In Artikel

Bagi saya, filem Edwin yang paling membekas adalah Babi Buta yang Ingin Terbang (2008). Filem ini mampu mengajak penonton untuk berpikir reflektif, mempertanyakan rasisme yang hadir dalam keseharian. Bila dilihat melalui konsep tatapan ajuan dari Todd McGowan, Babi Buta termasuk ke dalam kategori filem yang lebih menonjolkan hasrat. Maksud dari hasrat di sini adalah keinginan yang sulit terbahasakan, sehingga ketika diterjemahkan dalam filem, ia menjadi hal dominan yang mendorong cerita bergerak. Edwin membiarkan tatapan, sesuatu yang memantik penonton untuk terus melihat filem, justru hadir pada akhir cerita, saat lagu ‘I just want to say I love you’ ditembakkan pada footage peristiwa 98. Dengan hadirnya gambar ini, semakin terang bahwa Edwin sedang membicarakan trauma paska Reformasi dan rasisme di Indonesia.

Babi Buta yang Ingin Terbang (Edwin, 2008)

Dalam Aruna dan Lidahnya, Edwin menampilkan hal yang jauh berbeda dengan Babi Buta. Filem ini super ringan, mudah diikuti ceritanya, tidak reflektif, menghibur, dan menunjukkan keberhasilan suatu hubungan percintaan antara lelaki dan perempuan dengan cara “senormal” mungkin. Akan terasa lompatan yang sangat besar apabila menyandingkan filem ini dengan filem Edwin sebelum dia bergabung dengan Palari Films, rumah produksi Aruna dan Posesif (2016). Dalam filem ini, Edwin justru lebih menyamankan penonton dengan gambar-gambar aman tanpa diminta untuk mencari simbolisasinya; serta penggunaan formulasi alur cerita yang lebih terarah tanpa membuat penonton mengernyitkan dahi.

Tulisan ini sendiri sebenarnya tidak akan membicarakan posisi Edwin yang akhirnya memilih untuk membuat filem hiburan. Ada hal lain yang lebih menarik untuk dibahas, seperti formulasi yang digunakan Edwin dalam Aruna sehingga filem ini mampu menyamankan penonton. Kedua, artikel ini juga akan melihat secara permukaan posisi Edwin sebagai sutradara paska Reformasi yang akrab dengan filem-filem festival dan gambar-gambar yang ia “pinjam” untuk mendukung semesta Aruna.

Cara Edwin Bercerita

Bila menduga bahwa Aruna akan fokus pada makanan seperti saya misalnya, kalian semua salah besar. Filem ini bukan tentang makanan, tetapi tentang Aruna (Dian Sastrowardoyo), yang akhirnya bisa mengutarakan perasaannya pada Farizh (Oka Antara). Aruna ditugaskan oleh kantornya untuk memeriksa lebih detail kasus flu burung di beberapa kota di Indonesia. Selama masa penugasannya ia ditemani oleh Bono (Nicholas Saputra), disusul kemudian oleh Farizh dan Nad (Hannah Al Rashid). Meskipun Aruna berusia 30-sekian, ia ternyata masih polos untuk hal percintaan. Selama dua tahun, Aruna memendam perasaan pada Farizh, mantan rekan kerja yang dalam filem ini diceritakan mendampingi Aruna ke beberapa kota. Wisata kuliner Aruna yang seharusnya menjadi tujuan pertama, digagalkan oleh kehadiran Farizh. Acara mencicipi makanan berubah menjadi obrolan yang mendekatkan Aruna dan Fariz, serta Bono dan Nad.

Kisah cinta Aruna dibagi ke dalam tiga babak: Jakarta, Jawa Timur, dan Kalimantan Barat. Pola pembagian ini sangat lumrah bagi penonton yang terbiasa dengan filem Hollywood. Porsi pembabakannya 1:2:1 dan bisa dirasakan lewat durasi dan jalinan cerita di Jawa Timur yang lebih panjang dan kemunculan konfliknya lebih intens. Tentu saja konflik yang muncul bukan perihal makanan tapi lebih pada Aruna selaku si protagonis cerita.

