In Artikel

Beberapa hal yang bisa dipertimbangkan dalam sinema kontemporer daripada sinema modern pada umumnya adalah perbedaan cara memandang tubuh yang tidak lagi sentral dalam memengaruhi kesadaran manusia. Filsuf Merleau-Ponty menyatakan bahwa fenomenologi tidak lagi berangkat dari kesadaran, tetapi berangkat dari pengalaman kebertubuhan itu sendiri. Dalam konteks Merleau-Ponty ini, pendekatan fenomenologi digunakan sebagai kritik terhadap pandangan empirisisme dan intelektualisme yang dianggap terlepas dari situasi kesadaran yang tersituasikan secara konkret atau situasi kebertubuhan. Tubuh, dalam pandangan Merleau-Ponty, adalah cara kita tenggelam di dalam dunia secara langsung, di mana kita mengarahkan tindakan secara perseptual, atau tindakan berpikir itu sendiri yang memuat pengorganisiran pengalaman yang belum dimediasi oleh makna. Pengetahuan bukan sebuah aktvitas pikiran atau nalar yang lepas dari tubuh sementara kesadaran adalah pengalaman kebertubuhan itu sendiri.

Berdasarkan pandangan Merleau-Ponty, menjadikan tubuh bukan sebagai sesuatu yang psikologis berarti bahwa tubuh menjadi cara berada itu sendiri. Dalam konteks sinema kekinian, tubuh tidak lagi dipandang sebagai model klise pada drama; aktor tidak lagi menjadi perwujudan karakter melalui sebuah akting yang lebih fisis dalam mengungkapkan emosi atau watak tertentu sebagaimana kecenderungan di dalam sinema modern. Pengambilan secara dekat (close up) bisa dianggap sebagai keniscayaan sinema modern karena berasal dari orientasi terhadap tubuh biologis untuk mendapatkan efek psikologis dalam menghasilkan karater tertentu dari drama, selain bahwa kaidah pemilahan dari susunan gambar yang diambil dari ambilan dekat tersebut juga sebagai sebuah kebutuhan jukstaposisi untuk membentuk decoupage untuk capaian dramatik, demi mendapatkan efek katarsis aristotelian. Sedangkan pada sinema kontemporer, sinema menjadi semacam medium yang menciptakan tubuh tanpa daging; dalam sinema kontemporer, tubuh bisa ditransformasi dalam sebuah geometri bentuk melalui elemen-elemen sinematografis dan bentangan (landscape) sosial yang melingkupinya. Tubuh menjadi semacam ruang refleksi dan metafor yang tegangan representasinya tidak mudah digenggam dan selalu dalam kemenjadian yang terus-menerus. Dalam pandangan tubuh menjadi kebertubuhan itu, tubuh, objek-objek, dan bentangan sosial yang melingkupinya dianggap setara tanpa diskriminasi untuk memperlihatkan tubuh dalam kebersituasiannya. Tidak heran, sinema kontemporer—seperti halnya yang cukup banyak diperlihatkan, satu diantaranya adalah dalam sinema Apichatpong Weerasetakhul—melakukan banyak bidikan jauh dan lebar untuk memperlihatkan tubuh dalam milieu kebertubuhannya.

