In Edisi Khusus, Katalog ARKIPEL

Oleh Manshur Zikri

Artikel Bunga Siagian yang berjudul “Sinematik Representasi Modernisasi Kota” ini pertama kali dimuat di dalam katalog ARKIPEL International Documentary & Experimental Film Festival 2013 sebagai esai pengantar (esai kuratorial) untuk salah satu Program Kuratorial, yang juga berjudul sama dengan esai, di festival tersebut.

Membaca kembali artikel ini, kita diajak untuk merefleksikan suatu ketimpangan sosial, ekonomi, budaya, dan sejarah di tingkat global. Semuanya berangkat dari penggambaran atas kota, baik rupa fisiknya maupun isi kehidupan sosial di dalamnya. Ini adalah refleksi kuratorial yang menimbang bagaimana sinema telah menjadi saksi dari perbedaan sikap dan cara pandang terhadap citra-citra representasional, termasuk arsip, dan demikian pula terhadap dua konsep yang kita kenal sebagai “modern” dan “modernisasi”.

Dalam tulisan ini, Bunga tidak hanya memaparkan bagian-bagian kunci dari film-film yang ia kurasi — untuk ditawarkan kepada penonton sebagai celah interpretasi yang penting — tetapi juga membawa pembahasan atas bagian-bagian tersebut ke konteks persoalan yang nyata dihadapi oleh negara-negara di Dunia Ketiga, termasuk Indonesia sendiri: tentang ketimpangan SDM dan akses terhadap teknologi, hal yang menjadi akar masalah bagi pengarsipan karya seni.

Namun, tulisan ini berhenti pada suatu simpulan yang optimis: karya film yang berupaya menangkap realitas sosial hari ini, tanpa nostalgia arsip itu, pada dasarnya sedang menjelmakan dirinya sebagai arsip masa depan. Sebab, seperti kata Bunga: “…[S]inema menyaksikan bagaimana masalah-masalah sosial akibat modernitas menguburkan bagian-bagian hidup masyarakat tak bersisa, termasuk mortalitas film itu sendiri.”

Esai kuratorial ini sudah pernah dimuat ulang oleh Jurnal Footage pada tanggal 18 September 2013. Redaksi memuatnya kembali menggunakan tanggal baru, dengan suntingan minimal, sebagai bagian dari Editorial 09: Diskursus Satu Dekade.

Selamat membaca!

Sinematik Representasi Modernisasi Kota

BERANGKAT DENGAN SATU kutipan dari film Helsinki Forever: “In 1915, there were 19 divorces in Helsinki. In 1990, the number was 2000”. Perubahan semacam itu sebagai salah satu ciri kota modern, yaitu adanya wanita-wanita karir yang berpendidikan tinggi dan berwawasan luas. Oleh karena itu, tingkat kemandirian mereka sudah begitu tinggi, dan tingkat ketergantungan mereka terhadap pria pun semakin menurun. Dari situ, saya akan menarik satu narasi, yaitu Modernisasi.

Teori modernisasi sebenarnya merupakan teori perubahan sosial yang dibangun di atas landasan kapitalisme, teori evolusionisme, dan teori fungsionalisme. Mengingat bahwa teori modernisasi dibangun di atas landasan kapitalisme maka norma yang mendukung modernisasi jelas bernuansa kapitalistik yang diletakkan di atas sistem persaingan atau kompetisi bebas.

Lodz Symphony (1993) karya Peter Hutton.

Paling tidak, pengertian umum tentang modernisasi adalah proses sejarah pada transformasi perubahan besar-besaran dari pertanian tradisional ke masyarakat industri modern sejak masa revolusi industri abad XVIII, maka Peter Hutton menghadirkan industri modern itu melalui karyanya Lodz Symphony (1993). Melalui film, Peter Hutton mampu merepresentasi modernitas yang hadir di sebuah kota Industri Lodz, Polandia pada abad 19. Hutton menggambarkan perubahan ke modernitas itu dengan menyisipkan satu gambar seorang laki-laki yang bekerja menggarap sebuah lahan yang luas sebagai antitesa di tengah-tengah gambar ruang-ruang kota yang kosong dengan gambar-gambar pabrik yang megah, alat-alat kerja industri seperti roda mesin dan mesin tenun, juga jalur trem. Scene pembuka seorang kakek yang berjalan pincang menggunakan tongkat dan kemudian out frame dari kamera, seolah menegaskan bahwa 19 menit sesudahnya adalah gambar-gambar yang hidup dalam diri para lanjut usia, para saksi bagaimana kota itu tumbuh. Dan Hutton merepresentasikannya dari sudut pandang manusia modern. Penggunaan gambar hitam putih seolah adalah satu kode bahwa selanjutnya film itu adalah situasi ‘klasik’ yang berhadapan dengan modernitas. Seperti diketahui, baru pada 1937 teknologi film mampu memproduksi film berwarna.

