In Kronik

Tulisan ini terbit di majalah Aneka (No 31, Tahun IV, 1 Januari 1954) tanpa tercantum nama ataupun inisial penulisnya.

Penulis mencoba menangkap fenomena kontemporer saat itu yang sepertinya masih relevan untuk kita amati saat ini; bagaimana industri film di Eropa Barat dan Amerika Serikat merepresentasikan dan menggunakan tubuh perempuan sebagai bagian dari ekspansi pasar.

Di awal paragraf, penulis berupaya untuk menjelaskan bahwa diksi ‘Blok Barat’ yang digunakan tidaklah bermakna politis. Namun, bila kita melihat panasnya ketegangan antara Blok Barat dan Timur pada pertengahan periode 1950-an, posisi Indonesia dalam politik International, serta keberadaan Konfrensi Bandung yang diselenggarakan setahun setelah tulisan ini terbit, rasanya mustahil menilai makna Blok Barat tidak politis.

Terlepas dari beberapa pokok ide yang terkesan naif bila kita refleksikan dengan konteks saat ini, redaksi menilai bahwa tulisan ini perlu untuk kembali kita baca sebagai bahan perenungan tentang wacana representasi perempuan dalam layar perak di wilayah kritisisme di Indonesia. Redaksi sadar bahwa beberapa sudut pandang di artikel ini terkesan moralistik. Namun, di sisi lain, rasanya perlu juga diketahui pergulatan tentang representasi perempuan yang terhubung dengan kapitalisme global dalam wacana kritisisme di Indonesia saat itu. Menarik pula untuk dipertimbangkan bahwa landasan moral justru mendahului teori psikoanalisis untuk mengkritik relasi antara layar, tatapan, fantasi laki-laki, dan komodifikasi perempuan.

Selamat membaca!

Penulis tidak bermaksud hendak memecah seni film dalam bentuk kebudayaan, sebab film sudah menjadi milik seni dunia umumnya, meskipun pada tiap negara diusahakan adanya corak nasional. Film Blok Barat, dimaksudkan hanya untuk memberikan pengertian tentang hasil film-film dari negara Blok Barat, Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan di sini masuk pula Italia. Bukan pada tempatnya di sini Blok dengan maksud politik, baik dalam arti sosial, ekonomi, maupun kebudayaan.

Dalam waktu terakhir ini, terasa sangat adanya suatu cara pembuatan film oleh dunia Blok Barat termasuk Italia, yang kurang enak dilihat oleh kaum wanita Indonesia, termasuk reklame-reklamenya. Ini kalau orang atau kaum Ibu khususnya mau merenungkan sedalam-dalamnya. Sudah pasti dapat disayangkan bahwa seorang pengusaha film tidak akan berhenti dalam usahanya, apabila hasil itu memberikan keuntungan yang besar, dan digemari oleh konsumen, dan dapat menembus pasaran dunia. Sebagaimana seorang pengusaha film, juga seorang pedagang biasa, pedagang besar yang mempunyai fungsi seniman. Tetapi toh mereka pada suatu saat, akan menyampingkan dirinya sebagai seniman, apabila hasil filmnya yang berSENI itu, tidak membawa yang banyak dan merugikan perusahaan. Di sinilah akhirnya unsur-unsur seni dihias dengan faktor-faktor ekonomi yang halus dan menarik.

Amerika, Perancis, Italia. Kini kelihatan mencari film dengan bentuk yang sangat digemari oleh masyarakatnya. Masyarakat Amerika Serikat dan Prancis sudah demikian rupa coraknya dalam menggemari film, sedangkan di dalamnya SEKS merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong semangat untuk bekerja, bertindak, dan lain-lain. Penulis sendiri belum pernah melihat negara-negara tersebut, akan tetapi dari surat rekan-rekan yang berada di negara itu, serta dari orang yang pernah mengunjunginya, SEKS membawa juga pengaruh terhadap kehidupan masyarakat sehingga sudah dianggap soal biasa, tetapi urgent.

