In Artikel

Segalanya diawali dari satu kesalahpahaman yang konyol. Ketika seorang narapidana yang dikenal licik bernama Dead Shot Dan sedang melakukan pasfoto, dia melihat seseorang yaitu Buster Keaton berdiri di belakangnya di balik jendela berjeruji. Saat fotografer sedang abai, narapidana itu menunduk untuk menghindari masuk frame dan menarik rana kamera yang berada di depannya, sehingga yang terfoto adalah wajah Buster Keaton, bukan dirinya. Tidak lama, Dead Shot Dan berhasil kabur. Polisi mencetak juga memperbanyak hasil foto tadi untuk membantu penangkapan, foto wajah Buster Keaton. Karena foto tadi, buster Keaton disangka sebagai Dead Shot Dan. Kemudian, terjadilah pengejaran besar-besaran antara Buster Keaton dan seluruh polisi di kota tersebut.

Kisah di atas adalah sebuah deskripsi dari sebagian alur cerita dalam filem The Goat (Buster Keaton & Malcolm St. Clair, 1921). Seperti banyak filem Buster Keaton lainnya, keberadaan polisi dan aparat hukum dijadikan sebagai bagian dari lelucon. Ketimbang menciptakan teror atau digambarkan heroik, polisi justru malah dijadikan guyon untuk ditertawakan, baik sebagai individu maupun institusi. Keberadaan polisi yang seperti ini juga banyak tergambar dalam beberapa filem komedi sinema bisu lainnya.

The Kid (Charlie Chaplin, 1921)

Tolong! Ada Polisi!

Secara subjektif saya menganggap sinema bisu (1895-1928) adalah salah satu periode paling menyenangkan dalam sejarah sinema. Era di mana pembuat filem dengan imajinatif bereksperimen dan bermain-main dengan medium yang masih terhitung baru untuk menciptakan satu bentuk estetik yang berbeda dengan medium seni dan medium pertunjukan lain. Tiap-tiap wilayah yang memiliki kultur sinema yang kuat, seperti Prancis, Uni Soviet, Jepang dan Amerika Serikat masing-masing mengembangkan pembahasaan dan isu yang khas. Pada periode ini pula sinema perlahan-lahan dikukuhkan oleh para teoritis dan praktisi sebagai bagian dari medium seni yang mapan, tidak hanya sebagai pertunjukan hiburan saja. Ketika suara mulai menjadi bagian dari estetika, ada ketakutan kalau sinema akan kehilangan kekuatan artistiknya[1], lalu filem hanya menjadi teater yang direkam saja seperti yang dituliskan oleh Rudolf Arnheim[2]. Kekhawatiran yang pada akhirnya memang tidak terbukti. Definisi ‘bisu’ (silent) sendiri juga menarik untuk diperdebatkan, karena dalam penayangannya, seringkali diiringi oleh musik yang dimainkan oleh musisi secara langsung di ruang pertunjukkan. Sehingga, definisi filem ‘silent’ atau senyap dalam konteks penayangan saat itu sesungguhnya tidaklah benar-benar senyap. Filem-filem tersebut hanya tidak memiliki kemampuan berbicara verbal dan menggunakan suara sebagai bagian dari artistiknya sebagaimana gambar bergerak dipergunakan. Dengan demikian, definisi bahasa Indonesia yaitu ‘bisu’ lebih tepat mendefinisikan filem-filem tersebut, diandingkan ‘silent’ dalam bahasa Inggris.

Cops (Buster Keaton & Edward F. Cline, 1922)

Buster Keaton, Harold Lloyd dan Charlie Chaplin adalah komedian paling populer di masa sinema bisu di periode 1920-an. Filem-filem mereka sudah menjadi bagian dari kanon sejarah sinema saat ini. Buster Keaton dan Charlie Chaplin menyutradarai juga membintangi sebagian besar filemnya, sementara Harold Lloyd hanya menyutradarai beberapa filem-filem yang ia dibintangi. Walaupun filem-filem mereka diproduksi lebih dari 80 tahun yang lalu, namun ada kecenderungan menarik tentang bagaimana mereka meletakkan posisi polisi dan institusi hukum dan mempergunakannya sebagai lelucon.

Peletakan visual untuk membentuk presepsi dan makna, dalam hal ini yang berhubungan dengan kepolisian dan hukum, terlihat di banyak filem Buster Keaton. Adegan pembuka filem Cops (Buster Keaton & Edward F. Cline, 1922) adalah contoh yang bisa diambil. Buster Keaton berdiri di balik jeruji sembari berbicara dengan perempuan yang berdiri di sebelah kirinya di luar jeruji tersebut. Presepsi yang dibentuk dari gambar ini mulanya adalah Buster Keaton berada di dalam penjara dan sedang dijenguk oleh perempuan tersebut. Walaupun pembicaraan mereka tidak terdengar, tapi ada ketegangan dari wajah mereka. Ketika kamera mengambil sudut gambar yang berbeda, diketahui bahwa jeruji itu adalah jeruji pagar rumah milik perempuan tersebut. Keberadaan komedi tidak hanya terletak pada pengungkapan makna jeruji itu, tapi juga jurang kelas sosial keduanya. Siasat visual yang serupa juga terjadi di adegan pembuka Safety Last (Fred C. Newmeyer & Sam Taylor, 1923) yang dibintangi oleh Harold Lloyd. Filem ini bahkan lebih jauh lagi dalam membentuk makna dengan menempatkan tiang dan tali simpul di balik jeruji untuk memberi kesan bahwa Harold Lloyd akan segera dieksekusi mati. Ketika kamera berpindah bidikan, barulah terlihat bahwa adegan itu berada di stasiun kereta dan Harold Lloyd hendak pergi merantau ke kota besar. Dikelanjutan ceritanya, polisi hadir kembali sebagai pengganggu dan merusak rencana Harold untuk memanjat gedung bertingkat. Aforisme Charlie Chaplin yang berbunyi “Life is a tragedy when seen in close-up, but a comedy in long-shot” berlaku pada konstruksi visual tersebut.

