In Artikel

Menyambut awal tahun ini, Jurnal Footage merilis 100 filem pilihan yang diproduksi dari tahun 2010 hingga 2019.

Awalnya, daftar ini kami buat semata-mata hanya untuk catatan pribadi. Seperti penonton filem pada umumnya, daftar yang kami buat berguna untuk mengevaluasi apa-apa yang sudah ditonton; mana filem yang kami anggap bagus dan mana yang tidak. Namun dalam perkembangan selanjutnya, kami berfikir untuk mempublikasi daftar ini. Urgensinya memang tidak tinggi, tapi sebagai penonton filem, salah satu keinginan paling dasar adalah berbagai impresi dan opini terhadap filem-filem apa yang berkesan dan disukai.

Ada berbagai kanal yang kami singgahi untuk menonton, yang paling utama tentu melaui penayangan layar lebar, baik itu di bioskop komersil, alternatif maupun di festival. Kami juga diuntungkan dengan kemudahan duplikasi file digital dan akses filem dari internet, baik legal maupun ilegal. Jujur saja, sulit mengabaikan jalur distribusi P2P karena kemampuannya menembus regulasi dan teritori. Di dekade ini juga kolektif tempat kami bernaung, Forum Lenteng, menyelenggarakan festival filem Arkipel yang menghadirkan filem dokumenter dan eksperimental sejak tahun 2013. Dari kanal-kanal tersebutlah kami dapat mengakses filem-filem.

Dikatakan bahwa filem adalah medium seni yang terkutuk, karena untuk membuatnya seringkali dibutuhkan biaya produksi yang tidak sedikit. Hal ini menandakan ada banyak tangan yang ikut bermain dalam pembuatan sebuah filem. Tangan-tangan itu sedikit banyak berpengaruh terhadap perkembangan motifnya, sehingga berakibat juga pada hasil dan eksekusi akhir. Cara kami menilai filem adalah selayaknya sebuah filem dinilai; sebagai karya seni, sehingga variabel-variabel pertimbangan yang kami gunakan adalah variabel bagaimana sebuah karya seni diuji kualitasnya; seperti upaya seniman mendobrak norma baik dalam konteks estetika juga substansinya, kualitas komposisional; tidak hanya komposisi visual tapi juga komposisi pembentukan makna dan interkonektivitasnya, kekriyaan sebuah karya, relevansi terhadap zaman serta kebaruan bahasa audiovisual yang coba dibentuk. Pertimbangan lain di luar dari variabel yang sifatnya objektif dan kaku tadi adalah preferensi personal, seperti preferensi estetika dan substansi. Kami tidak menampik bahwa preferensi personal adakalanya mengintervensi dan saling bergelut dengan aturan-aturan yang sudah kami tentukan.

Urutan kemunculan filem tidak mengindikasikan perbandingan kualitas antara satu filem dengan yang lainnya.

*Disusun oleh Afrian Purnama, redaktur Jurnal Footage dan Yuki Aditya, direktur festival Arkipel.

1

Le Quattro Volte

Michelangelo Frammartino
Italia, 2010

Ada banyak cara memfilemkan spiritualitas. Dalam beberapa kasus, spiritualitas seringkali dipadankan dengan konsep keagamaan beserta ritus-ritusnya. Filem ini menceritakan transmigrasi jiwa; bagaimana jiwa mampu berpindah dan melompati batas eksistensi material antar makhluk-makhluk organik yang hidup dalam lingkup wilayah tertentu. Lompatan tersebut menjadi begitu tinggi hingga jiwa mencapai wilayah kultur dan komunal. Spiritualitas yang imanen; tidak meninggi dan berada di sekeliling kehidupan.

2

Leviathan

Lucien Castaing-Taylor, Verena Paravel
Amerika Serikat, 2012

Penonton dipaksa keluar dari zona nyamannya; alih-alih menikmati gambar bergerak tentang nelayan di tengah laut yang diambil stabil dan tenang, penonton didesak untuk berada dalam titik mata yang sama dengan subjek yang tampak seperti burung camar, ikan dan manusia yang berada di kapal. Kekacauan ini memprovokasi indrawi penonton. Di luar dari sisi estetikanya tersebut, Leviathan juga adalah studi terhadap relasi eksistensi manusia terhadap lingkungan.

3

La Sapienza

Eugene Green
Prancis & Italia, 2014

Seni tinggi Eropa yang kembali diperbincangkan relevansinya di masa kontemporer. Di filem ini, seni tinggi tersebut diwakilkan oleh karya Francesco Borromini, seniman era barok asal italia, lalu diparalelkan kisah dan penandanya dengan cerita seorang arsitek yang mengalami kegelisahan terhadap karir dan kehidupan pribadinya.

4

The Death of Louis XIV

Albert Serra
Prancis, Spanyol, Portugal, 2016

Filem ini tentang hari-hari terakhir Raja Louis XIV. Sang raja dimainkan oleh Jean-Pierre Léaud yang wajahnya terabadikan sejak kecil di puluhan filem yang dibintanginya. The Death of Louis XIV tidak tertarik memfilemkan narasi besar yang berada di belakang tokoh Raja Louis XIV, tapi justru berfokus pada detil-detil kecil di hari terakhir sang raja.


Baca kembali ulasan filem ini di Jurnal Footage.

5

Cemetery of Splendour

Apichatpong Weerasethakul
Thailand, 2015

Relasi antara kekinian dan masa lalu seringkali terhubung oleh kisah-kisah mitos yang berdiri di antara kenyataan dan fiksi. Apichatpong Weerasethakul menghadirkan keterhubungan tersebut dengan bahasa visual yang lugas namun unik, seperti bermain bola di lapangan bekas tempat terjadinya pembantaian, dan napak tilas kerajaan masa lalu di bekas taman bermain.


Baca kembali ulasan filem ini di Jurnal Footage.

6

Suitcase of Love and Shame

Jane Gillooly
Amerika Serikat, 2013

Salah satu jebakan besar dalam pembuatan filem berbasis arsip adalah si pembuat terperangkap dalam romantisme lampau sehingga dia kehilangan arah dan abai melihat relevansi kejadian di masa lalu tersebut dengan keadaan saat ini. Meskipun begitu, daya tarik terhadap masa lalu yang tersimpan ke dalam satu medium memang begitu kuat dan memiliki berbagai potensi artistik untuk dijelajahi. Suitcase of Love and Shame mengambil rute yang sama sekali tidak konvensional; alih-alih mengilustrasikan arsip suara dari tahun 1960-an menjadi visual, Jane Gillooly justru memperlakukan arsip suara itu sebagai elemen tunggal dan mandiri. Sehingga yang kita lihat seakan-akan bukanlah masa lalu yang termaterialkan, tetapi masa lalu yang difiksikan.

7

Homeland (Iraq Year Zero)

Abbas Fahdel
Prancis & Irak, 2015

Selama hampir 6 jam kita menyaksikan rekaman rumahan tentang apa yang terjadi di Baghdad melalui kamera video Abbas Fahdel, pembuat filem yang juga warga asli Baghdad. Dia kembali ke kampung halamannya setelah lama tinggal di Prancis untuk menemui keluarganya sembari merekam footage situasi di Baghdad. Kehancuran terbesar, selain dari korban jiwa dan keruntuhan fisik, juga hancurnya tradisi intelektual yang sudah berakar di Irak.

8

Turin Horse

Béla Tarr, Ágnes Hranitzky
Hungaria, Prancis, Swiss, Jerman, Amerika Serikat, 2015

Pembukaan selalu menjadi bagian penting dalam filem-filem Béla Tarr. Bila Satantango (1994) dibuka dengan sapi-sapi yang melangkah ke wilayah yang tidak dijangkau kamera, dan Werckmeister Harmonies (2001) dengan simulasi kosmik para pemabuk di sebuah bar usang, maka Turin Horse dibuka dengan perjalanan seekor kuda bersama seorang pria di atas pedati. Kuda itu berjuang melangkah seakan melawan kehendak dan takdirnya. Apakah pria di pedati mengendalikan kuda atau sebaliknya? Apakah ada kekuatan kosmik yang mengendalikan mereka? Atau segalanya ada karena ketidakteraturannya?

9

Honey / Bal

Semih Kaplanoglu
Turki, 2010

Filem ini adalah bagian ketiga dari trilogi Yusuf yang kronologis namun terbalik. Di sini kita melihat Yusuf di masa kanak-kanaknya, elemen-elemen apa yang membentuk pribadinya yang kita telah lihat di dua filem sebelumnya. Lugas menggambarkan dunia yang digambarkan lewat perspektif anak-anak. Tenang, lugu, dan sederhana mengajukan pertanyaan subtil akan peradaban modern dan manusia-manusia yang menghuninya.

10

Alamar

Pedro González-Rubio
Meksiko, 2010

Seorang Ayah mengajak anak laki-lakinya untuk mengalami kesehariannya di pesisir pantai di Meksiko sebelum sang Anak tinggal bersama Ibunya di Italia. Bermain di batas antara dokumenter dan fiksi, Alamar adalah filem tentang perbedaan; perbedaan kultur, perbedaan perspektif, dan perbedaan mengartikan pengalaman hidup. Bergerak perlahan, berulang, dan intim secara durasional.

11

Tuesday, After After Christmas

Radu Muntean
Romania, 2010

Tema ketidaksetiaan dalam sinema hampir sama panjangnya dengan umur medium ini sendiri. Tapi bagaimana Radu Muntean menyingkap bagaimana seorang pria berkeluarga harus memutuskan wanita mana yang ia pilih sebelum hari Natal, mengukuhkan bakat para sutradara generasi baru asal Rumania di awal abad 21.

12

Archipelago

Joanna Hogg
Britania Raya, 2014

Sebuah liburan keluarga antara seorang Ibu dan kedua anaknya dengan lanskap rural a la lukisan John Constable menjadi latar lokasi di mana proses ulang-alik tentang komunikasi dan miskomunikasi, absensi dan presensi, dalam dan luar ruang  mengungkap retakan-retakan di dalam keluarga mereka. Keluarga itu tidak bisa berkomunikasi di antara mereka, tidak juga dengan orang-orang yang mereka anggap tidak sekelas. Ada sekat yang tak terlihat di antara mereka, layaknya arkipelago itu sendiri, seperti kesatuan tapi tiap pulaunya adalah mandiri.