Tahun belakangan ini, film-film Amerika Serikat banyak yang membanjiri Indonesia, sebagaimana tahun sebelumnya. Akan tetapi kali ini banyak muncul dengan film-film yang mengandung penarik SEKS. Memang SEKS tidak usah kita malu-malu, sangat menarik perhatian kaum laki-laki. Oleh karena seks dalam film tidak dilukiskan dengan terang dalam titelnya, nama film, maka barulah dapat diketahui bahwa film itu menonjolkan seks, setelah orang melihatnya. Misalnya, songs film (film musikal), romans film, drama, lelucon, orang tidak dapat membuktikan, sebelum melihat gambar-gambar dalam layar putih.

Sensualita (Clemente Fracassi, 1952).

Gerak-gerik menjanji, gerak-gerik menari, semuanya itu baik pemain filmnya, maupun bentuk tariannya (ciptaan menurut irama lagu), selalu dicari oleh pencipta dan pemimpin, untuk berusaha menunjukkan sex appeal dari pemainnya. Pengusaha-pengusaha film mencari pemain film wanita yang dipandang memenuhi seks, muka yang cantik, paha betis yang langsing dan menggairahkan mata, buah dada yang menegukkan air liur laki-laki, jalannya yang semua tubuh badan bergerak sehingga penonton harus menarik nafas panjang, dan lain-lain. Ini semua belum seberapa, masih biasa. Akan tetapi kalau sex appeal-nya pemain wanita itu ditempatkan dalam bentuk yang sebaik-baiknya oleh regisseur (sineas) yang cakap, maka seluruh penonton film itu akan kabur matanya, terbang fikirannya, ke alam yang khayal, bertunggal pada suatu pokok cerita film itu. Akibatnya selain penonton film lalu menonton lagi berulang-ulang (merupakan keuntungan pengusaha), maka pengaruh ini menjadikan penonton sebagai manusia yang mengingini pula hal-hal yang demikian.

Contohnya;

Seorang laki-laki kemudian berpendapat dan melamun yang bukan-bukan yang tetap berhubungan dengan film yang habis ditonton. Seorang pemuda misalnya… “Aku ingin punya gadis jelita calon isteriku yang mempunyai sex appeal seperti itu”. Punya kaki begitu, muka begitu, buah dada begitu, jalannya begitu, bibir begitu. Ini bahayanya terlihat di kemudian hari.

Perkawinan (perjodohan) tidak lagi akan berdasarkan kepada percintaan yang kekal dan jujur suci, melainkan hanya berdasarkan pertimbangan seks dan hawa nafsu belaka, yang tidak akan membawa kebahagiaan alam rumah tangga. Sesaat akan pecah dan hancur mahligai ini. Dan siapakah yang menjadi korban? KAUM WANITA. Tambah janda, krisis akhlak, dan madam masyarakat rusak, negara menghadapi keruntuhannya.

Ini belum, kalau film-film demikian itu semakin banyak, dan semakin pula menjadi kegemaran penikmat film di Indonesia, pasti pengaruhnya akan lebih hebat lagi. Bukankah sekarang ini sudah terlihat tanda-tanda bahwa anak-anak sekolah SMA ke atas dan kalangan intelektuil, baik wanita maupun laki-laki gemar akan film yang demikian? Bahkan film demikianlah yang dianggap baik? Sensualita (Clemente Fracassi, 1952), Niagara (Henry Hathaway, 1953), dan lain-lain?

Inilah kepandaian pengusaha film Amerika Serikat atau blok Barat. Sudut-sudut seks diselundupkan demikian baiknya sehingga orang akan tetap berkata baik. Orang dilupakan soal seks yang seram namun dihanyutkan oleh ceritanya. Sedangkan pandangan penulis tersebut di atas sebagai wanita lepas. Itulah kemahiran seorang regisseur dalam menggunakan sex appeal, pemain wanita dalam sebuah film cerita. Dan selama regisseur itu masih ada kesempatan untuk mempraktekkan kepandaiannya, selama itu pulalah penonton akan disajikan dan kenyang akan pertunjukan dengan gaya yang menarik.

