In Artikel
Indonesian

Filem dibuka dengan sebuah adegan penutup dari filem garapan Jan Willem Van Dam sebelumnya di tahun 2006, yang dibuatnya di Georgia. Saya pernah menyaksikan filem ini sekali dan tidak bisa mengingatnya secara jernih. Seingat saya, ada kisah di sana, tentang Gocha Ovashvili, seorang agen rahasia Georgia, yang bertemu dengan orang-orang setempat selama perburuannya mengejar penjahat-penjahat dan berbicara dengan mereka mengenai kerasnya perjuangan dalam hidup keseharian mereka.

Adegan ini dibuka dengan beberapa lelaki yang memunguti lemparan koin-koin di pinggir jalan dari mobil-mobil yang lewat, dengan menggunakan tongkat panjang berujung magnet. Gocha O kemudian singgah dan menanyai mereka tentang aktifitas tersebut, dengan sebuah pertanyaan yang menjadi ciri peran dia dalam filem tersebut, “Apakah anda seorang kriminil?”

Keseluruhan rangkaian adegan itu diakhiri dengan munculnya teks ‘The End’.

Saya ingat bagaimana penonton yang hadir di pemutaran perdana filem ini di Rotterdam Film Festival 2011 langsung tertawa, setelah diberi adegan penutup dalam 3 menit pertama filem berlangsung.

Tampaknya Jan Willem Van Dam memang berniat memberi kejutan (kata lain dari saya untuk eksperimentasi) berupa mimpi di tiap-tiap adegannya dalam Je Vis Dans Le Reve De Ma Mere (Aku Hidup Dalam Mimpi Ibuku). Berikutnya saya akan coba mengisahkan mimpi-mimpi tersebut.

* * *

Alkisah, seorang ibu tua menginginkan anak lelakinya yang seorang pembuat filem, untuk melakukan perjalanan keluar dari habitus asal mereka. Bertualang mencari sebuah makna dalam hidupnya dengan cara bepergian jauh. Karena menurut sang ibu, tempat itu buruk sekali, di manapun akan lebih baik dari pada tempat itu.

Pergilah si anak berkeliling dunia. Melampaui batas lintas negara, lintas benua. Kontak komunikasi antara si anak dan ibu selalu dilakukan dalam percakapan telepon. Si anak, Jan Willem, yang di dalam percakapan selalu disebut namanya oleh sang ibu, digambarkan sebagai seorang bocah berusia tak lebih dari 11 tahun, berkulit hitam, tidak pernah terdengar mengucapkan sepatah katapun, kecuali dalam sebuah doa di dalam kamar mandi sebuah hotel di Vietnam, itu pun dalam Bahasa Perancis. Sementara sang ibu yang berkulit putih dan terlalu tua untuk menjadi ibu bagi si bocah, berbicara dalam Bahasa Belanda.

Semua perbedaan ini seperti disengaja untuk menjabarkan persoalan lintas batas dan mengidekan sebuah keterbebasan dari kungkungan batas yang dinamai negara. Jelas sutradara ingin menyampaikan pernyataan politiknya.

Sepanjang filem, si bocah tidak pernah berbicara. Semua orang yang berkomunikasi dengannya hanya bermonolog. Seorang naratorlah yang melantunkan kisah perjalanan ini dalam Bahasa Suriname.

Kalau filem ini merupakan sebuah otobiografi, karena jelas tokoh utama dalam filem ini bernama sama dengan si sutradara, saya melihatnya sebagai sebuah otobiografi yang diterjemahkan ke dalam 2 bagian. Bagian pertama adalah sebuah biografi yang berbaur dengan mimpi sang ibu. Ibu yang saya temui di filem ini adalah sebuah benua yang dihantui oleh sejarah kekalahan masa lalu. Eropa. Sedangkan bagian kedua adalah di mana si ‘biografi’ berusaha melepaskan diri dari mimpi tersebut dengan usaha penaklukkan sebagai pembayar kekalahan. Sebagaimana bangsa Eropa mencoba mencari jalur lain dengan melakukan ekspansi ke Asia setelah penaklukan Ottoman atas Eropa.

Dalam biografi ini, sebutlah di dalam mimpi ini, si karakter bertemu dengan kota-kota dan orang-orang. Mengalami berbagai benturan, dan semua hal yang menjadi penghalang kebebasan manusia seutuhnya.

