In Artikel

Sampai menit ke ’50 dalam pertunjukan Fever Room, penonton mungkin masih berpikir bahwa karya sutradara asal Thailand, Apichatpong Weerasethakul adalah karya filem. Karya filem itu, yang biasanya hanya diputar di bioskop, dalam ‘pertunjukan ini’ diputar di atas sebuah panggung, dengan penonton duduk di lantai panggung dan sebuah layar hadir di hadapannya, di depan tirai penutup yang memisahkan panggung dengan kursi penonton yang asli. Pertunjukan ini digelar di dalam rangkaian acara TPAM (Performing Arts Meeting) di Yokohama, 9-19 Februari 2017 dengan tajuk acara “TPAM-Direction”. Salah satu panggung pertunjukan di KAAT (Kanagawa Arts Theatre Yokohama) benar-benar menjadi sejarah tersendiri karena menampilkan pertunjukan garapan sutradara peraih “The Golden Palm” di Cannes itu.

Salah satu suasana di TPAM (Performing Arts Meeting), Yokohama, 9-19 Februari 2017.

Apichatpong menggarap sebuah pertunjukan yang, kalau tidak bisa dibilang megah, mungkin lebih tepat disebut radikal. Ia mengganti peran-peran secara radikal dengan menempatkan penonton yang menonton pertunjukan tersebut sebagai objek pertunjukan, aktor kedua, dan afektor. Sementara cahaya menempati posisi peran paling tinggi, ia menjadi performer sekaligus aktor utama dalam pertunjukan berdurasi sekitar 2 jam itu.

Apichatpong Weerasethakul’s Fever Room. Courtesy of Kick the Machine Films. Gambar diakses dari https://artsequator.com/review-apichatpong-weerasethakuls-fever-room/

Sebagai sebuah keajaiban—kalau kita mau sedikit berlebihan—pertunjukan tersebut berawal sebagai sebuah filem. Penonton duduk di lantai memandang layar yang menggantung di tirai tertutup. Apa yang terlihat di layar mungkin merupakan sekuel dari karyanya yang berjudul Cemetery of Splendour (2015). Plot dalam filem-filem besutan Apichatpong Weerasethakul tersusun dari repetisi narasi-narasi puitik, yang melebur dalam dramatisasi antara memori dan logika mimpi. Apa yang disebut sebagai narasi dalam filem konvensional kehilangan dirinya dari benturan antara kenangan dan logika bermimpi. Karakter tumbuh dari mata kamera yang merekam.

Apichatpong Weerasethakul’s Fever Room. Courtesy of Kick the Machine Films. Gambar diakses dari https://www.tpam.or.jp/2017/en/?program=fever-room

“No. It’s because I took your lights,” terdengar suara perempuan, lugas tetapi tipis dan ritmis. Tampak ombak berderu setelahnya. Adegan berulang-ulang dengan suara pengiring yang juga berulang antara suara perempuan (Jen) dan laki-laki (Itt). Layar itu menampilkan beberapa montase dengan sajak yang merupakan teks turunan dari kamera. Teksnya biasa-biasa saja, juga tak ada efek-efek visual yang luar biasa (seperti filem-filem eksperimental yang lain). Semuanya realis, wajar, dan tanpa mengada-ada.

Suasana salah satu rangkaian acara di TPAM (Performing Arts Meeting), Yokohama, 9-19 Februari 2017.

Suasana salah satu acara diskusi di TPAM (Performing Arts Meeting), Yokohama, 9-19 Februari 2017.

Naratif yang terbangun dari awal pertunjukan Fever Room bergerak semacam sebuah retorika memori. Ketika suara perempuan (yang kita identifikasi sebagai Jen) menamai gambar-gambar bergerak itu sebagai ‘Dracula’, ‘King Kong’, ‘Dinosaurus di taman’ dengan berbagai macam ekspresi suara: ‘Dracula’ dan ‘King Kong’ adalah anjing-anjing jinaknya yang berlari mengejar satu sama lain, sementara ‘Dinosaurus di taman’ mengarah pada visualisasi patung dinosaurus di antara bunga-bunga di sebuah taman. Ketika suara berkata ‘Hexagon’, di layar muncul sebuah lantai dengan motif keramik yang disusun secara hexagonal. Terdapat kelindan korelasi antara teks: suara dan gambar. Begitu pula suara lelaki yang kemudian merepetisi seluruh puitika dari narasi yang dibangun perempuan tadi, suara itu kembali dihadirkan sebagai ingatan dan kenangan yang terdengar sedikit lebih miris.

Sampai seluruh montase direpetisi, puisi-visual yang ditawarkan dalam pertunjukan itu, kalau kita boleh tergesa-gesa melabelinya, belumlah merupakan keseluruhan dari rangkaian peristiwa yang ditawarkan oleh sutradara. Lanskap kesunyian yang coba didedahkan dari visual: sebuah taman dengan dinosaurus, anjing-anjing dengan nama-nama mereka yang aneh itu, bersepeda di pinggir pelabuhan, seorang kakek berjalan terhuyung, seseorang tergeletak di atas kasur rumah sakit, perjalanan dengan kapal ikan dengan para nelayan, rumput liar di pinggir danau, angin berdesir dari laut, dan laki-laki yang menatap hampir kosong ke arah langit dengan rokok yang tersulut di tangan kirinya. Itu semua adalah montase. Bangunan pertunjukan yang belum menemukan dramaturgi pertunjukan.