Mistisisme dalam Apichatpong

Cemetery of Splendour merupakan filem yang merefleksikan situasi kekinian di Thailand paska-Kudeta Militer tahun 2014. Filem karya sutradara yang banyak menggunakan tema mistisisme ini berkisah tentang sebuah wabah penyakit tidur yang misterius, yang diidap oleh beberapa orang perajurit. Para pasien perajurit tersebut dirawat di sebuah klinik temporer yang menggunakan bangunan bekas sekolah yang notabene adalah sebuah tempat yang memiliki kaitan dengan kejayaan sebuah kerajaan di masa lalu. Jenjira, seorang relawan perempuan di klinik temporer tersebut, sering menemani Itt, salah seorang pasien. Selama menjadi relawan, Jenjira bersahabat dengan Keng, salah seorang perempuan muda yang bekerja melakukan terapi dengan kemampuan telepatinya untuk membantu para pasien berkomunikasi. Terapi lain juga dilakukan oleh seorang dokter di klinik itu, yakni dengan menggunakan lampu untuk membantu para pasien yang sedang mengalami mimpi. Penyakit tidur misterius yang dialami para perajurit tersebut ternyata berhubungan dengan sebuah kebesaraan sebuah kerajaan masa lalu di masyarakat. Tubuh para perajurit kalangan bawah ini digunakan sebagai mediasi oleh para raja-raja di masa lalu yang sedang melakukan pertempuran. Filem ini membawa banyak kesadaran antara kekinian dan masa lalu sebagai sebuah refleksi kritis terhadap situasi sosial, khususnya terkait pengaruh kekuasaan militer di Thailand kekinian.

Perbincangan yang paling khas dalam tema di filem-filem Apichatpong Weerasetakhul adalah tentang mistisisme. Hampir di semua karya Apichatpong selalu menggunakan mistisisme sebagai bagian dari konteks sosial Thailand kekinian. Mistisisme dalam karya Apichatpong adalah sesuatu yang berbeda dari penggunaan mistisisme di dalam filem-filem pada umumnya, seperti halnya gambaran realisme filem yang merepresentasikan alam mistis. Hal ini juga terkait dengan kultur kesadaran masyarakat Thailand atau di Asia Tenggara pada umumnya yang masih mengenal keyakinan akan waktu yang bukan bersifat kronologis dalam pandangan ‘Barat’, tetapi lebih pada konsep waktu yang seakan ‘melingkar’. Konsep waktu yang ‘melingkar’ inilah yang kemudian—yaitu keyakinan akan orang-orang yang telah tiada di masa lalu, apalagi tokoh-tokoh besar di masa lalu—seakan-akan masih melekat dalam kesadaran keseharian mereka, karena pada dasarnya di dalam kesadaran mereka sebenarnya tidak ada batas antara alam manusia setelah tiada dengan alam manusia yang masih hidup. Dalam konteks bahasa sinema, mistisisme Apichatpong bukanlah sebuah penggambaraan secara realisme yang bersifat representasional, di mana ada pemisahan antara memasuki dunia mistis dan memasuki dunia keseharian secara hierarkis, seperti bagaimana sering kali kita lihat bagaimana penggambaran tentang entitas mistis dalam filem-filem pada umumnya yang secara khas menekankan dramatisasi alam mistis sebagai ‘tegangan’ dengan membangun hierarki gambar atau pemisahan realisme di antara dunia yang berbeda. Mistisisme dalam karya-karya Apichatpong adalah keseharian realisme itu sendiri yang tidak memisahkan atau melakukan hierarki pembeda antara gambaran keseharian dan dunia mistis. Bahkan, pada mistisisme yang hadir melalui keseharian tersebut, gambaran mistis tampak bukan ‘horor’ secara dramatis, melainkan lebih sebagai mistisisme secara performatif yang melekat, bahkan tidak terpisahkan dengan keseharian itu sendiri.

