In Artikel

CIRI KHAS DARI paradigma ornamental Muratova dalam mengaplikasikan konsepsi “tekstural” juga melandasi pemikirannya mengenai sinema sebagai bahasa yang menuju atau memicu  apa yang disebut Iampolski sebagai “pandangan lugu” di diri penonton. Ini berkaitan dengan bagaimana unsur-unsur filosofis dari Primitivisme melekat dengan perspektif ornamental Muratova.1

Singkatnya, karena menekankan “tekstur” sebagai hakikat estetis, konstruksi filmisnya, secara khusus di Change of Fortune, adalah konstruksi yang “mempermukakan” segala hal, tidak ada sesuatu yang lebih dalam atau yang berada di balik permukaan-permukaan.

Sebagaimana seorang pelancong memasuki sebuah lingkungan primitif, selama menonton Change of Fortune, kita seolah berhadapan dengan pemandangan-pemandangan yang kita tidak mengerti. Seperti melihat karpet, segala unsur menyisa hanya untuk dikagumi, dialami, dan tidak ada rahasia (kontemplatif) yang mesti ditebak-tebak. Hal itu, menurut Iampolski, terutama sekali terwakili pada salah satu unsur intrinsiknya, yaitu latar cerita film yang tidak mempunyai identitas.

Ketiadaan identitas bangsa dari penduduk yang mendiami lokasi cerita, yang mana lokasinya pun juga tidak mempunyai identitas geografis apa pun (tidak merujuk ke hal yang riil), adalah contoh bentuk yang penting dari penerapan ornamentalisasi sebagai perangkat artistik yang sejalan dengan teknik defamiliarisasi.

Akan tetapi, kedudukan dari latar cerita film tersebut hanyalah salah satu aspek. Secara teoretis bisa diargumentasikan bahwa, pada sebagian besar elemen dunia fantastis film ini, Muratova menggunakan “logika permukaan” (surface): benda dan orang (dan material-material lainnya) dikonstruksi menjadi peristiwa yang ditampilkan dengan penggayaan tertentu, justru untuk mencapai situasi “tanpa kedalaman”—tanpa “isi”. Secara teoretis, “tatapan turistik” (touristic gaze), demikian kritikus Iampolski menyebutnya, adalah sebuah sikap yang menjadi tujuan filmis Muratova: ketika mengalami dunia fantastik di dalam Change of Fortune, penonton menyimak cerita layaknya seorang wisatawan; mereka menatap film dengan “tatapan dari seseorang yang tidak tahu-menahu tentang apa yang dia lihat.”2 Demi tujuan itu, dunia sinema Muratova di film ini, meskipun fantastis, hadir sebagai suatu kumpulan majas filmis yang malah memblokir segala petunjuk mengenai identitas, referensi, dan representasi tentang baik dunia riil maupun ‘di atas’ rii. Selain tanpa kedalaman substansial, gaya ungkap film ini juga mengganggu (membelokkan) tujuan-tujuan konvensional: ia seolah membuat kita menjauh dari sebuah keadaan, yang dalam konteks ini, dapat kita sebut sebagai keadaan “memahami naratif”.

Kira Muratova, "Change of Fortune", 1987.

Inilah Change of Fortune, dunia dengan tebaran visual-auditori di sana-sini yang sengaja tidak menyimpan atau menyembunyikan makna apa pun di baliknya, karena semua “dihadirkan ke depan” menjadi suatu kesatuan “permukaan yang total”, layaknya permadani. Dengan tatapan turistik itu, penonton hanya akan mengagumi dan mempersepsikan “permukaan” tersebut—pengalaman “melihat” sebagai hal yang final, terlepas apakah orang yang melihat itu dapat mengenali atau tidak hal-hal yang dilihatnya. Karena tidak ada makna yang lebih dalam, hal-hal “permukaan” ini sering kali memicu kebingungan. Tatkala penonton mencapai titik “kebingungan”, di situlah “cita-cita” Muratova akan Primitivisme (yang dalam konteks film ini adalah Ornamentalisme Sinematik) justru “tercapai”: sebuah situasi dari keluguan tatapan, yaitu suatu keadaan yang menghambat penciptaan “Identitas”, “Simbol”, “Pengetahuan”, “Ideologi”, “Klise”, dan “Stereotipe” bagi penonton, sehingga yang tersisa untuk dicapai penonton hanyalah “pengalaman keindraan” itu sendiri. Sensori mengungguli kognisi.

Sederhananya, kejaran dari praktik sinematik semacam ini sama halnya dengan musik: Anda akan tetap mendapatkan suatu “pencerahan eksperiensial” (dalam konteks pendengaran) meskipun Anda tidak memahami arti dari lirik sebuah lagu.

***

ARGUMENTASI Iampolski yang saya acu dan uraikan di atas adalah salah satu yang membuat kita, kemudian, bertemu dengan sebuah masalah. Seperti saya, Anda mungkin akan berpikir keras sembari melemparkan pertanyaan semacam ini: Apa gunanya sebuah film jika tidak mengandung makna substansial? Apa pentingnya “mengalami” film…?

Jika pun kita menggunakan teori formalis ala Shklovsky mengenai teknik seni (defamiliarisasi),3 atau konsep deformasi yang dimaksud Jakobson,4 kita juga akan tiba pada pertanyaan sulit yang sama—sebagaimana yang sempat saya singgung di akhir artikel sebelumnya. Di sini, saya coba ajukan pertanyaan yang lebih kompleks: (1) apa gunanya si sutradara menunjukkan mesin yang bekerja pada struktur film ini kalau, ujung-ujunya, tak menawarkan refleksi apa pun tentang sesuatu yang, semestinya, bisa bermanfaat bagi penonton?; dan (2) apa gunanya kita memahami mesin dari film itu kalau kita berhenti hanya pada pengertian formal film, tanpa ada refleksivitas apa pun?; dan kalau begitu, (3) apa pentingnya defamiliarisasi, puitisitas, dan ornamentalisasi?

Tapi, benarkah demikian pertanyaan yang harus kita jawab?

Kalau kita mau menggeser sedikit perspektifnya, maka pertanyaannya bisa jadi begini: Apakah pemahaman formal atas sebuah karya, jika diutamakan, membuat kita benar-benar tidak akan mendapatkan suatu perenungan tertentu? Di manakah letak refleksi yang “bermanfaat” itu jika kita menelaah aspek formal dengan “mengesampingkan” substansi?

Praktik sinema Muratova (secara khusus film berjudul Change of Fortune ini)—saya telah meyakininya—menjawab itu semua.

Sebenarnya, jawaban untuk persoalan di atas sudah kita singgung tipis-tipis di ulasan terdahulu, terkait aspek “anti-ideologi” Muratova.5 Di sini, kita akan mencoba mempertebal dan mempertegas jawaban itu dengan menjabarkan konteks yang lebih terang, yaitu tentang perkembangan Formalisme Rusia pasca-Revolusi, masa ketika gerakan teoretik ini bertemu [dan secara positif dikritik] oleh Konstruktivisme dan, tentu saja, Produktivisme.

***

KEMBALI kita ke monografi yang ditulis Victor Erlich.6 Pertanyaan yang serupa, konon, juga dihadapi oleh Formalisme Rusia. Di mata para pengkritiknya, Formalisme Rusia melambangkan kemerosotan “borjuis” karena mengabaikan etos revolusioner dan melestarikan cara pandang seni “murni” dan “apolitis”, sedangkan teknik artistik Shklovsky-Jakobson hanyalah pelarian dari isu-isu yang bergejolak di era revolusi.7

Akan tetapi, Erlich agaknya tidak setuju dengan kritik itu karena, menurutnya, eksponen-eksponen penting Formalis Rusia terbukti merupakan aktivis-aktivis politik-kebudayaan revolusioner. Pada masa setelah Revolusi Oktober, sejumlah teoretikus formalis (termasuk Shklovsky) bahkan terlibat sebagai kontributor utama LEF yang didirikan dan dieditori oleh tokoh penting Futurisme Rusia, Vladimir Mayakovsky, pada tahun 1923.8 Perlu dicatat bahwa, majalah ini sendiri, dalam edisi perdananya, dengan lantang menyatakan bahwa tujuan LEF adalah untuk “…memperkuat pencapaian Revolusi Oktober, memperkuat seni sayap-kiri, … mengagitasi seni dengan ide-ide komune…”.9 Erlich pun berpendapat bahwa keasyikan Formalisme Rusia terhadap bentuk (yang terkesan “melupakan” isu sosial itu), mesti dilihat sebagai suatu perwujudan dari “…perlindungan diri terhadap komitmen ideologis yang kaku atau, lebih khusus lagi, [mencegah diri] dari mendukung ideologi resmi.”10

