun narasi film Among Grey Stones (atau Среди серых камней) dengan mengalihwahanakan karya sastra berjudul In Bad Company (atau V durnom obshchestve, 1885) karangan Vladimir Korolenko. In Bad Company sendiri mengangkat tema tentang kepedulian dan pentingnya hubungan kasih-sayang antar sesama manusia. Tema itu, seperti yang dapat dibaca, mewujud ke dalam dua bentuk persoalan, yaitu hubungan kekeluargaan dan hubungan pertemanan. Happy ending, cerita ini menawarkan pelajaran moral yang gamblang tanpa intensi menggoncang batin pembaca secara berlebihan.

Kisah klasik yang populer untuk anak-anak tersebut merupakan salah satu kanon sastra di Rusia. Korolenko mengambil latar untuk ceritanya di sebuah desa, bernama Kniazh Gorodok, milik ras keturunan bangsawan Polandia yang hidup di kawasan Rusia Barat Daya, di mana penduduknya telah berbaur dengan kaum pelancong dan saudagar Yahudi.1 Yang menjadi situs utama bagi keseluruhan isi cerita adalah sebuah Gereja Uniat (Gereja Katolik Oriental), bangunan tua terbengkalai yang berdiri tidak jauh dari lokasi sebuah pemakaman dan reruntuhan kastil di desa tersebut.2

***

Dalam sepuluh babak, Korolenko menuturkan kisahnya menggunakan sudut pandang orang pertama. Vasia, tokoh “aku” sekaligus protagonis di dalam cerita ini, mengenang masa kecilnya: ibunya meninggal saat ia masih berusia enam tahun. Hal itu menyebabkan ayahnya, yang berprofesi sebagai hakim desa, larut dalam kesedihan tak berkesudahan. Dalam kesedihan itu, sang ayah lalai memberikan perhatian yang layak kepada keluarganya sehingga hubungan di antara mereka kian hari kian renggang. Ia bercerita, ayahnya sesekali memang membelai Sonia, adik perempuannya, hanya karena wajahnya mirip dengan ibu. “…tapi aku tumbuh seperti pohon muda liar di ladang; tak seorang pun memberiku perhatian khusus,” kata Vasia. “Namun sebaliknya, tak seorang pun membatasi kebebasanku.”3 Dalam situasi seperti itu, Vasia belakangan menjalin persahabatan dengan Valek (laki-laki) dan Marusia (perempuan), dua bocah kakak-beradik gelandangan, yang tinggal di ruang bawah tanah dalam Gereja Uniat bersama dengan sebuah komplotan pengemis-gelandangan yang dipimpin oleh ayah mereka, Pan Tiburtsius Drab.

Dalam ingatannya, Vasia menggambarkan Tiburtsius sebagai pengemis nyentrik penuh kharisma, yang secara misterius tampak begitu terpelajar. Bos para gembel itu bahkan piawai melafalkan bait-bait puisi Latin dari Virgil dan Homer.4 Selain Tiburtsius, Vasia juga bertemu pengemis aneh lainnya, seperti Jenderal Turkevich, Lavrovski si pensiunan PNS, dan Sang Profesor.

Singkat cerita, bumbu-bumbu konflik pun mulai kelihatan: kita diceritakan soal tindak-tanduk mencurigakan dari tokoh Yanush, seorang mantan pelayan keluarga bangsawan. Di awal cerita, Vasia sudah menggambarkan tanda-tanda kedengkian Yanush: ia tega mengusir para gelandangan yang awalnya mendiami lokasi reruntuhan kastil, menyebabkan mereka harus pindah mencari tempat berteduh baru, salah satunya ke ruang bawah tanah di dalam Gereja Uniat itu. Dalam perkembangan cerita, Yanush juga terus-menerus berupaya memengaruhi sang hakim—ayahnya Vasia—untuk mencelakai atau merugikan Tiburtsius.