Bermula dari sebuah akhir, yaitu Eropa Timur, perjalanan dilanjutkan menuju Turki, untuk bertemu dengan seorang distributor filem, Secil, yang diharapkan akan membeli filem terakhirnya yang dia buat di Georgia. Secil tidak tertarik dengan ide ‘Georgia Baru’ yang terbersit lewat ucapan Gocha O, karena baginya untuk apa penonton Turki disajikan sebuah filem Georgia yang secara karakter fisik tidak terlalu jauh berbeda dengan mereka. Artinya, bukan sesuatu yang eksotis. Lagipula, dalam filem itu tersebutlah seorang pahlawan Georgia yang menyelamatkan budak Turki. Selain itu, eksperimentasi penggabungan filem dokumenter dengan fiksi dianggap oleh Secil kurang menarik. Dengan sopan Secil mengatakan bahwa dia menyukai filem Jan Willem, karena mengingatkannya pada seorang aktor terkenal Turki bernama Atilla Olgac yang berhenti makan daging sejak dirinya pernah membunuh 10 orang dalam invasi Turki di Siprus Utara, 1974. Tak lupa sutradara memasukan footage sebuah pengakuan Atilla O mengenai pembunuhan yang dia lakukan itu dalam talkshow di sebuah stasiun TV Turki. Bagaimana dia menyampaikan hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar terjadi dalam masa perang.

Penyisipan footage bisa jadi merupakan refleksi terhadap luka Eropa yang pernah ditorehkan bangsa Turki selama berabad-abad. Dan adegan pertemuan ini ditutup dengan sikap sopan Secil, yang mengoreksi kasus Atilla O lewat sebuah pernyataan bahwa apa yang dikatakannya dalam talkshow di TV itu hanyalah sebuah naskah yang dia tulis, tidak benar-benar terjadi. Lalu Secil dengan sikap terbuka menyatakan dia siap menerima kehadiran filem-filem Jan Willem berikutnya, kemudian menutup pintu. Sebuah penyangkalan terhadap dosa masa lalu.

Still foto hitam putih yang menggambarkan masyarakat Afrika pada suatu masa di masa lalu, melatari biografi si ibu yang seorang fotografer dan memulai profesinya di Afrika. Wajah-wajah masyarakat Afrika, keluarga-keluarga, juga foto-foto seorang perempuan kulit putih yang terlihat menonjol di antara masyarakat Afrika, adalah pengisahan biografi sang ibu yang menjadi kerangka bangunan mimpi. Dimunculkan tidak hanya sebagai itu, tapi juga sebagai penggambaran bagaimana media berperan penting melalui medium-mediumnya untuk menjalankan agenda kekuasaan.

Mimpi sang ibu menggiring perjalanan ke Napoli. Di sana sedang berlangsung aksi pemogokan sampah, akibat persoalan krisis sampah yang terjadi di kota tersebut. Namun pada kenyataannya, di Napoli dia tak menemukan apa yang terberitakan oleh media. Sampai di titik ini Jan Willem menemukan bahwa janji ibunya tak sama dengan apa yang dipidatokan oleh Berlusconi, bahwa sampah-sampah tersebut hanya bersemayam di hati orang-orang. Bukan di kota.

Media massa secara implisit, telah bias oleh berbagai faktor struktural. Independensinya pun akhirnya dipertanyakan, karena tak jarang media massa telah beralih menjadi alat politik bagi penguasa, terutama kalau dia adalah raksasa media sebesar Berlusconi.

Di Berlin, Jan Willem menemui seorang perempuan pelukis dari Eropa Timur. Sophia, nama si seniman, mengatakan bahwa Berlin adalah tempat di mana dia bisa memiliki segala yang tidak dirindukannya dari tanah air—merujuk pada Uni Soviet—karena sebagai seniman dia bisa melakukan apapun yang orang lain malu untuk mengakuinya, komunisme dan fasisme. Sophia pun menyindir Jan Willem dengan mengatakan bahwa, seorang yang peduli tentang hidup tidak akan membaca Politovskaja. Sedikit catatan, Anna Politkovskaja Stepanovna (30 Agustus 1958 – 7 Oktober 2006) adalah seorang jurnalis Rusia, penulis, dan aktivis hak asasi manusia terkenal karena perlawanannya terhadap konflik Chechnya dan Presiden Rusia, Vladimir Putin. Kematiannya pada tanggal 7 Oktober 2006, akibat ditembak di apartemennya, diduga merupakan hasil sebuah konspirasi politik di Rusia. Di sepanjang filem, tampak si aktor beberapa kali memegang buku The Russian Diary karya Anna Politovskaja.