Erlich lanjut menjelaskan bahwa Revolusi di Rusia tahun 1917 adalah penyebab utama terjadinya perombakan total segala standar (pola perilaku, kode moral, sistem filosofis, dll.), termasuk pengetahuan. Pergolakan budaya bukan semata produk sampingan revolusi politik, melainkan bagian penting di dalamnya. “Statika dihindari, Yang Absolut dirintangi”, tulis Erlich, yang mana menurutnya, kecenderungan ini hampir menjadi fenomena universal di segala ranah. “Zaman besi revolusioner,” tegas Erlich, “tidak punya urusan dengan yang ‘Mutlak’ ataupun ‘dunia lain’.” Gejolak intelektual pada zaman ini punya ciri-ciri, antara lain—memparafrasekan kalimat Erlich: “mistika-nya adalah dunia yang tampak [faktual], eskatologi-nya adalah materialis, dan agama-nya adalah keyakinan irasional nan abadi terhadap potensi pikiran manusia dan dampak bermanfaat dari rekayasa sosial dan kemajuan teknis yang ‘ilmiah’.”11 Sehubungan dengan propaganda politik-kebudayaan yang dibayangkan Lenin, yang menekankan pentingnya perspektif teknologis, maka kajian-kajian tentang hukum produksi sastra yang diupayakan Formalisme Rusia pun, menurut Erlich, terbilang selaras dengan semangat zaman (Zeitgeist) waktu itu. Erlich juga menyebut bahwa formalis semacam Osip Brik tak sungkan-sungkan mengklaim OPOIaZ sebagai pendidik terbaik penulis-penulis muda proletar karena fokus organisasi itu terhadap ‘teknik’ sastra.12

Ide di atas juga sejalan dengan pemikiran futuris Mayakovsky yang menyatakan bahwa “…puisi adalah suatu jenis produksi”, sebagaimana kalimat itu dikutip pula oleh Erlich yang kemudian menambahkan: “Penciptaan puisi menjadi persoalan teknologi dan bukan teologi.”13 Orientasi ini, agaknya, bukan menjadi ciri khas kaum Futuris dan Formalis saja, tetapi juga para pegiat avant-garde Uni Soviet lainnya secara umum, yang aktif pada masa pasca-Revolusi, khususnya dalam dekade 1920-an.

Fisher, dalam kajiannya, memaparkan bahwa hal yang paling menarik dari gerakan avant-garde Soviet 1920-an, adalah, adanya kecenderungan para pegiat kebudayaan dan kesenian era itu untuk mengembangkan sebuah “…modus yang memadukan praksis dan estetika demi menjelaskan atau menjawab pertanyaan tentang Bagaimana mengkonstruksi kehidupan…” di masa industrialisasi—yang dipenuhi oleh fenomena banjir teknologi, pengetahuan, dan aktivitas produksi. Kehidupan yang dimaksud, tentunya, kehidupan ala Sosialisme. Menurut Fisher, para aktivis dan pemikir zaman ini berupaya menjawab pertanyaan: Bagaimana mengkonstruksi kehidupan yang “…memiliki kesadaran akan perubahan budaya dan kegigihan untuk menemukan tempat produktif dalam eksistensi/kehidupan baru tersebut.” Kecenderungan ini, menurutnya, juga mendominasi perkembangan sastra dan kerja-kerja pedagogis yang dilakukan oleh negara dan gerakan-gerakan garda-depan. Fisher pun menggarisbawahi bahwa, modus sastra yang ingin dikembangkan para pegiat kebudayaan dan kesenian itu adalah “modus sastra-informasi” (‘info-literary mode), yaitu “…sebuah modus yang menerapkan metode pengkombinasian sastra dan non-sastra untuk tujuan mengkonstruksi kehidupan di luar teks.”14

Modus tersebut muncul dan menjadi dominan karena para pegiat kebudayaan dan pelaku pasar di masa itu berbondong-bondong merespon situasi masyarakat (khususnya kaum kelas petani) yang, terutama setelah peristiwa Emansipasi Para Budak tahun 1861, mulai melek huruf dan membutuhkan teks-teks instruksional (edukatif) agar bisa mengikuti perkembangan zaman, tetapi sekaligus juga menginginkan teks-teks populer untuk kebutuhan rekreasi.15 Dalam perkembangannya kemudian, negara Uni Soviet, yang terbentuk setelah Revolusi Rusia 1917 dan berhasil memapankan ideologi Sosialisme, juga menanggapi situasi tersebut dengan menganggarkan begitu banyak program kemasyarakatan demi melanjutkan usaha-usaha memerangi masalah buta huruf, salah satunya dengan meningkatkan kualitas sistem pendidikan melalui kampanye-kampanye literasi; hal itu dilakukan guna memobilisasi dan mempolitisasi massa agar mampu menjadi masyarakat yang fungsional dan produktif sehingga bisa terlibat aktif baik di ranah ekonomi maupun budaya.16

Menurut Fisher, modus-modus sastra-informasi yang muncul pada masa pasca-Revolusi Rusia (era Uni Soviet) ini, dalam upaya mencari jawaban atas wacana “Bagaimana [mengkonstruksi kehidupan ala Sosialisme]”, dapat dibagi menjadi empat kategori. Pertama, modus yang berupaya menjawab pertanyaan “Bagaimana sesuatu bekerja?”. Modus ini umumnya muncul dalam buku anak-anak, karena yang menjadi tujuan kampanye literasinya adalah “mengkonstruksi pekerja”—anak-anak harus mengerti cara kerja berbagai hal untuk mempersiapkan dirinya yang akan menjadi pekerja ketika dewasa nanti. Kedua, modus yang menjawab pertanyaan “Bagaimana menjadi kreatif?”. Modus ini kebanyakan muncul di dalam jurnal-jurnal orang dewasa, terutama jurnal-jurnal saintifik. Tujuan kampanye literasinya adalah mengkonstruksi manusia pembaharu. Ketiga, “Bagaimana cara menulis”. Modus ini muncul dalam karya-karya sastra tinggi, dan tujuannya adalah orientasi metanaratif di mana Teks difungsikan untuk menjelaskan medium tekstual. Menurut Fisher, pada kampanye dalam kategori ketiga inilah formalisme sastra di Uni Soviet berkembang pesat. Sementara itu, masih menurut Fisher, kategori yang keempat merupakan modus terkompleks dibandingkan yang lain, yaitu modus yang berupaya menjawab pertanyaan “Bagaimana naratif mengkonstruksi kehidupan?”. Modus ini muncul di karya sastra berbentuk cerpen, yang mana karya-karya ini, menurut Fisher, memetanarasikan penjelasan tekstual tentang bagaimana sebuah cerita ditulis, pada satu sisi, dan bagaimana cerita itu sendiri, pada sisi yang lain, mengestetisisasi konstruksi kehidupan yang ada di era sastra-info tersebut.17

Sementara itu, beroperasi pada masa yang sama, majalah kebudayaan LEF menjadi tempat berkumpulnya para pegiat-pegiat avant-garde yang dahulunya (sebelum Revolusi) terlibat dalam gerakan Futurisme Rusia. Sembari tetap menjalin pertemanan dengan para Formalis Rusia awal, mereka juga membangun relasi dengan pemikir-pemikir baru dan seniman-seniman yang mempunyai cara pandang yang lebih beragam. Kontributor-kontributor majalah ini, antara lain mulai dari para transrasionalis-futuris (seperti Aleksei Kruchyonykh dan Velimir Khlebnikov), penyair ‘formalis’ Boris Pasternak, penyair proletar Aleksey Gastev, kritikus formalis Yuri Tynyanov dan Victor Shklovsky, sastrawan ornamentalis Isaac Babel, bahkan sutradara konstruktivis Sergei Eisenstein dan produktivis Dziga Vertov, hingga seniman konstruktivis Alexander Rodchenko, dan dramawan simbolis Vsevolod Meyerhold.18

