In Kronik

(Available only in Bahasa Indonesia)

Pada rubrik Kronik kali ini, Jurnal Footage menghadirkan tulisan Usmar Ismail “Pengantar Ke Dunia Filem” yang terdapat dalam buku “Tjitra” penerbitan U.P Gapura Jakarta. Tulisan ini kami ambil dari tiga edisi Majalah Star News, yaitu; No. XV Tahun 1953. Halaman 10-14 No. XVI Tahun 1953, halaman 13, 16, 20 & 21, dan No. XVII Tahun 1953, halaman 16, 20 & 25.

“Meninjau Dunia Filem”. Tulisan ini ditulis oleh Usmar pada tahun 1950. Dalam tulisan ini, ia menuliskan pengalaman visual pribadi dan bagaimana cara penonton bisa masuk serta mengerti tentang filem. Yang menarik dari tulisan ini adalah ia menulis dengan bahasa yang sangat ringan, dan contoh-contoh logika-logika filem yang seharusnya sangat bisa ditangkat oleh pembaca awam. Usmar juga menjelaskan persoalan-persoalan dari filem, seperti; sutradara (regisseur), penulis, kamera, konstruksi filem (montase), shot, hingga persoalan bagaimana filem itu diproduksi yang melibatkan tenaga yang sangat banyak. Redaksi melakukan edit bahasa pada tulisan ini, tanpa mengurangi makna dan gaya bahasa Usmar Ismail dalam tulisan ini.—redaksi.


 

RIF_006
Ali Sadikin, Usmar Ismail dan Turino Djunaedi pada Festival Film Asia (Pasifik) Juni 1970 di Jakarta.

Saya masih ingat, waktu duduk di sekolah rendah dan filem belum bisa bicara seperti sekarang. Tidak akan ada orang bisa menahan saya tinggal diam di rumah, jika ada filem bagus sedang diputar di Scala Bio. Bagi saya filem yang bagus ialah filem yang ada berkelahinya, ada bandit, ada lakonnya dan ada si nona yang dibawa lari si bandit, lalu kemudian sesudah kejar-kejaran di atas kuda atau di atas mobil, kembali ke dalam pangkuan si lakon. Apalagi, jika lakonnya Tom Mix, Buck Jones, Richard Talmadge, saya paling suka. Tetapi saya akan paling gembira, jika dapat nonton Si Tjonat atau Abang Kuasa dalam “Njai Dasima”.

Segala bahaya akan saya tentang (hadapi), juga bahaya rotan ayah saya, hanya untuk dapat pergi ke Scala Bio. Ayah saya dalam hal ini agak lain pendiriannya dari saya. Untuk mendapat izin memang rada-rada sukar. Karena itu, sering kali saya terpaksa mempergunakan jalan-jalan yang luar biasa, misalnya waktu malam keluar lewat jendela. Tetapi waktu bulan puasa, saya berkuasa atas diri saya sendiri, karena semua orang pergi sembahyang tarawih —termasuk diri saya sendiri— cuma saya tarawih di gedung bioskop. Jika tak ada uang, bukan soal yang penting. Penjaga pintu adalah “konco karib” saya dan dia mengerti kesulitan-kesulitan yang saya hadapi. Dia tadinya sekolah seperti saya juga, tapi dikeluarkan karena kelewat banyak bolos, karena kelewat “candu bioskop”.

Tapi dia tidak menyesal, malahan dia bangga atas diangkatannya jadi penjaga pintu itu (bioskop). Dia suka “memasukkan” saya, tapi jika filem sudah mulai, dan sang tauke tidak ada dekat-dekat situ. Begitulah “candu bioskop” dan banyak lagi anak-anak yang lain. Sampai waktu saya sekolah menengah, kecanduan tidak makin berkurang, malahan makin bertambah. Ada waktunya saya duduk dalam gedung bioskop dari pagi sampai setengah malam, dengan tiada istirahatnya. Demikianlah bioskop itu telah menjadi sebagian acara hidup saya hingga saat ini. Dapat saya katakan, bahwa saya hanya satu dari yang banyak.

Darah dan Doa

– – –

Tentu saja, alasan yang mendorong saya pergi ke bioskop itu tidak sama tiap waktunya. Waktu saya kecil, saya gemar kepada filem-filem Tom Mix. Karena Tom Mix itu adalah pahlawan saya. Saya ingin seperti dia, naik kuda berpacu kian-kemari, berkelahi selalu menang, ditembak tak pernah mati. Semua itu menghidupkan khayal saya. Main “cowboy-cowboy-an”. Itulah kesukaan saya. Kemudian datang periode King Kong, Tarzan dan lain-lain, segala yang dahsyat dan ngeri (menyeramkan—red). Lalu menyusul masa asmara-remaja, masa James Dunn dan Sally Eilers, Charles Farrell dan Janet Caynor.

Dan datang masa “masa bodoh”, ke bioskop hanya sekedar periang hati, jika segala kerja yang bermanfaat tak ada lagi.

Tetapi akhirnya datang juga masa kesadaran menimbang dan memilih. Menonton tidak sembarang menonton. Meskipun demikian, kesukaan kepada filem itu tetap. Dan dalam hal ini, saya hanya seorang dari jutaan yang lain.

Kinematografi maju dengan pesatnya. Kemungkinan-kemungkinan di masa depan tidak akan habis-habisnya. Kita jangan lupa, bahwa baru sekarang didapat jalan ke arah kesenian filem yang sebenarnya dan baru sekarang dapat dilepaskan dari kekuasaan cabang-cabang kesenian lainnya, seperti sandiwara. “Kesenian filem baru ada di tingkat pertama dan menemukan cara-caranya sendiri”, demikian berkata pujangga filem Rusia, Pudovkin pada 1928.

Sekarang, 22 tahun sudah lewat (tulisan ini ditulis Usmar pada tahun 1950 —red). Dan seperti diramalkan oleh Pudovkin, bayi itu sudah menjadi suatu “kesenian internasional yang besar”. Meskipun tentang kesenian tidaknya itu (perdebatan—red) sampai sekarang masih diragu-ragukan orang, suatu kenyataan ialah, bahwa filem sudah menjadi bahasa internasional.

