In Kronik

Artikel ini pertama kali dimuat dalam Pertjatoeran Doenia & Film (No. 2, Tahun I, tanggal 1 Juli 1941) sebagai sebuah tanggapan, baik dari si penulis sendiri (Andjar Asmara) maupun dari media tersebut, terhadap fenomena terkini pada masa itu, yaitu era 1940-an awal, ketika masyarakat mulai menaruh perhatian yang tinggi terhadap film (dan sinema) termasuk bentuk dari proses produksinya.

Sebagaimana dicatat oleh Andjar Asmara pada bagian pembuka artikel, bukti bahwa di Indonesia, pada masa artikel ini ditulis, orang-orang pada gandrung dengan proses perfilman terlihat dari “…ramainya kunjungan di beberapa studio film di Betawi … perkumpulan-perkumpulan kaum ibu, kaum student (pelajar), dan pegawai-pegawai kantor mengadakan excursie (darmawisata) mengunjungi studio-studio itu.”

Di artikel ini, Andjar Asmara memberikan gambaran ringkas tentang proses produksi film. Uraiannya memang lebih menekankan informasi teknis ketimbang refleksi estetik. Namun begitu, terdapat sejumlah aspek yang justru penting untuk kita cermati sehubungan dengan hal-hal teknis tersebut. Meskipun uraiannya terbilang tak lagi begitu relevan dengan kondisi produksi film zaman ini, kita tetap bisa melihat bagaimana ide tentang alih wahana dari sastra ke film, sejak masa itu, telah dipahami sebagai sebuah proses yang tidak “plek ketiplek” (dalam arti: pembuatan film yang diangkat dari karya sastra tidak serta merta menuruti susunan naratif karya aslinya.) Di sini, melalui uraian teknis itu, Andjar Asmara sedikit-banyak menyinggung distingsi kunci antara cerita (di buku) dan naskah (skenario) film: bahwa seorang penulis skenario harus memposisikan dirinya “sebagai penonton” ketika mengolah suatu narasi berbasis cerita dari buku.

Artikel Andjar Asmara mengenai pembuatan film ini terdiri dari dua bagian. Redaksi Jurnal Footage memuatnya di situs ini dengan mengikuti pembagian tersebut, dan dengan menyunting sejumlah kata sesuai EYD tanpa menghilangkan esensi tulisan asli.

Selamat membaca!

Baca bagian kedua dari seri artikel ini: “Pembikinan Film (II)

Bersamaan dengan besarnya perhatian penonton film Indonesia, orang ingin pula mengetahui bagaimana film itu dibikinnya. Ini bisa dibuktikan dari ramainya kunjungan di beberapa studio film di Betawi belakangan ini. Perkumpulan-perkumpulan kaum ibu, kaum student (pelajar), dan pegawai-pegawai kantor mengadakan excursie (darmawisata) mengunjungi studio-studio itu.

Java Industrial Film.

Berhubung dengan keadaan itu, redaksi majalah ini1 meminta supaya diterangkan dalam karangan cara bagaimana membikin film. Memenuhi permintaan ini sebenarnya tidak mudah, sebab pembikinan film terbagi dalam banyak bagian, yang masing-masing berdiri sendiri dan kalau hendak diceritakan satu per satu dengan teliti tak ‘kan ada habis-habisnya, sambung-bersambung, tetapi jika sekadar mendapatkan penggambaran yang ringkas dapatlah kiranya dituturkan dengan cara sederhana yang dapat memberi pengertian sederhana kepada pembaca dalam garis-garis kasar bagaimana proses film itu dibikin, dimulai dari asal mulanya sampai kepada waktunya diputar di bioskop.

Terlebih dahulu sebelum dipikirkan caranya membikin film haruslah ada sebuah cerita. Cerita-cerita itu ada yang diambil dari buku yang terkenal, ada pula yang memang dikarang untuk film. Cerita-cerita yang berasal dari buku yang dijadikan film di Indonesia ini amat sedikit. Kebanyakan dikarang oleh regisseur (sutradara) atau orang lain yang mencocokkannya dengan keadaan sekitar atau mencocokkannya dengan aktor dan aktris yang memainkannya.

Bagian kedua sesudah itu ialah skenario. Kalau sudah ada persetujuan sebuah cerita yang akan dijadikan film maka cerita itu dipecah-pecah menjadi skenario. Satu skenario ialah runtunan dari opname (pengambilan gambar), yaitu susunan cara bagaimana hendak diatur pengambilan atau opnamenya. Menurut susunan inilah film itu kita lihat di dalam bioskop.