13

The Rain After

Mohammad Fauzi
Indonesia, 2014

Ada banyak variable yang menentukan durasi dalam filem. Idealnya, durasi ditentukan oleh kehendak si pembuat filem tersebut, dan keputusannya bisa tergantung pada tuntutan artistik yang ingin dicapai. Di filem ini, sekelompok bocah yang baru saja selesai bermain futsal dipaksa, atau bisa juga dikatakan dipanggungkan oleh seseorang yang berada di balik kamera. Mereka berpose layaknya pemain bola yang akan memulai pertandingan. Keberadaan durasi lalu dibenturkan dengan kejenuhan bocah-bocah itu, dan hujan yang mulai turun.

14

Two Years at Sea

Ben Rivers
Britania Raya, 2011

Filem ini mengikuti keseharian seorang pria yang seakan hidup terisolasi dari peradaban. Tidak ada penjelasan apapun tentangnya. Kesejarahannya hanya bisa ditelusuri oleh foto-foto yang hadir sekilas. Two Years at Sea bisa dianggap sebagai antitesa bentuk filem naratif yang mengharuskan adanya konstruksi narasi besar dan dramaturgi waktu. Filem bisa tentang apapun, sehingga bisa juga tentang adanya ketiadaan.

15

Act Of Killing

Joshua Oppenheimer, Anonymous
Britania Raya, Denmark, Norwegia, Indonesia, 2012

Salah satu hal terbaik di filem ini adalah para pelaku pembantaian diberikan ruang untuk mengimajinasikan sejarah, kenyataan dan kehidupan kematian yang mereka yakini. Hasilnya adalah penyelaman psikologi yang sangat menakutkan dan mengganggu nurani penonton. Fakta lain yang juga mengganggu adalah kenyataan bahwa kita masih belum bisa bebas membicarakan tentang subjek ini hingga sekarang di ranah publik.


Baca kembali ulasan filem ini di Jurnal Footage.


Baca juga tanggapan ko-sutradara Anonymous.

16

Balikbayan #1 Memories of Overdevelopment Redux III

Kidlat Tahimik
Filipina, 2015

Seperti filemnya yang berjudul Perfumed Nightmare (1977), di filem ini Kidlat Tahimik membicarakan kembali identitas bangsa Filipina yang terombang-ambing di pusaran samudra waktu. Bayang-bayang terhadap kolonialisme di masa lalu, dan pertanyaan serta pernyataan tentang posisi bangsa Filipina dalam arus modernitas kontemporer.

17

Putty Hill

Matthew Porterfield
Amerika Serikat, 2010

Seorang pemuda meninggal karena overdosis di kota Baltimore. Seseorang bertanya ke keluarga dan teman-temannya untuk menceritakan perihal tentang pemuda tersebut dan herannya tak satupun dari mereka yang tahu betul, malahan menceritakan hidup mereka sendiri, kematian-kematian kerabat sebelumnya, dan pemakaman-pemakaman lainnya. Menantang definisi dan batasan dokumenter dan fiksi, dengan gaya seperti filemnya Pedro Costa, terutama In Vanda’s Room.

18

Forgotten Space

Allan Sekula, Noel burch
Amerika Serikat, 2010

Sebuah filem esai tentang kapal laut kargo di tengah fenomena ekonomi global saat ini di empat lokasi (Bilbao, Rotterdam, Hong Kong, dan Los Angeles). Perspektif yang manusiawi mengomentari tentang globalisasi dengan dalih peningkatan konsumsi serta polemik-polemik yang mengikutinya.

19

Dreileben Trilogy

Christian Petzold, Christoph Hochhausler, Dominik Graf
Jerman, 2011

Proyek trilogy untuk TV yang berawal dari korespondensi antara tiga sutradara filem yang dikenal sebagai bagian dari kelompok Berlin School. Setiap filemnya mempunyai tiga karakter utama, menggunakan banyak repetisi peristiwa yang mengarah ke multiplikasi narasi dan perspektif karakter-karakternya; sembari awas akan persoalan antara sinema dan televisi, genre dan realitas, serta teks dan visual.

20

Terri

Azazel Jacobs
Amerika Serikat, 2011

Ada sesuatu yang misterius dalam filem tentang remaja pria yang selalu mengenakan piyama ke sekolah ini. Saya sendiri sulit mengartikulasikannya secara jelas. Sederhana tapi penuh turbulensi, seakan ada gunung Vesuvius yang siap meledak namun tertahan oleh kontrol jalinan montase dari Azazel Jacobs. Mungkin juga ia pelajari dari ayahnya Ken Jacobs, seorang nama besar di skena filem eksperimental Amerika sejak 1970an.

21

Hugo

Martin Scorsese
Amerika Serikat, 2011

Usaha Scorsese bicara tentang persamaan teknologi komputer grafis dan 3D dalam sinema saat ini dengan trik magis Georges Meliés di periode awal medium sinema. Sudah jelas, Marty selalu ada dalam momen terbaiknya jika ia membuat sesuatu yang sesuai hasratnya, antara soal sinema dan musik.

22

The Deep Blue Sea

Terrence Davies
Britania Raya, 2011

Norma, merdeka, dan cinta saling bersinggungan di filem yang mengambil latar London pasca-Perang Dunia II dengan nuansa yang mau tidak mau mengingatkan pada filem Brief Encounter (1945) karya David Lean. Adegan hemat kata-kata mengungkap momen-momen kecil untuk merangkai kisah cinta perselingkuhan, seirama iringan orkestra yang bersimbiosis mutualisme gerakan kamera yang lirih sejalan dengan muncul dan lenyapnya imaji di hadapan kita.

23

Tabu

Miguel Gomes
Portugal, Jerman, Brasil, Prancis, 2012

Tabu adalah Eropa yang merindukan kolonialisme melalui sisa-sisa puingnya. Dari Portugal masa kontemporer, hingga ke Afrika, Cape Verde tahun 1960-an. Cukup mudah terjebak dalam melihat kolonialisme hanya sebagai latar belakang dramatik filem saja, tanpa melihat kompleksitas lain di dalam tubuh kolonialisme itu sendiri. Awalnya saya pikir Tabu demikian, namun keseluruhan isi filem diceritakan oleh kolonialis yang melihat masa lalu di tanah kolonial sebagai surga yang hilang dan hal tersebut justru membuat kenyataan filemis semakin getir karena begitu berjaraknya mereka dengan kenyataan di tanah koloni itu sendiri.

24

Stray Dog

Tsai Ming Liang
Taiwan & Prancis, 2013

Keberadaan tubuh selalu sentral di filem Tsai Ming-Liang. Sejak filem panjangnya yang berjudul Rebels of the Neon God (1992) tubuh Lee Kang-sheng sudah menjadi kanvas putih yang siap diisi oleh makna apapun. Stray Dog bercerita tentang sebuah keluarga disfungsional di Taipei. Lee Kang-sheng bermain sebagai seorang ayah yang tinggal di tempat yang sepertinya hampir runtuh bersama dua anaknya. Ada satu dialog di mana mereka membicarakan tentang kesamaan tubuh dan bangunan tempat tinggal. Dalam konteks ini, kita bisa melihatnya sebagai rujukan terhadap tubuh Lee Kang-sheng.

25

It’s Such a Beautiful Day

Don Hertzfeldt
Amerika Serikat, 2012

Filem ini sesungguhnya adalah kompilasi dari tiga seri filem yang masing-masing berdurasi dibawah 30 menit. Ketiga filem itu adalah Everything Will Be Ok (2006), I Am So Proud of You (2008) dan It’s Such A Beautiful Day (2011). Kompilasi dari ketiganya dirilis tahun 2012 berjudul sama dengan seri terakhir, sehingga filem yang dimaksud pada list ini adalah filem kompilasi tersebut. Bahasa visual yang dihadirkan oleh Don Hertzfeldt sangatlah inovatif dan berbeda. Ruang dihancurkan menjadi beberapa partikel, masing-masing terisolasi oleh bingkainya namun terhubung dengan kebersamaan waktu, sehingga menghasilkan presepsi yang majemuk terhadap subjeknya di satu kejadian.

26

Nénette

Nicolas Philibert
Prancis, 2010

Nénette adalah seorang orangutan yang tinggal di kebun binatang di Jardin des Plantes, Paris. Gaya dari dokumenter ini sepenuhnya menekankan penggiringan opini kepada penonton, yang artinya intervensi hanya hadir dalam bentuk komposisi, framing dan editing. Pada akhirnya yang disaksikan tidak lagi tontonan satu arah, yaitu manusia melihat hewan di kebun binatang, tetapi menjadi sebaliknya, hewan yang melihat manusia menyaksikan hewan.

27

Paradise Love

Ulrich Seidl
Jerman, Austria, Prancis, 2012

Ulrich Seidl seringkali menghadirkan visi realita yang mengganggu konvensi moral dan norma. Hal itu terlihat di filem-filem dia sebelumnya seperti Import/Export (2007) dan Dog Days (2001). Paradise Love adalah salah satu bagian dari Paradise Trilogy, yang menunjukkan perjuangan orang-orang terhadap apa yang diimpikannya; bisa itu cinta, bentuk tubuh, juga pencarian terhadap keimanan. Paradise Love menceritakan sekelompok ibu-ibu dari Austria yang melakukan wisata seks ke Kenya. Manipulasi bekerja dua arah, antara penikmat dan penyedia jasa. Walaupun di list ini hanya menyertakan Paradise Love saja, tapi saya sendiri menyarankan untuk melahap seluruh filem dari trilogi ini.