Selain itu, pada masa ini pulalah muncul semacam inisiatif kecil “dari pinggir” yang berupaya mempertemukan pemikiran-pemikiran Marxis dengan teori-teori Formalis.19 Di mata intelektual Marxis yang agak lebih fleksibel, Formalisme Rusia dianggap sebagai “batalion insinyur” yang membantu “tentara” sejarawan sastra Rusia untuk terlebih dahulu memahami fakta-fakta sastra (dengan fokus analisis teks yang sistematis) sebelum membicarakan implikasi sosiologis dari fakta-fakta sastra tersebut.20 Sedangkan di tangan pemikir yang lebih radikal, seperti Arvatov, sebagaimana penjelasan Erlich: konsepsi tentang “seni adalah teknik” (hal yang sejalan dengan gagasan Shklovsky—yaitu, menolak pandangan realis dan psikologis seni) mendapatkan sentuhan konsep-konsep utilitarian: teknik harus menolak fetisisme “metode”, fetisisme “material”, dan fetisisme “instrumen” estetik—dan karenanya konsepsi tentang Seniman (dengan “S” besar) juga harus ditolak. Erlich menyebut bahwa keluaran utama dari teori pragmatis yang dibayangkan Arvatov tersebut adalah estetika “instrumentalis murni”, di mana kreativitas artistik dilihat sebagai hal yang sama sekali tidak mempunyai perbedaan mendasar dengan jenis-jenis produksi lainnya (—dapat dicermati bahwa pandangan ini lebih ektrem dibandingkan dengan pandangan Mayakovsky—), dan perhatian formal terhadap “produksi sastra” (atau terhadap “proses penciptaan”) harus bisa berhubungan dengan landasan-landasan ekonomi masyarakat.21

Dalam konteks keterhubungannya dengan modus “sastra-informasi” di Uni Soviet 1920-an, Fisher menjelaskan bahwa majalah kebudayaan LEF memainkan peranan penting dalam merespon kampanye literasi yang digalakkan oleh negara Uni Soviet, yaitu kampanye yang secara esensial mendukung dan didukung oleh fenomena “sastra-informasi” tersebut. Para pewacana Formalis (yang tidak sedikit dari mereka mendukung ideologi Sosialisme, entah setengah-setengah ataupun seutuhnya) menyetujui bahwa teks-teks bermodus “sastra-informasi” adalah alat produktivitas, yang berguna untuk mengkonstruksi kehidupan masyarakat Sosialis (karena teks-teks itu mengajarkan sekaligus menantang masyarakat soal cara mengkonstruksi kehidupan mereka sendiri).22

Dalam rangka menjaga produktivitas tersebut, masyarakat pembaca diajarkan pula [oleh negara, masih dengan teks-teks “sastra-informasi” itu] untuk memahami cara kerja teks dan/atau cara kerja bahasa itu sendiri [lebih tepatnya: cara kerja bahasa sebagai material]—inilah yang membuat pertanyaan “Bagaimana cara menulis? itu menjadi sangat penting untuk dijawab—agar mereka [masyarakat] nantinya menjadi sadar (literer) dan bisa melanggengkan siklus pedagogi tekstual23 (salah satu elemen yang mendasari konstruksi kehidupan menurut perspektif edukasi Sosialis). Teknik populer yang didukung oleh banyak pandangan Futuris dan Formalis, satu di antaranya (tapi yang paling penting), adalah penyertaan unsur-unsur byt (‘kehidupan sehari-hari’)24 ke dalam teks-teks sastra, yang diniatkan untuk merangsang para pembaca menjadi lebih cerdas dan produktif, lebih sadar dengan lingkungan tempatnya hidup dan bekerja, demi mencapai tujuan dari konsep modernis mengenai zhiznetvorchestvo (‘life-creation’).25

Namun, dalam merespon fenomena “sastra-informasi” dan kampanye literasi yang digalakkan negara itu, orientasi Formalisme Rusia (sebagaimana yang sudah tampak pada uraian kita di atas) memang berbeda. Alih-alih menekankan fokusnya ke arah luar (dengan “mengajar”/“menginstruksi” pembaca soal kesadaran pada kehidupan di luar teks), Formalisme Rusia—yang secara esensial bukanlah bagian dari fenomena “sastra-informasi” kecuali karena kebetulan ia adalah gerakan teoretik yang tanpa henti mendalami sastra dan kajian sastra—malah melihat ke arah dalam, yaitu ke produk teks (output sastra) itu sendiri.26 Dengan kata lain, menurut pendapat Fisher, kaum Formalis Rusia-lah yang me-metanarasi-kan fenomena dan modus sastra-informasi itu dalam rangka “mengkonstruksi para penulis Sosialis”, ketimbang semata “mengkonstruksi pembaca”, yaitu dengan tidak hanya berusaha menjawab pertanyaan “Bagaimana cara menulis?”, tetapi juga menjawab pertanyaan “Bagaimana literatur yang baik, yang sudah ada, ditulis oleh penulisnya?”, melalui analisa ilmiah terhadap teks-teks literatur, khususnya karya sastra.

Orientasi tersebut terbilang unik: kesadaran dan minat kaum Formalis yang begitu tinggi terhadap bentuk (yang dikritik sebagai “apolitis”—“asosial”) justru didasari oleh kepentingan tersirat mereka untuk menciptakan kehidupan yang “lebih baik” di luar teks. Akan tetapi, bukan ajaran moral-etik yang mereka giatkan, melainkan literasi bahasa (yaitu, bagaimana kebergunaan bahasa pada masyarakat, digunakan oleh masyarakat, dan bekerja untuk masyarakat). Alih-alih instruksi, Formalisme malah menawarkan, atau setidaknya menunjukkan: “Inilah penulis Sosialis”. Dengan “mengkonstruksi penulis” dalam kajian-kajian formal mereka, para Formalis menghadirkan “definisi” penulis kepada masyarakat.

Fenomena dari modus “sastra-informasi” tersebut, dengan kata lain, juga beriring-iringan dengan kematangan mazhab Formalisme Rusia yang semakin inklusif. Mereka meluaskan ruang lingkup penyelidikan dan kajian bahasa puitik, dari sekadar puisi, ke bentuk-bentuk karya lainnya, seperti prosa—tentu saja hal ini juga dipengaruhi oleh adanya desakan untuk tidak melulu mengabaikan persoalan semantik.27 Perluasan ruang lingkup ini juga terjadi dalam karir penyelidikan yang dilakukan oleh Viktor Shklovsky, teoretikus formalis paling nyentrik itu. Ia mulai menaruh perhatian pada teknik konstruksi-plot, dan hubungan teknik tersebut dengan teknik-teknik stilisasi (ornamentalisasi) umum lainnya.28 Di sinilah kita bisa melihat, pada akhirnya, bagaimana “ornamentalisme sastrawi” mendapat perhatian yang signifikan oleh Formalis Rusia.

Halina Stephan menjelaskan bahwa, dalam operasinya di paruh pertama 1920-an, majalah kebudayaan LEF mengeksplorasi berbagai ranah, meskipun yang dominan masihlah ranah sastra, dan “…mencakup hampir seluruh spektrum…,” kecuali Realisme. Sebelum bubar di tahun 1925, majalah LEF generasi pertama menjadi sarana tempat berkembangnya pendalaman baru terhadap tiga genre sastra, yaitu (1) sastra ornamental, (2) sastra politik, dan (2) sastra fakta.29 Dan dalam cakupan penjelajahan teoretik LEF, terutama oleh Shklovsky, kita bertemu dengan nama seorang sastrawan kontroversial: Boris Pilnyak.