Tak dapat disangkal, bahwa dia dalam waktu yang singkat sudah merebut kedudukan tersendiri dalam kehidupan bangsa-bangsa di lima benua. Dan peranannya di masa depan akan lebih besar lagi. Mungkin semua ini tidak Tuan sadari, jika Tuan sedang asyik tertawa terbahak-bahak melihat gerak-gerik Laurel-Hardy yang menggelikan. Mungkin juga tidak, jika Tuan berpanas-panas berdiri dalam suatu barisan yang panjang untuk dapat membeli sehelai karcis, bagaimana besarnya sebenarnya peranan (rol) yang dimainkan oleh “gambar-gambar hidup” dalam kehidupan rohani, tetapi juga dalam anggaran belanjanya penghidupan Tuan sehari-hari.

Dan Tuan juga tidak akan bertanya, apakah sebenarnya filem itu? Bagaimana dia dibikin? Barangkali Tuan tahu nama maskapai (perusahaan—red) yang telah menghasilkannya, siapa-siapa yang main dalamnya dan sesudah menonton Tuan dapat mengatakan: filem itu baik atau filem itu jelek. Atau kadang-kadang Tuan tidak mempunyai pendapat sama sekali. Tapi Tuan tetap tidak pusing, usaha-usaha apakah yang sudah dikerjakan sebelum filem itu diputar di gedung bioskop.

Tuan suka menonton bioskop, tetapi Tuan tidak ingin tahu hakikat pembikinan suatu filem atau barangkali tidak ada orang yang mau memberi tahukannya kepada Tuan. Hingga, apa yang Tuan lihat itu sebenarnya tetap suatu barang yang asing bagi Tuan. Dan dalam hal ini, ruginya ialah, bahwa banyak kali Tuan tidak sadar apa yang disuguhkan kepada Tuan. Lagi, Tuan tak dapat menikmat sesuatu pertunjukan itu dengan sesungguhnya sebagai seorang yang mempunyai selera halus (fijnproever). Dan tentu saja Tuan tidak akan dapat menghargai sifat-sifat seni yang terkandung di dalamnya.

Dengan tidak sengaja Tuan melakukan pembunuhan terhadap diri sendiri dan terhadap kesenian yang dimaksud untuk jadi bahasa internasional yang sehat itu. Paling-paling Tuan hanya menggembungkan kantong kaum kapitalis yang dengan tidak segan-segan, dengan tiada kenal moral akan meracuni selera Tuan, disertai dengan semboyan-semboyan muluk sebagai umpan, supaya Tuan dengan mudah masuk perangkapnya.

RIF_007
Juru kamera R. Husin dan Max Tera serta paling kanan Usmar Ismail.

Waktu masih suka menonton Tom Mix, saya juga tidak perduli siapa dan bagaimana caranya filem dibikin. Saya tidak pernah merasa diracuni, juga kemudian pun tidak. Tapi saya masih ingat, bagaimana masyarakat menjadi gempar karena banyaknya anak-anak muda membunuh diri —sesudah pertunjukan filem Melati van Agam— mengikuti contoh Norma dan Idrus. Filem memang adalah suatu kesenian internasional buat seluruh kemanusiaan. Filem mempunyai sifat-sifat yang mudah dapat dipahamkan. Mudah diterima oleh mata dan kuping. Lekas meresap ke dalam perasaan, karena deretan gambar-gambar yang dengan kecepatan 24 gambar satu sekon (detik —red) itu diputar di depan mata penonton (yang) tidak memerlukan (dari dia) kecerdasan pikiran yang luar biasa. Segala-galanya disuguhkan hanya untuk “ditelan”, “enak” atau “tidak enak”. Dalam hal ini si pembikin filem, terutama si penulis dan pengatur cerita, adalah diktator yang maha kuasa. Dia dapat membawa penonton bermimpi ke indrakila (dunia fantasi dalam pewayangan —red), atau dapat menyeretnya ke neraka jahanam. Tetapi dia dapat juga berputus asa dan patah hati. Dapat membuka pandangan baru terhadap kehidupan dan penghidupan kemanusiaan. Dan dutaannya (misi) yang paling mulia ialah, bahwa (dia) dapat membawa pengertian yang lebih baik antara sesama mahluk yang ada di dunia fana ini.

Kurang lebih 20 tahun yang lalu, Hans Richter, seorang sineas Jerman pernah menulis suatu risalah mengenai hal ihwal sekitar pertumbuhan sinematografi yang dimaksudnya untuk memperkenalkan kesenian baru itu pada khalayak, supaya masyarakat umum yang pada waktu itu rupanya masih anti-filem menjadi pengasih (pecinta) filem.

Di Indonesia kita ini perasaan anti filem itu masih merajalela, terutama di daerah-daerah di mana perasaan keagamaan masih keras. Dan adalah itu kewajiban para sineas Indonesia yang bercita-cita untuk memberikan pengertian tentang filem yang lebih jelas. Tidak saja terhadap golongan-golongan ortodoks itu, tetapi juga terhadap masyarakat penonton umumnya yang pada hakikatnya belum dapat disebut mempunyai kesadaran filem (film-minded).

RIF_008
Akademi Teater Nasional (ATNI). Siswa Akademi Teater Nasional (ATNI) tahun 1960, yang dipimpin Usmar Ismail (berdiri, kedua dari kiri).

– – –

Batu bata adalah bahan pembuat rumah. Demikian pula gambar filem adalah bahan pembuat filem.

Gambar filem itu, meskipun dia dapat bergerak, seperti halnya dengan batu bata tadi adalah suatu barang yang mati. Jika kita lihat di layar putih misalnya, gambar orang jatuh, belum dapat dikatakan gambar itu adalah filem, tetapi gambar orang jatuh itu adalah bahan untuk membangun(kan) suatu filem.

Jika diambil perumpamaan lain, dalam kesusasteraan itu dipakai “kata-kata” sebagai bahan, tetapi “kata-kata” itu sendiri adalah barang yang mati. Baru jika “kata-kata” itu disusun dalam hubungan pengertian yang besar, dia menjadi hidup dan bernyawa. Demikian juga halnya dengan filem. Hanya jika gambar suatu obyek, merupakan satu unsur dari suatu kesatuan yang besar, barulah dia mempunyai “arti sinematografis”. Kalau tidak, paling-paling dia mempunyai suatu kenyataan “fotografis” saja.

Penciptaan gambar-gambar fotografis yang mati itu menjadi (suatu) bentuk sinematografis yang hidup dinamakan montase (konstruksi filem —red). Montase itulah pencipta yang memberi nyawa kepada filem. Hans Richter dalam hal ini mengambil contoh sebagai berikut:

Bahan pertama adalah gambar seorang laki-laki yang memandang ke satu arah.

