In Kronik
[tab] [tab_item title=”ID”] Pada rubrik Kronik kali ini, Jurnal Footage menghadirkan tulisan Sjumandjaja “Membicarakan Film Indonesia: Di Tangan Borjuis Kelontong, Film Hanya Barang Dagangan” yang dimuat pada majalah Analisa terbitan 24 Juli 1977.

Ditulis oleh Sjumandjaja di tahun ketika industri perfileman Indonesia kembali bangkit usai revolusi tahun 60an. Di tahun ini pula (1977), adalah tahun paling produktif dalam sejarah sinema Indonesia yang menghasilkan 124 filem. Namun produktivitas perfileman Indonesia di masa itu juga telah melahirkan persoalan tentang industri perfileman, pendidikan filem dan pengaruhnya bagi masyarakat yang dibahas oleh Sjumandjaja dengan tegas dan ‘keras’ dalam tulisan ini. Di tahun yang sama dengan terbitnya tulisan ini, terjadi peristiwa bersejarah dalam perfileman Indonesia dimana tidak ada pemenang untuk penghargaan Filem Terbaik pada Festival Film Indonesia 1977.

[ ] filem Indonesia dewasa ini dibuat oleh para produser betul-betul semata-mata sebagai alat hiburan dalam arti yang tidak selalu sehat. Produser filem kita menampakkan diri terutama sebagai pedagang impian (merchant of dreams), dalam posisi demikian si produser memang tidak memijakkan kakinya di bumi Indonesia sebab mimpi yang indah toh senantiasa berkisah mengenai dunia yang tidak selalu kita kenal. [kesimpulan Dewan Juri setelah menonton 27 filem cerita dalam Festival Filem Indonesia 1977].


SJUMAN_RIF_005

Kalau kita coba menilai filem dalam hubungan dengan budaya pop yang kini berkembang di Indonesia, maka jelas dia adalah media massa. Lantas kita bertanya mengenai soal fungsi filem; mau kemana perkembangan filem Indonesia? Ini sebuah pertanyaan lama. Festival-festival filem telah mengemukakan pertanyaan serupa yang dianggap kontroversi. Pertanyaan ini saja sudah menunjukkan kegelisahan dalam kalangan orang-orang filem sendiri.

Memang ada alasan untuk gelisah. Sebab sinematografi di Indonesia lahir dan berkembang dan berada di bawah kegiatan mereka yang bukan seniman filem. Dia berada dibawah kegiatan bisnis. Dan celakanya, bukan dibawah kapitalis-kapitalis atau borjuis-borjuis kelas wahid atau bisnis kelas satu, tetapi berada di bawah kekuasaan orang bisnis kelas ‘kelontong’. Pedagang kelontong. Borjuis kelontong.

SJUMAN_RIF_007

Dan ini tidaklah sulit untuk dijelaskan. Kebetulan orang Tionghoa yang menghidupkan jenis kegiatan ini pertama kalinya adalah jenis pedagang yang datangnya dari Shantung dan bukannya dari Hainan atau dari tempat-tempat lainya. Mereka adalah orang-orang yang menjajakan barangnya dari rumah ke rumah. Pemberi kredit dan para rentenir. Bagaimana bisa mengharapkan sesuatu yang sifatnya ‘kulturil’ dan artistik dari orang-orang jenis ini? Asalnya saja dari borjuis kelas bawah. Maka yang dihasilkan betul-betul kerdil.

Kalau filem untuk pertama kalinya dibuat oleh masyarakat kelas ini, maka untuk mereka filem tidak lebih dari barang dagangan. Inilah warisan filem yang kita punyai. Sekali-kali saja muncul seniman. Tetapi dia tidak dapat melepaskan diri dari selubung yang begitu kuat mengitarinya. Suasana semacam itu sudah begitu menguasai dan mentradisi.

Secara nasional pun borjuis Indonesia tidak pernah melahirkan industri, tidak melahirkan ilmu pengetahuan atau teknologi seperti borjuis Eropa. Borjuasi Eropa melahirkan teknologi industri, ilmu pengetahuan dan keterampilan. Borjuis kita dilahirkan untuk menguras habis kekayaan alam. Nenek moyang kitapun sebenarnya sudah pandai menjual barang-barangnya seperti itu. Semua ini sebenarnya sudah berproses dalam segala bidang secara nasional. Sehingga hasilnya serba kerdil.