Seorang pria yang tidak kuat dalam imannya, mungkin akan timbul pikiran atas reaksi film yang habis dilihatnya. Mengapa isteriku tidak sedemikian bagus badannya? Alangkah puas hatiku kalau isteriku demikian? Bagaimana kalau saya yang jadi dia? Dan ingin rasanya saya mengalami dan menjadi seperti dia. Saya katakan kurang kuat imannya. Pada umumnya diakuilah penonton film yang masih muda baik wanita maupun pria dewasa, jika melihat adegan yang romantis penuh dengan gaya seks akan tergairat hatinya. Dan kurang kuat imannya, maka reaksi vermogen yang seberat itu, akan menjadi bahan filsafah diri sendiri, dan dirumusnya sedalam-dalamnya, sehingga kalau hasilnya itu salah, akan terjadi ketidak tenangan rumah tangga. Mereka tetap ingin wanita cantik yang penuh dengan sex appeal, sebagai Marilyn Monroe.

Niagara (Henry Hathaway, 1953).

Mengingat bahwasanya, segala sex appeal dalam film itu selalu terdapat (digunakan) pada tubuh seorang wanita, maka film-film yang bercorak demikian inilah yang sebenarnya mendapat perhatian kaum ibu. Mereka itu boleh berkata, bahwa film itu dengan cerita dan pemain serta dibuat oleh negeri lain. Akan tetapi siapakah yang menonton? Negara manakah yang dijadikan tempat pemutaran? Soal film tersebut buatan negeri antah-berantah, bukanlah soal yang pokok. Yang penting ialah bahwasanya pengaruh yang dibawa oleh film itu, tidak membawa perbaikan, akan tetapi sebaliknya malahan menanam benih-benih yang akan menjadi besar dan membawa ke arah tujuan yang sesat pada masyarakat penonton di Indonesia.

Ini perlu dipikirkan sejak sekarang, sebelum film-film seks itu bertambah banyak jumlahnya, dan pengaruhnya belum begitu besar terhadap cara hidup gadis-gadis dan pemuda kita. Film SEKS yang meliputi segala corak film dalam bentuk cerita-cerita yang beraneka warna ini, tidak pernah memperlihatkan sex appeal yang ada pada kaum pria, tetapi selalu seks appeal yang ada pada kaum wanita. Dalam hal ini apakah pihak Panitia Sensor Film sudah menaruh perhatian? Mudah-mudahan sudah. Sebab memandang film melalui dasar-dasar pertimbangannya (undang-undang) Panitia Sensor Film pun harus disertai dari sudut-sudut. SEKS. Tetapi umumnya, karena perbawa kata film baik, jadi kalau dipotong adegan yang seram penuh dengan gaya dan aksi yang menarik hawa nafsu, dengan memperlihatkan seks appeal pemain wanita, maka film itu akan menjadi tidak baik, kabur. Teranglah, bahwa sesungguhnya, film yang dikata baik itu, hanya terletak oleh beberapa adegan yang seram dengan pertunjukan bagian-bagian badan wanita yang penuh sex appeal. Seperti Niagara, misalnya, Marilyn Monroe hanya keluar beberapa kali dengan diperlihatkan sex appeal dengan penuh gaya penariknya oleh regisseur, orang berkata film baik. Coba kalau adegan-adegan Marilyn Monroe hilang (dihilangkan), apakah jadinya pendapat orang? Apakah orang boleh berkata bahwa pengusaha film hanya menjual (memperlihatkan) sex appeal-nya pemain wanita? Kalau ini boleh dan benar, bagaimanakah kiranya pandangan wanita pada film tersebut? Dan penulis masih percaya kalau ada film Indonesia yang mempunyai sifat demikian, akan didobrak kontan oleh Panitia Sensor Film, sebelum masyarakat wanita menolaknya.

Reklame film mereka pun dibuat sedemikian rupa, sehingga penonton akan tertarik melihatnya. Plakat besar yang menempel di muka bioskop, diberikan gambar pemain film wanita yang menunjukkan sex appeal-nya. Penulis tidak dapat mengerti sebuah reklame Sensualita misalnya, yang menunjukkan pemain wanita tidur dengan ditonjolkan buah dadanya (digambar terang), sedang kepalanya tidak diperlihatkan. Apakah ini pelukisnya bermaksud mengadakan komposisi yang baik? Atau komposisi yang berani?

Poster filem Sensualita (Clemente Fracassi, 1952).

Namun terang, bahwa reklame itu berusaha menarik sebanyak mungkin penonton dengan sengaja memperlihatkan sex appeal pemain wanita itu. Apakah benar kalau dalam masyarakat Blok Barat film itu tidak akan tertarik dan menonton kalau tidak dengan reklame yang diberikan? Mungkin ada benarnya. Akan tetapi bagaimana dengan Indonesia? Rupanya pun sudah ada tanda-tanda mulai ada hal yang sedemikian, meskipun belum tampak dengan jelas. Hal ini akan dapat dilihat dalam beberapa waktu lagi.