Helsinki, Forever (2008) karya Peter von Bagh.

Setelah Perang Dunia II, negara-negara yang terlibat dalam perang dan negara yang baru merdeka banyak yang mengalami kesulitan ekonomi sehingga banyak sekali pengangguran. Di Helsinki Forever (Peter Von Bagh, 2008), film menjadi saksi yang baik dalam menceritakan kembali keadaan sosial saat itu. Salah satunya, mengambil footage adegan-adegan dari film karya Edvin Laine berjudul Ristikon Varjossa, yang menggambarkan sebuah pabrik yang menjadi ‘harapan’ bagi para pengangguran sehingga mereka berbondong-bondong mencari pekerjaan di sana. Atau di filmnya yang lain berjudul Pikku-Matti Maailmalla (Edvin Laine,1947), sebuah bidikan yang menggambarkan beberapa jalur rel kereta dari beberapa daerah melebur menjadi satu rel yang menuju Kota Helsinki, langsung berganti ke bidikan selanjutnya, masyarakat urban yang berdesakan turun dari kereta hendak mengadu nasibnya di kota. Untuk memulihkan kembali kondisi ekonominya maka negara-negara yang terlibat melakukan konsolidasi. Hasilnya adalah adanya perubahan dalam hubungan antarnegara di bidang sosial, ekonomi, dan politik. Di bidang ekonomi, dibentuklah lembaga-lembaga ekonomi yang pada hakikatnya akan mengendalikan negara-negara yang baru merdeka.

Penerapan teori modernisasi dalam kebijakan di negara-negara berkembang (Dunia Ketiga) menyebabkan terbukanya peluang bagi negara-negara kapitalis untuk mengembangkan usahanya di negara-negara tersebut melalui perusahaan-perusahaan multinasional yang kemudian melakukan eksploitasi sumber daya alam di negara-negara tersebut. Ada satu scene metafora menarik di City Scene (2004) karya Zhao Liang. Bidikan seekor anjing kecil yang disetubuhi anjing besar, kemudian kamera zoom-out dan menyorot sebuah papan city plan besar Cina. Tersirat Zhao Liang dengan nakal menganalogikan Cina sebagai anjing kecil dan Kapitalisme sebagai anjing besar.

City Scene (2004) karya Zhao Liang.

Penerapan teori modernisasi dan ideologi pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, ternyata menunjukkan hal yang berlawanan dengan negara maju. Hal ini terjadi karena ada perbedaan tingkat kekayaan (modal) untuk melaksanakan pembangunan. Pada pertumbuhan awal negara-negara industri di Eropa Barat proses industrialisasi membutuhkan modal yang relatif kecil sehingga modernisasi dapat dijalankan oleh pengusaha, masyarakat, tanpa campur tangan yang besar dari negara. Sedangkan modernisasi di negara-negara Dunia Ketiga membutuhkan modal yang sangat besar karena ketertinggalan negara-negara tersebut dalam teknologi dan sumber daya manusia.

Keberhasilan penerapan teori modernisasi di negara-negara Barat dalam pertumbuhannya di masa lalu, di negara-negara Dunia Ketiga justru menimbulkan dominannya peran negara sehingga menciptakan pemerintah yang dominan, yang akhirnya menempatkan pembangunan sebagai ideologi. Akibatnya, terjadi kerusakan lingkungan serta terjadinya kesenjangan sosial dan ekonomi yang begitu mencolok. Fenomenanya dapat kita lihat dalam sebuah film Dokumenter pendek berjudul The Island of Flower (Jorge Furtado, 1989). Terdapat gambar-gambar kontras antara masyarakat yang makan di restoran-restoran kapital dengan masyarakat lain yang berebut tomat busuk di sebuah tempat pembuangan sampah yang luas. Lalu proses bagaimana tomat tumbuh, babi yang diberi makan dan orang miskin yang dibiarkan menderita karena ‘mereka tidak memiliki uang, dan mereka tidak memiliki pemilik’, adalah contoh timbulnya kelompok-kelompok sosial tertentu, adanya perbedaan kelas berdasarkan tinggi rendahnya pendidikan yang ditempuh, budaya konsumerisme, dan kelompok masyarakat yang berhasil dalam bidangnya

Isle of Flowers (1989) karya Jorge Furtado.