Dari segi ideologi politik, memang, Boris Pilnyak tidak seradikal sastrawan-sastrawan sayap-kiri. Di mata Leon Trotsky, misalnya, Pilnyak termasuk dalam kategori sastrawan yang ia sebut “fellow travellers”, yaitu kategori untuk mengacu pada karya-karya yang dianggap berada “di antara” seni borjuis (seni non-Oktober/Non-revolusioner) dan seni baru (seni Oktober/Revolusioner). Karya-karya “fellow travellers”, menurut Trotsky, “…mempunyai hubungan yang organis dengan Revolusi Oktober tapi pada saat yang sama mereka bukanlah karya seni Oktober.” Pelaku-pelaku seni yang masuk dalam kategori ini adalah orang-orang yang memang menerima Revolusi, di mana “spiritualitas” karya-karya mereka dibentuk oleh Revolusi. Tapi, masih menurut Trotsky, secara individual, “…ada pemisahan yang tajam antara mereka dan Komunisme, tetapi kita tak bisa pula serta-merta menempatkan mereka sebagai oposisi Komunisme.”30 Bahkan, pada bagian sub-judul yang khusus mengulas Pilnyak, Trotsky menyebut si sastrawan seorang realis tulen.31 Selain itu, terbukti pula bahwa Pilnyak sendiri menerbitkan banyak karyanya di Krasnaya Nov, majalah kebudayaan yang lebih berhaluan “tradisionalis”.32

Namun, karena kecenderungan dari modus sastra-informasi yang begitu dominan, dan dalam upayanya merespon kecenderungan itu sekaligus untuk menjawab pertanyaan “Bagaimana literatur [yang baik] ditulis?, pemikir Formalis semacam Viktor Shklovsky tidak mau mengabaikan metode prosaik Pilnyak yang penuh “ornamen”, yang meskipun sempat dianggap nyeleneh, medioker, dan plagiat,33 nyatanya tetap mengandung potensi dan eksperimen bahasa yang memikat—rumit. Ia pun dengan cermat, dengan perspektif formalisnya, tentu saja, mengkritisi prinsip-prinsip dalam prosa-prosa Pilnyak, semisal “syuzhet yang ‘tanpa syuzhet’ (‘plotless’)”, paralelisme, diskoneksi, inartikulasi, serta kegemaran si pengarang menggunakan “material-material mentah” untuk dijadikan bagian dalam konstruksi cerita, sebagai selaan-selaan, atau memperlakukan material-material itu sebagai apa yang disebutnya sbornost’ (сборность)—’prefabrik/pracetak/kolektivitas [kumpulan]’.34 Bahwa Shklovsky menggunakan konsepsi ornamental untuk menyebut suatu karakteristik yang pada dasarnya melekat hampir di semua karya-karya sastra kontemporer Rusia kala itu (termasuk karya simbolis-nya Bely), begitu pula ia melihat karya Pilnyak. Akan tetapi, di mata para pengkaji yang lebih kini, karya-karya awal Pilnyak dianggap sebagai yang paling mewakili gagasan “ornamentalisme sastrawi”. Fisher, bahkan, dalam kajiannya mengenai modus “sastra-informasi” itu, menyatakan bahwa Pilnyak adalah orang yang paling layak disebut “sinonim”-nya prosa ornamental meskipun ia bukan yang pertama menerap-kembangkan teknik tersebut di ranah sastra Rusia.35 Radikalitas Pilnyak memang tidak tampak dari sikap-sikap politiknya, melainkan muncul dalam kegigihannya bermain-main di ranah bentuk sastra.

Sampai di sini, kita hentikan dulu telusuran sejarah perkembangan pemikiran sastra dan kajian sastra avant-garde Rusia 1920-an. Kita fokus pada pengamatan sejumlah pengkaji terhadap teknik ornamental Pilnyak itu, dalam rangka mengadopsinya kemudian untuk lebih jauh mengidentifikasi modus-modus ornamentalis dalam Change of Fortune.

***

TERLEPAS dari sikap politik dan ideologis yang diyakininya, analisis formal terhadap karya Pilnyak oleh pengkaji-pengkaji kontemporer justru menunjukkan bagaimana bentuk prosa ornamental Pilnyak ini sejalan dengan pandangan Formalisme Rusia mengenai bahasa puitik sebagai fakta produksi.

Mengacu kepada Browning (1979 & 1985), Edwards (1982), Jensen (1984), dan Vornosky (1998), Fisher menjelaskan bahwa genre ornamental dalam sastra Rusia dianggap lebih menekankan dan mengutamakan gaya (style—‘stilisasi’) daripada alur cerita (plot),36 di mana cerita diolah sedemikian rupa menggunakan gaya tertentu dalam rangka menciptakan—atau memperkuat perhatian pembaca terhadap—efek bunyi, ritme, dan gambar. Hal ini sebagaimana yang juga dijelaskan oleh Mirsky ketika mengkaji karya-karya Bely (sastrawan Simbolis), bahwa esensi dari teknik ornamental adalah “…menjaga perhatian pembaca terhadap setiap detail terkecil: kata, bunyi, ritme …”, di mana ornamentalisme menjadi semacam “…deklarasi kemerdekaan bagi unit-unit terkecil [itu]…,” dan dengan “…kecenderungan yang jelas untuk lepas dari kendali unit yang lebih besar…” itulah maka ornamentalitas pada prosa jenis ini justru “…menghancurkan keutuhan karya.”37

Melengkapi penjelasan di atas, perlu kita tambahkan pula di sini pendapat Browning yang menggarisbawahi “kesadaran-[akan]-kata” (‘word-consciousness’) sebagai esensi prosa ornamental. Terkait hal ini, bahasa disikapi sebagai material itu sendiri, yang mana dalam konteks sastra, yang disebut material adalah kata-kata. Browning (mengacu Viktor Gofman, 1926) menjelaskan bahwa metode ornamentalis menggunakan material-material (bahasa) itu bukan untuk mengkomunikasikan intrik, situasi, karakter, ataupun komentar si pengarang di dalam cerita, karena cara ini hanya akan memposisikan bahasa menjadi tidak penting secara komposisional. Yang lebih penting, menurutnya, adalah komposisi yang berprinsip pada “sistem gaya bahasa”; dan justru karena penekanannya berada pada komposisi gaya bahasa (‘majas’) itulah maka plot (alur naratif) bergeser ke tingkatan sekunder menjadi sekadar penguatan semantik.38

Browning lanjut menjelaskan bahwa metode ini punya konsekuensi: karena plot diposisikan sebagai hal yang sekunder, begitu pula dengan penggambaran karakter di dalam cerita. Para pengarang ornamentalis, menurutnya, terbilang sangat jarang menggambarkan karakter-karakter yang dapat dibaca dengan analisis-analisis subtil psikologis; mereka juga tidak tertarik untuk mengelaborasi “filosofi kehidupan” (Weltanschauung), apalagi merumuskan atau menyampaikan pesan moral, etik, dan ideologis melalui cerita mereka. Dengan kata lain, menurut Browning, kreativitas pengarang ornamentalis bukan mengarah kepada kepentingan naratif, melainkan kepada “sarana ekspresi”: kata-kata dipilih dan kalimat-kalimat disusun secara cermat dengan menyeleksi dan/atau mempertimbangkan orkestrasi bentuk, khususnya orkestrasi bunyi-bahasa, yang dengan sadar mengamini paralelisme sintaksis—seperti menonjolkan purwakanti39 (di tingkatan fonemik), paregmenon40, homoioptoton41, dan paramoion42 (di lapisan morfologis), ataupun anafora43 dan tautotes44 (pada konteks sintaksisnya)—sehingga irama yang tercipta bukanlah suatu kebetulan. Penggunaan gaya bahasa (majas) yang sangat menonjol dan berlebihan ini, masih menurut Browning, bukan semata untuk “mempercantik”, tetapi yang lebih utama adalah untuk memunculkan kejutan, kebingungan, dan/atau untuk “memperlambat” proses membaca, agar si pembaca memusatkan perhatiannya pada segemen-segmen bermajas tersebut; realitas justru ditransformasi oleh seorang pengarang karena ia mendistorsi pengalaman normal pembaca, memikatnya dengan teknik yang tidak umum.45

Dapat disadari bahwa pandangan Browning di atas seturut dengan teknik defamiliarisasi-nya Shklovsky.

Secara khurus dalam konteks karya Pilnyak, defamiliarisasi ornamentalis termanifestasi dalam struktur “tanpa-plot”. Shklovsky mengistilahkan teknik khas Pilnyak ini bersifat ‘prefabrik’ (atau ‘sbornost’сборность). Fisher—mengutip Oulanoff (1966), Jensen (1979), Edwards (1982), dan Nicholas (1991)—menjelaskan arti dari sbornost’ (atau soborno) itu sebagai berikut: “a technique… in which authors reinvented past works through their own styles.46 Lebih lanjut, Fisher menguraikan: dengan teknik itu, seorang pengarang di dalam prosanya secara leluasa melakukan jukstaposisi dan pengkontrasan beragam penggambaran dan tema, mengutip (dan mengulang-ulang kutipan itu) dari berbagai sumber yang sudah ada sebelumnya, atau juga “…menyertakan [mengolah ulang] teks-teks yang sudah pernah ia tulis sebelumnya [di tempat lain] untuk disusun ke dalam konteks karya baru.”47 Metode proasik semacam ini bagaikan metode kerja seorang konstruktor prefabrikasi: komponen-komponen struktur telah dibuat di lokasi manufaktur lain, untuk nantinya diangkut ke lokasi di mana konstruksi utuhnya akan ditempatkan, dan kemudian (oleh si konstruktor) dirakit menjadi bangunan yang utuh-lengkap dan siap pakai.