Narasi di dalam beberapa karya Apichatpong menggunakan banyak mistisisme untuk menghadirkan sejarah, di mana pemaknaan sejarah dalam karya-karya Apichatpong bukan sebuah kesadaran yang kembali ke masa lalu, namun justru masa lalu itu sendiri yang hadir dalam kekinian. Penggunaan figur atau tokoh mistis, seperti halnya juga hantu di dalam filem-filem Apichatpong, menurut Aparna Sharma “menempati secara luas dalam ruang marginal sebagai wadah dari figur yang absen, hantu-hantu, dan memori-memori komunal, meraka yang mendapatkan tekanan dalam narasi arus utama sejarah.”[i] Dalam konteks filem Cemetery of Splendour, mistisisme digunakan untuk menghadirkan kejayaan dan konteks kultural di masa lalu Thailand yang telah absen hari ini, yang kemudian dihadirkan di dalam keseharian Thailand, untuk mengkritik kekinian sosial masyarakat Thailand, khususnya paskakude Militer, represi militer, musibah banjir pada 2011, dan lain sebagainya. Masa lalu yang dihadirkan melalui mimpi, atau sesuatu yang tak terlihat di dalam lapisan naratif (adegan tentang bidadari, kerajaan, dan lain sebagainya), sebagai usaha merefleksikan kekinian masyarakat Thailand. Penggunaan masa lalu yang terlupakan sering kali digunakan untuk mendapatkan sebuah visi baru di masa depan yang lebih baik pada sebuah masyarakat.

Sejarah sinema Thailand sendiri sudah lama dihubungkan dengan kisah hantu-hantu sebagai sebuah filem mainstream di dalam industri filemnya. Popularitas filem horor Thailand relevan pada awal tahun 2000-an setelah kebangkrutan ekonomi[ii], di mana filem horor Nang Nak (1999) menjadi box office dalam kultur sinema Thailand. Kultur filem hantu sempat diperlihatkan pada adegan di Cemetery of Splendour ketika Jenjira bersama Itt di bioskop menonton filem hantu. Dalam konteks kultur industri filem hantu sendiri, gambaran hantulah yang menjadi momok, atau semacam narasi yang menakutkan. Ada beberapa potensi yang bisa dilihat dari kultur filem hantu ini, di mana menurut Bliss Cua Lim, “Keberadaan hantu yang diceritakan kembali lewat narasi-narasi hantu bukan hanya contoh dari masa lalu yang menegaskan kembali dirinya dalah kehadiran yang stabil sebagaimana yang biasa diasumsikan; sebaliknya, kembalinya hantu peristiwa-peristiwa traumatik justru mengacaukan batas-batas dari masa lalu, sekarang dan masa depan, dan tak bisa dituliskan ke sumber kepuasan dari sebuah waktu yang kosong dan homogen.”[iii] Namun, Bliss Cua lim juga menyatakan bahwa kultur filem juga melibatkan tegangan “…yang menggunakan cerita-certa hantu sebagai sebuah provokasi terhadap kesadaran historis. Filem-filem hantu yang juga merupakan alegori-alegori historis membuat penggunaan ganjil dari kosa kata supranatural untuk mengartikulasikan ketidakadilan historis, mengacu pada ‘realitas sosial’ dengan jalan lain pada mayat hidup.”[iv]

Dalam filem Cemetery of Splendour sendiri, sejarah bisa dengan serta merta hadir dalam keseharian, sebagai sebuah kritik terhadap kondisi kekinian Thailand. Seperti adegan ketika dua orang bidadari kuil yang serta merta datang menemui Jenjira. Dua bidadari tersebut berpakaian layaknya orang di dalam keseharian. Dua bidadari tersebut mengabarkan bahwa wabah tidur yang dialami prajurit berhubungan dengan penggunaan tubuh mereka sebagai media peperangan oleh para raja di masa lalu, dan klinik temporer yang berada di gedung sekolah adalah sebuah situs makam para raja-raja. Filem Cemetery of Splendour sendiri dibuat di Khon Kaen, Propinsi Isan, kampung halaman Apichatpong yang sebenarnya secara kultur lebih dekat dengan Laos dibandingkan dengan Bangkok. Performativitas dari adegan dua bidadari tersebut secara tidak langsung menandaskan sebuah identias kultural dengan negara yang berbatasan dengan propinsi Isan, Laos.[v] Kehadiran kedua bidadari tersebut secara tidak langsung memainkan kritik terhadap garis kultural yang telah terhapus oleh garis administrasi politik antara Thailand dan Laos, di mana pengaruh-pengaruh kesadaran kultural masyarakat Propinsi Isan yang berbatasan dengan Laos masih memiliki rumpun kultural dan identitas yang masih sama.