Aruna dan Lidahnya (Edwin, 2018)

Alur dalam Aruna cenderung ketat dan tidak bertele-tele. Runtutannya logis, tidak ada karakter yang tiba-tiba muncul untuk meriuhkan konflik. Pada babak pertama misalnya, Edwin mengenalkan karakter utama seperti Aruna-Bono serta bos Aruna (Desta) dan Priya (Ayu Azhari), bos Farizh yang nantinya muncul lagi pada babak ketiga. Namun, meskipun alurnya ketat, ternyata Edwin cukup berlama-lama ketika ingin menegaskan bahwa Dian dan Nicholas dalam filemnya akan menjadi sahabat karib, bukan sepasang kekasih seperti dalam filem mereka sebelumnya. Upaya Edwin ini ditunjukkan dalam adegan makan nasi goreng yang gambarnya diambil dengan dua cara: pertama close-up, kedua dari luar ruangan. Penonton seperti dipaksa untuk mengiyakan bahwa Edwin–lah yang akan membawa Dian dan Nicholas menjalani kisah yang lain.

Kemudian dalam Jawa Timur, konflik semakin bergulir untuk fokus pada perasaan Aruna yang keki ketika bertemu Farizh. Tercatat ada beberapa konflik yang dimunculkan seperti Aruna vs penduduk setempat yang anaknya sakit diduga flu burung, mengenai sakit dalam pemahaman medis dan tradisi; lidah Aruna yang tak bisa merasakan; serta kedekatan Farizh dan Nad karena mereka berbagi rahasia yang sama. Dalam babak ini, Edwin juga memperlihatkan ternyata Nad bisa menjadi nyaman dengan Bono dalam adegan di kapal. Kecanggungan pertemuan Aruna dan Farizh justru membawa kedua orang ini menjadi terbuka satu sama lain.

Penyelesaian konflik berlangsung dalam babak Kalimantan Barat, dimana para karakternya menyinggahi kota Pontianak dan Singkawang. Ritmenya cepat. Edwin menyelesaikan konflik Aruna dan Farizh bersamaan dengan penyelesaian job Aruna. Sebenarnya Aruna telah curiga karena data di lapangan mengenai flu burung justru dimanfaatkan oleh pihak tertentu. Kehadiran Aruna dan Farizh sebagai tim ahli digunakan sebagai jalan masuk lembaga Farizh bernaung dapat menyatakan adanya endemi flu burung, dengan demikian modal akan mengalir.  Saat semuanya terkuak, Priya muncul. Perempuan inilah yang menjadi kekasih Farizh, dan yang mengutus Aruna supaya lembaganya bisa mendapatkan kucuran dana dari pemerintah.

Adanya perubahan karakter menjadi hal yang wajib ada dalam cerita semacam ini. Penonton bisa melihat perubahan Aruna, yang semula bergantung dengan teman-temannya akhirnya memutuskan pergi ke Pontianak seorang diri menggunakan angkutan umum. Aruna yang sebelumnya lebih pasif, pada babak ketiga akhirnya berani mengungkapkan perasaannya pada Farizh. Sedangkan Bono, yang pada mulanya lelaki dengan sifat sederhana, akhirnya bisa menunjukkan kegarangannya saat memukul Farizh.

Aruna dan Lidahnya (Edwin, 2018)

Lalu apa gunanya penghadiran makanan dalam cerita cinta yang sederhana ini? Dugaan saya, Edwin tidak mengajak kita untuk memikirkan suatu makanan yang memiliki kompleksitas sejarah dan bagian dari suatu budaya. Makanan hanya digunakan sebagai pemanis kisah cinta Aruna-Farizh dan Bono-Nad. Tidak kurang, tidak lebih.

Cara Edwin Menyokong Narasi Aruna

Dari jabaran alur cerita yang sudah dipaparkan di atas, bisa disimpulkan Aruna memang sangat sederhana. Jatuh cinta, sakit hati, lalu menghibur diri dengan wisata kuliner merupakan hal yang biasa ditemui sehari-hari. Dan pembabakan cerita Aruna sebenarnya mengikuti kaidah yang mapan: ada awal, tengah, akhir, semuanya berlangsung secara linear dengan porsi yang pas. Tetapi, ada beberapa hal yang justru merusak bangunan narasi yang sudah mapan tersebut. Saya menduga, Edwin belum sepenuh hati untuk menundukkan dirinya pada jalinan narasi, sehingga bukannya memperkuat alur cerita, Edwin malah bermain-main dengan banyak formulasi sehingga Aruna terkesan tidak fokus, dan too much. Ada banyak hal yang ingin Edwin pamerkan, tetapi ini justru membuat alur Aruna pada beberapa bagian terkesan terburu-buru, bahkan meloncat.