28

Sleep Has Her House

Scott Barley
Britania Raya, 2017

Imaji yang dihasilkan sangatlah impresionistik, yang berarti Scott Barley begitu menekankan pada ketampilan cahaya, dan  dampak apa yang bisa diterbitkan dari intensitas dan pendaran cahaya. Permainan terhadap cahaya tersebut turut mempengaruhi persepsi kita sebagai penonton. Lanskap yang terekam menjadi terlihat imajinatif dan misterius, walaupun di permukaan sepertinya tidak ada apa-apa.

29

Sodankylä Forever: The Century of Cinema

Peter von Bagh
Finlandia, 2011

Sodankylä mungkin bukan tempat terbaik untuk menyelenggarakan festival filem bertaraf internasional, kota kecil yang berada di Finlandia bagian utara. Namun kecintaan terhadap sinema memungkinkan festival filem di tempat itu terselenggara. Tiap musim panas Midnight Sun Film Festival diadakan. Filem ini merekam hiruk-pikuk festival tersebut sejak awal berlangsung dan disutradarai oleh salah satu pendirinya sendiri, Peter von Bagh.

30

Amour

Michael Haneke
Austria, Prancis, Jerman, 2013

Sepasang suami-istri yang sudah berumur lebih dari 80 tahun. di suatu hari sang suami mendapati pasangannya tiba-tiba terserang stroke, menandakan akhir hidupnya sudah menjelang. Konflik yang terjadi kemudian adalah bagaimana seseorang bisa hidup ketika satu bagian jiwanya hilang? Tindakan logis apa yang perlu dilakukan atas konsekuensi keadaan tersebut?

31

On Generation and Corruption

Takashi Makino
Japan, 2017

Filem ini adalah salah satu yang saya saksikan ketika Takashi Makino mengadakan audiovisual performance di GoetheHaus saat Arkipel 2018. Kacamata 3D yang diberikan sebelum menonton menciptakan Pulfrich Effect, yang mengakibatkan adanya pergerakan lain yang tidak selaras ketika dilihat tanpa kacamata namun swadaya dari cahaya dan noise yang tampak di layar. Performance yang dihadirkan juga semacam ‘mengkhianati’ sinema karena noise tersebut lalu keluar dari bingkaian layar.

32

Bernie

Richard Linklater
Amerika Serikat, 2010

Kisah Bernie dikemas dengan humor yang menggigit, mawas diri, dan absurd. Ia adalah figur yang terlihat sempurna menjunjung tinggi nilai-nilai moral Amerika. Muda, alim, cerdas, rendah hati, dan disayang semua penduduk di suatu kota kecil di negara bagian Texas. Kota itu dipenuhi oleh karakter-karakter nyeleneh, buah pikir mereka diartikulasikan Linklater dengan metode talking head lewat testimoni-testimoni yang fiksional dengan hormat dan simpati akan kisah seseorang yang melakukan kejahatan keji namun tetap dicintai dan dihormati oleh masyarakat.

33

Negeri di Bawah Kabut

Shalahuddin Siregar
Indonesia, 2011

Dibuat dengan pendekatan dokumenter observasional seperti filem-filem dari Frederick Wiseman dan Maysles Bersaudara dan seintim subyek-subyek dalam karya Nicholas Philibert, filem ini adalah angin segar untuk sinema Indonesia. Ini adalah kisah masyarakat di lereng gunung Merbabu lewat satu keluarga akan harapan dan tantangan akan hidup dan tatanan.

34

Three Sisters

Wang Bing
RRC, 2012

Filem ini bercerita tentang kisah yang sederhana. Tiga saudari yang masih sangat muda tinggal di sebuah desa di pegunungan Yunnan. Mereka bagaikan yatim piatu, karena mereka harus mengurus diri sendiri ketika sang Ibu meninggalkan keluarga tersebut dan sang Ayah dipaksa oleh keadaan ekonomi untuk mencari pekerjaan di kota. Kamera Wang Bing dengan diam dan tenang mengikuti rutinitas harian anak-anak tersebut dalam mengatur hari mereka, memberi makan ternak, membersihkan rumah, mengumpulkan kentang untuk makan sehari-hari.

Pendekatan observasional Wang Bing merekam peristiwa-peristiwa tanpa menghakimi, mengungkap fragmen-fragmen yang celah-celahnya harus diisi oleh penontonnya sendiri, baik itu dengan fakta walau sebagian besar lebih banyak dengan pertanyaan. Mengapa anak-anak ini tidak bersekolah? Apakah ini musim panas? Atau musim gugur? Sesering apa sang Ayah pulang? Apakah pekerjaan di ladang lebih penting? Tampaknya Wang Bing tidak tertarik menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara langsung.

Kamera Wang Bing sabar, terkadang goyah, tetap setia dengan tokoh-tokohnya, kadang di belakang bahu mereka dengan kamera yang dipegang sejajar pinggang seringnya, menangkap lanskap dengan ambilan gambar yang lebar. Kameranya tidak tergoda oleh tangkapan yang menjebak ke soal pornografi kemiskinan, namun berpihak pada bingkaian keluarga tersebut berikut interaksi mereka dengan subyek-subyek lain dengan latar belakang luas langit biru penuh awan atau jalan terjal penuh batu dan kabutnya. di sudut Cina yang jarang ditangkap kamera untuk berbicara tentang kisah yang lebih besar tentang ke mana dunia ini akan melangkah ke depan.

35

La Telenovela Errante

Raúl Ruiz, Valeria Sarmiento
Chile, 2017

Walaupun filem ini dibuat pada tahun 1990, tapi Raúl Ruiz dan Valeria Sarmiento memutuskan untuk melepas filem ini ke publik di tahun 2017, 6 tahun setelah kematian Raul Ruiz. Dari segi artistik, filem ini meminjam bentuk tontonan paling populer di Chili, yaitu telenovela (opera sabun), untuk mengisahkan sebuah pertunjukan absurd masyarakat yang hidup di pemerintahan otoriter.

36

Guest

José Luis Guerin
Spanyol, 2010

Setelah menyelesaikan filem panjangnya In The City of Sylvia (2007), José Luis Guerin diundang ke berbagai festival filem untuk memperkenalkan filemnya tersebut. Guest adalah filem tentang rutinitas seorang sutradara mengunjungi satu festival ke festival lainnya di seluruh dunia selama setahun, tapi yang direkam bukanlah perayaan dari festival-festival itu sendiri. Guest justru menitikberatkan pada interaksi antar manusia dari berbagai lokasi, dan mereka melintasi satu garis axis yang sama, yaitu kamera milik José Luis Guerin.

37

Le Havre

Aki Kaurismäki
Finlandia, Jerman, Prancis, 2011

Sejak dekade 1980-an Aki Kaurismäki selalu meletakan persoalan sosial kelas pekerja sebagai yang utama di dalam filemnya. Walaupun isu terhadap kelas dan ekonomi selalu dibungkus dengan humor, namun filem-filemnya tetap tidak kehilangan sensitivitas, terlebih karena Aki Kaurismäki sendiri adalah bagian dari kelas pekerja tersebut. Di awal dekade 2010-an, dia melihat adanya persoalan sosial yang dihadapi Eropa, yaitu krisis pengungsi. Le Havre adalah tanggapannya terhadap krisis itu.

38

Nostalgia for the Light

Patricio Guzmán
Prancis, Jerman Chili, Spanyol, 2010

Ada dua kisah yang saling berjerait; astronomer yang mencari jawaban tentang asal-usul kehidupan dan sekelompok perempuan yang mencari sisa-sisa bagian tubuh korban pembantaian rezim Pinochet. Keduanya melihat masa lalu melalui jejak-jejak yang tertinggal, keduanya juga memperlihatkan seberapa signifikan pemahaman terhadap yang lampau membantu kita untuk menatap masa depan.

39

Paradise

Andrey Konchalovsky
Rusia, 2016

Selama medium sinema masih ada, tampaknya produksi filem yang mengisahkan tragedi Holocaust tak akan pernah berhenti dibuat. Paradise menjadi menonjol karena ceritanya dibawa oleh banyak perspektif. Kisahnya sendiri dimulai di Prancis tahun 1942, di mana Olga ditempatkan di penjara dan ditangkap karena berusaha menyelamatkan nyawa anak-anak Yahudi. Dia dibawa ke kantor polisi yang dipimpin Jules, seorang pria yang ramah dan berbudaya dari sebuah keluarga yang berbakti. Jules mencapai kesepakatan dengan tawaran Olga untuk berhubungan intim sebagai sebuah pengalaman pertama kalinya tidur dengan turunan bangsawan. Kesepakatan tersebut buyar dan membuat Olga harus dikirim ke kamp konsentrasi, ia bertemu Helmut, seorang penyembah antusias ideologi Hitler yang sedang ditugaskan untuk melacak efisiensi dan jejak korupsi di kamp konsentrasi tersebut. Lalu kita dibawa ke sejarah hubungan emosional antara Olga dan Helmut yang belum selesai sedari sebelum perang.

Mereka bertiga berbicara satu per satu dari perspektif narasi orang pertama ke kamera, duduk sembari memberikan pernyataan, pertanyaan, dan  pembelaan yang direkatkan dengan visual kilas balik tidak linear seakan memperkuat ataupun bertanya balik akan kesaksian mereka terhadap tragedi tersebut. Kita akan menyadari bahwa narasi-narasi tampaknya sedang berbicara layaknya sedang diinterogasi di kursi pesakitan dengan pakaian yang seragam semacam kesaksian akan kehidupan mereka setelah kematian, sebagaimana bisa disinggungkan dengan judul filem ini.

Metode penceritaan dalam Paradise terasa sebagai sebuah hibrid antara dokumenter talking head dengan sebuah drama yang berlatar jaman tertentu. Secara umum filem-filem tentang Holocaust diambil melalui sudut pandang para pemenang, namun filem ini lebih memilih untuk menggali justifikasi dari saling silang sejarah pribadi akan perasaan terdalam tiga individu yand dihubungkan oleh salah satu peristiwa kelam dalam sejarah kemanusiaan.

40

A Pigeon Sat on a Branch Reflecting on Existence

Roy Andersson
Swedia, Jerman, Norwegia, Prancis, Denmark, 2014.