Kalau cerita itu diturunkan dari sebuah buku tidaklah selamanya menurut susunan pada buku itu yang dijadikan skenario. Ini tergantung kepada skenario schrijver (penulis). Perbedaan yang besar ialah bahwa film itu bukanlah buku, oleh sebab itu susunannya pun berbeda. Seorang pengarang buku dapat menggambarkan perasaan hatinya dengan menggunakan susunan perkataan yang baik, kalimat-kalimat yang indah-indah dan pembaca dapat mengikuti rasa hati si pengarang dengan tenang dan tidak merasa bosan. Tetapi film tidak dapat disamakan dengan susunan kalimat yang bagus yang dapat dipahami dengan tenang. Film ialah rangkaian gambar sebagai pengganti perkataan si pengarang. Apa yang ditunjukkan, dilukiskan oleh si pengarang dalam buku haruslah ditunjukkan di dalam film dengan gambar. Mengarang buku dan menulis skenario adalah dua pekerjaan yang berbeda seperti siang dan malam. Tidak setiap pengarang buku dapat menjadi pengarang skenario. Seorang pengarang skenario haruslah mengumpamakan dirinya sebagai penonton.

Cuplikan dari film "Siti Noerbaja" (1941) oleh Lie Tek Swie, yang diangkat dari buku karangan Marah Roesli.

Dengan menyusun runtunan gambar itu haruslah dapat ia membayangkan kepada penonton apa yang dimaksud oleh pengarang cerita. Ketika ia mengatur susunan itu, ia merdeka, ia tidak terpaksa mengikuti susunan pada buku atau cerita. Menjadi dasar dari pekerjaannya ialah ia tidak boleh menyimpang dari pokok cerita dalam garis yang kasar. Ia tidak boleh mengubah cerita. Sebaliknya ia merdeka dalam menambah atau mengurangi, membubuhi di mana dirasanya perlu atau menghilangkan bagian-bagian yang dirasanya kepanjangan. Pengalaman dalam dunia film menunjukkan bahwa soal ini tidak mudah dipecahkan. Kerap kali pengarang buku bertentangan dengan pengarang skenario. Karena si pengarang buku berpegang teguh kepada perkataan, sedang pengarang skenario bergantung kepada gambar. Maka sering kali terjadi perselisihan antara kedua bidang ini. Bahkan di Amerika, si pengarang buku keras kepada pendiriannya pada susunan di buku, sedangkan pengarang skenario melihat dan memecah-mecah cerita itu sebagai film.

Suatu skenario bukanlah suatu pembacaan yang menarik hati karena tiap-tiap kejadian dipecah-pecah menjadi bagian yang kecil-kecil yang dinamakan shots atau scene’s. Tiap-tiap shots ini ditetapkan pula cara mengambilnya dan terbagi dalam beberapa jenis yang dinamakan long shot, medium shot, dan close up. Long shot ialah pengambilan dari jauh; medium shot menengah; dan close up jarak dekat. Pembagian ini menunjukkan tempatnya kamera berdiri.

Kalau skenario sudah selesai maka ditetapkan cara mengambilnya. Untuk ini terlebih dahulu ditetapkan tempat-tempatnya. Ada sebagian dari cerita itu yang terjadi di luar rumah dan orang harus pergi ke suatu tempat untuk mengambil gambarnya. Ini dinamakan location. Lalu sebagian dari cerita itu terjadi di dalam rumah yang dinamakan interiors. Untuk ini haruslah dibangun beberapa kamar-kamar atau bagian-bagian dari rumah yang sesuai dengan jalan cerita. Kalau misalnya ada di dalam skenario sebuah rumah yang terdiri dari beberapa kamar, bukanlah rumah itu yang dibangun tetapi bagian-bagian dari kamar seperlunya.

Medium shot dalam ruangan pada film "Rentjong Atjeh" (1940) yang disutradarai oleh The Teng Chun.

Sesudah itu, dipilih dari skenario beberapa kejadian di suatu tempat. Misalnya dalam skenario tersebut ada adegan di kamar depan sebuah rumah. Dalam kamar depan itu kira-kira ada sepuluh kejadian yang berlainan waktu, berlain pula orang yang bermain di dalamnya. Semua kejadian ini dijadikan satu. Diambilnya beruntun dan sesudah adegan itu selesai diambil, kamar itu kemudian dibongkar, lalu dibangun pula kamar lain dan begitulah seterusnya.

Marilah kita lihat pula apa yang terjadi seterusnya. Skenario itu sampai ke tangan regisseur, yaitu orang yang mengatur permainan. Terlebih dahulu ditetapkannya para pemain. Sesudah dipelajarinya skenario itu dapatlah ia menetapkan sifat-sifat (karakter) dari masing-masing pemain menurut kehendak si pengarang. Dengan mengadakan pertemuan dengan pemain-pemainnya, diterangkanlah duduk cerita dan dijelaskan kepada masing-masing pemain sifat (karakter) dari rol-rol yang harus diperankannya.