Pertama, saya ingin fokus pada pemanis Aruna. Edwin menggunakan teknis meruntuhkan dinding ke empat. Bagi saya, teknis ini menjadi hal yang menyenangkan. Mengapa? Karena pada titik tertentu, Dian Sastro mengajak saya mengobrol. Dian memiliki kesejarahannya sendiri dalam ingatan saya. Begitu Dian yang sedang menjadi Aruna menatap saya secara langsung, jarak antara saya dan Dian runtuh. Saya tidak berada di jarak yang nyaman, karena Dian secara langsung masuk ke kesadaran saya. Nah, penggunaan metode ini menurut saya tidak berpengaruh signifikan pada alur cerita. Efeknya hanya menyenangkan saja (siapa sih yang tidak senang diajak ngobrol sama Dian Sastro). Tetapi penggunaan teknis ini justru menjadikan Aruna adalah Dian. Ditambah dengan kepiawaian Edwin yang fokus pada titik yang menjadi sex appeal Dian, dari close-up yang mengambil sisi wajah dan menonjolkan telinga, justru tidak bisa melepaskan sosok Dian yang juga menjadi sweetheart di media sosial. Penonton yang telah biasa disapa oleh Dian melalui gawai pintar, tentu melihat Dian dalam layar lebar sebagai Dian. Ini mungkin efek yang timbul dari penggunaan tokoh terkenal di media sosial. Begitu sosoknya pindah ke lain medium, ia justru tidak bisa menjadi karakter sesuai cerita.

Aruna dan Lidahnya (Edwin, 2018)

Pemanis selanjutnya adalah cara Edwin mengambil gambar makanan. Saya sendiri pernah bekerja sebagai penulis review makanan dan restoran untuk situs pariwisata. Begitu diperlihatkan gambar jenis makanan dari cara ia diracik, dimasak, dan disajikan dalam Aruna, saya semakin yakin bahwa porsi gambar makanan ini semata-mata dipakai untuk memantik hasrat penonton supaya mencicipi makanan tersebut . Dengan kata lain, melalui ambilan gambarnya, Edwin justru bertindak sebagai tukang review makanan. Cara Edwin jauh berbeda dengan cara Adriyanto Dewo dalam Tabula Rasa (2014) yang menempatkan makanan sebagai penentu keberlangsungan sebuah cerita. Dalam Tabula makanan dihadirkan sebagaimana makanan menimbulkan rasa rindu, mengingatkan akan identitas si pengicip rasa; sedangkan dalam Aruna makanan berakhir sebagai pemanis, dan lebih jauh ia membawa penonton berjumpa dengan si pembuat wacana akan rasa (adegan terakhir saat makan malam di restoran Bono, dimana penonton bisa melihat tokoh-tokoh terkenal Jakarta). Makanan hanya dijadikan petualangan bagi kaum menengah urban.

Kedua, saya akan fokus pada hal-hal yang membuat filem ini too much. Pada awal kemunculan Edwin dan karya-karyanya, saya mengkategorikan Edwin sebagai sutradara yang lebih percaya pada kekuatan gambar dibandingkan cerita. Dalam Babi Buta misalnya, Edwin memperlihatkan gambar yang memiliki sisi referensial pada sejarah Indonesia. Penonton tidak akan memahami gambar Ladya Cheryl makan dinamit atau tokoh pria yang menginginkan menjadi orang Jepang, apabila ia tidak memiliki pengetahuan mengenai etnis minoritas di Indonesia. Kemudian dalam Kara anak Sebatang Pohon (2005), gambar Ladya memukul patung McDonald tidak akan berbunyi bila tidak dikaitkan dengan kehadiran kapitalisme di Indonesia. Gambar yang dipilih Edwin sebelum Palari memiliki muatan simbolisasi yang harus dibaca dengan beragam lapis.