Gaya sinematik Roy Andersson yang kita kenal sekarang ini berawal dari sebuah filem pendek yang berjudul Something Happened (1987), dikomisikan oleh Kementrian Kesehatan Swedia untuk penyuluhan penyakit AIDS. Filem ini adalah bagian terakhir dari ‘Living Trilogy’ yang menunjukkan betapa konyol dan absurbnya kita sebagai manusia untuk tetap bernafas dan bertahan hidup. Lebih konyol lagi bila mungkin alasan keberadaan manusia adalah agar bisa mentertawakan kekonyolan eksistensinya itu sendiri, seperti yang dilakukan filem ini.

41

Muybridge’s Strings

Koji Yamamura
Kanada & Jepang, 2011

Berisi tentang percobaan terhadap gerak yang dilakukan oleh Eadweard Muybridge. Seperti seniman filem kebanyakan, Koji Yamamura tidak tertarik untuk hanya membicarakan tentang ketokohan, melainkan tentang pemikiran, gagasan utama dan konsep di balik kelahiran eksperimentasi Muybridge. Selain itu, estetika animasi yang diusung oleh Koji Yamamura juga menarik dilihat, lebih mengutamakan penciptaan suasana, atmospheric, ketimbang runutan cerita.

42

The Strange Case of Angelica

Manoel de Oliveira
Portugal, Spanyol, Prancis, Brasil, 2010

Menceritakan seorang pria yang dirayu lalu jatuh cinta dengan imaji fotografis seorang perempuan. Perempuan ini sudah meninggal namun di dalam reproduksi imaji dia hidup dan tersenyum ke arahnya. Sebuah interpertasi romantik terhadap hubungan antara imaji fotografis dengan presepsi dan kenyataan yang dialami manusia.

43

Dawson City: Frozen Time

Bill Morrison
Kanada, 2016

Dengan Dawson City: Frozen Time, Bill Morrison seakan kembali mempersembahkan penghormatan dan dedikasinya atas kemuliaan filem bisu setelah Decasia (2002). Filem ini terinspirasi oleh penemuan ratusan filem pada tahun 1978 yang telah terkubur lama di kota Dawson, yang terletak di wilayah Yukon. Secara kebetulan sejarah sinema terjadi hampir bersamaan dengan sejarah Demam Emas (Gold Rush) di Yukon yang mana pada tenggang waktu antara tahun 1896-1899 dibanjiri oleh 100,000 pendatang.

Bersamaan dengan bar dan pelacuran, bioskop adalah salah satu pilihan tempat hiburan di kota baru tersebut. Masa itu juga adalah masa di mana filem bisu mencapai puncak pencapaian artistik tertingginya, dan Dawson sebagai kota baru yang kaya pun masuk dalam jaringan distribusi paling akhir industri sinema, karena lokasinya yang jauh dari pusat-pusat produksi. Karena alasan lokasi juga dan bisa jadi mahalnya ongkos kirim, para distributor filem tidak mau filemnya dikembalikan, terserah bioskop di Dawson mau diapakan nantinya. Beberapa filem berakhir dibuang di Sungai Yukon, beberapa lagi dihancurkan, sisanya dikubur.

Morrison tahu potensi dari setumpuk kekayaan sinema ada di tangannya. Jamur, goresan, dan tanda-tanda pembusukan adalah pemandangan yang ia paksakan pada penonton untuk dilihat dengan konteks pelestarian 372 filem yang ditemukan. Potongan-potongan arsip filem yang disusun ini menyoroti berbagai gaya sinematik yang dikembangkan oleh para pembuat film dan aktor di masa-masa awal sinema. Limpahan materi mulai dari citra pantomim yang teatrikal sampai eksperimentasi dengan pewarnaan dan double exposure akan filem-filem yang sebagiannya telah didapuk sebagai filem yang hilang dalam sejarah sinema dunia.

Di sebuah kota yang didirikan untuk tujuan mendapatkan keuntungan cepat, di mana semuanya dibangun tidak dengan niat untuk bertahan, paling tidak dari filem-filem sekali pakai itu bertindak sebagai kapsul waktu bagi umat manusia dengan nilai yang tak dapat diukur.

44

The Image Book

Jean-Luc Godard
Swiss & Prancis, 2018

Saya rasa mengatakan The Image Book sebagai ‘sambungan’ dari Histoire(s) du cinéma (1989-1999) tidak sepenuhnya salah juga, karena isu-isunya, baik isu sinema, isu geopolitik serta perbincangan mengenai parolelangue dan image masih sama-sama relevan dan setali di kedua karya tersebut, juga dengan gaya visual yang diusungnya. Jukstaposisi image(s) dari bermacam-macam sumber menghadirkan efek bahwa sinema dan ‘non-sinema’ memproduksi image(s) yang berbeda secara konteks namun anehnya memiliki bentuk serupa, seperti juktaposisi antara image dari filem Paisa (Roberto Rossellini, 1946) dengan video eksekusi produksi ISIS.

45

Shirley: Visions of Reality

Gustav Deutsch
Austria, 2013

Gustav Deutsch menciptakan instalasi skala 1:1 lalu menggerakkannya dan menanamkan ‘drama’ ke dalam karya lukis yang digerakkannya itu. Karya yang digunakan adalah lukisan-lukisan Edward Hopper, yang mana sudah dikenal memiliki kualitas ‘sinematik’ karena komposisi pembagian bidang dan ruang. Drama, atau narasi yang diciptakan berdasar dari impresi terhadap lukisan itu sendiri, dan terinternalisasi oleh tokoh-tokoh yang hadir di dalam lukisan tersebut, hampir semuanya merefleksikan tentang kesendirian dan ketidakmampuan mereka dalam berkomunikasi. Filem ini juga menunjukkan betapa berbedanya ruang dalam seni lukis dan gambar bergerak.

46

National Gallery

Frederick Wiseman
ritania Raya, Amerika Serikat, Prancis, 2014

Seperti filem Frederick Wiseman pada umumnya, kamera hadir seakan steril dan netral; tidak memihak dan selalu berada di ambang. Galeri Nasional London menyimpan karya dari berbagai negara di seluruh dunia. Dikarenakan netralitas kamera tersebut, ada banyak interpretasi terhadap filem ini. Bagi saya, filem ini merekam sejarah gemilang seni dan estetika Barat serta upaya preservasinya, juga noda besar masa lalu seperti kolonialisme dan penjarahan artefak kebudayaan dari kebudayaan lain.

47

Did You Wonder Who Fired the Gun?

Travis Wilkerson
Amerika Serikat, 2018

Travis Wilkerson membuka filem dengan membandingkan ceritanya dengan salah satu karakter paling legendaris dalam literatur dan sinema yaitu Atticus Finch di To Kill a Mockingbird. Seperti hikayat perjalanan Atticus Finch, filem ini adalah kisah kejahatan yang mana juga melibatkan pengadilan, tetapi Wilkerson dengan cepat menginformasikan bahwa yang ada dalam kisah fiksi dalam To Kill a Mockingbird tidak terjadi di dunia nyata.

Wilkerson pulang ke kampung halamannya di Dothan, negara bagian Alabama untuk membuat esai personal yang menakjubkan tentang kasus pembunuhan seorang pria kulit hitam yang dilakukan oleh kakek buyutnya, serta merunut bagaimana silsilah rasisme dapat terjadi di keluarganya. Dengan tangkapan visual yang indah sebagai bagian dari estetika filemnya yang lekat dengan amarah dan kefasihannya dalam menginvestigasi kisah sejarah personal sekaligus sejarah suatu bangsa. Salah satu filem penting dari dekade lalu.

48

Autrement, la Molussie / Differently, Molussia

Nicolas Rey
Prancis, Jerman, 2012

Nicolas Rey menyadur novel dari Gunther Anders yang berjudul The Molussian Catacomb ditulis tahun 1930an lewat medium filem 16mm. Narasinya adalah tentang orang-orang dalam tahanan yang mencoba berkomunikasi dengan dunia imajinasi di luar bernama Molussia yang berada di bawah  suatu rezim fasis.

Filem ini terdiri dari 9 segmen pendek dengan durasi bervariasi dan dapat diputar dengan urutan yang berbeda di tiap pemutarannya. Rey terlihat sedang mencoba bernegosiasi dengan apa itu masa lalu, masa sekarang, masa depan, montase, dan waktu secara filmis. Tidak terhindarkan kalau latar belakang sosial politik yang mungkin bisa dibaca dalam filem ini beresonansi akan situasi Jerman saat itu di bawah kekuasaan Partai Nazi.

Penggunaan materi filem 16mm dengan ratio 4:3 namun disandingkan dengan teknologi masa kini berupa komputer serta harapan-harapan dan argumen memberikan pandangan baru akan bagaimana Nicolas Rey mengkomunikasikan antara sejarah dan sejarah sinema.

Direkam dengan latar lanskap yang diabadikan layaknya dalam filem-filem karya Jean-Marie Straub dan Danielle Huillet atau Peter Hutton, dengan gambar-gambar lewat materi filem yang terasa lawas beserta guratan dan tekstur kasar untuk mendekomposisi ketidakpastian dalam visualnya.

49

Anak Sabiran Di Balik Cahaya Gemerlapan (Sang Arsip)

Hafiz Rancajale
Indonesia, 2013

Misbach Yusa Biran mendirikan Sinematek Indonesia dengan cita-cita untuk mengarsipkan seluruh filem yang diproduksi di Indonesia. Filem ini tidak semata-mata hanya menampilkan diri Misbach sebagai tokoh sentral, tapi juga esensi dari pengarsipan itu sendiri yang sudah dilakukan bertahun-tahun lamanya, dan kondisi pengarsipan filem di indonesia dalam tubuh institut pengarsipan.