Dengan mengadakan repetitie (latihan), ia memimpin pemain-pemain itu supaya dapat menggambarkan isi cerita kepada penonton. Di sinilah berat tanggungan regisseur, karena untuk memimpin pemain-pemainnya ia harus mengenal sifat manusia yang berbeda jenis masalah kehidupannya.

Sifat-sifat ini banyak ragamnya, yang baik, jahat, pemarah, berhati baik, yang manis mulutnya tetapi berhati serong, yang jujur dan yang bengkok, sifat pendorong dan sifat sabar, ringkasnya tiap-tiap macam sifat itu haruslah diketahui oleh regisseur. Sifat-sifat ini diajarkan kepada pemain-pemainnya. Permainan aktor dan aktris di dalam film semata-mata tergantung kepada regisseur. Sudah tentu aktor dan aktris itu harus mempunyai kesanggupan menggambar seperti yang dikehendaki oleh regisseur itu. Si pemain yang melukiskan, regisseur yang mengaturnya. Misalnya, bagaimanakah seseorang berbuat kalau mendengar sesuatu kabar yang mengatakan anaknya meninggal. Perasaan ini diajarkan oleh regisseur kepada pemain. Kalau tak juga mengerti dengan sekali atau dua kali, akan terus diadakan repetitie (latihan) berkali-kali hingga sesuai dengan karakter yang dikehendakinya.

Set oleh Java Industrial Film.

Sekarang sampailah kita kepada bagian yaitu ketika segala sesuatunya siap untuk dilakukan opname (pengambilan gambar). Tempat dilakukan opname itu dinamakan set. Set ini ada yang di luar dan ada yang di dalam. Kalau opname itu dilakukan di luar ruangan ialah dengan menggunakan matahari sebagai penerangan dengan tambahan oleh reflectors dan kalau opname itu dilakukan di dalam ialah dengan menggunakan lampu yang berkekuatan beribu-ribu lilin. Kewajiban sekarang terserah kepada kameraman dan si pengatur lampu. Cara-cara opname ini sulit dibentangkan (dalam tulisan ini) karena sesuatunya melihat keadaan, tetapi juga sulit untuk diartikan. Sebagaimana orang tahu, pembikinan film berdasar kepada fotografi. Kasarnya, dapatlah kita melihat bagaimana seorang tukang potret bekerja di dalam studionya. Ia meletakkan kamera di satu tempat di mana ia mendapat pemandangan (sudut pandang) yang baik. Sesudah itu diaturnya lampu-lampu sampai ia dapat penerangan yang memuaskan sehingga benda yang hendak dipotretnya itu dapat ditegaskan menurut kehendak hatinya. Sesudah itu diaturnya lensa menurut cahaya yang mampu ditangkap. Begitulah secara kasar seorang kameraman bekerja di dalam studio film. Cara bekerja itu tentu berlainan jika kamera yang dipakai berlainan pula dan lampu-lampu lebih banyak maka akan lebih sulit mengaturnya.

Sebelum dilakukan opname, regisseur mengadakan repetitie (latihan) beberapa kali sampai permainan itu sempurna. Kameraman mengatur kameranya menurut aksi yang dilihatnya dalam repetitie ini. Kalau telah dapat persetujuan dan ketetapan letak kamera, lampu dan permainan, adalah pula bagian yang terpenting yaitu suara. Suara ini ditangkap dengan jalan mikrofon. Mikrofon ini dihubungkan dengan kabel kepada suatu pesawat untuk mengontrol keras atau kurang kerasnya suara. Sebuah jarum yang bergerak kalau orang berbicara di depan mikrofon menunjukkan keras atau kurang kerasnya itu orang berbicara. Kalau kekerasan suara itu telah mendapat persetujuan soundman (yaitu orang yang mengontrol suara) barulah boleh dikatakan bahwa segala sesuatu siap untuk opname (pengambilan gambar). Karena pengambilan suara itu dengan mikrofon maka hanya boleh suara yang berhubungan dengan permainan itu. Situasi dikehendaki dalam keadaan yang hening, bening (tenang) di dalam studio. Satu suara pun tak dikehendaki tak boleh terdengar di dalam kamar.

Cara mengambil suara ini ada dua macam. Ada yang disebutkan enkel systeem (sistem tunggal) dan ada juga yang disebut dubbel systeem (sistem ganda). Enkel systeem ialah pengambilan suara yang berbarengan dengan pengambilan gambar dengan satu kamera. Dubbel systeem ialah suatu cara pengambilan suara tersendiri dan terpisah dengan gambar yaitu dengan dua buah toestellen (alat) yang berbeda, tetapi tetap dijalankan secara bersamaan saat pengambilan gambar.

Sesudah opname, film telah siap untuk dicuci, hal mana yang akan kita terangkan dalam nummer (edisi) yang akan datang. []

Endnotes[+]

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search