Sebagaimana halnya film, apakah dalam reklame tidak juga diadakan pengawasan yang sempurna? Apakah pengawasan reklame ini hanya terdapat di lapangan pembayaran pajak saja? Kalau hal ini belum ada pengawasan yang lebih sempurna, hendaknyalah menjadi perhatian yang bersangkutan.

Reklame pun mempunyai kesopanan. Mempunyai cara pemberian visueel yang sopan. Mengapakah tidak dipergunakan yang lebih baik. Ini memang menunjukkan bahwa reklame memang diberatkan pada sudut komersil. Akan tetapi kalau dapat melukai perasaan dan jiwa ke Indonesia-an maka sewajarnya yang berwajib melarangnya.

Orang boleh berkata, bahwa dengan lihat reklame, belum tentu orang akan meniru. Benar. Akan tetapi dengan melihat reklame yang penuh dengan sex appeal seorang pemain wanita yang ditonjolkan itu, yang tidak akan terjadi dalam adat wanita Indonesia dalam film-film Indonesia, maka orang mudah tertarik. Dan dari tertarik inilah, sang pengaruh akan memberikan contoh, dan bioskop merupakan tempat college yang ajaib dan ampuh.

Ini berbahaya bagi gadis-gadis kita yang masih duduk dalam bangku sekolah menengah, yang umumnya sudah boleh melihat film-film demikian (17 th.). Gadis yang sedang dalam krisis kedewasaannya ini, akan hanyut dalam lamunan demikian dan mencontohnya, di kala saat pikiran dan pandangannya sedang lemah.

Poster filem Niagara (Henry Hathaway, 1953).

Sebab itulah, adanya tanda demikian saja bayangkan sekarang, agar pada kaum wanita yang lebih mengetahui soal-soal perkembangan masyarakat wanita pada abad lingkungan film yang penuh seks ini, memperhatikan dan ikut pula memberi batas-batas tertentu. Film sebagaimana halnya merupakan kebutuhan umum, bukanlah menjadi SOALNYA kaum pria saja. Bahkan kalau ditinjau adanya film-film luar negeri Blok Barat yang selalu penuh dengan sex appeal, dan persoalan seks ini, dan selalu pada pemain wanita, maka soal film merupakan persoalan wanita yang lebih-lebih dari tugas pria. Romantis, tarian, yang serba seram juga dalam perasaan wanita, kaum ibu, lebih baik tidak melihatnya, adalah ketetentuan-ketentuan yang hanya diperhatikan oleh kaum wanita. Tidak semata-mata hanya pria saja yang menentukan.

Masyarakat wanita Indonesia tidak mau terseret dalam arus pergolakan seks seperti yang digambarkan dalam film-film Blok Barat. Dan setiap pengaruh yang membawa gejala itu, baik secara lambat maupun cepat, sengaja atau tidak sengaja, pasti akan dilemparkan sejauh ke luar dari Indonesia. Biarlah kalau kaum pria dan ibu yang tidak puas melihat film yang zonder (tanpa) penuh seks di Indonesia, melihat film demikian itu di Perancis, Amerika Serikat, Italia, dan lain-lain. Karena masyarakat Indonesia belum sampai pada tingkatan demikian, dan diharapkan akan tidak demikian halnya.

“Berpayunglah sebelum hujan”. Dan jangan SESAL KEMUDIAN. Saya masih percaya, bahwa sesungguhnya pada mereka itu masih dapat pula membuat cerita atau adegan zonder demikian. Tetapi oleh karena masyarakatnya sudah terjangkit penyakit demikian itu, maka segala sesuatu film yang zonder demikian, tidak akan laku. Dan bagi Indonesia adalah suatu bahaya yang besar bagi perusakan adat kesopanan wanita Indonesia, kalau ada seorang regisseur yang mencari pemain wanita penuh dengan sex appeal yang menarik, serta diperlakukan dalam adegan yang tidak mungkin diterima oleh mata penonton wanita Indonesia. Dan percaya, bahwa hal ini tidak mungkin terjadi. *

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search