50

Right Now, Wrong Then

Sang-Soo Hong
Korea Selatan, 2015

Filem-filem Sang-soo Hong seringkali mengisahkan tentang seseorang yang mengalami suatu permasalahan spesifik, dan hal tersebut terproyeksikan, juga terprovokasikan ke dalam hubungan sosialnya. Di filem ini individu tersebut adalah seorang sutradara filem art house dan seorang pelukis muda yang tidak sengaja saling bertemu dan menghabiskan waktu bersama sepanjang hari. Ada dua bagian di Right Now, Wrong Then, tiap bagian menceritakan peristiwa yang sama, namun yang membedakan adalah sikap interaksi antar individu tersebut, yang menghasilkan akhiran yang berbeda pula. Tidak ada penanda atau penjelasan mana bagian yang ‘fiksi’ mana yang ‘nyata’, sehingga tiap kemungkinan yang terjadi bisa dianggap dimensi yang tunggal, namun juga bercabang. Sebuah studi kompleks terhadap komunikasi antar manusia dan eksperimentasi bentuk naratif filem.

51

Shoplifters

Hirokazu Koreeda
Jepang, 2018

Sebuah penggambaran simpatik terhadap kaum pinggiran di kota Tokyo. Orang-orang yang tinggal satu atap, tidak dalam ikatan darah dan membentuk fiksinya sendiri. Moralitas seringkali bekerja dalam aturan yang absolut, namun filem ini menekankan bahwa selalu ada pengecualian. Shoplifters bertutur mengenai masalah urban dengan mengeksplorasi pengecualian tersebut. Pengecualian yang lalu dibenturkan ke ranah hukum yang mutlak dan pasti.

52

This Is Not a Film

Jafar Panahi, Mojtaba Mirtahmasb
Iran, 2011

Filem ini selain menampilkan bagaimana pemerintahan otoritarian membatasi gerak ekspresi seniman, juga menunjukkan cara berfikir pembuat filem yang tidak terbatas pada sekat-sekat aturan hukum, sensor dan politik. Jafar Panahi menggunakan segala benda dan metode untuk menciptakan bangunan artistik filem. Hasilnya adalah sebuah filem yang subversif secara politik, juga secara artistik pembuatan filem.

53

Im Keller – In the Basement

Ulrich Seidl
Austria, 2014

Ruang bawah tanah bisa diartikan sebagai lokasi tempat orang-orang menyimpan rahasia, melakukan kejahatan, persembunyian, bisa juga sebagai tempat menyimpan barang dan makanan, serta lokasi yang mana manusia bisa menjadi dirinya sendiri.

Dalam filem ini, Seidl mengajak kita berkunjung ke ruang rahasia bersama serangkaian tokoh-tokohnya saat mereka membenamkan diri dalam hobi dan obsesi mereka.

Budak seks, pemain tuba yang terobsesi dengan Nazi lewat koleksi memorabilianya, ibu yang gemar berfantasi dengan boneka bayinya, serta pria yang menjadikan ruang bawah tanahnya untuk berlatih menembak dan yakin dirinya penyanyi opera berbakat adalah subyek-subyek Seidl dalam filem ini.

Kameranya menangkap gambar secara geometris nyaris tanpa menggunakan teknik hand-held, seakan mengaburkan batasan dokumenter dan fiksi dengan konstruksi yang mengungkap sedikit demi sedikit sesuatu tentang para penghuninya. Sebuah filem esai tentang situasi dan kondisi Austria di masa kini.

54

Gundah Gundala

Wimar Herdanto
Indonesia, 2013

Sebuah filem jenaka yang memparodikan superhero Indonesia dan superhero Amerika Serikat. Gundala dikisahkan tidak memiliki kompetensi untuk bekerja di iklim pekerjaan kontemporer, dan lapangan kerja di Indonesia sudah mulai diisi oleh superhero dari Amerika Serikat. Filem ini tidak hanya mengkritisi situasi sosio-ekonomi di Indonesia, lebih dari itu, Gundah Gundala juga memperolok produksi filem berbiaya besar tentang superhero karena begitu jauh mereka dengan kehidupan sehari-hari penontonnya.

55

Holy Motors

Leos Carax
Prancis, 2012

Seorang aktor bisa menjadi siapapun. Keberadaanya bisa tanpa sejarah juga tanpa kisah. Leos Carax mengeksplorasi hal tersebut dalam Holy Motors. Denis Lavant memainkan berbagai macam peran yang seakan-akan abstrak dan tidak memiliki akhir, dari subuh hingga tengah malam. Diawali oleh Leos Carax sendiri yang terbangun dan masuk ke ruang pemutaran; apakah filem adalah mimpi-mimpi liar para pembuatnya?

56

Museum Hours

Jem Cohen
Austria, Amerika Serikat, 2012

Seorang wanita bernama Anne asal Kanada mengunjungi kota Wina untuk menemani sepupunya yang sedang sekarat dan bertemu dengan seorang pria penjaga Museum bernama Johann. Pertemanan mereka diawali dengan Johann memberi petunjuk arah untuk Anne yang ingin berkeliling Wina di kala senggangnya.

Museum Hours bermain di antara batas filem fiksi dan filem esai, sebuah simfoni untuk kota Wina, filem eksperimental dan sebuah kisah tentang persahabatan tulus dua manusia.

Museum Kunsthistorisches atau Museum Sejarah Seni di kota Wina menjadi latar bersama Wina yang lekat dengan sejarah, yang mana lukisan-lukisan Pieter Brueghel menjadi semacam lingua franca menembus beda budaya di antara mereka.

Kamera Jem Cohen berkelana dan memperbesar layaknya investigasi visual John Berger dalam program TV-nya yang fenomenal yaitu Ways of Seeing. Tak ada obyek sentral dalam bingkainya, latar depan dan belakang menyatu, terkadang peristiwa yang ada di pinggiran bingkai kamera bisa jadi penting. Ini adalah filem tentang bagaimana sejarah dan karya seni yang dipajang di dinding museum penting bagi manusia sekarang dan bagaimana berhubungan dengan kehidupan. Seperti John Berger, Jem Cohen menelisik kota Wina, manusia-manusianya, dan sejarah seni dengan basis pengetahuan yang kuat sekaligus dengan cara yang bersahaja.

57

On The Origin Of Fear

Bayu Prihantoro Filemon
Indonesia, 2016

Kekuatan utama filem ini terletak dari ingatan kolektif terhadap filem Pengkhianatan G30S/PKI (Arifin. C. Noer, 1984). Origin of Fear mengekstraksi ingatan kolektif terhadap filem tersebut dengan hanya menggunakan beberapa adegan spesifik dan impresi terhadap suara dan aksi yang lalu diperagakan ulang. Hasilnya adalah sebuah pertunjukan kekerasan yang performatif dan dramatis, yang mengacu tidak hanya pada filem Pengkhianatan G30S/PKI saja, tapi juga kultur secara keseluruhan.


Baca kembali ulasan filem ini di Jurnal Footage.

58

Turah

Wicaksono Wisnu Legowo
Indonesia, 2016

Turah menggambarkan permasalahan masyarakat di Tegalsari, Tegal. Walaupun struktur naratif filem ini bisa dikatakan konvensional, namun yang perlu diapresiasi dari Turah adalah sensitivitas pembuat filem dalam mengangkat permasalahan sosial tanpa ada pretensi untuk menyederhanakannya. Sehingga yang kita lihat adalah kesemrawutan permasalahan personal dan struktural dan semuanya saling tumpang-tindih.


Baca kembali ulasan filem ini di Jurnal Footage (1)


Baca kembali ulasan filem ini di Jurnal Footage (2)

59

Visits or Memories, and Confessions

Manoel de Oliveira
Portugal, 2015

Filem ini dibuat oleh Manoel de Oliveira pada 1982, namun baru diperkenalkan untuk dipertontonkan ke publik pada 2015. Saya cukup beruntung bisa menonton pemutarannya pada malam pembukaan Yamagata International Documentary Film Festival tahun 2015. Romantis, sentimental, tapi sangat personal; bagaimana de Oliveira mengabadikan rumah dan tamu-tamunya seakan filem ini dipersiapkannya sebagai sebuah elegi. Kita bisa dibilang beruntung karena de Oliveira ternyata hidup 33 tahun lebih lama dan menghasilkan 25 karya filem sebelum filem ini dirilis. Sebuah eksplorasi akan ingatan lewat ruang-ruang dan obyek-obyek penting di sekitaran hidupnya.

60

Sergei/sir Gay

Mark Rappaport
Prancis & Amerika Serikat, 2017

Sergei Eisenstein selalu menuliskan tanda nama ‘Sir Gay’ di gambar-gambar yang dibuatnya saat masih remaja. Dari jejak tanda nama itulah, Mark Rappaport melacak kultur homoseksual dalam sejarah sinema, juga di filem-filem Sergei Eisenstein. Jejak-jejak tersebut hidup dalam kesubstilan, namun sebagai penanda dia memiliki makna yang solid.

61

Ich War Zuhause, Aber… – I Was at Home, But…

Angela Schanelec
Jerman, 2019

Rasa duka adalah tema dalam karya terbaru dari salah satu sutradara filem gerakan Berliner Schule (Berlin School) Angela Schanelec. Kita dibawa bertemu dengan Astrid, seorang wanita beranak dua yang suaminya meninggal beberapa waktu silam. Emosinya rentan dan emosional, aksinya sering menunjukkan kekesalan di tiap interaksinya dengan manusia lain.

Schanelec menggarap sekuens-sekuens dalam filem ini dengan durasi ambilan gambar dan dialog-dialog yang panjang—dengan irama dengan koda menyentak untuk sebuah filem yang narasinya bisa dibilang samar-samar.

Melihat judulnya, tentu kita akan langsung teringat dengan filem karya Yasujiro Ozu yaitu I Was Born, But… (1932), menggaungkan kesamaan akan penggambaran perubahan peristiwa yang mengubah hidup dalam keseharian rutinitas domestik—di mana interaksi antar manusia secara sunyi dan tenang membawa penonton ke suatu tempat tanpa pemaksaan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari montase elipsis Angela Schanelec.

62

Greenery Will Bloom Again

Ermanno Olmi
Italia, 2014

Chamber drama tentang eksistensi, gejolak serta kehendak manusia di saat-saat genting. Berlatar di Perang Dunia I, Ermanno Olmi menegaskan bahwa kemanusiaan dan kebinatangan tidaklah besar jaraknya ketika manusia berada di ambang antara hidup dan mati.