Akhirnya datang beberapa seniman yang mencoba menembus suasana kalut ini seperti Usmar Ismail. Dia memunculkan karya-karyanya yang bermutu tinggi.

atheis-posterRIF_POSTER_04

Tetapi akhirnya dia sendiri pun ‘keblinger’. Lantas sekarang muncul anak-anak muda yang lain. Tetapi toh tetap bisa dibayangkan bahwa sebagian besar dari para produsen kita bukanlah produsen murni. Mereka ini adalah para produsen yang dulunya pedagang filem-filem impor. Karena keadaan yang memaksa dan dipaksa pemerintah akhirnya membuat filem. Dan yang tampil bukanlah orang-orang yang kita harapkan tetapi spekulan-spekulan. Masalahnya apakah wajah filem Indonesia yang akan datang merupakan personifikasi dari para pedagang-pedagang ini ataukah para seniman? Disinilah terjadi konflik!

Mimpi
Saya sendiri sangat sadar akan suasana yang akan saya masuki. Dan berdasarkan kesadaran itu saya harus mengambil sikap. Bagi saya filem adalah ekspresi seni. Titik. Bagi saya yang penting adalah membuat filem yang bagus dan bermutu dan bagi konsumsi rakyat! Dan kalau mereka nonton, mereka harus menjadi lebih pandai, sekurang-kurangnya bertambah ‘setengah stok’ dari pada sebelum menonton filem saya. Ini jelas. Kongkrit.

Tentu saja dalam suasana yang ‘didominir’ oleh alam yang telah dikemukakan tadi, saya kalah. Kalau dibandingkan, filem-filem sayapun tidak pernah mencapai box office yang spektakuler seperti filem “Ratapan Anak Tiri” dan “Bernafas Dalam Kubur”. Tetapi tidak jadi soal untuk saya. Bukan itu yang saya cari. Walaupun saya juga mengharapkan itu. Karena saya juga berdagang, meskipun sering dikatakan bahwa yang kita perdagangkan adalah mimpi. Memang benar memperdagangkan filem adalah memperdagangkan mimpi! Filem tidak dapat dianggap barang ‘utiliter’. Barang konsumsi. Tetapi misalnya adalah memperdagangkan mimpi yang bagaimana? Saya mencoba memperdagangkan mimpi plus tanggung jawab sosial, kulturil dan politis. Tidak kurang yang memperdagangkan mimpi thok. Tanpa tanggung jawab. Sehingga apakah filem itu cengeng, cepengan, konyol, pokoknya laku, dijual!

yangmudayangbercinta-1977

Sama saja kalau saya disuruh berdagang cerutu atau ganja. Dua-duanya mimpi. Sama mengandung opium. Tetapi diantara keduanya saya akan pilih berdagang cerutu. Karena seperti juga mimpi tapi tidak merusak seperti ganja. Dan hasil suasana yang demikian kita lihat bahwa dari 70 filem produksi Indonesia hanyalah beberapa saja yang bisa kita sebut (anggap). Yang lain-lain adalah mimpi buruk. Mimpi-mimpi yang tidak bertanggung jawab. Mimpi yang itu-itu saja. Memperdagangkan mimpi seks, naluri-naluri rendah dan semacamnya. Dan semuanya disalut dalam sebuah lifestyle yang penuh glamour. Dan karena itu dengan sangat cepat merebut hati para penonton. Ada juga yang berpikir serius. Tetapi mereka didesak ke pojok, celaka kalau semuanya berjalan terus.

Kembali ke Literatur Indonesia
“Wajah ini penuh luka siapa punya,” demikian Chairil Anwar bertanya dalam sajaknya. Dan filem kita senantiasa mempersoalkan wajah kita; wajah Indonesia. Dan menurut hemat saya itulah wajah kita. Wajah yang penuh luka. Tetapi bagaimana membebani wajah itu!? Untung! Kesadaran tentang itu telah mulai timbul. Sudah mulai timbul kesadaran bahwa filem harus membumi di bumi Indonesia. Selama ini dia tidak membumi. Yang kita lihat adalah buminya Hong Kong, buminya Hollywood, India. Di atas bumi-bumi itulah dia melayang-layang. Orang yang sadar dengan bumi Indonesia selalu kalah. Saya selalu kalah meskipun tidak ada orang yang ‘menjelek-jelekkan’ filem saya dari segi filmis.

Keadaan ini sebenarnya sudah mulai memaksa kita untuk mulai. Dan ternyata lambat laun pikiran semacam itu mulai menang. Menteri Penerangan sudah mulai turun tangan. Sekarang mulai diwajibkan memutar filem-filem Indonesia. Dan orang-orang pun mulai menggemari filem-filem Indonesia. Sekarang malah sudah mulai dibentuk Lemfinas (Lembaga Film Nasional). Untuk pertama kalinya pembinaan filem Indonesia diberikan secara baru. Dan kalau sudah begini keadaannya mari kita mulai kerja. Dan ternyata hasilnya sekarang tidak ada filem Indonesia yang bagus yang hanya diputar dua hari, malah ada yang berminggu.