Namun kemudian kepercayaan diri yang tertuang dalam monolog-monolog panjang Sophia pun mengalami sebuah benturan saat dia menyaksikan pidato Obama pada suatu hari di sebuah lapangan di kota Berlin. Dalam pidatonya Obama menyatakan tidak berdiri di situ sebagai seorang kandidat presiden, melainkan sebagai warga Amerika yang bangga, seorang warga negara dunia. Dia juga menyatakan bahwa dia memang tidak terlihat seperti presiden-presiden Amerika sebelumnya berdiri dan berpidato di tempat yang sama, berkulit putih, namun perjalanan yang menuntunnya sampai ke sini adalah sebuah kemustahilan yang terjadi.

Dalam pidatonya di Berlin pada 2008, Obama mengenang kelamnya masa lalu saat komunisme masih menguasai sebagian kota Berlin. Si calon presiden jelas mengutuk secara halus komunisme dan Uni Soviet. Intinya, kerinduan warga Berlin akan keruntuhan tembok pembatas dan juga runtuhnya komunisme adalah kerinduan yang sama. Kerinduan akan kebebasan. Peruntuhan batas adalah salah satu yang menjadi bagian dari perjalanan yang membuat seorang warga dunia berkulit hitam bisa merasakan tercapainya sebuah mimpi akan kebebasan.

Sophia menuduh Obama adalah seorang pejabat pembunuh. Sejak saat itu Sophia memutuskan untuk tidak keluar dari rumah dan tidak berpakaian lagi. Dia menolak menjadi seniman yang disebutnya sebagai antek negara. Keyakinannya sedang dijungkirbalikkan oleh sebuah kekuatan yang mendunia.

Inilah benturan yang terjadi di dalam mimpi tersebut. Posisi si seniman Eropa Timur yang mendefinisikan kebebasan dan kebahagiaan dengan cara yang berbeda, berlawanan dengan mimpi tentang kebebasan itu sendiri. Definisinya tentang kepedulian pada hidup adalah mengembalikan kejayaan masa lalu.

Kemudian Sophia menganjurkan Jan Willem untuk lebih jauh masuk ke dalam wilayah Eropa Timur untuk tidak hanya mengetahui sesuatu melalui permukaan.

Di Eropa Timur si bocah hitam ini menemukan kenyataan dirinya tersentak saat seorang anak kecil menyebutnya ‘hitam’. Menyebutkan sebuah kenyataan dalam bentuk pengasingan. Hal itu membuatnya terpukul.

Di bagian ini sutradara menyisipkan tentang keaktoran seorang amatir. Gocha O, si agen rahasia dalam filem terdahulu, memerankan dirinya sendiri saat diwawancara oleh seorang perempuan yang juga bermimpi menjadi aktris kelak setelah bayinya besar. Dengan sengaja adegan wawancara diatur untuk terlihat amatir. Hal ini menunjukkan pembauran antara dokumenter dan fiksi menjadi perhatian utama bagi si sutradara dalam mengkonstruksi filemnya.

Kembali hadir foto-foto hitam putih karya si ibu. Foto-foto lama yang menggambarkan situasi sosial politik Eropa masa lalu. Orang-orang, puing, pejabat-pejabat, kejanggalan-kejanggalan peristiwa… Foto-foto yang tidak disukai orang-orang, karena mengingatkan mereka pada masa-masa kesedihan akibat perang. Pesimis, tanpa harapan, dan berlangsung terlalu lama. Pesimisme dijawab oleh si ibu dengan optimisme, bukankah foto-foto tidak bisa bertahan terlalu lama? Maka hidup harus terus berlangsung, dan mimpi harus terus dibangun.