Meyakini bahwa prefabrikasi sebagai fitur prosaik utama Pilnyak (karena penerapannya yang tegas, mencolok, dan disengaja), Shklovsky justru melihat bahwa Pilnyak secara unik cenderung mendekati fenomena dan modus bahasa sinema, yaitu teknik konstruksi gambar hidup (montase).48 Akan tetapi, gagasan formalis yang terkesan “anti-struktural” ini, seperti yang dapat dicerna, masih bergema dengan pandangan Mirsky mengenai esensi prosa ornamental ala Bely (yaitu, kecenderungan self-destructive prosa terhadap keutuhan strukturnya sendiri). Prefrabrikasi (“bagian-bagian yang dirakit”) di dalam karya-karya Pilnyak, menurut Shklovsky, menggantikan fungsi syuzhet; ia bukan memberikan atau menyatakan suatu kesatuan (‘unity’), tetapi hanya semacam isyarat akan kesatuan itu; melalui repetisi, bagian-bagian menjadi “terhubung” sebagai citra-citra yang mengalir (atau menggantung longgar)—flowing images.49 Di sinilah terletak kekhasan ornamentalisme Pilnyak (yang oleh Trotsky50 dianggap sebagai kecenderungan yang menjauhi atau menghindari bentuk-bentuk “episodik”), yaitu “konsistensi”-nya menjaga sifat prefabrikasi teks sebagai gaya (atau ornamen) yang menyediakan struktur ganjil dan, karenanya, lentur; dengan bentuk yang “anti-struktur” ini, si pengarang membuka lebar peluang pembaca untuk menelusuri (melihat—mengalami) proses dari keterbentukan dan sekaligus ketergabungan bagian-bagian (material-material) menjadi prosa [cerita].51 Dan jika kita memanggil kembali gagasan Shklovsky-Jakobson: inilah bentuk yang menampilkan, memperlihatkan, atau mempermukakan mesin-nya sendiri, langsung ke indera pembaca.

Perbedaan penting antara ornamentalisme Pilnyak dan ornamentalisme Simbolis (seperti karya Bely, yang lebih mengejar ekspresi metafisikal) bisa kita lihat juga dalam analisis rinci Peter Alberg Jensen tentang tujuan dan fungsi dari aparatus teknis ornamentalisme Pilnyak.52 Jika Futuris mengajukan “kata hanya sebagai kata” (‘the word as such’), dan Formalis meluaskannya menjadi “bahasa hanya sebagai bahasa” (‘language as such’), di mana dalam cara pandang itu, kedudukan “isi” (‘thing’ atau ‘object’) adalah nomor dua (menjadi lebih tidak penting dari bentuk atau tanda—citra/kata), Jensen justru menteorisasikan “the thing as such” sebagai padanan (analogus) sastrawi untuk “objek autentik yang terbingkai” (ornamen arkais/arketip dalam perspektif piktorial, seperti lukisan atau fotografi).53 Dalam bahasa Indonesia, “objek autentik yang terbingkai” itu agaknya lebih pas jika diartikan menjadi “ornamen [yang bersifat] purwa-rupa—ornamen paling kuno, yang paling dasar, yang prototipikal. Agak berbeda dengan pandangan Futuris, yang menegaskan bentuk atau tanda (kata/citra) sebagai fakta primer, analisis teoretik Jensen (terhadap karya Pilnyak) menspekulasikan hal yang relatif lebih provokatif: bagaimana jika “isi/objek” itu sendirilah yang, dengan metode ornamental, justru dibuat [atau dipaksa] menjadi aktual?

Jensen mencontohkan, dalam di The Naked Year (1922) karya Pilnyak, kata benda (noun atau substantive) “manusia” atau “orang yang bertugas” diulang belasan kali pada kalimat-kalimat dalam suatu paragraf, dan tidak satu pun dari mereka yang diganti dengan kata ganti (pronoun) “dia”. Kesengajaan Pilnyak melakukan pengulangan-pengulangan ekstrem itu, menurut Jensen, merupakan suatu upaya delimitasi eksternal teks; Pilnyak melonggarkan referensi kata-kata. Konsekuensinya, orang yang membaca akan mengalami hal (‘thing’ atau ‘object’) yang tidak spesifik. Saat menghadapi teks, pembaca mengalami apa yang dideskripsikan kepadanya hanya sebagai objek (‘the thing as such’) atau hanya sebagai fenomena (‘phenomena as such’); pembaca melihat kata (tanda atau bentuk) sebagai isi/objek (‘thing’ atau ‘object’), tetapi bukan dalam konsepsi mitikal-nya Cassirer (bahwa kata “menyatu” atau “sama” dengan objek), melainkan dalam pengertian bahwa objek itu sendiri, sebagai rujukan-tanpa-batas, telah menggantikan kata: objek mengambil posisi kata—menempati “kenyataan” teks—hadir dalam versi verbal dari dirinya sendiri. Pada konteks ini, kata (yang dibaca) bukan lagi merupakan penggambaran (‘depiction of’) objek yang spesifik, karena kata telah menjadi ornamen prototipikal (yaitu, versi verbal dari “objek itu sendiri” [‘the thing itself’], yang adalah “objek hanya sebagai objek” [‘the thing as such’]). Konsekuensi teoretis dari analisis Jensen ini, kalau kita cermati, ialah: ornamen tidak lagi semata berfungsi sebagai penyedia struktur, tetapi juga sesuatu yang aktif, yang “…berkehendak menjadi kenyataan,” sedangkan instrumentasi verbal [atau penggubahan kata], menurut Jensen, adalah ‘kendaraan tekstual’-nya ornamen, yaitu “…suatu tata lingustik [linguistic gesture] yang memungkinkan ‘objek hanya sebagai objek’ (the thing as such) me-rupa menjadi teks.”54

Analisis Jensen, pada hakikatnya, sejalan dengan pandangan para Futuris Rusia yang meyakini “kata adalah pencipta mitos”—kata itu “menciptakan”. Dari penjelasan Jensen yang kita urai di atas, dapat dipahami bahwa teks (atau kata) mem-presentasi-kan objek/fenomena, ketimbang me-representasi-kan. Tapi, Jensen memberikan catatan, bahwa objek-objek (yang “me-rupa” menjadi teks) itu tidak sedang bertalian secara logis satu sama lain, sementara teks, maut tidak mau, harus dibuat masuk akal (mempunyai koherensi) agar bisa menjadi teks sepenuhnya. Lantas, bagaimana Pilnyak “menautkan” objek-objek itu? Jensen berargumentasi bahwa Pilnyak melakukannya dengan “…menyajikan ekspresi radikal terhadap pengalaman subjektifnya sendiri tentang dampak objek-objek tersebut terhadap dirinya.” Aparatus subjektif dari teks yang menjadi modus tekstual itulah yang merupakan ornamen arkais, yang mengaktualisasi pengalaman, di satu sisi, dan memungkinkan pelafalan teks, pada sisi yang lain, secara bersamaan. Tapi, Jensen menekankan: “…dampak objek terhadap diri pengarang tidak menjadi subjek naratif karena objek dalam teksnya itu kini telah meng-ada bagi diri objek itu sendiri.” Pengalaman (subjektif pengarang) justru berlangsung serempak dengan pelafalan-nya. Dengan kata lain, “…kesekarangan pada pengalaman si pengarang adalah sama halnya dengan kesekarangan pada peristiwa pelafalan (atau dengan kesekarangan produksi-teks). Bagi Jensen, inilah fungsi utama dari teks ornamental: sebagai teks spontan, ia terjadi tanpa dipikirkan atau direncanakan sebelumnya (‘unpremeditated’)—pengucapan adalah juga pembacaan. Para pembaca teks ornamental Pilnyak, menurut Jensen, mau tak mau harus merelakan the thing as such bekerja langsung pada diri mereka; pembaca dipaksa mengambil bagian dalam proses produksi teks itu sendiri ketika sedang membaca.55 Lebih jauh dalam analisisnya, Jensen juga menunjukkan bahwa prinsip yang serupa juga bekerja dalam tingkatan makro, di mana paragraf berposisi sebagai fragmen-fragmen ornamental (yang berarti adalah juga the thing as such) dan keterhubungan mereka satu sama lain juga menunjukkan inkoherensi, atau bahkan saling mengganggu satu sama lain.56