“I’m old now, I rarely remember my dreams.” Begitulah puisi itu ditutup.

Tiba-tiba, turun layar-layar lain. Satu layar di tengah yang kemudian memberi lapisan lain dalam puisi yang telah dibangun tadi. Sekarang kita menonton dua layar di tengah dengan narasi yang terus bertumbuh. Suatu kali dua layar itu menampilkan dua ombak yang sama tetapi dengan sudut pandang yang berbeda. Lalu layar mati. Semua gelap. Kemudian hidup kembali dengan adegan di dalam gua. Seorang lelaki dengan beberapa bagian tubuhnya ditato (yang kemudian kita identifikasi sebagai ‘laki-laki yang datang dari masa lalu dan masa depan’), tidak terlihat kepala dan tubuhnya bagian atas. Lalu ‘ruang gigil’ itu dikepung oleh layar di sayap kanan dan kiri dari tempat duduk penonton.

Masih tampak adegan dari filem itu, di gua, lelaki ‘yang datang dari masa lalu atau masa depan’ menyalakan senter, menekuri gambar-gambar di dinding gua dari masa lalu yang telah terlupakan dan tak terurus. Ia mencoba menyalakan api, berteman dengan kesunyian di dalam gua. Tak ada narasi. Ini semacam menekuri sejarah tanpa narasi dan makna. Diiringi suara hujan deras dari sudut ke sudut tempat duduk penonton. Hujan semakin deras, suaranya semakin keras. Layar diangkat satu per satu, menghilang ke atas. Hubungan antarteks berjalan linear hingga pertengahan pertunjukan sebelum seluruh gambar kehilangan suara manusia, hanya hujan, petir, cahaya. Dan manusia hilang.

Sebuah catatan penting dalam perpindahan dua dimensi dramaturgi yang mampu kita pelajari di pertunjukan Fever Room adalah bagaimana konstanta-koeksistensi manusia dengan kecenderungan animalistiknya, tak bisa ditekan dan dibendung oleh peradaban modern. Selanjutnya, kita bisa melemparkan pertanyaan besar bagaimana secara progresif dua dimensi dramaturgi antarmedia mampu menyulap filem menjadi pertunjukan atau pergeseran pandangan ‘penonton-yang-menonton-filem’ dan ‘penonton-seni-pertunjukan’. Sejatinya, itu tak bisa diedarkan dalam pemisahan fatal antara keduanya, karena dalam menonton pertunjukan ini kita diharapkan mampu bergerak bolak-balik antarmedia dan bolak-balik antar-dimensi dramaturgis. Terutama ketika lampu jalan yang dihidupkan (berkejap-kejapan) dari balik tirai hitam yang perlahan membuka itu, kita bisa merasakan petir dengan suaranya yang langsung bisa kita jamah di mata kita. Suatu perasaan atau afeksi ‘langsung’ yang sulit kita jamah ketika menonton filem dua dimensi.

Setiap suara petir diiringi dengan kilat-kilat cahaya seperti sambaran cahaya petir. Yang mengherankan adalah efek cahaya tersebut betul-betul mirip dengan cahaya petir. Setelah terbuka seluruh tirai, cahaya petir yang keluar dari lampu taman itu yang dinyalakan mati-hidup seperti petir, terang-terangan terlihat berasal dari cahaya lampu jalanan/taman. Ini yang menarik dari menonton pertunjukan dan menonton filem, perbedaannya segera terasa. Pembocoran proses terlihat nyata di mata penonton (yang juga sulit atau hampir tidak mungkin kita saksikan dalam filem konvensional).

Cahaya benar-benar menjadi aktor utama dalam pertunjukan ini. Dari efek sudut pandang, kabut, terowongan waktu, tabung-tabung nebula, aurora—semua efek cahaya ini—menjadi semakin luar biasa ketika pertunjukan mendekati skala-skala yang semakin cepat. Skala kecepatan cahaya seperti mengeluarkan kematian dari ruang gigil di kedalaman manusia. Dan efek digital dari lampu dan asap menjadi semesta yang lain (penonton seperti merasakan berjalan di atas awan). Nebula buatan yang berisi cahaya itu menghilangkan cahaya dan bayangan, penonton seperti merasakan berada di ruang angkasa dengan lipatan-lipatan kecepatan cahaya.

Garis-garis cahaya itu, yang berhasil menyapa penonton sebagai cahaya semesta, kemudian menjadi terasa terlalu dingin dan gigil. Kecepatan cahaya yang ditembakkan ke arah penonton memiliki struktur dramaturgi yang stabil antara skala jarak dan kecepatan. Sebagaimana semesta, kaos yang memiliki ritme dan strukturnya yang terjaga dan teratur. Pertunjukan tampil sebagai gramatika yang tidak bisa disentuh dan diraba dengan mata telanjang penonton. Pengalaman keber-ada-an selanjutnya hanyalah fiksi belaka, kini afeksi penonton terpapar begitu saja antara hidup dan mati, alam lain, energi lain, afterlife, imajinasi, dan atmosfer, yang belum tentu filem mampu menghadirkannya. Yang tak kalah penting ketika menonton Apichatpong dalam pertunjukan Fever Room adalah bagaimana penonton dipaksa kembali merasakan kesunyian panggung—yang sebagian besar pertunjukan dengan pelibatan media baru tak mampu menyampaikannya secara lugas kepada penonton.***

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search