Bahan kedua, ada tiga macam, yaitu gambar sepiring nasi yang lezat kelihatannya, gambar mayat seorang yang mati terbunuh dan gambar seorang perempuan rebah-rebah di atas divan (tempat tidur), sedang pahanya terbuka.

Jika bahan pertama tadi disusun dengan salah satu macam bahan kedua di atas, dengan berganti-ganti, pastilah kesan yang ditimbulkan pada penonton akan berlain-lain pula.

Pada faktor montase ini saja sudah jelas, bahwa filem itu berdiri lepas dari sandiwara. Dan sungguh salah anggapan yang mengatakan, bahwa montase itu adalah pekerjaan “lem-mengelem” atau sambung-menyambung filem saja. Montase adalah “metode”.

Meskipun dewasa ini, sinematografi sudah sangat maju, alat-alat yang dipakai sudah sangat moderen, tetapi prinsip montase itu tetap. Yang dapat kemudian hanyalah cara-cara untuk menyempurnakannya.

Misalnya, gambar pertama adalah laki-laki yang memandang ke satu arah tadi.

Gambar kedua, perempuan yang sedang rebah-rebah di atas divan itu. Untuk menyempurnakan efek, sekarang kedua gambar itu tidak semata-mata disusun berturut-turut, tetapi mula-mula diambil gambar besar (close up) laki-laki itu. Lalu kamera perlahan-lahan mengedari (berputar di —red) kepalanya sampai kelihatan hanya bagian belakang kepalanya. Tetapi sementara itu di depannya kelihatan perempuan rebah tadi. Lalu kamera sekarang dapat datang mendekati perempuan itu sampai gambar besar (CU). Meskipun dalam hal ini tidak ada yang dilem —karena ambilannya hanya satu kali— tetapi dasar kerja tetap memakai prinsip montase. Hanya alat penolong dalam hal ini misalnya suatu kendaraan penggotong kamera yang dinamakan “dolly” atau “crane” yang lebih besar.

RIF_014
Gubernur Ali Sadikin dan Usmar Ismail pada Festival Film Asia (Pasifik) 1970 di Jakarta.

– – –

Untuk menyelenggarakan prinsip montase tadi dengan teratur perlu ada suatu rencana kerja yang tertulis. Karena filem yang akan dibikin itu sudah (mengenai) suatu (acara) besar yang tidak dapat lagi dihimpun dalam penyusunan beberapa puluh ambilan gambar, tetapi sudah meliputi 400 sampai 500 ambilan (shot). Maka tidak boleh tidak harus, rencana kerja itu dikitabkan (dibukukan —red). Sebagian pengatur filem (regisseur) tidak mau terikat kepada suatu rencana-kerja yang telah lengkap sampai kepada hal yang kecil-kecil.

Rosellinni, seorang regisseur Italia yang terkenal karena filemnya Roma, Kota Terbuka (Rome, Open City) diceritakan hanya bekerja dengan tidak lebih dari 20 lembar kertas ketikan yang hanya berisikan deretan kejadian cerita.

Tetapi seorang seperti Hitchcock, regisseur Inggris yang terkenal itu, sebelum memulai pengambilannya (opname), terlebih dulu menyuruh gambarkan ambilan (shot) yang 500 potong itu satu per satu. Hingga sebelum bekerja dia sudah tahu, bagaimana rupa akhirnya filem itu. Meskipun kesukaran tiap-tiap regisseur itu berlainan, dan terutama juga tergantung kepada bakat dan kecakapannya masing-masing. Pada dasarnya mereka semua bekerja atas suatu rencana yang pasti. Pada yang satu semua sudah ada dalam kepalanya, yang lain perlu dituliskan dengan teliti.

Nyatalah, bahwa untuk menyusun suatu kitab-kerja filem (skenario —red) —yang berarti menyusun filem itu sendiri— tidaklah hanya diperlukan bakat menulis serta fantasi yang besar saja, tetapi juga membutuhkan pengetahuan tentang cara-cara pengatur filem (regisseur) bekerja, pengetahuan tentang cara-cara pengambilan filem (opname) dan akhirnya pengetahuan tentang prinsip montase.

Karena baiklah ditegaskan disini, bahwa cara-cara pembikinan filem di Indonesia ini, kebanyakan sama sekali “terlepas” dari cara-cara bekerja yang berdasarkan prinsip montase itu. Hingga hasil akhir tidak lain hanyalah merupakan pekerjaan “tempel-sambung-hantam-keromo” yang diberi nama “filem”. Jika dalam pembuatan suatu filem misalnya sesudah selesai, satu bagian baru ketahuan sambung-sambungan tidak jalan, (dan lalu) lekas-lekas dibikinkan gambar-gambar penyambungnya, supaya seluruhnya kelihatan toh jalan dan logis. Maka itu berarti bahwa rencana-kerjanya tidak beres, karena mengabaikan prinsip-prinsip montase tadi. Dan sungguh menakjubkan bagaimana setengah kaum di Indonesia ini menganggap enteng segala yang dikemukakan di atas dan menganggap membuat filem itu sama saja dengan membuat tahu, tempe atau kecap. (Tetapi) penonton toh tidak akan tahu semua itu, jadi kenapa mesti ramai-ramai? Penonton suka dan duit masuk. Mau apa lagi?

RIF_016
Kritikus Gayus Siagian (ke-1) dan Usmar Ismail (ke-3) di Belanda tahun 1951.

– – –

Sebelum membuat filem, tentu si pembuat (produser) lebih dulu mencari bahan cerita. Banyak orang beranggapan bahwa dalam filem banyak ada kemungkinan-kemungkinan yang tidak dapat diselenggarakan dalam roman atau dalam lakon sandiwara misalnya. Tapi sering dilupakan, bahwa banyak hal-hal yang dapat diwujudkan dalam roman atau dalam lakon yang tidak dapat dilukiskan dalam filem. Seperti telah dikatakan, filem adalah pernyataan kesenian juga tersendiri yang tentu mempunyai sifat-sifat yang khas pula. Demikianlah, dalam memilih cerita filem, pembatasan pokok cerita menjadi satu syarat yang terpenting. Bela Balazs, seorang ahli filem yang kenamaan telah berkata: “Kegagalan filem-filem yang dibuat menurut hasil-hasil kesusasteraan adalah disebabkan, karena si penggubah lakon filem ingin merangkum terlalu banyak bahan cerita ke dalam pigura layar putih yang sempit itu.”