Di antara 2 bagian biografi yang tadi saya sebut di atas, ada sebuah jembatan. Jembatan ini berusaha menjadi penghubung antara mimpi dengan pembebasan diri dari mimpi itu sendiri. Jembatan itu berbentuk sebuah filem pendek di dalam filem feature panjang. Judulnya La Soif Sans Precedent Pour La Liberte Du Soldat: Leroy Blanche (yang saya terjemahkan sebagai : Mimpi Kemerdekaan Tanpa Preseden Seorang Serdadu: Leroy Blanche).

Sebuah filem yang bercerita tentang Serdadu Amerika berkulit hitam, Leroy Blanche yang bangkit dari luka parah dalam pendarataan di pesisir Perancis saat memerdekakan Perancis dari Nazi. Kemudian dia memutuskan untuk menetap di Perancis karena negara itu adalah tanah kemerdekaan. Karena di Amerika dia mengalami perlakuan rasialis. Kisah ini dinarasikan oleh Luis Blanc, seorang berkulit hitam yang duduk di bangku membacakan sebuah buku tentang Leroy, juga dibangun melalui wawancara-wawancara bersama beberapa pelacur yang pernah menjadi kekasih Leroy Blanche dan juga seorang Jaksa Penuntut yang juga seorang Profesor Legal Right, Paul Bouvier.

Leroy Blanche yang akhirnya menetap di Perancis kemudian ditangkap karena menolak dinaturalisasi. Dia pikir hal itu membangun batas baru dari apa yang dia maksud dengan kemerdekaan. Setelah kemudian dia sempat terbebaskan dengan akhirnya menyerah menjadi warga negara Perancis, dia kembali ditangkap karena membunuh 2 pelacur. Sederhana saja bagi Leroy, dia sedang membebaskan para pelacur itu dari kungkungan germonya, sebagaimana juga seorang prajurit dari titah komandannya. Digambarkan di penutup filem pendek ini, Leroy Blanche tersenyum di tengah padang penuh bunga kuning yang berayun seiring angin dan musik lembut. Sungguh seseorang yang naif. Naif dalam meletakkan harapan besar pada sebuah revolusi di masa lalu.

Namun sepolos itukah kehausan Serdadu Leroy Blanche? Bukankah latar belakang pengalaman rasial adalah sebuah preseden terhadap kehausannya akan kebebasan? Juga alasan-alasan pembunuhan yang dilakukannya. Mungkin benar dia polos saat berpikir sebuah negara memang memegang teguh cita-cita revolusinya. Tak satu negarapun yang demikian. Tak ada cita-cita yang senaif itu.

Dalam credit tittle filem pendek ini tertulis nama sutradara adalah Chanoah Jap Ngie. Chanoah Jap Ngie adalah nama aktor berkewarganegaraan Belanda dan berdarah campuran Belanda-Suriname, yang memerankan Jan Willem Van Dam, sang sutradara. Hal ini menarik. Saat saya menghadiri premiere filem La Soif Sans Precedent Pour La Liberte Du Soldat: Leroy Blanche di Festival Film Rotterdam yang diputar lebih dulu dan terpisah dari filem panjangnya, Chanoah Jap Ngie hadir mempresentasikan filem ini kepada penonton. Dalam peristiwa nyata di luar filem itu dia memainkan peran sebagai sutradara. Dan ini merupakan performan yang menjadi bagian dari rangkaian keseluruhan presentasi filem di festival tersebut.

Saya melihat dalam konstriksi filem yang dibangun oleh Jan Willem Van Dam, si filem pendek menjadi jembatan antara dua benua. Eropa dan Asia. Mungkin karena usahanya membebaskan diri dari mimpi yang naif.

Tampak perbedaan yang sangat mencolok pada gaya bertutur si sutradara dalam membahasakan kedua benua itu dalam sinema.

Perjalanannya di Asia dimulai di Vietnam. Citraan tentang kota khas negara dunia ketiga sangat merasuk ke dalam filem ini. Jelas terasa Vietnam memang besar dan memakan si sutradara hampir bulat-bulat. Dia tak mampu bertahan dengan gayanya yang berfilasafat di sepanjang pengisahan situasi Eropa kini yang tak lepas dari masa lalunya. Di Vietnam, sutradara tak bisa menahan diri untuk merekam eksotisme kota yang penuh kekacauan sistem jika dilihat dari kacamata seorang Eropa. Memang kisah yang dibuat di Vietnam berusaha dibuat senatural mungkin hingga menyerupai sebuah kenyataan yang biasa tersaji dalam dokumenter. Van Dam membuat kisah perjalanan sebuah produksi filem dokumenter.

