In Edisi Khusus, Katalog ARKIPEL

Oleh Manshur Zikri

“Estetika Kenyataan, Realisme Publik?”, tulisan Mahardika Yudha ini, dimuat pertama kali dalam katalog ARKIPEL International Documentary & Experimental Film Festival 2013 sebagai esai pengantar (esai kuratorial) untuk salah satu Program Kuratorial, berjudul sama dengan esai, di festival tersebut. Pernah dimuat juga di Jurnal Footage pada tanggal 16 Desember 2013.

Membaca kembali kuratorial ini sebagai sebuah refleksi tentang gejala zaman, kita seakan menangkap gema akan suatu masa ketika orang-orang di dunia yang terlibat aktif di ranah aktivisme gambar bergerak (film dan video), pada era pasca-Perang Dingin, mencari cara baru untuk memahami dunia dari sudut pandang akar rumput, dengan tetap membawa kesadaran kelas. Di Indonesia sendiri, setelah kejatuhan rezim, gerakan ini telah kian berkembang sejak permulaan era 2000-an, beriringan dengan ekspansi teknologi informasi berbasis jaringan internet, terutama saat media sosial mewabah menjadi platform baru bagi produksi, distribusi, dan (bahkan) pertukaran informasi. Teknologi rekam, khususnya kamera video, digunakan tidak hanya untuk mengkritisi otoritas penyebab ketimpangan kelas, tetapi juga kuasa ideologis di balik teknologi itu sendiri. Dan di tahun-tahun menjelang pergantian dekade pertama dari milenium ketiga ini, gelagat manusia atas video pun berubah bersamaan dengan perkembangan wujud, fitur, dan fungsi serta nilai sosial dari teknologinya.

Di tengah-tengah transformasi yang demikian, perjuangan untuk mencari keadilan dan mempertahankan hak asasi manusia tetap hadir baik dalam keberadaannya yang subtil maupun dalam realisasinya yang radikal. Itu, salah satunya, dapat dilihat dari bagaimana suatu kota berubah dan juga bagaimana subjek-subjek yang menghuninya memandang perubahan itu, atau dari bagaimana kota-kota informal muncul sebagai konkretisasi gerakan subaltern untuk tetap dapat berbicara, berhadap-hadapan dengan kebijakan dan kontrol negara.

Selain gema di atas, tulisan kuratorial Mahardika Yudha ini penting untuk dibaca kembali karena si penulis mengingatkan kita pada salah satu tawaran tentang potensialitas sejati sinema: realisme. Pada titik mana, sesungguhnya, sinema benar-benar mempertemukan kita (publik) dengan ‘yang nyata’, atau kenyataan yang bagaimana yang selayaknya diajukan sinema dalam rangka membuka kebenaran-kebenaran alternatif yang berpihak kepada kemaslahatan publik? Selain itu, pertanyaan yang tidak kalah penting: sejauh mana publik perlu dan dapat terlibat dalam sinema, baik dalam posisinya sebagai konten, kontributor konten, maupun konsumen konten? Dua film yang diajukan Mahardika Yudha menunjukkan bahwa, pada latar sosial tertentu, publik berkesempatan menentukan arti dari “realitas”; dan hal ini, tentu saja, memperkaya dan memperluas cakupan definitif dari realisme yang menjadi tujuan sinema.

Tulisan ini dimuat kembali oleh Jurnal Footage, dengan menggunakan tanggal baru, setelah melalui suntingan di beberapa bagian. Redaksi Jurnal Footage terutama memperbaiki bagian “Catatan Kaki”. Pada bagian itu, kami melengkapi informasi tentang referensi yang digunakan si penulis dengan menyertakan judul buku dan artikel berbahasa asing (Inggris) yang ia acu.

Penerbitan ulang artikel-artikel yang sudah pernah dimuat di seri katalog ARKIPEL adalah bagian dari Editorial 09: Diskursus Satu Dekade.

Selamat membaca!

Estetika Kenyataan, Realisme Publik?

“Di sini kita temui perbedaan Lacanian antara ‘kenyataan’ (reality) dan ‘yang Nyata’ (the real): ‘kenyataan’ (reality) yang dimaksud di sini adalah kenyataan sosial dari orang-orang yang benar-benar terlibat dalam interaksi dan dalam proses produksi, sementara yang Nyata (the Real) adalah sesuatu yang ‘abstrak’ yang tak dapat ditawar, logika menakutkan dari ibukota yang menentukan apa yang terjadi dalam kenyataan sosial. Kita dapat melihat kesenjangan ini secara jelas ketika kita pergi ke suatu negara yang kehidupan masyarakatnya berantakan. Banyak kita lihat kerusakan lingkungan dan penderitaan manusia. Namun, yang bisa kita baca hanyalah laporan dari para ekonom bahwa kondisi ekonomi negara ini ‘baik secara finansial’ – realitas tidak penting, yang penting adalah kondisi di ibukota…” (Slavoj Žižek)1

Obsesi sinema menjangkau ‘yang nyata’ (the real) bukanlah persoalan baru. Sejak fotografi ditemukan hingga film Lumière Bersaudara ditayangkan kepada publik, teknologi reproduksi kenyataan itu telah dituduh merebut ‘yang nyata’. Apalagi ketika film bicara lahir, sinema mencapai polemiknya terhadap usaha-usaha mencapai ‘yang nyata’ sampai lahirnya genre realisme pada sinema usai Perang Dunia I.