Pokok cerita serta dasar pikiran, hendaklah dituliskan dengan terang dan jelas dalam suatu singkatan cerita yang mesti menjadi rangka (plot) rencana filem. Sesudah itu, disusun kembali daftar para pelaku, diteliti apakah peranan (rol) yang dimainkan oleh tiap-tiap pelaku dalam pertumbuhan lakon setingkat demi setingkat. Dan ditegaskan lagi apa hubungan yang satu dengan yang lain. Jika si penggubah dapat berpikir secara teratur tentang pokok ceritanya dan dapat dia meneruskan sendi-sendi pikiran yang terletak dalam rangka rencana filem tadi, maka dia akan menemui patokan-patokan lain yang baru yang akan membantu dalam mencari bentuk yang pasti untuk mewujudkan pokok ceritanya itu.

Dalam hal ini tidak boleh sekali-kali dilupakannya, bahwa si penonton tidak saja ingin tahu apa yang terjadi, tetapi juga bagaimana terjadinya!

Demikianlah, singkatan cerita yang tadinya barangkali hanya terdiri dari setengah halaman ketik, perlahan-lahan meluas menjadi beberapa puluh halaman. Hasil-usaha ini dinamakan treatment (penggubahan). Penggubahan ini disusun kembali dalam beberapa bab (act. Teile).

Dalam mengadakan pembagian ini terutama hendaklah diingat tingkat-tingkat ketegangan (tense) pertumbuhan laku yang mesti memuncak terus. Ketegangan ini hendaknya lekas terasa pada penonton, serta ketumbuhan laku yang bertingkat-tingkat itu hendaknya tidak sekejap boleh melepaskan minat penonton dari ikatannya.

Jika pembagian bab-bab itu sudah rapih, barulah si penggubah akan menjumpai kesulitan-kesulitan yang khas dalam pekerjaannya; menulis suatu rencana-kerja filem. Karena penggubahan yang sudah dibuatnya itu sekarang mesti menjadi gambaran yang “plastis”. Segala yang tidak mungkin diperlihatkan secara plastis mesti dibuang. Jika dia ingin menggambarkan watak seseorang maka mestilah dia menempatkan si pelaku itu dalam suatu keadaan yang mendesak dia berbuat sesuatu dan memperlihatkan wataknya sendiri. Dalam suatu gubahan filem tidak dapat orang hanya menuliskan suatu keterangan, misalnya si A itu penakut, dengan tidak menggambarkan bagaimana penakutnya itu. Jika sesuatu kejadian yang perlu digambarkan, maka hendaklah diambil lukisan yang paling jelas tentang keadaan yang terpenting dalam kejadian itu.

RIF_018
Djamaluddin Malik, Usmar Ismail dan Budiardjo, Menteri Penerangan 1968-1973.

Jadi, dalam suatu gubahan filem bukan kata-kata yang dipakai untuk menuliskan semua itu yang penting, tetapi apakah kata-kata itu berisikan kemungkinan-kemungkinan pernyataan yang plastis.

Tiap-tiap bab dari penggubahan itu, dibagi lagi dalam kesatuan-kesatuan laku yang dinamakan babak (sequence, episode). Pekerjaan si penggubah makin sukar juga, karena tiap-tiap babak sekarang mesti dibagi dalam kesatuan-kesatuan laku kecil yang terikat oleh kesatuan tempat dan waktu, dinamakan adegan (scene, szene). Sekarang mestilah dia mengerahkan kekuatan khayalnya untuk dapat menyusun tiap pikirannya dalam bentuk gambar-gambar yang melancar di depan mata jiwanya. Buat tiap pikiran itu dan buat tiap pengertian, mestilah dia mencari pernyataan plastis yang setepat-tepatnya. Pada waktu inilah akan berguna sekali, sifat-sifatnya yang lekas dapat mencatat sesuatu kejadian dalam pikiran, pengalaman-pengalamannya yang lalu dan kekuatan khayalnya yang hidup. Dia mesti tuliskan sekarang apa yang akan kelihatan berturut-turut di atas layar putih nanti. Sampai di sini seluruh hasil usahanya itu dinamakan lakon filem (screen play, filem-play, scenario, manuscript).

Sampai sekarang seluruh perhatian si penggubah semata-mata tertuju kepada penggubahan dasar pikiran serta pokok ceritanya, hingga seluruh garis-garis ketumbuhan laku menjadi jelas, peranan-peranan para pelaku tergambar dengan sesungguhnya dan tercapai suatu puncak segala laku yang menyimpulkan dengan sekaligus penyelesaian, kepuasan, dan akhir cerita.

Dari saat ini si penggubah mesti bekerjasama dengan pengatur cerita/regisseur (sutradara —red) dan juru kamera (cameraman). Pimpinan selanjutnya dalam menyusun rencana kerja yang sebenarnya, dinamakan kitab-kerja (shooting-script, draaiboek, Drehbuch) adalah di tangan regisseur. Kitab kerja ini memuat segala sesuatu yang perlu untuk opname dan montase, memuat petunjuk-petunjuk sudut penglihatan kamera (camera-angle, instellingen), petunjuk-petunjuk tentang montase, catatan tentang percakapan-percakapan (dialog) dan suara-suara pengantar (sound-effects) serta kadang-kadang juga catatan tentang pandangan tiap-tiap ambilan (shot). Tiap-tiap shot itu diberi nomor mulai dari nomor satu dan seterusnya.

Dari bahan-bahan cerita yang plastis yang terdapat dalam lakon filem tersebut, regisseur, penggubah dan kameraman dapat menyusun kitab-kerja yang nyata-nyata sudah memperlihatkan roman filem itu dari mulai sampai akhir. Dalam pada itu, mestilah diteliti sekali lagi sasaran (object) pengambilan (opname) serta geraknya. Kalau perlu dibikinkan skets-skets buat adegan-adegan yang agak pelik. Yang perlu lagi mendapat perhatian istimewa ialah panjangnya tiap-tiap bab, tiap-tiap babak, tiap adegan dan tiap-tiap ambilan (take, shot). Karena satu bab itu merupakan satu kesatuan laku besar, maka hendaklah diatur, supaya panjangnya jangan melewati batas yang tertentu, di mana telah tercapai suatu klimaks (puncak), supaya ketegangan (spanning) yang sudah disusun setingkat demi setingkat itu jangan menjadi lembek lagi.