63

Mysteries of Lisbon

Raúl Ruiz
Portugal & Prancis, 2010

Sebuah karya epik dari Raúl Ruiz yang berisi banyak sekali tokoh dan cerita yang saling berkelindan. Mysteries of Lisbon berkisah tentang banyak hal seperti mengeksplorasi waktu dan cara ingatan bekerja. Obesesi terhadap keagungan dan kemegahan, yang mana merupakan semangat zaman Eropa abad 19 tervisualisasikan dari desain latar filem dan estetikanya. Filem ini juga bisa dilihat sebagai upaya Raúl Ruiz memparodikan sejarah Eropa dengan cara yang halus.

64

Spring Breakers

Harmony Korine
Amerika Serikat, 2012

Menonton filem-filem dari Korine seakan menyaksikan sebuah bom waktu dari manusia-manusia yang luput dari bingkai sinema. Mereka terkadang adalah orang-orang tanpa kompromi dalam menjalani hidupnya. Bukan karena ingin melawan tapi itu cara hidup yang mereka tahu. Filem ini bisa dibilang suatu tantangan berat untuk bintang-bintang muda Hollywood seperti Selena Gomez, Vanessa Hudgens, dan Ashley Benson untuk keluar dari citra yang diformulasikan oleh Disney sedari kecil.

65

A Million Miles Away

Jennifer Reeder
Amerika Serikat, 2014

Pertama kali menyaksikan filem pendek ini di Hamburg International Short Film Festival saya terperangah. Jennifer Reeder bukanlah sebuah nama yang akrab di telinga saya. Namun filem ini begitu sensitif menangkap mimpi dan prahara harian dari remaja-remaja perempuan anggota paduan suara di suatu kota di Amerika Serikat. Estetikanya yang menggunakan langgam pesan Whatsapp begitu segar. Tampaknya Bong Joon-ho bersepakat juga dengan saya, kalau Jennifer Reeder adalah satu nama yang patut kita perhatikan bakatnya di masa-masa mendatang.

66

Citizenfour

Laura Poitras
Amerika Serikat, 2014

Sebuah dokumenter penting yang mengungkap kerja badan negara dalam memata-matai warga negaranya. Gaya tutur Poitras berjalan bak sebuah filem spy-thriller sembari memanusiakan Edward Snowden, si pengungkap politik kuasa media yang dijalankan Amerika Serikat. Sejarah baru yang diungkap seketika di depan mata kita.

67

O.J. Made in America

Ezra Edelman
Amerika Serikat, 2016

Kisah persidangan O.J. Simpson si bintang American Football yang membunuh istrinya sendiri hadir hampir setiap hari di outlet-outlet media dunia.Filem ini coba mengungkap mendalam akan suatu kultur hidup yang tidak sesederhana itu hingga peristiwa naas itu bisa terjadi. Ezra Edelman coba menarik-narik sejarah rasisme yang berkelindan dengan kultur olahraga populer di Amerika Serikat tersebut.

68

Like Someone in Love

Abbas Kiarostami
Jepang & Prancis, 2012

Selama dekade 2010-an Abbas Kiarostami menyutradarai dua filem feature yang membicarakan tentang tema yang hampir serupa; pengalaman menjalani cinta, namun cinta yang disinggung bukanlah cinta ‘organik’ dalam artian cinta yang lahir dari ketertarikan dan emosi alamiah antar tokohnya. Certified Copy (2010) berbicara tentang cinta imajiner, atau seakan-akan imajiner. Sementara Like Someone in Love membenturkan cinta yang dikonstruksi dengan cinta organik. Yang mengagumkan dari Abbas Kiarostami adalah dia tidak meletakan parameter moral terhadap tokoh-tokoh yang menjalani cinta tersebut.

69

Watching The Detectives

Chris Kennedy
Kanada, 2017

Tragedi Pengeboman Maraton di Boston pada tahun 2013 yang dilihat melalui aktivitas pertukaran teks dan gambar di situs internet Reddit. Pertukaran tersebut memungkinkan ribuan manusia saling berkontribusi untuk mengungkap secara organik pelaku pengeboman hanya berdasarkan gambar dan teks yang dipertukarkan tersebut. Filem ini menyiratkan perkembangan bahasa gambar bergerak kedepannya, yaitu reproduksi gambar dan arsip yang menggunakan tangkapan layar digital.


Baca kembali ulasan filem ini di Jurnal Footage.

70

Diary of Pamplona

Gonzalo Egurza
Argentina, 2011

Kita masuk ke pengalaman seorang perempuan yang mengingat kembali pengalamannya saat berkunjung ke Pamplona, Basque. imaji bertindak sebagai arsip dari ingatan tersebut, sehingga makna dari imaji terikat dengan narasi yang diungkapkannya. Ketika imaji memperlihatkan sebuah adegan adu banteng, hasilnya adalah ekspresi visual terhadap gejolak hubungan dan kekerasan yang terjadi di dalam hubungan rumah tangga mereka.

71

Last Night i Saw You Smiling

Kavich Neang
Kamboja, 2019

Filem ini berkisah tentang kehidupan di sebuah hunian masal di Phnom Penh yang akan segera dihancurkan. Kavich Neang memfokuskan kisah di filem pada tiga keluarga. Kamera merekam bagaimana bangunan tersebut telah ada sejak rezim Pol Pot telah menjadi bagian dari keluarga-keluarga tersebut.

72

Faust

Alexander Sokurov
Rusia, 2011

Adaptasi yang dipakai oleh Alexander Sokurov adalah versi Johann Wolfgang von Goethe, yang berarti ada cukup banyak penekanan pada sisi psikologis di diri Faust, juga pengejaran terhadap Gretchen. Walaupun Faust tidak begitu tertarik pada penceritaan linear, namun filem ini tetap memiliki pernyataan yang sama dengan versi teksnya, yaitu degradasi yang diakibatkan oleh obsesi berlebih terhadap kekuasaan dan pengetahuan.

73

Nainsukh

Amit Dutta
Swiss & India, 2010

Sebuah biografi tentang Nainsukh, pelukis yang lahir di India pada abad 18. Filem ini berupaya melacak penciptaan lukisan-lukisannya, dan mencoba untuk menerapkan kualitas komposisional lukisan Nainsukh ke dalam estetika sinema.

74

Today / Emrouz

Riza Mir-Karimi
Iran, 2014

Saya selalu terpesona dengan bagaimana pembuat filem dari Iran untuk coba mencari bahasa tuturnya sendiri untuk bisa melewati badan sensor yang terkenal ketat itu. Kita bisa saksikan banyak yang mengupas drama mereka di dalam sebuah mobil atau di angkutan umum. Tak terkecuali filem ini yang mengisahkan terjalinnya hubungan antar dua manusia, seorang supir taksi dan seorang ibu. Sang Ibu minta diantarkan ke rumah sakit karena akan segera melahirkan. Lalu, filem ini dengan canggih turut membicarakan bagaimana sistem kemasyarakatan dan birokrasi bidang kesehatan di Iran bekerja. Mengingatkan akan sebuah karya hebat dari Ebrahim Golestan lewat filem Brick and Mirror (1964).

75

Paterson

Jim Jarmusch
Amerika Serikat, 2016

Paterson bisa saya sandingkan dengan karya-karya terbaik dari Jim Jarmusch semacam Strangers Than Paradise (1984) dan Dead Man (1995). Ia kembali dengan tenang menyoal perkara kesenimanan. Saya tidak akan pernah lupa ia pernah berujar kalau menurutnya Dante Alighieri menulis puisi dengan gaya bahasa vernakular Italia atau bahasa jalanan. Mungkin itu yang menjadi dasar gagasan Jarmusch membawa filem ini ke suatu kota kecil di Amerika Serikat bernama Paterson, di mana semua orang adalah seniman yang kreatif baik mereka sadar atau tidak.

76

Vitalina Varela

Pedro Costa
Portugal, 2019

Sepasang kaki tanpa alas muncul di layar, menuruni tangga-tangga pesawat memasuki kegelapan malam. Seorang wanita berjalan menuju kerumuman, perlahan dan dibalas dengan tatapan sedih dari orang-orang yang telah menunggunya. Seseorang berujar, “Vitalina, kau terlambat datang. Suamimu sudah dikubur beberapa hari lalu. Tak ada yang tersisa untukmu di Portugal.” Begitulah filem termutakhir dari Pedro Costa ini dibuka, salah satu pembuat filem paling penting sekarang ini. Vitalina tetap tinggal di sebuah rumah yang reyot dan mencoba berdamai dengan kesedihannya, dikelilingi orang-orang dari distrik Fontainhas di kota Lisbon. Ketika para tetangganya pulang, Costa kembali ke kenangan protagonisnya, yang juga adalah seorang imigran dari kepulauan Cape Verde dengan memadu-padankan fakta dan fiksi ke dalam jalinan narasi yang kompleks akan sejarah, harapan, imajinasi, politik dan sinema.

Secara gaya visual, komposisi, bingkai, dan pencahayaan dalam Vitalina Varela terlihat indah dan memesona, laiknya pencahayaan chiaroscuro dalam ruang yang claustrophobic dalam karya-karya lukis dari Rembrandt, Caravaggio, dan Vermeer ataupun dalam B movie Hollywood dekade 1950-an terutama filem-filem yang disutradarai oleh Jacques Tourneur. Vitalina Varela juga terasa seperti homage Costa paling kental untuk Yasujiro Ozu yang mana sepanjang filem kita bisa melihat tokoh-tokohnya keluar masuk layar dan membuka-tutup pintu, membentangkan ceritanya sedikit demi sedikit dengan sabar akan narasi elipsis dari kehidupan tokoh-tokohnya.