Safety Last (Fred C. Newmeyer & Sam Taylor, 1923)

Baik Buster Keaton dan Harold Lloyd hampir selalu berperan sebagai karakter yang identik: remaja berkulit putih biasa yang tidak menonjol dari latar belakang kelas pekerja yang sehari-harinya berjuang menghadapi percintaan, pekerjaan atau keduanya sekaligus. Mereka tidak menciptakan karakter khusus seperti Charlie Chaplin dengan The Tramp-nya. The Tramp digambarkan sebagai lumpenproletariat; berada di sudut terbawah dari strata sosial kenyataan filemis yang diciptakannya. Kostum khasnya adalah setelan jas yang sudah lusuh, topi bundar dan tongkat kayu yang membantunya ketika berjalan megal-megol. Relasi The Tramp dengan polisi juga menegaskan posisi sosialnya. Di banyak filem, ketika The Tramp melihat polisi dari kejauhan, kakinya seperti sudah terprogram membawa dirinya ke posisi berlawanan untuk bergerak menjauh dari polisi tersebut. Polisi pun bergerak sebaliknya, mendekati The Tramp karena prejudis terhadap dirinya yang dianggap hanya menunggu waktu untuk menjadi kriminal; seakan-akan eksistensinya sudah melanggar hukum. Komedi dan konflik hampir selalu terpantik ketika keduanya bertemu, entah itu karena The Tramp memang melakukan pelanggaran sebelumnya ataupun tidak. Bagi The Tramp polisi adalah ancaman yang harus dihindari sesegera mungkin. Contoh dari pola peristiwa tersebut bisa dilihat mulai dari filem-filem two reel-nya seperti The Idle Class (Charlie Chaplin, 1921) hingga filem fiturnya The Circus (Charlie Chaplin, 1928) dan City Lights (Charlie Chaplin, 1931). Sergei Eisenstein penah menuliskan satu esai menarik tentang metode komedi Charlie Chaplin yang menurutnya, kualitas utama dari tragedi/komedi yang dihadirkannya adalah “mampu melihat peristiwa terburuk dan terkejam melalui mata anak kecil yang sedang tertawa”[3].

Mekanisme gerak untuk menghindari polisi juga dilakukan dengan brilian di filem-filem Buster Keaton. Jika Charlie Chaplin dan Harold Lloyd berurusan dengan ‘segelintir oknum’, maka yang dihadapi oleh Buster Keaton adalah seluruh satuan kepolisian kota. Puncak dramatik dan komedi dari The Goat dan Cops adalah pengejaran masal antara Buster Keaton dengan ratusan anggota kepolisian. Selain memperlihatkan tidak becusnya institusi kepolisian, adegan dan sekuen pengejaran tersebut juga menunjukan magnetisme antara polisi dan sipil yang juga disebutkan sebelumnya dalam kasus The Tramp, bahwa polisi bukanlah kawan baik kelas pekerja dan kelas di bawahnya.

Cops (Buster Keaton & Edward F. Cline, 1922)

Namun ada juga sisi lain penggambaran polisi dan institusi hukum yang bersifat simpatik, walaupun tidak banyak. Easy Street (Charlie Chaplin, 1917) dan Convict 13 (Buster Keaton & Edward F. Cline, 1920) adalah beberapa contohnya. Di Easy Street, Charlie Chaplin menjadi gelandangan yang masuk anggota kepolisian sebagai bagian dari pertobatannya terhadap masyarakat, sementara Buster Keaton menjadi sipir di Convict 13. Walaupun demikian, kecenderungan gambar yang dihasilkan tetap saja ketidakberesan institusi hukum yang lalu berpengaruh pada kehidupan individu di sekitarnya.

Lelucon-lelucon yang mereka buat bisa dilihat sebagai bagian dari cara pandang dan refleksi masyarakat saat itu. Walaupun terpisah dimensi waktu dan wilayah, sepertinya kita masih berbagai cara pandang yang sama hingga sekarang.


 

[1] Hal ini bisa jadi pengecualian di filem-filem Charlie Chaplin karena dia juga bertanggung jawab sebagai komposer di banyak filemnya, sehingga ada upaya untuk menjadikan suara latar sebagai bagian dari artistik filem sejajar dengan visual.

[2] Arnheim, R. (2006). Film as Art (First ed.). University of California Press.

[3] Eisenstein, S. (1970). Film essays and a lecture by Sergei Eisenstein (Praeger film books) (1st ed.). Praeger.

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search