Cemetery of Splendour, secara tidak langsung, adalah suatu penggunaan mistisisme yang selain untuk menjelaskan kritik sosial terhadap situasi Thailand kekinian, juga menjadi siasat untuk menghadirkan masa lalu, memori, dan figur-figur idola yang absen dalam situasi kekinian. Kehadiran mistisisme dalam filem Apichatpong ini bukan sesuatu yang bersifat eksklusif, atau semacam hierarki kesadaran yang terpisah dengan keseharian masyarakat seperti banyak yang diperlihatkan pada gambaran hantu pada filem-filem industri pada umumnya. Mistisisme adalah cara membangkitkan memori itu sendiri, sebagai sesuatu yang paling personal dan sebuah cara untuk membawa ‘politik’ pada tahapan yang paling personal, khususnya pada masa lalu yang bersifat traumatik dan terlupakan. Memori sendiri menurut filsuf Henri Bergson adalah sesuatu yang eksternal dan berada di luar manusia. Memori tidak melekat di dalam diri manusia, tapi manusialah yang bergerak di dalam memori-Ada. Memori manusia tersebut tidak bergerak dari masa kini ke masa lalu, atau dari persepsi ke rekoleksi, namun gerak memori lebih ke masa lalu ke masa kini atau rekoleksi ke persepsi. Pada adegan Keng dan Jenjira di sebuah taman yang usang, bagaimana pengalaman akan tempat menandaskan kebangkitan akan memori sebuah kerjaan yang terkubur di masa lalu.

Tubuh dan Objek dalam Bingkaian (Frame) yang Setara

Satu di antara pandangan kontemporer adalah bagaimana memandang kesadaran bukan sebagai sesuatu yang tunggal. Demikian pula dalam pengertiannya terhadap tubuh, setidaknya dalam perkembangan sinema kontemporer, bahwa tubuh tidak lagi menjadi sentral dalam bingkaian gambar, melainkan ia menjadi setara dengan objek-objek lain yang melingkupinya. Apichatpong Weerasethakul merupakan sutradara asal Thailand yang banyak memperlihatkan bagaimana pengertian tubuh tidak lagi berpusat pada subjek yang murni terpisah dari bentangan sosial yang melingkupinya. Cemetery of Splendour menggunakan banyak bidikan luas (wide shot) sebagai usaha untuk menghadirkan tubuh dalam bentangan sosial untuk mendapatkan pengertian tubuh dalam konteks sosial yang melingkupinya. Bahkan, dalam beberapa adegan pada filem tersebut, ia juga membidik objek-objek lain di luar tubuh manusia, seperti ayam yang melintas, atau kipas angin di atap yang sedang berputar, kincir air mini di danau, dan lain sebagainya, sebagai sebuah bidikan-bidikan yang setara dengan bidikan tubuh manusia. Sinema Apichatpong seakan tanpa hierarki dalam menghadirkan objek-objek dan tubuh, karena kesetaraan tanpa hierarki tersebut sebenarnya juga sebagai bagian dari semangat membaca tubuh yang tidak lagi murni atau tunggal, namun tubuh yang juga dalam kebersituasian yang konkret.

Hampir keseluruhan narasi di dalam Cemetery of Splendour adalah tentang bagaimana bingkaian terhadap objek-objek dan tubuh adalah setara, dan demikian pula terhadap realitas yang berlangsung di dalam filem: pengalaman akan keseharian dan pengalaman mistis atau mimpi juga dibingkai dalam posisi yang setara sehingga terkadang pendekatan kesetaraan dalam membingkai objek dan peristiwa-peristiwa di dalamnya juga membangun ketaksaan bagi penonton untuk membedakan mana adegan di dalam mimpi atau adegan di dalam keseharian. Mimpi dan mistisisme dalam sinema Apichatpong tidak memberikan tekanan khusus atau dramatisasi di dalam bingkaian gambar, sehingga adegan tersebut sama halnya ketika ia juga membingkai adegan keseharian. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran itu sendiri, seperti halnya dalam pandangan kontemporer, bukanlah hal yang tunggal dan terpisah dengan kebersituasian sosial yang melingkupinya.