Lalu, klimaks dari kisah ini pun muncul: kasus hilangnya boneka milik Sonia, adik perempuan Vasia. Berdasarkan apa yang diceritakan si tokoh utama, kita tahu kejadian yang sesungguhnya, bahwa boneka itu sengaja ia pinjam dari adiknya untuk diberikan kepada Marusia yang sedang jatuh sakit pada musim gugur. Gara-gara aksinya itu, orang seisi rumah mengira boneka itu telah dicuri. Ia pun dicurigai sebagai pelaku. Saat mengetahui kasus itu, ayahnya pun tidak tinggal diam dan memaksanya untuk mengaku. Tapi Vasia menolak berkata jujur demi melindungi identitas teman-teman gelandangannya.

Di penghujung kisah, diketahui bahwa Marusia telah meninggal. Tiburtsius mengembalikan boneka itu kepada sang hakim dan memberitahukan kepadanya perbuatan penuh belas kasih Vasia yang sebenarnya hanya ingin menghibur hati Marusia di masa-masa sekaratnya. Momen itu menyadarkan sang hakim. Beliau pun meminta maaf kepada Vasia dan berjanji akan memberikan perhatian penuh cinta yang selama ini tidak pernah didapatkan oleh anaknya. Kemudian, usai menguburkan Marusia, Tiburtsius dan Valek pun pergi meninggalkan desa atas anjuran sang hakim, agar mereka bisa menghindari hukuman gara-gara suatu kasus yang, hingga cerita ini benar-benar berakhir, tidak pernah kita ketahui sama sekali.

***

Jika dibandingkan, ekranisasi filmis yang dilakukan Muratova bisa dikatakan cukup setia mengikuti garis besar cerita asli yang ditulis Korolenko. Akan tetapi, ada beberapa bagian yang ia ubah di dalam versi film. Yang paling kentara: Vasia mengambil boneka secara diam-diam, tanpa meminta izin adik perempuannya. Selain itu, tidak ada tokoh bernama Lavrovski di dalam Among Grey Stones.

Muratova juga mengganti nama “Pan Tiburtsius Drab” (nama yang menurut Taubman “Polandia banget”) menjadi “Valentin” (nama yang terdengar “lebih Rusia). Sang sutradara juga menghilangkan sama sekali kegemaran berbahasa Latin dalam karakteristik tokoh tersebut. Sebagaimana yang dicatat oleh Taubman,5 mengingat bahwa gerakan nasionalis Rusia mengencang pada era 1980-an maka karangan Korolenko itu—yang mengandung unsur-unsur “ke-polandia-an”—terbilang bermasalah secara politik. Pengubahan yang dilakukan Muratova, bisa jadi, adalah sebuah strategi artistik untuk mengantisipasi sentimen politik yang berpotensi muncul di kemudian hari. Namun, bagaimanapun, film Muratova ini tetap saja tidak lolos dari sensor.

Dalam kajian Taubman,6 kita dapat mengetahui bahwa Among Grey Stones adalah sebuah karya yang berprestasi di tengah-tengah kemeranaannya. Sebelum rilis, film ini disensor secara signifikan oleh Odessa Film Studio (lembaga milik negara yang menaungi produksi film ini); mereka memotong adegan-adegan yang menggambarkan kemiskinan masyarakat bawah tanah dalam proporsi yang cukup besar, dan bahkan mengganti judul film yang seharusnya adalah “Children of the Underground”. Muratova pun memprotes kebijakan sensor itu dengan menolak mencantumkan namanya di bagian kredit. Saking merananya film ini, Taubman menyebutnya sebagai karya Muratova yang paling ironis, karena inilah film Muratova yang paling tidak dikenal, paling banyak mendapat kritik, tetapi satu-satunya yang berhasil tayang di Cannes (pada tahun 1988).

***

Jika kita merefleksi gambaran dunia dalam In Bad Company, kita menyadari adanya kehidupan masyarakat yang timpang dan ironis, yang berkembang dalam “dunia piatu” yang pilu. Ettore Lo Gatto7 konon pernah menafsirkan bahwa Korolenko menciptakan karakter Vasia sebagai helat untuk menggambarkan kehidupan masyarakat semacam itu, yaitu kondisi yang pernah dipahami oleh si pengarangnya sendiri di usia mudanya: sebuah cerminan dari suatu bentuk kelompok masyarakat yang hidup dalam keadaan terhina, terabaikan, dan tidak dicintai, yang di dalamnya hasrat memberontak telah luput sama sekali di tengah-tengah keelokan dan kemolekan alam yang mengagumkan.