Analisis Jensen di atas disoroti oleh Fisher secara khusus—yang dalam hal ini juga mendorong kita untuk menarik pengertian Mirsky tentang sifat self-destructive dari prosa ornamental: bahwa “hancur”-nya keutuhan struktur prosa (dalam prosa ornamental) dapat diindikasi dari wujud alur penceritaan yang terputus-putus (‘disjointed’) dan terfragmentasi, misalnya dengan adanya sekuen-sekuen yang inkoheren, tidak sistematis, non-struktural, hilangnya keterhubungan eksternal, dan juga adanya transisi-transisi kalimat yang kontras, serta bahkan adanya penerapan teknik montase atau jukstaposisi. Gaya ini, menurut Fisher, seolah menghadirkan para pembaca ke dalam “studio” si penulis agar mereka “berhadapan langsung” dengan “draf” atau “material-material mentah” yang “tengah dikerjakan” si penulis tersebut. Dan justru karena “berhadapan” dengan “material mentah” itulah, Fisher berpendapat (dengan mengacu Jensen), pembaca dipaksa menaruh perhatian yang tinggi terhadap—atau setidaknya menjadi terusik dengan—gaya bahasa dari cerita yang dibacanya; dan karena “material mentah” tersebut bekerja dengan mengusik pembaca, maka pembaca mau tidak mau mengambil bagian dalam “produksi teks” demi memahami tautan-tautan yang hanya menyiratkan keutuhan itu—aktivitas membaca pun menjadi sama dengan aktivitas mencipta [makna].57

Ya, kalau dalam cara pandang Futuris-Formalis: teks adalah pencipta mitos [makna]. Dan jika kita memadukan analisis Browning, Jensen, dan Fisher dengan model analisis Shklovsky, kita bisa menyimpulkan bahwa teks ornamental (yang juga bisa diterapkan sebagai ornamentalisme berbagai bentuk seni yang lain di luar prosa dan puisi) adalah gaya bahasa yang spontan, yang berkumpul [terprefabrikasi] ke dalam suatu struktur longgar, di mana di dalamnya sekuen-sekuen terfragmentasi dan saling menggugah satu sama lain, dalam rangka menampilkan mesin-nya sendiri ke hadapan pirsawan, dan dengan begitu, secara bersamaan, ia melibatkan pirsawan (penyimak, penonton, pendengar, pembaca) tersebut ke dalam peristiwa produksi bahasa itu sendiri.

***

SEKARANG, mari kita coba terapkan cara analisis formalis-sastrawi, yang telah dilakukan oleh para ahli yang nama-namanya disebut di atas terhadap teks prosa ornamental, ke dalam upaya kita mengindentifikasi modus-modus sinematika ornamental Muratova. Secara khusus, identifikasi yang akan kita lakukan akan menjadikan kata-kata kunci yang tercantum dalam rumusan kita mengenai “ornamentalisme sastrawi” (yaitu: gaya bahasa, spontanitas tekstual, prefabrikasi, fragmentasi, ketinampilan mesin/cara-kerja [anti-]struktural, peristiwa produksi, dan keterlibatan penonton) sebagai rambu-rambu lalu lintas kita dalam menelusuri setapak naratif Change of Fortune yang ganjil, grotesque, dan fantastis itu. Pertama dan yang utama sekali, yang menarik perhatian kita adalah soborno.

Poin mengenai “prefabrikasi” ini mengingatkan kita pada konsep Assemblage ala Deleuzian yang, dalam pandangan Iampolski, tercermin dalam Ornamentalisme Sinematik-nya Muratova.58 Organisitas bukan terletak pada konstruksi utuh karya, tetapi pada aspek internal dari setiap bagian (fragmen), sementara bagian-bagian itu digabung-himpunkan secara lentur, tanpa mesti pas satu sama lain. Keunikan setiap citra/gambar atau bidikan (shot) menjadi penting sebagai elemen-elemen yang bersifat arbitrer, bukan karena keterhubungan semantik mereka satu sama lain. Karakteristik ini sangat terwakili oleh teknik “bidikan iteratif” Muratova (yang menggejala cukup banyak di The Long Farewell dan Getting to Know the Big Wide, World), sedangkan akumulasi subversifnya, bisa dikatakan, terjadi pada sekuen berulang dalam Change of Fortune (yaitu, adegan pertengkaran Maria dan Alexander yang berujung pembunuhan).

Namun, terlepas dari persoalan tingkatan antara “bidikan”, “adegan”, dan “sekuen” seperti itu pun, kita bisa melihat bahwa elemen-elemen filmis yang non-hierarkis di dalam Change of Fortune ini, seperti bunyi, visual, aksi, percakapan, gerak, posisi, dan lain-lainnya, juga terhubung dengan logika yang sama, yaitu “logika himpunan” (assemblage), di mana ornamentalisasi yang dilakukan Muratova terhadap material peristiwa (yang di dalamnya terdapat wujud dan gerak benda, karakteristik atau tingkah laku tokoh, perpaduan bunyi dan visual off-on frame, serta gerak kamera yang membingkainya) memposisikan elemen-elemen tersebut aktual dan signifikan sebagai bagian-bagian individual, tetapi mengemban hubungan interdepedensi satu sama lain di dalam bingkai film, sehingga menjadikan kebergabungan mereka sebagai suatu bentuk yang kontrapuntal. Dari sini, kita layak untuk berargumen bahwa, Change of Fortune merupakan contoh penerapan sinematik dari teknik prefabrikasi prosaik-nya Pilnyak.

Poin yang saya utarakan di atas mengindikasikan bahwa “prefabrikasi” ala Muratova, tentunya, tidak serta-merta seperti Pilnyak (yang menghimpun materi dari berbagai sumber untuk dikutip-kutip menjadi hamparan adegan non-struktural di sana-sini). Kita dapat menyadari bahwa gejala seperti itu sangat minor di film-film Muratova. Kita bisa saja memaklumi soal adanya kesamaan tentang kecenderungan prefabrik “berbentuk kutipan”, dalam hal mana, misalnya, Muratova menggunakan ulang materi-materi filmnya yang terdahulu ke dalam Change of Fortune. Contohnya, menurut Taubman, adegan “pertunjukan sirkus di penjara” diperankan oleh aktor yang adegannya dipotong dari Among Grey Stone; Muratova membidik ulang peristiwa/adegan itu untuk digunakan ke dalam Change of Fortune tanpa motivasi diegetis.59 Akan tetapi, yang sebenarnya ingin saya tekankan, “prefabrikasi” ala Muratova lebih dari itu: daripada sekadar kutip-kutip dan penggunaan ulang material dari sumber lain, apa yang patut digarisbawahi sebagai penerapan sinematik dari “prefabrikasi”, dalam konteks film Muratova, ialah aspek stilisasi-nya, yaitu: sebagaimana Pilnyak, “…kepentingan paling utama dalam membangun sesuatu terletak pada signifikansi aktual dari bagian-bagian individual bangunan, dan cara mereka direkatkan bersama-sama.”60

Muratova mengolah material-material filmnya (seperti cerita, plot, karakter/tokoh; lalu shot demi shot, scene, dan sequence; lebih kecil lagi di dalam shot, ialah elemen bunyi dan visual) secara ornamental. Ornamentalisasi filmis itu diwujudkan lewat stilisasi pada setiap elemen, yaitu dalam bentuk perulangan, sisipan kejadian ganjil, gerak yang artifisial (teatrikal), performa yang non-manusiawi, ekspresi histerikal subjek, kehadiran bunyi-bunyi konstruktif, dan lain sebagainya. Segala macam stilisasi elementer tersebut, yang dengan kata lain adalah bagian-bagian yang ter-prefabrikasi, oleh Muratova dirajut seperti permadani, dalam arti: semuanya mencolok, dan kita bisa melihat semuanya berada di permukaan, tanpa ilusi, tanpa simbolisasi. Penampakan di permukaan inilah yang disebut “ornamental”, karena penuh gaya (menekankan “majas”), yang sengaja diupayakan si sutradara semata-mata agar kita bisa menyadari keberadaannya masing-masing: sekilas, bagian-bagian itu agaknya tak berarti apa-apa, tapi karena penampakan mereka begitu mencolok, tentunya keberadaan mereka sangatlah penting. Dan ketika menyadari (atau terganggu oleh) bagian-bagian itu, yang tak punya fungsi naratif (dan bahkan menyimpangkan maksud naratif), kita pun mau tak mau mempersepsikan proses keterhubungan bagian-bagian (material-material) itu sebagai sebuah bentuk—mengaguminya sebagai suatu himpunan dari bagian-bagian yang berkorelasi secara lentur.

