In Editorial [Lampau]

Kelahiran video menyebarkan demokrasi  ke relung-relung terdalam masyarakat. Setiap orang, dengan alat video bisa menjadi perekam sejarah. Perekaman tersebut bisa dimulai dari dokumentasi pribadi sampai ke bisnis berita yang dihasilkan oleh jurnalis-jurnalis orang biasa. Bahasa agungnya citizen journalist. Tapi bolehlah kita sebut mereka wartawan kampung. Tidak dalam maksud menjelekkan di sini. Kerja mereka sesungguhnya dapat dikatakan sebagai kerja maha besar. Setiap saat, mereka merekam kejadian-kejadian yang sangat berguna sekali sebagai data sejarah. Anda atau saya mungkin tidak terlalu mengerti apa yang mendorong mereka bersusah payah merekam sesuatu yang mungkin juga tidak terlalu mereka pahami. Tapi satu hal yang jelas, mereka ingin mencatat dan menjadi bagian dari sejarah itu sendiri.

Kalau kita runut ke belakang, sejarah hanya dikuasai oleh orang-orang yang punya kekuatan. Sebelum lahirnya teknologi, pengetahuan hanya dikuasai oleh para cendekia yang bertugas untuk menyenangkan raja-raja. Mereka menulis buku-buku dan didistribusikan terbatas di kalangan penguasa. Lalu muncul mesin cetak Guttenberg pada 1456 yang merusak pola distribusi buku-buku pengetahuan, dari hanya lingkaran kecil penguasa ke lingkaran yang lebih massif. Di bidang seni, lukisan yang menjadi lambang supremasi seniman terkikis oleh kelahiran fotografi –teknologi menggambar dengan cahaya itu— lalu lahir lagi teknologi gambar bergerak, kamera seluloid. Namun, kemunculan kamera seluloid tidak ditanggapi dengan baik, disebabkan teknologi ini seakan mengukuhkan kembali lingkaran kecil orang-orang punya kuasa, orang-orang yang berkuasa untuk mengaksesnya.

Beruntunglah teknologi video ditemukan di Jerman, tahun 1950an. Kemudian berkembang sampai sekarang, di mana variasi alat rekam beragam, mulai dari kamera definisi tinggi, kamera genggam, hingga kamera telepon selular yang lebih sederhana. Keragaman ini anugerah menyenangkan. Setiap orang seakan kembali pada semangat Guttenberg, semangat persebaran informasi dan perluasan demokrasi. Setiap orang kini bisa menjadi pelaku sejarah dan mendapat penghormatan dari sejarah, dalam caranya masing-masing.

Namun, lagi-lagi, di tengah-tengah riuh semangat demokrasi ini, para pelaku bisnis, terutama korporat media televisi melihat celah. Kehadiran mereka sebenarnya menyakitkan. Dalam kerangka citizen journalist, korporat media tidak canggung mengundang semua orang untuk mengirimkan berita apapun yang dinilai memiliki harga berita untuk dikirim ke media mereka. Fenomena ini jelas terjadi di Indonesia sekarang. Lebih dari 75% berita di media televisi berasal dari orang biasa. Bahkan salah satu pelaku media televisi membuat program khusus yang menayangkan hasil-hasil rekaman dari orang biasa. Di satu sisi, fenomena ini memang menjadi bukti bahwa demokrasi sudah menyebar sampai ke relung-relung terdalam masyarakat. Tapi di sisi lain, media massa komersial mendapat manfaat luar biasa dari hasil-hasil rekaman orang biasa yang dengan tingginya mereka sebut sebagai citizen journalist. Padahal, para jurnalis warga ini hanya mendapat kompensasi seadanya dari hasil kerja mereka. Kalau mau ditilik lebih mendalam, kita bisa menyebutkan sekian keuntungan yang dimiliki korporasi media televisi dari keberadaan jurnalis warga ini. Bayangkan berapa banyak hasil rekam yang bisa dijadikan data sejarah. Hasil-hasil rekam ini bisa dipakai untuk berbagai kepentingan dan dari semakin banyaknya kiriman kita pasti tercengang mengingat hasil-hasil rekam itu ternyata luar biasa. Rekaman bom Bali I dan II, atau ledakan gas Sidoarjo, rekaman aksi-aksi kekerasan di IPDN dan salah satu Sekolah Pelayaran di Jakarta, serta merebaknya kelompok-kelompok siswi berandal seperti Gank Nero dan banyak lagi , menunjukkan betapa teknologi ini luar biasa. Orang yang merekam peristiwa bersejarah itupun memiliki peran penting per se. Namun apa yang mereka dapat? Sekadar uang yang jumlahnya tidak sebanding dengan apa yang sudah dihasilkannya.Selain itu, melalui jasa jurnalis warga, para korporat media bisa menghemat biaya operasional yang harusnya mereka keluarkan, seperti membayar gaji tetap wartawan, uang jalan dan lain sebagainya. Terlepas dari soal pemberian uang atas kontribusi yang diberikan jurnalis warga kepada media, apa yang dilakukan korporat media televisi terhadap para jurnalis warga, jelas-jelas tidak menghargai pelaku dan perekam sejarah penting ini. Para jurnalis warga itu tidak pernah menjadi bagian penting dalam sejarah pemberitaan. Mereka hanya menjadi bagian minor dari lingkaran besar konsumerisme dan kapitalisme media. *

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search