Tetapi jangan pula terlalu singkat, hingga tidak meninggalkan kesan yang mendalam sama sekali pada penonton. Pada suatu filem yang biasa, tiap-tiap bab itu tidak akan memakan tempo lebih dari 20 menit dan sekurang-kurangnya 15 menit.

Prinsip mengawasi tempo ini berlaku juga buat tiap-tiap babak. Bagian-bagian kecil seperti adegan dan ambilan menentukan irama filem yang sebenarnya. Panjang tiap-tiap ambilan (shot) harus disesuaikan kepada kebutuhan keadaan.

Suatu ambilan besar (CU) misalnya, biasanya cukup 5 detik, tetapi kadang-kadang perlu lebih panjang lagi atau lebih pendek. Dengan adanya alat-alat baru seperti dolly dan crane, ambilan itu bisa menjadi lebih panjang, kadang-kadang sampai 3½ menit, jadi meliputi satu adegan lengkap. Semua.

Adakalanya seorang penyelenggara merangkap regisseur dan penggubah sekaligus seperti Orson Welles dalam Citizen Kane, atau merangkap regisseur dan pemain seperti Laurence Olivier dalam Hamlet. Tetapi pada umumnya tiap keahlian itu dipegang oleh orang yang berlain-lain.

Pada mulanya sebelum diketahui orang, bahwa filem itu mempunyai kemungkinan-kemungkinan dan sifat-sifat sendiri, suatu cerita diatur seperti mengatur lakon sandiwara. Regisseur menyusun babak dan adegan sebagai di atas panggung. Hanya yang istimewa diperhatikannya ialah peralihan adegan (overgang), gerak-gerik dan keluar-masuk si pelaku. Sedang juru kamera hanya berdiri pada satu tempat saja dan mengambil semua itu, sebagai seorang penonton melihat sandiwara.

Griffith seorang ahli filem Amerika adalah yang pertama-tama mendapat kesadaran, bahwa kamera itu dapat dipindah-pindahkan ke tempat yang lebih dekat atau lebih jauh dari sasaran yang akan diambil. Demikianlah permulaannya alat kamera menjadi pengganti si penonton yang aktif. Dan timbullah pengertian-pengertian seperti ambilan dekat (close up), ambilan jauh (long shot), ambilan sedang (medium shot), ambilan total (total shot) serta variasinya yang lain.

RIF_025
Usmar Ismail (1921-1971) saat memberikan arahan kepada Wahid Chan dan Risa Umami, saat menyutradarai film `Krisis` (1953).

Dengan adanya pengertian-pengertian baru ini, bersimpanglah jalan antara si pengatur cerita sandiwara dan si pengatur cerita filem. Karena bahan-bahan lakon yang perlu bagi si pengatur cerita filem bukanlah diambil dari kejadian-kejadian yang nyata, dalam ruangan waktu dan tempat yang nyata, tetapi diambil dari tiap potongan pita filem yang dihasilkan oleh cara memotret kejadian tersebut.

Potongan-potongan pita filem inilah yang jadi batu bata bagi si pengatur cerita filem untuk membangunkan filem usahanya menurut metode-metode montase, seperti diuraikan terlebih dulu.

Dalam menyusun potongan-potongan pita filem itu, si regisseur tidak terikat kepada kesatuan tempat dan waktu seperti regisseur sandiwara. Tetapi dengan metode montase itu dia dapat menciptakan suatu kesatuan tempat dan waktu yang baru. Suatu contoh yang jelas adalah sebagai berikut:

1.  Seorang pemuda sedang jalan-jalan di Pasar Baru dari kiri ke kanan (dilihat dari sudut penglihatan kamera);
2.  Seorang gadis sedang jalan-jalan di Kramat dari kanan ke kiri;
3.  Di Noordwijk mereka bertemu dan berjabat tangan. Si pemuda menunjuk ke suatu arah.
4.  Hotel des Indes.
5.  Si pemuda mengajak si gadis ikut.
6.  Mereka masuk Hotel des Indes.

Orang yang kenal betul pada tempat-tempat di atas mungkin akan merasakan suatu keganjilan, melihat peralihan tempat yang meloncat-loncat itu. Tetapi jika perhatian hanya tertuju kepada laku si gadis dan si pemuda itu saja dan tempat-tempat itu hanya dianggap sebagai suatu dekor saja, maka si penonton akan merasakan seluruh adegan itu sebagai satu kejadian yang berlaku dalam satu kesatuan tempat dan waktu.

Waktu saya menyelenggarakan filem Kembalinya Pemerintah Republik Ke Jogja, pada suatu saat saya mesti memperlihatkan akibat-akibat aksi Belanda sesudah mereka meninggalkan daerah Jogja. Dalam suatu deretan gambar-gambar keruntuhan rumah-rumah dan gedung-gedung, saya bermaksud untuk menegaskan akibat itu. Salah seorang teman yang menganggap dirinya pintar berkata: “Saudara sudah berbuat kesalahan regie. Rumah-rumah yang saudara perlihatkan itu bukan di Jogja, tetapi di Kaliurang dan di Prambanan. Teman itu rupanya belum mempunyai pengertian tentang hakikat filem dan bahwa yang terpenting dalam adegan itu bukan di mana letaknya rumah-rumah itu, tetapi adanya kejadian itu sebagai akibat aksi tersebut. Membuat filem memang bukan semudah yang digampang-gampangkan orang!

Ini adalah hal-hal yang perlu mendapat perhatian secukupnya dalam menyusun kitab-kerja jika kita ingin mendapat hasil yang memuaskan.

Dari sini ke atas, pengatur ceritalah (regisseur) yang memegang tanggung jawab sampai filem selesai seluruhnya.

Untuk berbalik sebentar meninjau yang sudah diuraikan tadi, dapat dikatakan bahwa pengambil inisiatif dalam suatu pembuatan filem ialah si penyelenggara filem (produser, pemimpin produksi) yang bertanggungjawab pula kepada direksi perusahaan. Si penyelenggara mencari cerita yang menurut pendapatnya baik untuk dibuatkan filem. Kemudian dia berunding dengan seorang pengarang lakon filem, tentang kemungkinan-kemungkinan yang terkandung dalam cerita itu dan apakah si pengarang setuju untuk menggubahnya. Di samping itu dia mencari seorang regisseur yang menurut pahamnya cakap dan layak untuk mengatur cerita itu sampai menjadi filem. Jika si pengatur cerita setuju, dapatlah dimulai bekerja, lalu pimpinan penyelenggaraan filem itu diserahkan pada regisseur seluruhnya, jadi pemilihan pemain-pemain, perencana dekor dan lain-lain.