Dalam tradisi Aristotelian, pembangunan terhadap plot biasa menggunakan penekanan pada sebuah perkembangan karakter dari tokoh. Namun hal yang berbeda dari model karya-karya Apichatpong ini, dimana ketika perkembangan plot tidak berangkat dari perkembangan karakter sangat tokoh, namun lebih pada ‘deskripsi sinematis’ yang dibangun dari bingkaian gambar yang dibangun. Satu di antara kekuatan sinema Apichatpong adalah memanfaatkan segala objek yang berada di keseharian sosial tanpa hirariki sebagai perkembangan dari plot dan narasi. Pada adegan awal filem Cemetery of Splendour terlihat bagaimana sebuah traktor dan para militer seperti sedang melakukan pembangunan di sebuah lapangan sepak bola sekolah. Narasi pada awal adegan filem ini terlihat benar memanfaatkan situasi lapangan yang berlangsung secara real, merupakan deskripsi sinematis yang memiliki sekuen yang kembali terlihat pada akhir filem, dimana Jenjira yang sedang duduk di tepi lapangan melihat para anak-anak yang sedang bermain bola di tengah banyaknya gundukan tanah. Adegan akhir ini menjadi semacam satir, atau semacam performans terhadap situasi dari dampak penggalian lapangan sepak bola oleh para militer di lapangan sekolah tersebut. Subyek para anak-anak yang sedang bermain sepak bola di tengah gundukan tanah di lapangan secara bidikan luas, adalah untuk memperlihatkan keberadaan subyek di tengah sebuah bentangan lapangan sepak bola yang sudah tidak layak digunakan, atau semacam kebertubuhan yang berada ditengah-tengah situasi yang tidak lazim yang melingkupinya.

Realitas Masa Lalu yang Performatif

Sinema Apichatpong memang cukup kental akan narasi tentang supranatural. Seperti halnya mistisisme yang bisa jadi masih banyak berlaku dalam kultur masyarakat Asia Tenggara umumnya, dan Thailand khususnya. Apichatpong menggunakan mistisisme itu sendiri bukan dihadirkan dalam pengertian bahasa sinema yang terjelaskan dengan membawa kita memasuki gambaran dunia yang diilusikan oleh sang tokoh, seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa ia tidak membuat hierarki antara mimpi dan keseharian. Apa yang digambarkan oleh Apichatpong di dalam sinemanya adalah tegangan antara dunia luar manusia dan ‘dunia dalam’ melalui realitas yang diperformatifkan ketimbang merepresentasikan gambaran ‘dunia dalam’ atau mimpi itu sendiri.

Pada filem Cemetery of Splendour terdapat satu adegan yang cukup menarik, yakni ketika Jenjira dan Keng sedang berada di sebuah taman yang usang di dekat sekolah. Taman yang usang tersebut ternyata bekas tempat berdirinya sebuah istana kerajaan di masa lalu. Adegan awal menanda bagaimana sebuah taman tersebut usang, di mana Jenjira menunjuk pada sebuah tanda di pohon besar terdapat batas warna pada batang yang bagian akar sampai setinggi kurang lebih 1,5 meter berwarna coklat yang menandakan bekas batas permukaan air ketika musibah banjir di Thailand. Seperti diketahui, pada tahun 2011, Thailand mengalami musibah banjir besar yang melanda 77 provinsi mereka. Banjir tersebut dimulai pada akhir Juli 2011, dan baru reda pada pertengahan Januari 2012, dan telah mengalami korban sekitar 815, dan 13,6 juta orang terkena dampak dari musibah banjir tersebut. Dalam adegan ini, Apichatpong telah memanfaatkan betul bentangan lapangan bagian dari narasi, yang memanfaatkan sisa-sisa artefak dari memori sosial yang masih melekat disekitar mereka melalui sisa-sisa objek yang tersedia, sehingga adegan memori tentang banjir yang masih melekat di dalam benak ingatan masyarakat Thailand tersebut dilakukan secara performatif.