77

Park Lanes

Kevin Jerome Everson
Amerika Serikat, 2015

Memperlihatkan 8 jam kondisi kerja di sebuah pabrik di Virginia, Amerika Serikat. Park Lanes menghadirkan tidak hanya waktu jam kerja yang ‘murni’, tidak terkompres—dari awal masuk kerja, istirahat hingga pulang—tapi juga iklim pekerja itu sendiri, yang mana kebanyakan adalah kelompok ras minoritas seperti Afrika-Amerika dan keturunan Vietnam-Amerika.

78

Lullaby of the Sorrowful Mystery

Lav Diaz
Filipina & Singapura, 2016

Filem ini diciptakan bedasarkan novel Jose Rizal berjudul El Filibusterismo. Sesungguhnya, durasi filem yang 8 jam adalah durasi yang masih tergolong pendek untuk menceritakan kompleksnya pergolakan bangsa dan para figur-figur pendirinya terhadap nasionalisme, seni serta kolonialisme. Seperti filem Laz Diaz lainnya, Lullaby of the Sorrowful Mystery banyak menggunakan bidikan berdurasi panjang dan lebar, serta kualitas cahaya chiaroscuro.

79

Certain Women

Kelly Reichardt
Amerika Serikat, 2016

Kelly Reichardt adalah salah satu sutradara master dalam mengkombinasi tangkapan lanskap dengan perasaan interior manusia. Filem ini adalah tentang kisah hidup 4 perempuan di kota kecil di Montana yang tidak mengenal satu sama lainnya tapi dipersatukan oleh interseksi dalam lanskap lokasi tersebut dan interkoneksi tema tentang perjuangan perempuan dalam kesehariannya, baik di ranah domestik maupun sosialnya. Gerak kameranya minimalis, efektif, dan tajam mengamati detil mimik serta gestur tokoh-tokohnya sebagai tekstur.

80

From Caligari to Hitler

Rudiger Suchsland
Jerman, 2014

Hitler’s Hollywood

Rudiger Suchsland
Jerman, 2017

Dibuat selang tiga tahun, saya tidak bisa memisahkan kedua filem esai ini, yang didasarkan pada buku berjudul From Caligari to Hitler: A Psychological History of the German Film dan ditulis oleh kritikus filem SIegfried Kracauer. Tesis utamanya adalah “apa yang sinema tahu dan kita tidak tahu?” dengan Jerman sebagai latarnya pada masa era filem bisu sebelum Hitler berkuasa dan setelah kenaikan partai Nazi yang menggunakan medium filem sebagai alat propaganda. Jerman sebagai lokasi pertarungan ideologi dan eksperimentasi bahasa visual berusaha ditembus sampai batas maksimalnya. Sebuah ulasan yang apik dan mendetil akan sejarah suatu bangsa lewat kultur sinema.

81

I, Dalio

Mark Rappaport
France, USA, 2015

Mark Rappaport adalah seorang pembuat filem yang kerap menggunakan pendekatan esai dalam filem-filemnya. Karya-karyanya semacam Rock Hudson Home Movies dan From the Journals of Jean Seberg akan ada selalu dalam daftar filem favorit saya. Dalam lima tahun terakhir ini saya bahagia karena Rappaport tampaknya semakin aktif memproduksi sejumlah filem esai pendek yang mencoba menelusuri figur-figur dalam sejarah sinema dunia, dengan spekulasi nakal akan sisi hidup mereka yang belum kita sadari lewat telusuran arsip-arsip filem. Marcel Dalio yang menjadi figur sentral dalam filem ini adalah seorang aktor Prancis keturunan Yahudi yang kita akrabi dalam filem-filem kanon semacam The Rules of the Game (Jean Renoir, 1939), Pepe le Moko (Julien Duvivier, 1937), dan Casablanca (Michael Curtiz, 1941). Rappaport membawa kita ke karir fiksi Dalio lewat peran-peran beliau. Spekulasi Rappaport dilakukan lewat riset dan kedetilan ia dalam melihat tiap gerak tubuh, ucapan, maupun ekspresi wajah yang memberikan inspirasi atau tawaran cara menonton filem yang berbeda.

82

I Am the People

Anna Roussillon
Prancis, Mesir, 2014

Roussillon membawa kita lebur dalam peristiwa Arab Spring lewat tangkapan keseharian sebuah keluarga yang tinggal di sebuah desa di Mesir. Secara sabar dan jeli menyajikan perkembangan pergolakan di Kairo dilihat dari pinggiran dan bagaimana manusia-manusia terhubung sebagai masyarakat besar yang terhubung oleh media.

83

Everything Else

Maren Ade
Jerman, 2010

Nama Maren Ade bisa jadi adalah salah satu nama sutradara filem yang paling banyak dibicarakan pada dekade lalu. Filemnya Toni Erdmann (2016) mendapat penghargaan bergengsi di Cannes Film Festival dan dinominasikan dalam perhelatan Piala Oscar. Buat saya pribadi ini adalah karya terbaiknya. Ia mengambil sejumput inspirasi dari Voyage to Italy (Roberto Rossellini, 1954) dan A Woman Under the Influence (John Cassavetes, 1974) lewat dua tokoh sepasang kekasih yang sedang liburan di Sardinia, Italia dan kemudian merefleksikan soal hubungan mereka. Kemahiran Maren Ade adalah memvisualisasikan emosi yang tak terkatakan serta memahami bagaimana bahasa atau kata-kata bisa menyimpan ribuan makna dalam interaksi antar-manusia.

84

Hannah Arendt

Margarethe von Trotta
Jerman, 2012

Keberpihakan Margerethe von Trotta terhadap figur-figur perempuan penting dalam sejarah bisa kita lacak semenjak filem pertamanya The Lost Honor of Katharina Blum (1975) yang menjadi bagian dari gerakan New Wave dari Sinema Jerman bersama Rainer Werner Fassbinder, Werner Herzog, Alexander Kluge, Werner Schroeter, dan lainnya. Filem ini menampilkan satu periode dalam hidup filsuf asal Jerman, Hannah Arendt dalam mengikuti persidangan salah satu algojo Nazi bernama Adolf Eichmann di Yerusalem.Filemnya sendiri berjalan naratif layaknya sebuah formulasi ideal dari karya biopic seorang tokoh dunia. Sederhana, informatif, efektif, dan diperankan dengan baik oleh muse-nya von Trotta, yaitu Barbara Sukowa.

85

Nathan For You

Nathan Fielder
Amerika Serikat, 2013-2017

Ini adalah satu pengecualian yang saya masukan di list ini. Nathan For You adalah serial televisi yang diproduksi oleh Comedy Central dan dimotori oleh Nathan Fielder, seorang komedian kelahiran Kanada yang lulus dari universitas bisnis bergengsi dengan nilai yang sangat bagus. Serial ini memperlihatkan apa-apa yang salah terhadap kapitalisme kontemporer, tidak dengan memberikan narasi tanding terhadap kerangka kerjanya tetapi justru memperluas dan mencari loophole cara kerja kapitalisme itu sendiri dengan solusi yang absurd, seperti menciptakan kafe Dumb Starbuck sebagai bentuk parodi merek degang Starbuck.

86

Serious Game I-IV

Harun Farocki
Jerman, 2009-2010

Seperti beberapa karya Harun Farocki sebelumnya, Serious Game I-IV menyelidiki relasi antara simulasi dan kenyataan, serta menggali secara kritis makna terhadap imaji, mulai dari sumber muasalnya hingga kebutuhan imaji itu diproduksi juga dampaknya. Serious Game I-IV tentang sebuah simulasi yang digunakan untuk kebutuhan perang oleh militer Amerika Serikat.

87

Vakratunda Swaha

Ashish Avikunthak
India, 2010

Filem ini direkam pada tahun 1997 dan dinyatakan selesai pada tahun 2010. Ashish Avikunthak merekam kawannya yang setahun setelah perekaman filem ini, meninggal bunuh diri. Vakratunda Swaha banyak menampilkan imaji dan ikon keagamaan seperti wajah Ganesa dalam berbagai bentuk dan material. Sehingga, wajah-wajah Ganesa itu lalu bisa dilihat sebagai upaya pembuat menginterpertasikan kembali kultur Hindu dalam sinema eksperimental, juga sebagai ingatan personal terhadap diri kawannya.

88

Mildred Pierce

Todd Haynes
Amerika Serikat, 2011

Sebuah adaptasi yang lebih komprehensif dari novel James M. Cain dibanding versi filemnya yang terdahulu, yang dibuat tahun 1945, dan tokoh utamanya diperankan oleh Joan Crawford.

89

Let it Fall: L.A. 1982-1992

John Ridley
Amerika Serikat, 2017

Perkara Black Lives Matters tentu tidak ujug-ujug muncul di Amerika Serikat. Akarnya panjang, kompleks, dan juga traumatis. Filem ini menelusuri akar permasalahan rasisme yang memuncak pada kerusuhan besar di Los Angeles tahun 1992. Dendam yang terpendam, emosi yang tertahan, serta rasa ketidakadilan adalah bagian-bagian pentingnya. Ridley menyusun tesisnya dari berbagai macam sudut pandang, baik dari sisi polisi, di saat lain dari sisi orang-orang kulit putih,  African American, dan juga Asian American. Rumit tapi penting sebagai pijakan sejarah yang harusnya tidak boleh terulang kembali.

90

My Skin, Luminous

Nicolas Pereda
Meksiko, 2019

Dokumenter observasional yang tenang dan menghanyutkan tentang seorang anak laki-laki yang perlahan kehilangan pigmen kulitnya di suatu pedesaan di Meksiko. Perlahan berubah secara bentuk dan tutur, dari tangkapan kehidupan sampai membawa ke alam transendental.

91

Foxtrot

Samuel Maoz
Israel, 2017

Sebuah karya yang reflektif dari seorang sutradara filem asal Israel akan situasi dan kondisi di sana terkait dengan invasi mereka di Palestina. Provokatif dan menantang dalam pembahasannya akan tokoh-tokoh yang terperangkap dalam sistem yang mau-tidak-mau harus mereka ikuti.