Dalam Among Grey Stones, Muratova menyimpangkan visi kritisisme pesimistik yang demikian. Ia membungkus ide tentang afirmasi dan keikhlasan pada dunia yang retak-pecah, melalui suatu perspektif yang menekankan unsur feminin meskipun tanpa heroisme klise perempuan. Bukannya bertele-tele mempertunjukkan inti sari moral dari isu kesenjangan sosial, Muratova justru memperasingkan simbol-simbol ungkapan cinta kasih ke dalam bentuk-bentuk yang semarak namun ganjil, yang begitu mengusik dalam kekauannya masing-masing. Ia memancing pertanyaan ulang terhadap hal-hal yang rawan terkungkung dalam pengertian-pengertian emosional yang naif belaka.

Dari segi kekhasan naratif, salah satunya, Among Grey Stones nyata berbeda dengan film-film Muratova sebelumnya di mana perempuan hadir signifikan dan menjadi tokoh sentral. Aspek tentang perbedaan inilah yang, katanya, menjadi sasaran kritik para penggemar Muratova di Perancis.8

Ya, tapi, begitulah memang…, sebagaimana versi cerita asli yang ditulis Korolenko, di film ini pun, peran perempuan bisa dibilang “nyaris tidak ada”, kalau bukan tidak ada sama sekali. Tapi bukan berarti Muratova telah berbelok dari pendirian kerasnya yang selalu mendisrupsi kebobrokan dunia patriarkis. Ia hanya menempuh gaya ungkap yang berbeda.

Sosok ibu di cerita ini, misalnya, hanya hadir dalam memori yang keberadaannya direpresentasikan oleh kuburan dan bunga, atau lewat gambar potret yang hanya bisa diratapi, tidak lebih dari itu. Akan tetapi, objek-objek tersebut tampil sebagai motif visual yang signifikan di dalam konstruksi film Among Grey Stones. Kuburan sang ibu bergeming di balik asap yang bergerak pelan di antara rindang dedaunan, seakan mencuat di tengah-tengah kesunyian keluarga. Tanaman bunga kesenangannya tertata di atas meja di dalam kamar, sabar menanti Vasia atau pengasuh rumah datang membuka pintu untuk sekadar memandangnya dengan penuh rindu. Foto mendiang, selalu dijaga oleh tokoh utama, dan kadang juga sekonyong-konyong nongol di tengah keramaian. Dengan arah yang terbalik, objek-objek tersebut—kuburan, bunga, dan potret sang ibu—menjadi bentuk tegas dari “keberadaannya” di dalam “ketiadaannya”.

Selain itu, meskipun hanya muncul sesekali dan agak terasa sebagai elemen dengan fungsi yang lebih bersifat non-diegetis dari film ini, “suara sang ibu” juga hadir begitu mencolok dan seakan bertujuan untuk mengusik sensori hipokampus penonton daripada sekadar memperkaya pengalaman batiniah para tokoh di dalam film. Suara tersebut, lengkap dengan bunyi batuk yang terdengar menyesakkan, menjadi pengiring tingkah gesit Vasia di dalam salah satu adegan pada sekuen awal, tatkala dirinya memanjat pohon untuk menggapai binokular yang dihadiahi sang ibu. Melalui binokular itu, Vasia menyadari bahwa ada peristiwa sosial penting yang sedang berlangsung di luar rumahnya—adegan ini berbeda dengan versi literaturnya yang mengatakan bahwa Vasia “mendengar” keributan ketimbang “melihat”.