Sedang si penyelenggara terutama menaruhkan perhatiannya pada kelancaran jalannya produksi, terutama dalam organisasi dan hal-hal keuangan.

RIF_027
Usmar Ismail saat shooting film Gadis Desa tahun 1949.

– – –

Supaya lebih jelas bagi Tuan tentang bahan-bahan keperluan seorang regisseur di bawah ini saya beri lagi sebuah contoh yang diambil dari sebuah manuskrip filem Amerika, tentang suatu kecelakaan mobil:

1.  Jalan raya yang penuh kendaraan mobil lalu lintas.
Seorang yang jalan kaki menyeberang jalan dengan punggungnya menghadap kamera. Tiba-tiba sebuah mobil melintas dan menutup orang itu;
2.  Pendek sekali: Roman si supir yang kaget menginjak remnya;
3.  Juga pendek saja: Roman si korban yang memekik kesakitan;
4.  Diambil dari sudut penglihatan supir: dua batang kaki yang sebentar kelihatan di depan roda muka.
5.  Roda mobil yang direm sedang meluncur.
6.  Mayat si korban yang terlentang dekat mobil.

Potongan-potongan yang diambil satu per satu itu, itulah modal kerja si regisseur. Dengan menyusun potongan-potongan itu dalam suatu irama yang pendek-tegas, tercapailah kesan kecelakaan mobil pada penonton, seperti yang dikehendaki pengatur cerita. Nyatalah bahwa bahan-bahan untuk menyusun ciptaannya tidak terdiri dari manusia-manusia yang hidup, tidak dari pemandangan-pemandangan yang sebenarnya, tetapi hanya terdiri dari potongan-potongan bayangan yang jika disambung-sambung menjadikan suatu “anasir kenyataan”. Kebalikannya, pengatur lakon sandiwara mempergunakan kenyataan-kenyataan yang sebenarnya yang sewaktu-waktu dapat diubahnya, meskipun dalam batas-batas ruang dan waktu yang nyata.

Maka jika kita teliti pekerjaan seorang regisseur filem, patokan-patokannya ialah:

1.  Menjelaskan manuskrip menjadi suatu rencana kerja yang lengkap dengan bangunan montasenya;
2.  Memilih pemain-pemain;
3.  Bersama-sama dengan ahli dekor beserta cameraman dan ahli pengambil suara, merancang dekor yang diperlukan. Mencari tempat-tempat yang baik untuk opname luar (locations);
4.  Bersama-sama dengan cameraman merancang sudut-sudut penglihatan kamera serta kemungkinan-kemungkinannya;
5.  Menyusun suatu rencana ambilan (opname-programma) yang berarti memisahkan adegan-adegan yang berlaku pada satu tempat menjadi satu kesatuan dan menetapkan satu kalender kerja;
6.  Mengatur permainan;
7.  Mengamat-amati hasil usaha laboratorium yang mengerjakan filem yang baru diambil dan memeriksa cetakan pertama (werk-copie);
8.  Montase.

Regisseur adalah orang satu-satunya yang menjadi pusat pengatur pembangunan filem dari mula sampai akhir. Dan karena itu tentu saja dalam hal-hal yang disebut di atas, dialah yang mempunyai kata terakhir. Meskipun demikian, filem adalah kesenian bersama (collectief) yang membutuhkan ahli-ahli bagi tiap cabang pekerjaannya. Paling sedikit staf pekerja, selain dari regisseur, harus terdiri dari seorang pembantu regie yang berkewajiban memimpin pekerjaan-pekerjaan persiapan sebelum opname; seorang cameraman dan pembantunya; seorang ahli pengambilan suara dan pembantunya; seorang ahli listrik dan pembantu-pembantunya; seorang pemegang script yang harus mencatat segala sesuatu yang mengenai opname, panjangnya suatu ambilan, adanya persambungan yang logis antara ambilan-ambilan dan adegan-adegan (continuity) dan lain sebagainya; seorang pemimpin opname seorang ahli rias dan pakaian; dan seorang ahli montase.

 

RIF_033
Berapa teaming di atas tidak akan disebut lengkap.
Tuan perhatikan dari kiri : Usmar Ismail (produser-regisseur), Mieke Widjaya (bintang),
Anwar (distribusi), Amura (wartawan film) dan Djajakusuma (sutradara).

Daftar ini dapat diperpanjang lagi, tetapi buat sekedar pengetahuan, baiklah diketahui, bahwa kebanyakan filem studio di Indonesia ini hanyalah memakai staf yang terdiri dari 4 atau 5 orang, satu orang merangkap 4 atau 5 macam pekerjaan.

Sungguh ekonomis, tetapi apakah membaikkan kepada pembikin filem itu sendiri, itu adalah soal kedua.

Dan lagi… Tuan toh tidak akan ambil pusing, bukan?

Seorang pengarang yang baik mempunyai cara (stijl) sendiri. Demikian juga seorang pelukis yang baik tentu akan meletakkan pribadinya sendiri dalam lukisannya. Seorang regisseur yang baik tentu akan kelihatan pula pribadinya dalam ciptaannya, (baik) dalam pemilihan cerita, penyusunan kitab-kerja, penetapan sudut penglihatan kamera dan montase, pengaturan permainan, (tetapi) terutama akan kentara dalam lukisan suasananya (milicu-schildering). Lukisan suasana itulah yang memberi warna kepada suatu filem —yang tidak saja harus terlihat pada tiap-tiap adegan— tetapi lebih dari itu, harus menekankan kesannya yang nyata pada seluruh filem. Hingga terasa dengan senjata-senjata pada penonton sifat-sifatnya yang khas tadi.

Meskipun mewujudkan lukisan suasana itu ada di tangan regisseur, tetapi sebaiknya penggubah lakon filem dalam gubahannya harus sudah memberikan pelukisan-pelukisan (beschrijving) yang nyata. Cara menggubah lakon filem yang lengkap itu akan membantu regisseur untuk menciptakan suasana yang dikehendakinya dan untuk memberi pengertian yang lebih dalam pada sang peran. Apalagi dengan bertambah majunya teknik pembuatan filem, kemungkinan untuk mendapatkan kolorit (warna —red) yang dikehendaki regisseur bertambah besar.