Filem impor yang paling besar pun tidak bisa mencapai masa putaran satu minggu di Djakarta Theatre. Dengan ini sudah dibuat kegoncangan-kegoncangan. Penonton filem Indonesia pun sudah semakin berkembang. Mereka sudah tahu membedakan mana filem yang baik dan mana filem yang buruk. Drama yang kerdil tidak akan ditonton orang. Filem Inem Pelayan Seksi, adalah filem humor yang bagus. Karena itu penonton berjubel dan semua penonton sudah pandai pula menghargainya. Dan akibatnya borjuis kecil yang kerdil tadi juga sudah mulai tertarik untuk membuat filem yang baik. Ini juga sudah merupakan suatu kesadaran baru yang sudah mulai bertumbuh. Dan memang bisa dipahami. Dunia bisnis adalah dunia yang sangat pragmatis. Mereka tidak bisa disuruh. Kitalah yang harus merombak seluruh suasana dan memaksa mereka untuk mengikuti suasana yang kita ciptakan. Kita lihat bahwa novel-novel yang baik sudah mulai dibuat filem. Saya sendiri sudah pernah berteriak di TIM (Taman Ismail Marzuki—red) untuk mengajak para pembuat filem kembali kepada bumi Indonesia. Dan bagi saya ini berarti kembali kepada literatur Indonesia.

Betapapun buruknya literatur itu tetapi dia tetap membumi di bumi Indonesia.

sidoelanakmodern

Pribadi-pribadi
Untuk melawan kebudayaan pop yang sudah semakin berpengaruh sekarang ini kita harus menumbuhkan pribadi-pribadi. Dalam hubungan itu masalah yang terpenting adalah kembali pada identitas kita. Dan itu harus kita cari. Untuk mengenal yang namanya identitas bangsa, identitas negara kita juga harus mengenal identitas kita sendiri. Semuanya itulah yang mendorong saya untuk menciptakan pribadi-pribadi dalam filem-filem saya. Saya tampilkan Si Mamat, Si Doel untuk melukiskan pribadi-pribadi dan yang memiliki identitas. Karena saya yakin tanpa pribadi-pribadi yang kuat semuanya akan hancur.

Hollywood dengan sistem kapitalismenya hancur. Prancis dengan kapitalismenya hancur. Prancis hanya hidup karena dia mampu menampilkan pribadi-pribadi kuat seperti Sartre (Jean-Paul Sartre), Resnais (Alain Resnais). Italia pun hanya karena memunculkan pribadi seperti Passolini. Demikian pula Jepang. Investasi Jepang di bidang filem sangat besar. Tetapi Jepang pun bangkrut.

Dan Indonesia? Investasi di bidang filem tidak ada. Karena itu menurut saya yang perlu kita bina adalah pribadi-pribadi. Mungkin bukan saja dalam filem tetapi dalam segala bidang harus ditumbuhkan pribadi-pribadi yang kuat. Pada akhirnya Ali Sadikin pun adalah sebuah pribadi. Selesai, kalau dia sudah terlibat dalam suatu arus masa, maka dia pun tidak jadi apa-apa. Dan kini kita tidak akan sebutkan namanya.

Masalah sekarang apakah filem memberikan andil di dalamnya? Terus terang saya tidak pernah mendengar bahwa seseorang sehabis menonton filem langsung membunuh anak-anaknya. Tetapi saya juga tahu dari sejarah bahwa ketika orang Italia mengekspos gunung api yang meletus, ada 112 orang meninggal dalam gedung bioskop, karena 1.000 orang merasa seolah-olah gunung itu betul-betul meletus dan lari terbirit-birit dan bertabrakan. Jadi saya kira tentu saja ada pengaruh filem. Tetapi secara ‘kulturil’ tidak dengan begitu saja kita dapat melihat pengaruhnya. Dan itu sama saja dengan sistem pendidikan. Sistem pendidikan feodal akan melahirkan intelektual feodal. Sistem pendidikan borjuis akan melahirkan intelektual borjuis. Sistem pendidikan kelontongan akan melahirkan borjuis kelontongan. Kalau sekiranya hanyalan snobisme saja yang ada dalam perfileman kita dan membikin filem kita semakin pop, terlalu snobis, maka saya pun kira pengaruhnya akan ada dalam penonton Indonesia. Gejala meniru di desa adalah karena pengaruh filem juga. Mereka bermimpi untuk datang ke Jakarta. Dan kalau begitu, mimpinya adalah mobil mewah, rumah mewah dan lain-lain. Persis seperti yang dia lihat dalam filem.