Hilangnya sentralitas perempuan (dewasa) dalam Among Grey Stones, dengan kata lain, bisa kita garisbawahi sebagai salah satu keajaiban gaya penceritaan Muratova, karena hal itu malah memperjelas dan memperkuat keberpihakannya yang ganjil pada daya subversif feminin. “Ketiadaan perempuan” dalam film ini, secara khusus, merupakan kritik penting Muratova tentang penyakit sosial yang menimpa sebuah dunia yang kacau, rusak, dan dipenuhi oleh kesenjangan serta kegilaan. Mengutip Irina Shilova, inilah contoh dunia yang sedang kehilangan sisi kemanusiaannya dan tengah tersesat dalam ketidakutuhannya—“dunia tanpa perempuan”9: masa-masa tatkala prinsip-prinsip feminin dan keibuan hancur berkeping-keping, sedangkan upaya untuk merekatkannya kembali hanya tersisa menjadi ekspresi-ekspresi histeria. Dan Muratova, tampaknya, ingin agar kita benar-benar merasakannya,10 mengamati sebuah bentuk dari “dunia piatu”.

***

Dari segi formal, tak perlu diragukan! Terlebih lagi jika kita secara lebih cermat membandingkannya dengan versi cerita asli, eksperimen formal Muratova di dalam Among Grey Stones terasa begitu genial dan sangat menentukan kecanggihan plot film.

Contoh pertamanya adalah adegan pembuka film yang saya singgung di awal tulisan ini. Adegan sang hakim menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, muncul dalam tiga bidikan close up yang berurutan, masing-masing dengan gestur yang berbeda. Tentunya, bagian yang ini saja sudah langsung mengingatkan kita pada ciri khas montase ala Muratova yang sering dibahas banyak pengamat itu: iterasi gambar (shot).

Muratova tidak memilih untuk mengawali cerita versinya dengan berpanjang-panjang mendeskripsikan secara visual latar cerita, sebagaimana yang dilakukan Korolenko, untuk mengindikasikan “kebebasan” yang didapatkan si tokoh utama dalam kondisi keterabaiannya dari perhatian sang ayah. Dalam versi cerita aslinya, “kebebasan” itu jelas sekali merupakan anasir penting yang mendasari munculnya peluang bagi peristiwa pertemuan Vasia dengan Valek dan Marusia. Sementara si pengarang sastra sibuk menghanyutkan pembaca dengan sejarah dan mitos yang mengitari reruntuhan kastil, kebahagiaan masygul para pengemis, dan horor yang dialami Vasia dalam kesendiriannya, sutradara Among Grey Stones ini justru langsung merasuk dan membawa serta kita ke inti persoalan yang ingin ditekankannya dalam film, yaitu kenelangsaan hidup tanpa sosok ibu/perempuan.

Dalam dua babak pertama, cerita versi Korolenko seakan ingin menggiring kita untuk terlebih dahulu menaruh perhatian pada medan sosial kehidupan orang-orang yang terbuang, yang dari sana nantinya Vasia mendapatkan pencerahan dan pelajaran tentang nilai-nilai kebaikan. Sedangkan di sekuen pembuka dalam versi Muratova ini, unsur “pilu yang bisa mencerahkan” itu diletak-lekatkan pada representasi dari lingkup sosial yang paling personal: individu manusia, yang dalam konteks ini, jika didefinisikan dari kaca mata tokoh utama, ialah sosok ayah kandung yang sedang bersedih dan linglung. Mempertimbangkan caranya memulai cerita, kita dapat memaklumi bahwa Muratova agaknya tidak ingin membiarkan kita tersasar di dalam belantara historikal sebagaimana yang mengemuka di dalam naratif pada versi asli kisah ini. Akan tetapi, patut disadari juga bahwa Muratova mengungkap “panduan” untuk langsung menuju ke pokok masalah tematik tersebut lewat teknik defamiliarisasi,11 baik pada aspek plotnya, identifikasi lokasi yang menjadi latar ceritanya, maupun karakterisasi tokoh-tokohnya.

Berangkat dari perihal “defamiliarisasi” itulah, selanjutnya pada Bagian II tulisan ini, kita akan mencoba beranjak lebih jauh, atau setidaknya melongok lebih dalam, ke ruang gagasan filosofis dari sinema Muratova yang dijuluki “Ornamentalis” itu. []

Artikel berjudul “Dunia Piatu di antara Bebatuan Kelabu” merupakan bagian dari seri artikel dalam Editorial 10, bertajuk “Materialisme, Ornamentalisme, dan Fantastisisme”, yang secara khusus mengulas karya-karya dan praktik sinematik Kira Muratova.

Endnotes[+]

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search