Ideologi pembangunan di kota-kota juga akhirnya menyisakan masalah. Ruang-ruang kebutuhan publik harus dikorbankan demi mewujudkan kota metropolitan yang megah. Di City Scene, gambar seorang laki-laki yang berolahraga di sebuah lahan kecil yang dikelilingi bangunan-bangunan tinggi, sambil melempar-lempar puing bangunan yang berserakan di lahan itu. Pindah ke adegan sebuah bangunan tua yang dirubuhkan untuk diganti dengan bangunan yang sesuai dengan ideologi pemerintah. Gambar itu menimbulkan sebuah tebak-tebakan sinis berapa lama lagi kira-kira lahan itu akan bertahan? Lalu berubah menjadi gedung bertingkat seperti di sekelilingnya. Atau yang sudah terjadi adalah bagaimana di salah satu adegan proses senam pagi yang lazimnya dilakukan di sebuah lahan olahraga tapi dilakukan di sebuah high way kota dengan mobil-mobil ngebut di bawahnya.

Selain itu, ideologi pembangunan tersebut tidak sejalan dengan terbangunnya ruang-ruang publik untuk pendidikan dan seni. Akhirnya, lahirlah masyarakat yang hidup di lingkungan ekonomi. Kurangnya masyarakat yang apresiatif terhadap seni menimbulkan masalah baru dalam susunan masyarakat. Yaitu, kurangnya Sumber Daya Manusia dan teknologi sebagai pendukung perngarsipan karya seni. Contohnya di Indonesia sendiri, Sinematek, tempat arsip audio visual pertama dan tebesar di Asia Tenggara baru terbentuk pada tahun 1975. Itu pun menyisakan banyak sekali pekerjaan rumah mengenai mortalitas karya yang tersimpan, seperti yang kita lihat di film Anak Sabiran, karya Hafiz Rancajale.

Perbedaan keadaan sosial-ekonomi negara berkembang dengan negara-negara maju tersebut berpengaruh besar dalam konstruksi estetik film-film di atas.

Kita kembali ke Helsinki Forever, sebuah film megah dan mewah yang menggunakan arsip dari puluhan seniman terbaik Finlandia yang begitu tersimpan dengan baik: lukisan; puisi; dan footagefootage reel film yang terawat dan sudah direstorasi ulang. Bahkan, kita dapat melihat footage film pertama yang dihasilkan negara Finlandia pada tahun 1907, dipakai dalam film Helsinki Forever untuk menghadirkan sudut Jalan Mannerheim dari masa ke masa dengan kualitas yang sangat baik. Narasi pun mulai bertutur, pada tahun 1931, Olavi Paavolainen (seorang esais dan jurnalis) membuat sebuah cerita mengenai lalu lintas di jalan itu. Bidikan selanjutnya, hadir sebuah footage dari karya film Eino Ruutsalo yang berjudul Hetkia Yosa (1961) yang berarti dibuat 30 tahun setelah tulisan Olavi. Selanjutnya dihadirkan sebuah lukisan dari Leo Rannikko (Sokoksen Kulma, 1976). Lihat bagaimana terbantunya Von Bagh menyusun narasinya menggunakan arsip arsip tersebut.

Hal ini bertentangan dengan keadaan di negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia yang memiliki kesulitan dalam mengakses arsip karena ada masalah dengan pengarsipan. Dalam kuratorial ini, terjadi perbedaan tematik antara film dari Eropa dan film dari negara dunia ketiga. Lihatlah Helsinki Forever dan Lodz Syhmpony, mereka sedang asik bernostalgia, lalu kita dari dunia ketiga dengan City Scene dan The Island of Flower, sibuk menghadirkan realitas sebagai kritik sosial yang di masa datang menjadi sejarah dan berfungsi sebagai kritik pula. Gambar-gambar yang dihadirkan di film-film seperti City Scene dan The Island of Flower adalah bagaimana film tersebut adalah arsip itu sendiri. Jika Helsinki Forever mampu dibangun atas susunan arsip yang sangat kaya, maka dua film dari negara-negara berkembang ini adalah arsip untuk masa depan. Melalui sinema, Von Bagh mengajak kita menembus ruang dan waktu untuk mengunjungi Finlandia. Sementara di sisi lain, sinema menyaksikan bagaimana masalah-masalah sosial akibat modernitas menguburkan bagian-bagian hidup masyarakat tak bersisa, termasuk mortalitas film itu sendiri. []

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search