Keinginan Edwin untuk menampilkan gambar yang (mungkin) ia anggap ‘oke’ dan ‘wah’ justru sangat besar dalam Aruna. Tetapi penggunaannya jauh berbeda dari era sebelum Palari. Dalam Aruna, pilihan Edwin malah justru jatuh sebagai referensial secara gambar yang efeknya membuat filem ini menjadi ajang Edwin untuk “pamer” referensi. Saya mencatat setidaknya ada tiga adegan yang merujuk pada filem yang lebih banyak beredar di festival. Pertama pada adegan Aruna bermimpi membuka kulkas lalu meneteskan air jeruk nipis. Gambar ini mengingatkan saya pada gambar dalam The Wayward Cloud (2005) karya Tsai Ming Liang, saat tokoh utama perempuan menjilat semangka di dalam kulkas. Kemudian dalam adegan melewati jembatan Suramadu, Edwin mengambil gambar jembatan dari garis pancangan dan tiang, persis ketika Apitchapong mengambil gambar jalanan dari belakang mobil dalam filem Tropical Malady (2004). Terakhir, pada adegan Nad dan Bono berjoged di kapal, ada karakter Bapak dan Istrinya yang telah tiada juga ikut berjoged bersama mereka yang hidup. Ini mengingatkan saya pada karya Uncle Boonmee who can Recall His Past Lives (2010), yang menampilkan orang mati bisa berbaur dengan biasa saja dalam filem secara apa adanya, tidak mengganggu dan tidak meneror.

Aruna dan Lidahnya (Edwin, 2018)

Comot-mencomot gambar dan teknis adalah hal yang biasa dalam proses penciptaan. Tetapi ketika Edwin menyodorkan comotan tersebut, ia hanya digunakan untuk menyokong alur cerita. Di sini Edwin tidak bermain-main dengan gambar sebagai referensial sejarah yang mengajak penonton untuk mencari tahu makna dari penggunaan simbol dalam gambar. Adegan Aruna dan jeruk nipis ternyata digunakan untuk menguatkan aspek ketidaknyamanan Aruna saat melihat Farizh dan Nad. Edwin menggunakan referensi tersebut semata-mata sebagai tempelan, tidak berfungsi secara signifikan untuk perkembangan cerita. Dalam Bono-Nad yang berjoged dengan orang mati misalnya, tentu gambar ini tidak sedang membicarakan sejarah sinema Indonesia yang akrab dengan penghadiran ‘yang telah tiada’ ke dalam gambar, tetapi lebih ingin memamerkan sisi referensial Edwin yang telah melanglang buana melihat beragam jenis filem sehingga ia dengan mudah mencomot sana-sini untuk ditempel semata.

Kesimpulan

Untuk mengakhiri tulisan ini mungkin saya akan meminjam kata-kata Aruna saat menyantap rujak soto. Secara garis besar Aruna berkata demikian, “Rujak ya rujak aja. Soto ya soto aja. Kalau digabung jadi aneh” (sambil menatap ke penonton dengan muka jengkel). Perkataan Aruna tersebut seperti mewakili perasaan saya setelah nonton filem ini. Saya mengandaikan jalinan narasi sebagai soto, dan cara Edwin memilih dan menggabungkan gambar sebagai rujak. Maksud saya, perihal memilah kekuatan naratif maupun menggunakan tradisi gambar (visual) menjadi penting disini, namun memilih satu determinasi di antara keduanya menjadi cukup signifikan karena terkait dengan kepadatan dan memaksimalkan bahan baku sinematografinya.

Secara keseluruhan, Edwin belum sepenuhnya berserah diri pada narasi yang ingin difilemkan. Ia masih bersikukuh untuk percaya pada gambar. Nah, hal yang semacam ini membuat bangunan alur Aruna yang sebenarnya kokoh malah menjadi “kemana-mana”. Agenda Edwin yang ingin menggunakan teknis tertentu, kemudian menyelipkan referensi gambar dari filem lain yang ternyata tidak begitu signifikan untuk plot, atau berusaha “memisahkan” Dian dan Nicholas supaya kedua orang ini mampu menjadi “dewasa” dalam filemnya, serta membicarakan korupsi di Indonesia yang terkesan malah menjadi tempelan justru menutup aspek-aspek lain yang sebenarnya masih bisa dieksplorasi lebih jauh untuk bisa membangun semesta filem Aruna yang pas dan terfokus.

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search