Di mana pencarian si bocah Jan Willem berbenturan dengan situasi keos. Negara tidak mengijinkan sebuah filem diproduksi tanpa seijin pemerintah. Lalu dia membuat sebuah filem yang turistik. Namun kenyataannya dia tidak bisa, dan tetap menjadikan produksi ini sangat filmis. Seorang manajer lokasi Vietnam yang membantunya, protes. Akhirnya, atas nama demokrasi, mereka bekerja sebagai turis. Unsur komedi dimasukkan di sini dengan menaruh subteks nama kru sebagai turis 1, 2, 3 dan seterusnya, yang merupakan mantan Kamerawan, mantan Penata Suara, dan seterusnya. Kru gadungan ini memfilemkan kejadian sehari-hari mereka di Vietnam. Sutradara di sini kembali mempermainkan konsep ‘lakon’ atau ‘act’ bagi seorang aktor.

Akhirnya bocah Van Dam frustasi dan menentang sebuah bentuk demokrasi yang membuatnya mati karena harus mendengarkan kisah semua orang. Kemudian dia masuk ke kamar mandi, duduk menyilangkan jari dan berdoa, atau tepatnya mengeluh kepada Tuhan dalam Bahasa Perancis.

Setelah itu Van Dam kecil menelpon ibunya dan mengucapkan selamat tinggal, sebelum kemudian dia pergi lebih jauh lagi, ke Indonesia. Membebaskan diri dari mimpi ibunya. Mencoba menjawab persoalan ‘lakon’ tadi dengan memberi sub judul pada bagian ini: The Island of Honest Acting.

Melalui suara narator terlontar ketidakpercayaannya pada aktor professional. Kisah di pulau kecil ini juga tak lepas dari nuansa komedi di mana seorang pelayan penginapan, yang dijulukinya sebagai ‘The Master’ dalam perihal akting yang jujur, selalu melakukan dialog yang dituliskan di secarik kertas.

Van Dam kecil mengendarai perahu motor kecil sendirian menuju Pulau kecil. Di sana dia disambut 2 orang pelayan penginapan yang selalu bercakap di belakang punggungnya, mengenai teori evolusi yang membuktikan bahwa orang seperti mereka hanyalah kura-kura tanpa cangkang, kehampaan hidup sebagai pelayan, modernitas, menjadi seseorang yang berbeda, juga tentang ketakutan-ketakutan seorang seniman. Percakapan itu dilakukan di sela kegiatan mereka melayani tamu. Yang dikemukakan sebenarnya bisa jadi tentang pemecahan persoalan berakting itu sendiri. Berakting adalah sebuah kebingungan antara keseriusan dan mabuk.

Lalu Van Dam kecil pergi meninggalkan pulau. Dilepas oleh sekelompok bangau. Tergolek pulas di dek kapal. Berharap tidur bertahun-tahun, diiringi musik yang sama dengan musik damai yang melatari kebebasan tanpa preseden Leroy Blanche. Terbebas dari mimpi ibunya.

Sementara sang ibu yang tidak terima sang anak meninggalkan mimpinya segera pergi mencari. Namun dia mencari di benua yang salah seperti Christopher Colombus yang tidak mau mengakui kalau dirinya tidak pernah mencapai India. Secara logika fungsional, ketersesatan ini merupakan penggambaran tentang Alzheimer yang diderita si ibu. Dilakukan dengan pendekatan komikal. Sang ibu ingin melipatgandakan kemungkinan penemuan anaknya. Maka perjalanan ibu di hutan tropis Amerika Selatan selalu dibelah menjadi 2 frame dalam satu layar. Perlahan dia menghilang dalam mimpi-mimpi baru dan sebuah bentuk ramah dari Alzheimer, demikian narrator menjelaskan.