Dengan peralatan penerangan yang ada sekarang, segala corak suasana sudah dapat digambarkan. Demikian pula dengan pemakaian dolly dan crane yang memungkinkan pengambilan yang tidak terputus-putus dapat digambarkan suasana-suasana yang halus sekalipun untuk membantu permainan para peran.

Sebagai juga segala sasaran (object) opname, seorang pemain (peran) pada hakikatnya hanyalah salah satu bahan mentah yang diperlukan untuk membangunkan filem setingkat demi setingkat. Ditilik dari sudut ini, seorang peran di tangan seorang regisseur dapat merupakan obyek yang hidup, tetapi dapat juga merupakan tidak lebih dari barang yang mati, sebuah mobil atau sebuah meja.

Dalam hubungan ini orang memisahkan dua macam filem. Pertama adalah yang disebut “ster-filem” (kebintangan —red), (yaitu) bila manuskrip dan regie semata-mata ditujukan untuk memperlihatkan keistimewaan para bintang filem yang main. Keistimewaan itu dapat berupa paras yang cantik, potongan tubuh yang luar-biasa, kelucuan yang istimewa dan kadang-kadang… kecakapan bermain yang sungguh-sungguh. Filem-filem Amerika dewasa ini pada umumnya dapat dimasukkan dalam kategori pertama ini.

Macam yang kedua ialah filem yang mengambil suatu cita-cita (ide) sebagai pangkal pikiran. Lakon filem macam ini tidak ditulis untuk pemain-pemain yang tertentu, tetapi untuk mewujudkannya mesti dicari pemain-pemain yang tepat untuk melukiskan peranan-peranan yang diperlukan. Filem-filem Rusia sesudah revolusi adalah contoh-contoh yang tegas buat filem-filem seperti ini.

RIF_038
Sutradara Usmar Ismail ketika ia masih berada di Hollywood beberapa waktu yang lalu, bertemu dan bincang-bincang dengan bintang box-office A.S. nomer satu, Rock Hudson. Sumber: Aneka, Nomor 35/VIII 10 Pebruari 1958 Halaman 19.

Para regisseur Rusia waktu itu mencari pemain-pemainnya di jalan-jalan dan di pasar-pasar.

Tetapi dengan bertambah luasnya masyarakat pemain-pemain filem, maka dalam beberapa keadaan kedua macam filem tersebut, tidak mudah lagi untuk membeda-bedakannya. Karena untuk mencari tipe yang diperlukan untuk salah satu rol tidak begitu sukar lagi. Dan biasanya sekarang, para pembuat filem berusaha untuk mencocokkan peranan-peranan dalam cerita-cerita yang terkenal kepada pemain-pemain yang terkenal pula. Bagi kita misalnya sukar untuk mengatakan, bahwa Hamlet itu ditulis istimewa untuk Laurence Olivier, sedang peranan itu rupanya cocok benar bagi diri aktor besar itu.

Meskipun demikian, misalnya bagi kita di Indonesia ini, perihal mencocokkan suatu peranan kepada seorang pemain masih tetap merupakan masalah besar. Karena jumlah pemain terbatas sekali.

Di atas panggung sandiwara masih dapat suatu peranan yang diperlukan dibantu dengan alat-alat bikinan, seperti rias (schmink) dan lain-lain. Seorang muda yang dibikin tua misalnya di atas panggung dapat diterima sebagai seorang tua, karena cahaya lampu rata menerangi mukanya dan jarak antara dia dan penonton tetap jauh. Tetapi dalam filem, kamera bisa mendekati mukanya sedekat-dekatnya dan di depan lampu-lampu yang beribu-ribu watt, dia tidak akan dapat menyembunyikan hakikat pribadinya, meskipun bagaimana baiknya dia dirias. Disamping itu sebuah peranan filem tidak dapat “dimainkan” begitu saja dengan tidak mempunyai dari diri sendiri peralatan-peralatan (middelen) yang diperlukan untuk dapat mempengaruhi dan meyakinkan penonton. Dalam filem malahan tambah baik lagi, jika si peran main secara tidak dipaksa-paksa (natuurlijk). Dan salahlah si regisseur yang mencoba memaksa-maksa seorang peran untuk menggambarkan sifat-sifat yang tidak dipunyainya sama sekali oleh si peran.

Suatu perbedaan besar lagi antara memainkan peranan di atas panggung dan di depan kamera, ialah bahwa di depan kamera si peran tidak bermain secara terus-menerus seperti di atas panggung. Bersandarkan prinsip montase yang disebut tadi, maka si peran filem bermain dalam potongan-potongan.

RIF_039
Studio PERFINI dibangun tahun 1953, berada di jalan Pierre Tendean, Mampang-Jakarta Selatan.

Ini berarti, bahwa dia tidak dapat membangunkan peranannya (karakter) secara sistematis. Perlu ada padanya kecakapan untuk menyesuaikan diri dengan cara-cara pembuatan filem yang khas itu, supaya dia sendiri juga dapat membayangkan bagaimana rupa filem itu kelak jika sudah disambung-sambung. Di samping itu jalan yang sebaik-baiknya ialah untuk menyuruh si peran bermain persis menurut garis-garis petunjuk kitab-kerja.

Pada umumnya sang regisseur sendirilah juga menguasai dan mengetahui seluk-beluk kitab-kerja itu seluruhnya, hingga dia dapat memberi petunjuk-petunjuk yang jelas pada si pemain, waktu suatu adegan diambil. Meskipun demikian, tetap diminta dari seorang peran untuk mengerahkan seluruh perhatiannya hingga tiap-tiap ambilan itu merupakan peranan yang diilhami (geinspireerd).

Untuk ini perlu si pemain mengetahui dan meyakini juga cara-cara pembuatan filem seperti si pengatur cerita.

Sebagai peringatan baik juga dicatat, bahwa amat berlebih-lebihan, jika dikatakan orang, bahwa si regisseur harus menguasai permainan si peran sampai soal yang sekecil-kecilnya, seperti gerak-gerik tangan, alis mata dan lain-lain. Karena cara seperti itu akan mengakibatkan mekanisasi. Tetapi lagak-laku si peran yang tidak diawasi oleh si pengatur cerita akan membawa akibat yang tidak kurang celakanya. Karena seorang pemain yang diberi hati, lekas akan keluar batas-batas keseluruhan filem yang dicita-citakan. Hal ini baik juga diperhatikan sekali-kali oleh mereka yang ingin menjadi bintang filem dan yang membuat filem di Indonesia ini.