92

Curupira

Felix Blume
Meksiko, 2019

Sinema menggunakan cahaya dan kegelapan sebagai jampi-jampir sihirnya. Menyihir perkara apa yang kita lihat dan yang tidak bisa kita lihat. Menyihir perkara apa yang kita mau lihat atau apa yang kita tidak mau lihat. Suatu sosok misterius hidup di pedalaman hutan Amazon, ia adalah legenda yang telah diceritakan dari mulut ke mulut sudah sejak lama, lintas generasi, tidak pernah terlihat. Dalam filem ini, wajah-wajah dipertontonkan sembari mereka mendengar dendang suara dan bunyi, merefleksikan suatu ragam demografi akan masyarakat yang tinggal di daerah itu.

Filem ini adalah sebuah meditasi mendalam akan bunyi dan ingatan. Ini adalah sebuah wasiat dari hubungan manusia dengan alam, dari perjalanan emosional yang sekaligus juga berupa pengalaman intelektual.

93

The Thoughts That Once We Had

Thom Andersen
Amerika Serikat, 2015

Melacak sejarah sinema tidak berdasar kronologis waktu, melainkan dengan pembagian jenis image yang diformulasikan oleh Gilles Deleuze. Pertama diperlihatkan tahap-tahap evolusi perception image, lalu action image, dan akhirnya yang kita lihat tidak lagi berada dalam kerangka teoritis. Kita lalu melihat sinema sebagai sinema, image sebagai image, tanpa adanya upaya untuk memprovokasi image tersebut sebagai penanda apapun.

94

Roma

Alfonso Cuaron
Meksiko, 2018

Dengan latar Mexico City tahun 1970-an, di saat turbulensi politik sedang marak di mana-mana yang bisa direlasikan dengan filem Canoa (Felipe Cazals, 1976). Meksiko di tengah pertentangan mahasiswa mengkritisi pemerintahan rezim Luis Echeverria karena tragedi berdarah Corpus Christi dilihat lewat tatapan mata seorang pembantu rumah tangga, dan figur-figur perempuan yang tergambar tenang menjadi sosok yang menyatukan berjalannya sebuah keluarga.

95

Son of Saul

Laszlo Nemes
Hungaria, 2016

Laszlo Nemes membuka mata akan cakrawala bahasa sinema Hungaria di luar Bela Tarr saat sekarang ini. Secara teknis, pendekatannya yang intim, kamera di belakang subyek, mengaburkan citra di sekitarnya terasa inventif. Kita dibawa merasakan pengalaman mengikuti orang-orang Yahudi yang sedang menunggu ajal tiba untuk masuk ke kamar gas di sekitaran para pasukan Sonderkommando. Nemes menghindar dari interpretasi intelek lewat sajian citra yang bersifat informasi memaksa kita ikut mengalami teror lewat pengalaman badaniah.

96

Neighboring Sounds

Kleber Mendonça Filho
Brazil, 2012

Debut penyutradaraan yang impresif dari Kleber Mendonca Filho yang dulunya adalah seorang kritikus filem. Ia membedah anatomi akan suatu kawasan metropolitan di belahan kota Recife lewat bunyi dan suara yang mengungkung manusia-manusia yang hidup di dalamnya.

97

Once Upon a Time in Anatolia

Nuri Bilge Ceylan
Turki, 2011

Kisah investigasi suatu kasus pembunuhan sudah pasti akan diperlakukan berbeda oleh Nuri Bilge Ceylan. Ia adalah salah satu sutradara yang mahir membuat lanskap menjadi bagian penting dalam narasinya. Suara binatang atau sekedar angin bisa jadi bagian penting dalam mengungkap kasus penemuan jasad seseorang, ataupun mengurai secara kritis tindak birokrasi Turki dalam bahasa ungkapnya.

98

Inside

Zeki Demirkubuz
Turki, 2012

Zeki Demirkubuz bisa dibilang adalah sosok penting dalam sinema dunia sekarang ini jika Robert Bresson adalah sutradara yang filem-filemnya kita kagumi. Terinspirasi dari novel Catatan dari Bawah Tanah (Fyodor Dostoevsky), Demirkubuz fasih menggunakan narasi voice-over yang dikontradiksikan dengan aksi tokoh-tokohnya.

99

Breathing

Karl Markovics
Austria, 2011

Sebuah kisah remaja pesakitan yang mencoba menemukan tempat hidupnya dalam dunia ini. Sebuah debut penyutradaraan yang sabar dan sensitif.

100

The Academy of Muses

José Luis Guerin
Spanyol, 2015

Sebuah permainan intelektual; tentang seorang profesor yang mengajar di sebuah universitas di Barcelona mengenai peran perempuan dalam penciptaan karya seni, terutamanya seni kanon Barat. Sang profesor lalu terperangkap ke dalam jebakannya sendiri, hingga memperlihatkan kehidupan akademik yang toksik, patriarkal dan menara gading. Dari segi estetika, The Academy of Muses sangat berbeda dengan filem-filem José Luis Guerin sebelumnya yang mengungkapkan makna tidak dengan kata-kata.

101

Whores’ Glory

Michael Glawogger
Austria, 2011

Glawogger membawa kameranya menelisik kehidupan para pekerja seks komersial di tiga lokasi berbeda. Tiga negara, tiga bahasa, tiga latar agama. Bangladesh, Meksiko, dan Thailand adalah obyek penelitiannya. Saya mengira-ngira butuh berapa lama untuk Glawogger bisa selalu intim dengan subyek-subyeknya tersebut untuk mengungkap isu-isu yang ada di sekitaran latar geografis tersebut.

102

Cave of Forgotten Dreams

Werner Herzog
Jerman, 2013

Werner Herzog hanya diberi kesempatan merekam selama satu jam saja di dalam sebuah kawasan goa Cro-Magnon yang penuh gambar rekaman peradaban zaman batu puluhan ribu tahun yang lampau. Dengan lihai Herzog merelasikan lewat dialog antar-peradaban, antara yang lampau dan sekarang, lintas-region, secara subyektif dari rasa penasaran dari kepingan-kepingan informasi berupa citra lukisan goa.

103

A Separation

Asghar Farhadi
Iran, 2011

Sebuah drama perceraian dari dua pasangan suami istri yang telah menikah belasan tahun. Pertaruhan hidup dipampang di depan meja hijau. Tipikal Farhadi yang selalu menghadirkan ragam spektrum perspektif dari tokoh-tokohnya. Memihak salah satu dari mereka boleh jadi bukan pilihan yang bijak.

104

Transit

Christian Petzold
Jerman, 2018

Nama Christian Petzold bisa dibilang sebagai sosok yang paling banyak dikenal jika kita membicarakan The New Berlin School, walau ada banyak nama-nama sutradara berbakat lainnya. Ia dengan berani dan cuek mengisahkan kisah pendudukan Jerman di Prancis dengan latar kota Marseille di masa sekarang, lengkap dengan mobil-mobil rilisan terbaru dan billboard di jalanan dalam menginvestigasi persoalan sejarah dan identitas diri.

105

No Home Movie

Chantal Akerman
Belgia, 2015

Nama Chantal Akerman boleh jadi akrab dalam teks-teks dalam buku kajian feminis dunia sejak 1970an. Filemnya Je, Tu, Il, Elle serta Jeanne Dielman memang suatu gebrakan untuk mendefinisikan kembali perkara filem perempuan. Dalam filem ini ia mendokumentasikan saat-saat terakhir kebersamaannya bersama ibunya. Lewat tangkapan-tangkapan ruang yang mau tidak mau membuat saya teringat kuat akan Jeanne Dielman. Sirkulasi antar ruang maupun antar-lanskap menjadi teror dalam rasa lain di sini, karena coba ditangkap dengan kamera sebagai mata yang obyektif kita sebagai penonton. Garis, bentuk geometri, biomorfis lanskap bersanding mengungkap rasa gelisah yang bisa jadi paling berbahaya untuk didedah oleh seorang seniman. Berani kah Anda mengabadikan orang yang paling Anda cintai? Sejauh mana Anda kenal mereka?

106

I Am Not Your Negro

Raoul Peck
Amerika Serikat, 2016

Filem ini dikisahkan dari biografi seorang tokoh penting dalam gerakan anti-rasisme di Amerika Serikat. Namanya adalah James Baldwin yang banyak muncul di jaringan televisi pada dekade 1960-an. Raoul Peck menggunakan basis arsip audio tulisan dan arsip audio visual berupa penampilan publik di sekitaran sosok Baldwin tanpa terlalu tertarik akan sosoknya yang lebih personal, tapi lewat dunia yang Baldwin lihat, rasakan, dan tuliskan penuh dengan imajinasi dan harapan.

107

It Must Be Heaven

Elia Suleiman
Palestina, 2019

10 tahun sejak filem panjang terakhirnya, Elia Suleiman kembali menyutradarai tentang hidup sebagai seorang Palestina di tengah konflik dengan Israel lewat cara yang subtil, menggelitik dan absurd lewat komedi yang terasa diinspirasi oleh Jacques Tati (Monsieur Hulot’s Holiday) dan mimik deadpan Buster Keaton. Suleiman dengan sensitif dan cerdas memanfaatkan tiap sudut dari bingkai kameranya untuk mengkonstruksi montase.

Ia memerankan dirinya sendiri sebagai sutradara filem yang sedang dalam proses mendapatkan dana untuk produksi filemnya yang bisa jadi adalah filem ini sendiri. Paris dan New York menjadi latar lokasinya disandingkan bersama Nazareth.

Palestina bisa jadi penuh gejolak, tapi begitupun juga di belahan dunia lainnya. Menjadi orang Palestina di luar negeri menuntutnya tangkas dan sigap, terus-menerus bernegosiasi akan hambatan-hambatan yang dipaksakan oleh harapan negara-negara Barat. Suleiman di sini sebagai pengamat, percaya terhadap penontonnya sudah faham akan fakta-fakta sosial-politik yang ada sebagai latar filemnya, dan memberikan perspektif baru tentang identitas seorang manusia dalam konteks global. Surga mungkin saja tidak ada di dunia ini, tapi bukan berarti tanah kelahirannya adalah neraka.

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search