Pada konteks itu, kelenturan struktur tersebut, yang berarti mengandaikan “ketidakutuhan”-nya — kalau bukan “kehancuran”-nya — sendiri sebagai struktur, menyebabkan “alam rujukan” dari masing-masing fragmen (elemen [dalam shot], adegan [dalam sekuen], atau sekuen [dalam film]) terhambat untuk dikenali, karena kehadiran mereka (yang masing-masingnya adalah ganjil) saling mengganggu dan menyela satu sama lain. Yang mesti dicerna, ialah, keganjilan yang mereka tunjukkanlah yang merupakan instrumen verbal (‘linguistic gesture’) yang memungkinkan terjadinya keter-saling-terganggu-an fragmental antara yang satu dengan lainnya. Dan karena “alam rujukan” masing-masing fragmen tidak pernah tertaut secara pasti menjadi naratif yang me-representasi, referensi-referensi mereka pun menciut, penandaan (‘signification’) mereka terhadap dunia rujukan di luar film juga menjadi tak berfungsi maksimal. Sebagai ornamen, fragmen-fragmen ini berubah menjadi ikon, yang dengan sendirinya adalah presentasi, menjadi fenomena (the thing as such), atau varian dari autentisitas, menyediakan keterhubungan semantik yang ngelantur. Kita melihat tiga anak kecil beretnis Cina di dalam Change of Fortune, tapi tidak akan pernah mengenalinya dan tak memahami ketertautannya dengan koherensi naratif ataupun keutuhan logis cerita. Naratif melemah, psikologi karakter diminimalisir. Kita terusik dengan keanehan ini, tapi tidak mengerti apa dan mengapa.

Keterusikan, melekat dengan persoalan efek dari gaya bahasa, juga patut kita soroti. Yang perlu dicermati: mengadaptasi analisis sistemik gaya bahasa pada prosa ornamental ke dalam konteks karya audiovisual, seperti film, tentunya, tidak bisa dilakukan dengan menarik secara harfiah instrumen-instrumen (atau majas) yang berlaku sebagaimana di dalam medium teks. Akan tetapi, dari segi efek, signifikansi sistem gaya bahasa dari masing-masing medium dapat dibilang sama: keterusikan/kebingungan pada penonton, atau ketertarikan penonton terhadap detail-detail terkecil. Untuk memahami hal ini, kita perlu meluaskan atau mengadaptasikan konteks “sastrawi” ke latar “sinematik”, yaitu “kesadaran Ornamentalisme atas [potensi] kata-kata” (atau word-consciousness) harus diperluas atau diubah menjadi “kesadaran Ornamentalisme atas [potensi] citra-citra” (image-consciousness), di mana ketika ada “kata-kata” di dalam sebuah adegan audiovisual, misalnya dialog, “kata-kata” itu mesti dilihat sebagai bagian dalam suatu kesatuan gambar (‘total image’), entah itu gambaran berbasis penglihatan, pendengaran, ataupun kombinasi keduanya.

Maka, teknik Muratova yang berupa bidikan iteratif,61 atau bahkan montase berulang62 seperti dalam adegan pertengkaran Maria dan Filip (yang pengulangannya demikian utuh sepanjang satu sekuen dan dalam susunan yang sama persis), mewakili gagasan mengenai “perluasan sistem majas” yang saya ajukan di atas.

Contoh penggunaan majas citrawi lainnya yang juga dapat disadari sebagai “teknik ornamental” Muratova adalah penggambaran tingkah laku tokoh, terutama dari cara mereka berbicara: cepat, bahkan sangat cepat, dalam tempo yang tidak wajar.63 “Unsur majas” dari kata-kata di suatu percakapan yang cepat itu dianggap ornamental bukan hanya karena kata-katanya tidak biasa, atau karena susunannya yang juga tidak biasa, tetapi lebih difaktori oleh cara si sutradara dalam menyampaikan/menghadirkannya: lewat figur dan gestur performatif para tokoh (dengan kata lain, “figur manusia” juga diperlakukan sebagai bagian, atau salah satu komponen material dalam “penggambaran”). Kecepatan pengucapan yang ditunjukkan oleh seorang tokoh di dalam film menjadi penting karena ujaran yang ia lakukan seakan tampil secara mekanis dan terasa nyaris spontan, tanpa pertimbangan. Hal itu sangat tergambarkan, misalnya, dari cara Maria berbicara kepada si advokat, di dalam penjara bahwa tanah, ketika tokoh tersebut menjelaskan kronologi peristiwa di malam pembunuhan. Inilah salah satu contoh dari apa yang bisa disebut gaya (‘stilisasi’ atau ornamentalisasi) di dalam sinema: aksi percakapan manusia diperlakukan dengan tidak biasa, dicerabut dari konteks objektif dan realitasnya, dan dihadirkan ke dalam bingkai film sebagai “material yang terolah” (faktural). Histerikalitas menjadi instrumen verbal citrawi.

Paralelitas dari keberadaan dua adegan kuda berlari (di tengah dan di akhir film), contoh lainnya, pada satu sisi mewakili salah satu prinsip dalam konstruksi ornamental citrawi Change of Fortune, yaitu paralelisme sintaksis dalam konteks visual. Dengan mengingat bahwa Muratova sendiri telah mengklaim kalau kuda di dalam dua adegan itu tidaklah mewakili makna simbolik apa pun, maka perspektif dari “prosa puitik” (ornamentalisme sastrawi) yang telah kita urai di atas pun menjadi lebih relevan untuk digunakan dalam menganalisis signifikansi kedua adegan tersebut dari segi bentuk. Dan sebagaimana yang telah kita singgung di artikel sebelumnya, adegan kuda adalah contoh konkret dari spontanitas ornamental: perilaku yang ditentukan oleh lingkungan material (dari aspek naratif) dan materialitas intrinsik film itu sendiri. Adegan pelarian kuda adalah fragmen yang mengalami delimitasi eksternal—ia bukan sebagai simbol dan tidak pula menyimbolkan apa pun; ia semata fenomena, entah fenomena gerak, atau fenomena behavioural subjek atas kejadian (yang dalam konteks Muratova, kemungkinan soal apa kejadiannya justru digeneralisasi alih-alih dispesifikasi).

Pada akhirnya, dengan perspektif ornamentalis-plus-prefabrik yang mengamini defamiliaritas itu pulalah, kita bisa memahami, bahwa beberapa adegan, seperti—sekali lagi kita menyebut contoh-contoh yang sudah diurai sebelumnya—“kehadiran anak-anak kecil beretnis Cina di adegan pembunuhan”, “tingkah aneh-bin-cabul seorang sipir di atap gedung penjara”, “kejanggalan adegan pemain sirkus”,64 “gangguan komikal seorang penduduk pribumi ketika si advokat berusaha mencari keberadaan Filip di lingkungan bar”, “bidikan intensional terhadap dua ekor kucing di bawah tubuh kaku Filip yang mati gantung diri”, “rentetan lukisan neo-primitif yang menyela-nyela cerita”, dan hal-hal lainnya yang terasa sengaja ditongolkan sekonyong-konyong oleh Muratova—dan kerap kali tanpa maksud yang bisa atau mudah diidentifikasi secara naratif—adalah “majas-majas” citrawi yang bukan merupakan kesalahan, ataupun kebetulan. Meskipun keberadaan mereka terkesan “minor”, kejanggalan-kejanggalan kecil ini agaknya menjadi cara Muratova untuk sengaja memincut sekaligus melibatkan penonton ke dalam suatu elaborasi filmis, agar ia (sutradara) dan kita (penonton) sama-sama memproduksi pengertian formal atas Change of Fortune.

***

PENGERTIAN formal. Mengapa ia penting? Apa signifikansinya bagi pengalaman dan keindraan kita tatkala menyimak sebuah karya?