Dengan singkat telah saya ceritakan, apa yang saya tahu tentang seluk-beluk pembuatan filem. Pengetahuan ini bagi saya sendiri menambah kesadaran tentang nilai-nilai filem. Tetapi sebagai penonton bioskop yang  setia, pengetahuan itu memungkinkan kepada saya untuk menikmat apa yang saya tonton. Jika perasaan-perasaan ini timbul juga pada Tuan sesudah membaca uraian sederhana ini, maka tercapailah maksud saya menuliskan semua ini. Karena selama masyarakat penonton belum dapat membeda-bedakan entah rasa beras atau yang baik dari yang jelek selain segala apa yang ditontonnya, masa depan kesenian filem di Indonesia adalah hidup sekali. Tetapi jika masyarakat penonton di Indonesia ini mulai memiliki kesanggupan-kesanggupan mengkritik apa yang disuapkan kepadanya, maka berartilah itu jiwa masa pembuatan filem secara sembrono di Tanah Air kita ini —yang sama juga artinya dengan membodoh-bodohi rakyat Indonesia— sudah sampai pada akhirnya. Dan dapatlah kita melihat ke depan kepada masa yang gilang-gemilang dan pasti tiba waktunya bagi Indonesia saat mempunyai kesenian filem yang mempunyai pribadi sendiri, berdiri sejajar dengan usaha-usaha di luar negeri.

Mudah-mudahan!

 

Tiga Dara

 


Tentang Usmar Ismail

Usmar Ismail lahir di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, 20 Maret 1921. Menempuh pendidikan di HIS, MULO B, AMS-A II sampai tahun 1941. Ia meraih Sarjana Muda jurusan filem di UCLA (University Of California di Los Angeles), 1953. Karirnya dimulai dari bidang kesenian sebagai penyair. Pada masa pendudukan Jepang ia menjadi Wakil Kepala Bagian Drama di Pusat Kebudayaan. Di situ dia melakukan langkah-langkah pembaharuan di bidang sandiwara. Bersama kakaknya, Dr. Abu Hanifah dan para seniman serta intelektual dan seniman muda masa itu, seperti Cornel Simanjuntak dan lain-lain. Ia mendirikan perkumpulan sandiwara Maya yang para pemainnya antara lain Rosihan Anwar dan H.B. Jassin yang memainkan karya drama Usmar sendiri. Karya puisinya dikumpulkan dalam Puntung Berasap dan naskah sandiwaranya Dalam Sedih dan Gembira.

Pada masa revolusi ia menjadi tentara dengan pangkat Mayor dan tinggal Yogyakarta. Di situ menjadi pimpinan harian Patriot dan majalah Arena. Ia juga menjabat sebagai ketua Badan Musyawarah Kebudayaan Indonesia, Serikat Artis Sandiwara dan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Tahun 1948, ketika ia melaksanakan tugas jurnalistik meliput perundingan Belanda-RI di Jakarta, ia ditangkap Belanda karena Belanda tahu dia adalah juga Mayor tentara. Sempat membatu Andjar Asmara yang membuatnya mulai terlibat kegiatan yang diminatinya yaitu filem. Dalam lingkungan studio Belanda saat revolusi, Usmar membuat dua filem, Harta Karun danTjitra. Saat penyerahan kedaulatan Indonesa dari Belanda, Usmar memutuskan berhenti dari tentara. Lalu, pada Maret 1950 ia mendirikan PERFINI. Produksi pertamanya adalah Darah dan Doa (1950). Hari pertama syuting Darah dan Doa ditetapkan sebagai Hari Filem Nasional oleh Dewan Film Nasional sejak tahun 1962. filem Usmar Darah dan Doa (1950) dan Enam Djam di Yogya (1951) mendapat tanggapan yang baik dari kritisi dan dunia kesenian. Pada tahun 1952 Usmar mendapat beasiswa dari Yayasan Rockefeller untuk belajar filem di Amerika. Kemudia ia memproduksi Kafedo (1953) dan Krisis (1953). filem Lewat Djam Malam (1954) mendapat sukses besar. Filem ini dibuat berdasar cerita/skenario Asrul Sani. Kemudian mendapatkan penghargaan dari FFA untuk filemnya Tamu Agung (1955) sebagai filem komedi terbaik. Prinsip memperhatikan mutu yang dipertahankan Usmar pada produksi-produksi yang dibuatnya akhirnya membawa PERFINI kepada kebangkrutan. Tahun 1957 kompleks studio filemnya diambil alih bank. Untuk menolong kondisi perusahaannya itu ia terpaksa membuat beberapa filem hiburan, Tiga Dara (1956) yang sukses komersial, Delapan Pendjuru Angin (1957) dan Asmara Dara (1958). Akibatnya Usmar mendapat serangan habis-habisan oleh kalangan komunis sebagai penghianat dan agen Amerika. Padahal sampai sekarang pun filem Tiga Dara masih enak di saksikan sebagai filem hiburan yang segar. Filem berikutnya Pedjoang (1960) berhasil meraih penghargaan dari Festival Filem Internasional Moskow tahun 1961 untuk peran utama, yang dimainkan oleh Bambang Hermanto. Sejak Usmar terjun ke filem, segera ia menonjol sebagai tokoh, berdua dengan tokoh produser Djamaluddin Malik, dikenal sebagai dwi tunggal perfileman nasional. Pada tahun 1962 ia bersama Asrul Sani membidani lahirnya LESBUMI (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) dalam tubuh Nahdatul Ulama (NU) dan ia menjadi ketua umumnya. Karena NU merupakan kekuatan politik yang penting saat itu, maka kalangan kiri tidak bisa gegabah lagi menyerang Usmar. Pada tahun 1966–1969 Usmar duduk di DPR-RI mewakili NU. Filem terakhirnya Ananda (1970). Ia meninggal pada tanggal 2 Januari 1971 karena stroke. (Sumber: Sinematek Indonesia).

Usmar Ismail (1921-1971) saat memberikan arahan kepada Wahid Chan dan Risa Umami, saat menyutradarai film `Krisis` (1953).
Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search