Keng sebagai perempuan yang memiliki kemampuan cenayang. Ia membimbing Jenjira di taman yang usang tersebut, memasuki sebuah bangunan kerajaan. Namun Apichatpong tidak melakukan representasi apa pun yang dialami oleh kedua tokoh tersebut ketika mereka seakan berjalan di istana kerajaan. Adegan tersebut oleh Apichatpong dihadirkan secara performatif; adegan tersebut tetap memperlihatkan mereka berdua berjalan di sebuah taman, di mana Keng berbicara pada Jenjira dan menunjukan bahwa mereka berada di ruangan istana. Dalam adegan di taman itu, Keng menunjukkan pada Jenjira bahwa ia sedang berada di depan cermin di salah satu sudut ruangan istana, mereka beradegan seakan mereka sedang bercermin. Scene ini memberikan sebuah impresi bahwa batas antara kesadaran akan keseharian dan mimpi menjadi terkaburkan dan membentuk sebuah kebersituasian. Tubuh mengalami kebertubuhan yang tidak lagi memisahkan antara pengalaman keseharian dan pengalaman akan ‘fantasi’ terhadap masa lalu. Adegan itu memperlihatkan Jenjira dan Keng tetap berada di taman tersebut, tetapi kesadaran mereka berada di sebuah istana kerjaan yang ada di masa lalu melalui adegan perbincangan saat Keng memandu Jenjira yang seakan mereka sedang berada di istana.

Performatif sendiri adalah kapasitas berbicara dan berkomunikasi, yang sebenarnya komunikasi tersebut terjadi secara tidak langsung, namun lebih pada tindakan atau kemiripan tindakan. Judith Butler bahkan berpendapat, komunikasi biasa dan tindak wicara sebenarnya sudah performatif karena tindakan tersebut melayani untuk menentukan identitas tertentu. Pandangan tentang performativitas ini membalikkan ide bahwa tuturan, gestur, dan ekspresi lainnya adalah hal yang sekunder. Konsepsi Merleau-Ponty tentang tuturan sebagai gestur adalah tanggapan terhadap cara pandangan intelektualisme yang menganggap bahwa tuturan adalah subjek yang bertutur sebagai sebuah kesadaran yang terpisah dengan tubuh. Bertutur, bagi Merleau-Ponty, adalah fenomena kebertubuhan seperti halnya tubuh ketika digunakan sebagai aktivitas lainnya. Pada dasarnya, tuturan bagaimana pun juga adalah sebuah tindakan spontan dari tubuh yang bukan dilatari oleh dominasi ide atau pemikiran. Karena tuturan mengandaikan adanya ekspresi dan emosi di dalamnya, maka tuturan bukan kepanjangan tangan dari kode-kode bahasa yang terkomunikasikan melalui tuturan. Gestur di sini bukan dipahami sebagai sesuatu yang secara kognitif atau diuraikan secara intelektual. Untuk memahami tindakan bertutur, khususnya terkait dengan bagaimana sebuah makna bisa disampaikan dan ditangkap secara indrawi, hal yang pertama-tama harus dilihat adalah kekuatan bertutur itu sendiri sebagai sebuah gestur. Konteks gestur tersebut dalam hal ini adalah dalam pengertiannya yang bisa diperluas, termasuk diantaranya adalah gestur sebagai gerakan fisik, tanda, dan juga gerakan pantomim yang secara esensial juga memiliki makna yang ‘komunikatif.