Di tulisan ini, berpanjang-panjang uraian mengenai sejarah perkembangan pemikiran ornamentalisme, dengan merujuk dan mengutip sumber-sumber yang—saya harapkan—terpercaya, hanya untuk mengisahkan bagaimana teknik khas ini telah hidup sejak era Simbolisme hingga Formalisme Rusia, bukanlah tanpa alasan. Sebab, sebagaimana penuturan Schmid,65 investigasi mengenai ornamentalisme sendiri belum terjelajahi lebih jauh di berbagai ranah budaya. Oleh karena itu, penting untuk meninjau eksistensi gerakan-gerakan dan paradigma-paradigma kebudayaan yang beririsan dengannya demi membantu kita memahami konteks sosio-politik yang relevan, terutama terkait dengan bagaimana ornamentalisme itu dipahami dan dimanfaatkan oleh pelaku-pelaku kebudayaan pada situasi-situasi yang, kenyataannya, tidak akan pernah bisa lepas dari relasi kekuasaan, rezim pengetahuan, dan ideologi tertentu.

Pada akhirnya, pesona sastra ornamental yang turut menghiasi dinamika gerakan avant-garde itu pun konon menjadi kian surut di tahun 1925. Sumber-sumber yang kita acu menunjukkan bahwa perkembangan sastra dan praktik seni lainnya di musim-musim pasca-Revolusi melahirkan semakin banyak aliran, yang saling beroposisi ataupun beririsan satu sama lain, tapi secara umum terbagi menjadi dua aliran besar, yang mana hal ini pun sebenarnya dipengaruhi oleh rezim pengetahuan sosial, budaya, dan politik yang mendominasi Uni Soviet kala itu: Marxisme, Sosialisme, dan Komunisme. Aliran utilitarian menuntut korespondensi yang jelas antara praxis pengetahuan dan landasan sosio-ekonomik, mewajibkan implikasi sosial dari kajian-kajian estetis. Sementara itu, aliran estetika yang tak kalah keras kepalanya, perlahan disudutkan dan dikritisi sebagai wilayah yang mengingkari cita-cita revolusi. Sebagaimana yang disinggung Jensen, dalam konteks sastra, mazhab utilitarian yang mengagungkan fakta-fakta sosial, semakin condong ke arah konsepsi faktografi, memicu deliterarisasi, sedangkan mazhab estetika tanpa lelah mengencangkan literarisasi material.66 Tapi, sejarah menunjukkan: utilitarian lebih menarik minat penguasa—sebagaimana terlihat dengan mendominasinya kerangka berpikir “sastra fakta” di lingkup editorial Novy LEF (semakin menggeser sastra ornamental ke sudut) seiring majalah ini mendapatkan dukungan pemerintah, sebelum akhirnya bubar gara-gara [masih] dianggap ‘formalis’ oleh rezim terbaru (orde Stalin). Dari sini kita dapat melihat bahwa kurangnya aspek sosio-pragmatis dari sastra ornamental merupakan salah satu faktor yang menyebabkannya “dilupakan”. Di masa ideologi menjadi basis sekaligus tujuan hidup, yang acuh tak acuh terhadapnya pun akan ditinggalkan, kalau bukan ditenggelamkan.

Sebagai anak-anak hasil perkawinan antara “utopia” avant-garde dan “cita-cita” Oktober, kita pun bisa melihat percabangan praxis di ranah sinema, sebagaimana sastra. Kita bisa berargumen di sini bahwa Kuleshov-lah yang bisa dibilang “memfinalisasi” imajinasi formalisme-struktural, sementara Eisenstein akan menjadi “pewaris” konstruktivisme, dan Pudovkin “penjaga kritikal” bagi kekuatan psikologis sinema, sedangkan Vertov malah “melompat jauh” ke produktivisme. Yang lantas memilih setia pada lirisitas dan puitisitas, adalah yang jarang disebut: Dovzhenko, yang meski terbilang berjarak dari hingar-bingar Moskow, karya-karyanya dari Odessa tetap menyita perhatian teoretikus-teoretikus avant-garde yang berpengaruh dan menjadi kanon. Bagaimanapun, ornamentalisme sinematik belum mendapatkan tempat yang berarti di pusaran yang, pada masanya, mendorong kebanyakan orang untuk menyetujui dan serentak mengejar perwujudan cita-cita Revolusi Oktober dan penciptaan “manusia Soviet”.

Ornamentalisme Sinematik seakan menemukan peluangnya sebagai teknik jitu pengempang kekakuan ideologis justru di era setelah Lenin, tatkala Realisme Sosialis mulai dilihat sebagai tirani kebudayaan. Gaya ini bahkan menjadi lebih signifikan di era 1960-an, dan memainkan peran yang besar di ranah seni era 1980-an dalam rangka mengkritisi negara menjelang era keterbukaan. Pada konteks inilah kemudian kita bisa memahami bahwa pendekatan formalistik dari ornamentalisme yang “mengabaikan” ideologi justru merupakan aspek terpenting kritisismenya; “pengabaian ideologi” menjadi aksi politik. “Anti-Ideologi” sinematik adalah instrumentasi verbal dari “ideology itself”, menjadi “ideology as such”, yaitu kepercayaan untuk menolak batas-batas “I” besar, menjadi ideologi yang terbuka bagi keberagaman ideologis. Dan Ornamentalisme sendiri, bukan saja karena teknik yang mendasari mesin bahasanya bersifat disruptif, mempunyai implementasi dan implikasi sosial yang pada hakikatnya selalu mengandaikan “ketergangguan sang mapan”, “alternativitas terhadap kaidah”, dan “alteritas dari yang biasa”.

Di film-film Muratova, khususnya Change of Fortune ini, kita bisa melihat kematangan paradigmatik semacam itu. Penghambatan penciptaan “Ide”, “Pengetahuan”, “Simbol”, “Identitas”, “Referensi”, dan “Stereotipe” yang dipicu oleh ornamentalitas Change of Fortune adalah manifestasi dari kritisisme paradigma ini sendiri terhadap fenomena penyempitan ruang lingkup falsafah kehidupan dan batasan-batasan definitif yang diwacanakan Rezim. Di tiga filmnya yang terdahulu, Ornamentalisme Sinematik-nya Muratova melawan “definisi kehidupan Soviet” dengan “pengalaman yang bebas”; ia menawar  racun “rasa yang terideologisasi” dengan “sensasi yang merdeka, yang bermain-main”. Dengan ciri khas dari kematangan teknik bahasanya, Ornamentalisme Sinematik Muratova dalam Change of Fortune memang tampak meniadakan “narasi politik”, tapi hal ini justru perlu dipahami sebagai suatu supranarasi dan aksi-literer atas upaya gigih untuk melemahkan “narativitas ideologis” dan “narativitas yang terideologisasi”.

Kematangan paradigmatik atas konsepsi ornamental Muratova ini, nantinya, akan menjelma lebih rumit dan jauh lebih filosofis, dengan bentuk prefabrikasinya yang juga semakin ekstrem dalam The Asthenic Syndrome (1989).

Renungan yang dapat kita cerap, akhirnya, adalah tentang struktur. Muratova, dapat dikatakan, mewakili seruan para pendahulunya di LEF: seni adalah aksi. Bukan saja karena filmnya, secara teoretik, “menolak” Realisme, tetapi ia secara nyata menjadi “anti-realis” dalam upayanya menolak “realitas yang diakui”. Kritisisme terhadap kemapanan, terhadap struktur dan sistem sosial, oleh Muratova, ditransfigurasi menjadi aksi berbahasa puitik di mana ia justru melakukan kritik terhadap struktur-struktur konvensional dari bahasa dan medium (sinema).

Kuleshov, formalis; Eisenstein, konstruktivis; Pudovkin, realis-psikologis; Dovzhenko, puitis-liris… Muratova? Saya ingin menyebut sutradara “serba-anti” ini disruptif-ornamentalis. Dengan Ornamentalisme Sinematiknya, Muratova mengkritik kehidupan sosial bukan dengan berbicara gamblang dan terang-terangan menunjuk “isu” sosial, karena ia, Kira Muratova, punya teknik yang membuat kita, penonton, menjadi lebih produktif (mencerna). Ya, Kira Muratova memang punya gaya: ornamental. []

Subseri artikel berjudul “Yang Diperluas dari Surat” ini merupakan bagian dari seri artikel dalam Editorial 10, bertajuk “Materialisme, Ornamentalisme, dan Fantastisisme”, yang secara khusus mengulas karya-karya dan praktik sinematik Kira Muratova.

Endnotes[+]

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search