Di akhir kisah, mimpi dibuat nyata. Wajah narator yang selama dua setengah jam menyuarakan kata hati si sutradara pun dimunculkan. Berwujud seorang tua berkulit hitam yang masih saja terus menceritakan kisahnya pada temannya yang lebih muda. Berdialektika tentang kebenaran dan kebohongan. Betapa ilusifnya kedua hal tersebut.

Jan Willem Van Dam meletakkan biografinya sendiri dalam struktur filem melalui peristiwa-peristiwa (politik) dunia, bermetafora dengan menjadikan seorang anak kecil berkulit hitam sebagai dirinya, kemudian memanipulasi penonton dengan sebuah mimpi ilusif bernama sinema.

Tentang Sutradara

Jan Willem van Dam seorang sutradara independen Belanda. Ia membuat beberapa filem pendek dan juga filem panjang, salah satunya What You Expect From The World Behind You atau Verwar de staat waarin u verkeert (…niet met die van uw omgeving) (Belanda, 2004, warna, video, 150 menit) dan Kakaja Zemla (1992, 20 mins, 16mm). Dua filem ini diputar para perhelatan Festival Film Rotterdam tahun 2004.

Je Vis Dan Le Rêve De Ma Mere pernah diputar di Festival Film Rotterdam 2011. Dan sekarang ini sedang berlangsung retrospeksi karya-karyanya pada 12-15 September 2012 di Eye Instituut Amsterdam, IJpromenade 1 Amsterdam, Belanda (www.eyefilm.nl).

English

The Thirst of Freedom in Je Vis Dans Le Rêve De Ma Mere

Film opened with a closing scene from a previous movie by Jan Willem Van Dam in 2006, which he made in Georgia. I’ve seen this movie once and couldn’t remember it clearly. As I recall, there was a story about Gocha Ovashvili, a Georgian secret agent, who met the locals during his criminals hunt and talked to them about the toughness of their everyday life.

The scene opened with a few men picked up coins on the street threw away from the passing cars, using long stick with magnet tip. Gocha O then stopped by and asked them about such activities, with his trademark question in this movie, “Are you a criminal?”

The whole scene ended with the appearance of ‘The End’.

I remember how audiences who attended this movie premiere at Rotterdam Film Festival 2011 instantly laughed, after given ending scene in the first 3 minutes after the movie has started.

It seemed that Jan Willem Van Dam intended to give surprises (another word from me for experimentation) of dream in every scene in Je Vis Dans Le Reve De Ma Mere (I Live In My Mother’s Dream). Next, I will try to tell you about those dreams.

* * *

Once, an old woman wanted her son, a filmmaker, to do a journey out of their own habitation. To travel miles away, to look for his meaning of life. Because according to his mother, their place was very bad, anywhere would be better.

So, the boy went around the world. Crossed beyond countries, beyond continental boundaries. Communications between the boy and his mother have always been done by phone. The boy, Jan Willem, whose name has always mentioned in conversation by his mother, has been described as a dark young boy not older than 11 years old, had never been heard saying even a word, except in a prayer in a Vietnam’s hotel bathroom, even that was in French. Meanwhile, his white and too old mother spoke in Dutch.

All of these differences seemed deliberate to describe the cross-border problems and to bring out the idea of being free from the confinement that called states. It was obvious that the director wanted to deliver his political statement.

Throughout the movie, the boy never talked. Everyone who communicated with him only did the monologue. There was a narrator who weaved this story in Surinamese.

If this movie has been an autobiography, because obviously the main character had the same name as the director, I saw it as a 2 parts autobiography. First part was a biography that integrated with his mother’s dream. The mother whom I found in this movie was a continent haunted by history of past defeat. Europe. Whereas the second part was where the ‘biography’ tried to break away from that dream with a conquest effort as a defeat payment. Just like European tried to find other route to expand Asia after the Ottoman conquest over Europe.

In this biography, or you can call it in this dream, the character met cities and people. Experienced any bumps, and all of the things that prevented the independence of human. It started from an end, which was Eastern Europe, to Turkey. To meet a film distributor, Secil, whom he hoped would buy his last movie that he had made in Georgia. Secil wasn’t interested with “New Georgia” idea which had occurred in Gocha O’s words in the movie, because for her, what was the point for Turkish audiences to watch a Georgian movie that presented Georgians, who had similar physical character with theirs. Not something exotic, that was. Moreover, in that movie, there had been a Georgian hero who had saved Turkish slaves. Beside that, she found the experiment of integrating documentary with fiction wasn’t too interesting. Politely she said that she liked Jan Willem movie, because it reminded her of a famous Turkish actor named Atilla Olgac, who had had been quitting eating meat since he had killed 10 men in Turkish invasion over Greek-Cyprus, 1974. The director didn’t forget to include the footage of a confession of Atilla O about the killing that he had committed in a talk show at a Turkish TV station. How he had delivered that as a common thing during war.

