In Artikel

Dengan cara apakah kebisuan mampu menjelmakan perlawanan? Andrei Rublev, kronologi epikal seorang padri pelukis, sebagaimana selanjutnya Mirror yang autobiografikal dan Solaris yang sains-fiksional, adalah semacam pencapaian sinematik yang sadar diri, bahwa makna suatu filem hanya mungkin hadir setelah struktur-struktur yang dipercaya telah mengkonstruksinya selama ini (watak, plot, moral cerita, dan tegangan klimaks-antiklimaks) dikesampingkan sepenuhnya sambil membenam aspek-aspek manipulatif-psikologisnya hingga tiba pada senyawa penyusunnya yang paling hakiki: imaji, dengan sisa ruang sejenak bagi kata-kata.

Andrei Tarkovsky

Telah sejak mula Rublev digarap dengan cara demikian. Dari adegan penerbangan balon udara sampai segmen anak muda pembuat lonceng. Dari adegan penyaliban di perbukitan Rusia sampai penyerbuan prajurit Tatar berkuda. Dari tirakat kebisuan padri itu sampai tiba tekadnya untuk bicara dan melukis kembali. Jelas di mata Tarkovsky, bahwa dunia pada mulanya adalah bukan-kata. Dunia adalah setumpang-tindih imaji, yang kehilangan maknanya karena kebutaan manusia. Maka di sini, sinema bertugas menangkap tebaran-tebaran imaji itu, yang tunggal dan unik seperti masing-masing manifestasi hidup itu sendiri, lalu menyingkap kebenaran di baliknya dengan mencipta sebentuk komunikasi artistik yang sejati, atau dalam kata-kata Tarkovsky, “menjalin ikatan spiritual dengan yang lain”. Komunikasi sejati, jelas tidak akan pernah cukup dengan hanya gumam solilokui yang patetik atau bising corong pengeras suara yang “didaktik”. Komunikasi sejati hanya bisa tercipta melalui benturan dialektik, dengan semacam kerendahhatian dan kerinduan dihaturkan serta bagi “pihak yang ada di sana”. Saat roh dialektik perlahan-lahan dicabut dari komunikasi, dan meninggalkan bombardir makna tunggal ke arah publik dengan tendensi politis maupun ekonomis —ya, demikianlah estetika Stalinis berlaku di tanah Rus semasa Tarkovsky hidup, yang sebenarnya tak jauh beda dengan estetika Hollywood sampai saat ini—, kesenian semestinya menjadi suatu potensi kritis dan korektif terhadapnya. Bukan malah memperparahnya.

Lalu, apakah dengan demikian imaji identik dengan lambang? Tampaknya bukan. Lambang adalah persepsi yang mengalami proses regeneratif yang tertutup, dengan apa kesenian kita dan pemahaman atasnya telah dimaknai secara sama dari waktu ke waktu. Sedang imaji jauh lebih luas dari itu. Imaji terbuka bagi segenap penafsiran terkemudian, karena sejak semula suatu kejadian ditampilkan tidak dengan beban-beban makna yang ditetapkan terlebih dulu. Bila tiga ekor kuda hitam dalam adegan penutup Rublev merumput dengan lahap, itu suatu kenyataan bahwa mereka lapar, bukan perlambang bahwa mereka lapar. Dalam hal ini, saya pikir Tarkovsky telah mengembalikan realisme ke dalam inner-dinamiknya yang paling murni dan sublim; realisme yang percaya bahwa makna tidaklah tunggal tetap, tapi berkembang sejalan dengan pemahaman film sebagai hubungan inter-penetrasi antara apa yang tertayang dengan apa yang tidak tertayang pada layar.

Andrei Rublev

Secara karakter dapat dikatakan Andrei Rublev sedang mensakrifasikan hubungan horisontalnya dengan manusia untuk memurnikan hubungan vertikalnya dengan Tuhan. Sumpah kebisuannya adalah purgatori dalam ukuran personal. Dengan cara yang sama, Andrei Rublev sebagai suatu karya filem adalah juga purgatori bagi seni Rus saat itu, perlawanan bagi sebuah zaman, ketika kebersahajaan puisi hendak dibungkam oleh gemuruh slogan Stalinis. Sejak Rublev dan seterusnya, Tarkovsky seperti hendak menyadarkan publik filem Rusia bahwa persepsi dan memori pada dasarnya bersendiri. Dan ini adalah antitesa bagi indoktrinasi politis yang hendak mempertakluk segenap aspek kepribadian di hadapan kebersamaan afkiran bernama negara. Maka tak heran, mulai dari Andrei Rublev  —”satu dari lima belas filem terbaik yang pernah dibuat sepanjang sejarah sinema”—Moskow dan Partai memperketat kendali atas karya-karya Tarkovsky.

Ketika semangat hidup yang memancar dari si anak muda pembuat lonceng membuat Andrei menyudahi sumpahnya, ia mensakrifasikan dirinya kini hanya untuk gairah kepelukisan yang tak pernah didapatinya sebelumnya. Pergulatan spiritualnya tak sia-sia. Kini ia boleh diperbandingkan dengan si pendeta di akhir Rashomon atau Alexander Blok dalam The Seventh Seal. Atau malah dengan Jalalu’ddin Rumi, yang menyisihkan tasbih untuk lalu mendendangkan kasidah-orgia. Seperti mereka, Andrei Rublev kembali percaya: pada seni, hidup, dan manusia.

Keindahan, tersembunyi dari mata mereka yang enggan mencari kebenaran”
—Tarkovsky—

* * *


* Tulisan ini ditulis oleh Ronny Agustinus pada Oktober 1999 (belum dipublikasikan)

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search