Sinema berusaha sekuat tenaga dengan berbagai macam moda produksi hingga bahasa estetika untuk menghadirkan ‘yang nyata’ apa adanya dengan tidak menjadikan ‘kenyataan’ (reality) hanya sebagai sarana. Tentang Neorealisme Italia, André Bazin berkata bahwa, “Tak satu pun [tokoh] yang dipersempit menjadi keadaan atau simbol sehingga penonton bisa membenci mereka tanpa harus bersusah payah memahami terlebih dahulu ketaksaan dunia manusia yang ditampilkan.”2 Neorealisme Italia lebih ke arah realitas sebagai sebuah impian, atau sesuatu yang di luar norma yang dominan. Di sisi lain, perkembangan genre dokumenter yang dikatakan ‘lebih mendekati’ pada ‘yang nyata’ mencapai titik kejenuhan estetika di masa pasca-Perang Dingin, hingga muncul pernyataan bahwa fiksi dikatakan sebagai genre yang paling mendekati ‘yang nyata’, melalui jargonnya: “berdasarkan kisah nyata”. Jargon ini kemudian mendiamkan kita pada sebuah situasi tentang kehadiran ‘perspektif teknologi’ dan juga sosok yang merujuk pada kepentingan si perekam di belakang teknologi itu, sekalipun dalam rekaman dokumenter. Dari sinilah kita kemudian berhadapan dengan situasi tentang sebuah pergeseran ‘yang nyata’. Kita sedang mencurigai bahwa ‘kenyataan’ yang kita alami di dunia ini sebenarnya adalah sebuah ilusi yang dikonstruksi. Lalu pertanyaan yang muncul kemudian, apakah sinema semakin menjauh dari ‘yang nyata’?

Disorder (Xianshi Shi Guoqu de Weilai, 2009), Huang Weikai (Cina).

Dalam dua film dokumenter feature, Disorder karya Huang Weikai dan Petition karya Zhao Liang, kita dihadapkan pada bagaimana sinema berperan dalam menangkap ‘yang nyata’. Moda produksi dan bahasa estetika ‘kenyataan’ yang digunakan oleh Huang Weikai dan Zhao Liang berusaha mereduksi dan menghancurkan peran ‘perspektif teknologi’. Tentu saja hal ini tidak mungkin bisa dilakukan tanpa situasi sosial yang memadai. Dengan kata lain, situasi ‘yang nyata’ masyarakat Cina dewasa ini sangat mungkin mendorong bahasa estetika ‘kenyataan’ dalam sebuah film dokumenter.

Disorder, 2009, karya Huang Weikai - Trailer

Disorder (2009, 58 menit). Huang Weikai menyelesaikan Disorder di tahun 2009, setahun setelah Olimpiade 2008 sebagai pernyataan terbuka negara Cina tentang kelahiran negara kaya baru pada masyarakat internasional. Melalui footage-footage temuan dari 26 insiden kekacauan sehari-hari, Huang Weikai membeberkan kenyataan masyarakat Cina di masa transisi itu, masa yang dikatakannya sebagai, “Dalam sebuah zaman kamera video surveillance berfungsi sebagai dokumenter dan gosip di internet mampu mengungguli rating sebagai berita utama, gagasan tragedi yang berputar ke tempat dan waktu yang baru.”3 Kenyataan sebenarnya dari footage-footage yang ia kumpulkan dari pembuat video amatir yang menjual hasil rekamannya itu untuk televisi, menjadi dua hal yang menarik dari film ini. Bagaimana publik melihat dan memandang dirinya sendiri; Bagaimana peran sinema terhadap televisi; dan juga melihat bagaimana peran dari kenyataan kedua itu kemudian memberikan pengaruh pada kenyataan pertama di masyarakat itu sendiri. Sebuah siklus yang dikatakan Huang Weikai sebagai “Hari ini adalah masa depan dari masa lalu” yang ia terjemahkan menjadi ‘disorder’.

Petition, 2009, karya. Zhao Liang

Petition (2009, 120 menit). Zhao Liang mengangkat peristiwa pengajuan petisi kepada pemerintah yang banyak dilakukan oleh masyarakat kelas bawah di Cina. Kampung Petisi berisi orang-orang yang berasal tidak hanya dari Beijing, tetapi juga dari berbagai provinsi di Cina yang telah bertahun-tahun mengajukan petisi atas kasus-kasus hukum masa lalu yang terkait dengan persoalan hak asasi manusia yang berhubungan dengan pemerintah. Menjelang perayaan Olimpiade 2008, kampung itu pun akhirnya dibongkar secara paksa. Dalam memproduksi film ini, Zhao Liang menceburkan diri masuk ke dalam kampung petisi dengan membawa kamera yang menjadi matanya. Ia berinteraksi, merekam situasi dengan gamblang, ataupun sembunyi-sembunyi, dan mewawancarai para pencari petisi. Dalam film ini, kita sadar bahwa sang sutradara berada di balik konstruksi kenyataan kedua pada tiap bidikannya. []

Endnotes[+]

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search