RA Kartini (1983)

Si Doel Anak Betawi (1972)


Redaksi melakukan sunting bahasa pada tulisan ini, tanpa mengurangi makna dan gaya bahasa Sjumandjaja.


Foto Koleksi Sinematek Indonesia dan Perpusnas RI


Tentang Sjumandjaja
Sjumandjaja lahir di Jakarta 5 Agustus 1933. Ia menempuh pendidikan di SLA Taman Siswa dan menempuh pendidikan filem di Institut Sinematografi Moskow, Rusia (lulus 1965). Selepas pendidikan menengah, ia aktif menulis cerpen, sajak dan kritik sastra. Tahun 1956, cerpen Keroncong Kemayoran karya Sjuman, diangkat ke layar lebar PT. Persari dengan judul Saodah. Lalu, ia bekerja di Persari sebagai penulis yang dipimpin Asrul Sani. Pada 1957, Sjuman menjadi asisten sutradara pada filem Anakku Sajang. Setahun kemudian, ia menerima beasiswa untuk belajar filem di Moskow hingga tahun 1965. Karya filem kelulusannya adalah Bayangan, yang diangkat dari karya penulis novel Amerika Erskin Caldwell. Ia lulus dengan predikat “sangat memuaskan”. Predikat ini merupakan predikat kelulusan sangat memuaskan yang ketujuh bagi mahasiswa dan Sjumandjaja adalah mahasiswa non-Rusia pertama. Sekembali dari Rusia, ia sempat bekerja di Departemen Penerangan. Pada 1967-1968 ia menjadi Direktur Film departemen pemerintah ini. Pada masa jabatannya di Direktorat Film, ia banyak melahirkan kebijakan penting bagi pengembangan perfileman, antara lain; diadakannya Seminar Penyiapan UU Perfilman (UU ini sendiri baru lahir tahun1992); pembentukan Dewan Produksi Film Nasional (1968)—yang memproduksi filem guna mengubah orientasi untuk kualitas yang lebih baik. Ia aktif menulsi lagi setelah melepas jabatannya di birokrasi. Sjuman melahirkan 30 skenario. Dua diantaranya memenangkan Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI), Laila Majenun (1976) dan Si Doel Anak Modern (1977). Filemnya Kerikil-Kerikil Tajam mendapat Citra pada FFI 1985. Sjumandjaja memulai karir penyutradaraan lewan filem Lewat Tengah Malam (1971). Sebagai sutradara, Sjuman mendapat dua Piala Citra, yaitu; Si Doel Anak Modern (FFI 1977) dan Budak Nafsu (FFI 1984). Ia juga menjadi pemain dalam beberapa filem sebagai pemain pembantu. Pada tahun 1973, ia mendirikan PT. Matari Film dengan produksi pertamanya Si Doel Anak Betawi. Film ini mengangkat nama aktor (cilik) Rano Karno, dan membawa kultur kebetawian ke dunia filem dan saat ini di sinetron televisi. Filem-filem yang ia sutradarai, ditulis oleh Sjumandjaja sendiri. Sjumandjaja meninggal di Jakarta pada 19 Juli 1985, di penghujung pembuatan Opera Jakarta. (Sumber biografi: Buku Apa Siapa Orang Film Indonesia, Direktorat Pembinaan Film dan Rekaman Video)

Filemografi:
Bayangan (1965)Isamar (1969)

Maribel (1969)
Mundo De Fieras (1971)
Lewat Tengah Malam (1971)
Flambojan (1972)
Si Doel Anak Betawi (1972)
Si Mamad (1973)
Atheis (1974)
Si Cantik Clara (1974)
Laila Majenun (1975)
Ka Ina (1975)
Si Doel Anak Modern (1976)
Pinangan (1976)
Yang Muda Yang Bercinta (1976)
Carita Pintada (1979)
Kabut Sutra Ungu (1979)
Di Cinta (1979)
Rahasia Cinta (1981)
R.A. Kartini
Budak Nafsu (1983)
Rebecca (1983)
Kerikil-Kerikil Tajam (1984)
 Opera Jakarta (1985) 

Penghargaan:
1. Laila Majenun,  Piala Citra FFI 1976, untuk Cerita Asli Terbaik

2. Si Doel Anak Modern, Piala Citra FFI 1977, untuk Kategori Cerita Asli
3. Si Doel Anak Modern, Piala Citra FFI 1977, untuk Sutradara Terbaik
4. Budak Nafsu, Piala Citra FFI 1984, untuk Sutradara Terbaik
 5. Kerikil-Kerikil Tajam, Piala Citra 1985, untuk Cerita Asli Terbaik

[/tab_item] [tab_item title=”EN”] (Temporarily available only in Bahasa Indonesia)
[/tab_item] [/tab]

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search