Pemaknaan gestur bukan terletak pada sisi atau di balik dari gerak tubuh tersebut. Pemaknaan gestur adalah satu kesatuan dan telah bercampur baur dengan struktur dunia yang telah digaribawahi olehnya.[vi] Dalam hal ini, gestur juga “membawa suatu ko-ordinasi pengalaman struktural tertentu, baik kepada subjek pembicara maupun para pendengarnya.”[vii] Tuturan merupakan cara seseorang mengekspresikan dirinya, dan hal ini berkaitan dengan eksistensi seseorang karena terkait dengan pengalaman kebertubuhan. Dalam pengertian ini, tuturan pada dasarnya adalah bukan perihal makna konseptual dari sebuah kata seperti yang diskemakan oleh paham intelektualisme. Setiap orang memiliki cara penuturan sendiri, bahkan melampaui situasi dan kondisi sosiologis seseorang. Dalam hal ini, masing-masing cara bertutur seseorang memiliki ciri khas dan karakter yang saling berbeda. Cara bertutur masing-masing pribadi orang yang berbeda ini membuat cara being in the world seseorang juga berbeda pula, yang mana dalam tuturan, individu mengambil posisi tertentu dalam pengalamannya. Pengertian tuturan sebagai gestur, oleh Merleau-Ponty, adalah kunci pemahaman tentang tindak bertutur, karena hal ini juga terkait dengan bagaimana tubuh sebagai pintu masuk menuju being in the world. Dengan kata lain, memaknai sebuah tindakan tuturan sebagai gestur adalah juga dalam rangka being in the world.

Kebertubuhan dalam adegan Jenjira dan Keng adalah bagaimana mereka mengalami sebuah dunia masa lalu di dalam keseharian mereka. Adegan mereka memang berada di taman, namun gestur mereka, yang memperlihatkan bahwa mereka secara performatif seakan berada di istana kerajaan di masa lalu, menunjukan bahwa kebertubuhan mereka dalam realitas keseharian secara serentak juga menjangkau masa lalu yang secara fisik tidak ada. Dalam konteks sinema kontemporer Apichatpong ini, secara tegas diperlihatkan pandangan terhadap tubuh dan kebertubuhan yang setara, serta kesadaran dunia keseharian dan mimpi sebagai sesuatu yang juga setara dan tak terpisahkan tanpa heirarki. Dalam filem Cemetery of Splendour, pandangan being in the world Merleau-Ponty adalah kebertubuhan dari pengalaman akan ‘mimpi’ dan keseharian yang tak terpisahkan.***

 

End Notes:

[i] Sopawan Boonnimitra, “From the Nightmarish to a Dreamy State of Being: The Troubling Present in Thai Independent Cinema after the 2014 Coup d’etat”, Makalah The Asian Conference on Film & Documentary 2016.

[ii] Lihat Adam Knee, “Thailand Haunted: The Power of the Past in the Contemporary Thai Horror Film”, dalam  S.J. Scheneider dan T. Williams (Penyunting), Horror International (Michigan: Wayne State University Press, 2005), hal. 141.

[iii] Bliss Cua Lim, “Spectral Times: The Ghost Film as Historical Allegory”, Position 9(2), 2001, hal. 287. Diakses dari http://escholarship.org/uc/item/1np6b51p#page-1 pada 1 Maret 2017.

[iv] Ibid., hal. 288

[v] Viollet Luca. Dream State. http://www.filmcomment.com/article/apichatpong-weerasethakul-cemetery-of-splendor/ (di unduh pada 1 Maret 2017)

[vi] Maurice Merleau-Ponty. Phenomenology of Perception. Colin Smith (Penerjemah) (London & New York: Routledge Classics, 2002), hal. 216

[vii] Ibid., hal. 225

 

 

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search