The insertion of footage could be a reflection of European wound left by the Turkish for ages. And the meeting scene ended with Secil’s politeness, which corrected Atilla O’s case through her statement that what he said in that talk show was only his written script, not really happening. Then with openness she stated that she was ready to accept Jan Willem’s next movies, and then she closed the door. It was a denial about past sin.

A black and white photographs that portrayed African society at a moment in the past, underlay the biography of his mother. She was a photographer and started her job in Africa. African faces, families, and pictures of a white prominent woman among African community, were the biography story of his mother, which became the framework for the dream. It appeared not only as that, but also as a representation of how the media played an important role through its mediums to run the authority agenda.

His mother’s dream brought him to Naples. There was a garbage strike there at the time, because of the waste management issue in that city. But in reality, in Naples he did not find what media had reported. At this point, Jan Willem found that his mother’s promise was different from what Berlusconi had said in his speech, that the waste only lived in people’s heart. Not in the city.

The mass media implicitly became bias by many varieties of structural factor. Their independence has finally questioned, because sometimes they switched to become political mean for the authority, especially when it has owned by a media tycoon as big as Berlusconi.

At Berlin, Jan Willem met a female artist from Eastern Europe. She did the monologue to him. Sophia, the name of the artist, said that Berlin was a place where she could have everything that she did not miss from her homeland – it referred to U.S.S.R. – because as an artist she could do anything that other people were ashamed to admit, communism and fascism. Sophia also told Jan Willem that a person who cared about life would not read Politovskaja. A little note here, Anna Politovskaja Stepanovna (August 30, 1958 – October 7, 2006) was a Russian journalist, writer, and human rights activist famous for her resistance against Chechnya conflict and the President of Russia, Vladimir Putin. Her death on October 7, 2006, after being shot in her apartment, was suspected as a result of a political conspiracy in Russia. Throughout the movie, the actor noticeably held The Russian Diary, a book by Anna Politovskaya, a few times.

But then Sophia’s confidence that was expressed in her long monologues experienced a bump when she was watching Obama’s speech one day, at a square in Berlin. In his speech, Obama stated that he wasn’t standing there as a presidential candidate, but as a US citizen who was proud, a world citizen. He also stated that he did not look like his predecessors, stood and gave speech at the same place, white, but the journey led him there was a happening impossibility.

In his speech at Berlin on 2008, Obama reminisced the dark past when communism has controlled some parts of Berlin. The presidential candidate clearly subtly condemned communism and U.S.S.R. The point was, the longing of the falling down of the boundary wall and also the communism was the same longing for everybody in the world as well as for the people in Berlin. The longing of freedom. The down fall of boundary was a part from the whole journey which made a black man could feel a dream of freedom has achieved.

Sophia accused Obama as a killer official. Since that time Sophia decided to not go outside and to not wear clothes anymore. She refused being a stooge state artist. Her belief was being overturned by a worldwide power. This was the bump that happened in that dream. The position of the Eastern Europe artist who defined freedom and happiness in the different way, contrasted with the dream about the freedom itself. Her definition about the concern of life was to bring back the past victory.

In Eastern Europe this black boy found the reality that made him startled when a young girl called him “black”. It stated the reality in the form of alienation. That thing shocked him.

In this part the director inserted something about the acting capability of an amateur. Gocha O, the secret agent in the previous movie, played himself when he has been interviewed by a woman whom also dreamed to become an actress someday after her baby got older. Deliberately, the scene was arranged to be seen amateur. This thing showed that the integration between documentary and fiction became the primary concern for the director in constructing his movie.

Black and white photographs made by his mother were back. There were the old pictures that portrayed European political and social situation in the past. People, ruins, officials, inept events… Pictures that people disliked, because they reminded them of periods of sadness caused by war. Pessimist, without hope, and took place too long. Those Pessimisms has answered by his mother with optimism, couldn’t pictures last too long? That was why life had to go on, and dream had to be continued be built.

Between 2 parts of biography that I mentioned earlier, there was a bridge. This bridge tried to become a link between the dream and the liberation of the dream itself. That bridge had a form of a short film within a long featured movie. The title was La Soif Sans Precedent Pour La Liberte Du Soldat: Leroy Blanche (which I translated as: A Soldier’s Dream Of Liberty Without Precedence: Leroy Blanche).

A film about a black American Soldier, Leroy Blanche who rose from bad injury on a landing at France coast when Americans freed France from Nazi. He then decided to stay in France because that country was the land of freedom. In USA he had endured racist treatment. This story was narrated by Luis Blanc, a black man sitting on a bench reading a book about Leroy, also this story was built through interviews with some prostitutes. They had been his lovers before. And also prosecutor whom also a Legal Rights Professor, Paul Bouvier.

Leroy Blanche who finally stayed in France then had been arrested because he refused being naturalized. He thought that built new boundary from what he described about liberty. After he has been freed and finally surrendered to become France citizen, he had been arrested again because he had killed 2 prostitutes. It was simple for Leroy, he was freeing the prostitutes from their pimp, just like a soldier from his commander. It was described at the closing of this short film, Leroy Blanche was smiling in the middle of a field full of yellow flowers that swung following the wind and soft music. He really was naïve. He was naïve in putting big hope on a revolution in the past. But, was his thirst as naïve as that? Wasn’t the background of racist experiment a precedent for his thirst of freedom? And also the reasons of the killing he had committed.He might be naïve when thinking that a country would stick to its revolution goal. No countries would do that, there was no goals that naïve.

On credit title of this short film, the director’s name written was Chanoah Jap Ngie. He was a Dutch actor with Dutch/Surinamese descent, who played Jan Willem Van Dam, the director. This was interesting. When I attended the premiere of La Soif Sans Precedent Pour La Liberte Du Soldat: Leroy Blanche at Rotterdam Film Festival which previously played separately from the long movie, Chanoah Jap Ngie was there to present this film to the audiences. In the real event outside the film he played a role as a director. And this performance was a part of the whole presentation of the movie at that event.

I saw that in movie construction that had been built by Jan Willem Van Dam, the short one became the bridge between 2 continents. Europe and Asia. It might be because of his effort to free himself from the naïve dream. The very noticeable differences appeared in director’s narrative style when expressing both continents into cinema.

His journey began in Vietnam. The image of typical third world country was so penetrated into this movie.

It was obvious that Vietnam was bigger than him and ate him alive. He couldn’t hold on to his style, which philosophized throughout the narration of European today situation that could never break free from its past. In Vietnam, the director couldn’t refrain from recording the city exotica which full of disorganized system seen from European’s eyes. Indeed, the story in Vietnam made as natural as it could be so it looked like the reality in documentary. Van Dam made a story about a journey of documentary film production, where his searching collided with chaos situation. The country didn’t allow a film produced without the permission from the government. So he made a tourism film. But in fact he couldn’t do it, and still made this very filmic. A Vietnamese location manager who helped him protested. Finally, in the name of democracy, they worked as tourist. Comedy element was included here by putting the crew name subtexts as tourist 1, 2, 3 and so on. They were former cameraman, former sound editor, etc. These fake crews filmed their daily life in Vietnam. The director ran the “act” concept for an actor one more time. Finally, he was frustrated and against a form of democracy which killed him, because he had to listen of everybody’s story. Then he entered the bathroom, crossing his finger and prayed, or complaining more likely, to God, in French.

After that, young Van Dam called his mother and saying goodbye to her, before he went farther, to Indonesia. He freed himself from his mother’s dream. He tried to answer that problem with sub title member in this part: The Island of Honest Acting.

His disbelief in professional actor could be heard through the narrator voice. The story in this small Island also had comedic nuances, where a cottage servant, whom he called “The Master” in the context of honest acting, always did the dialogues written on a piece of paper.

Young Van Dam travelled on small boat alone to tiny Island. There he was welcomed by 2 cottage servants who always talked behind his back about evolution theory which prove that people like them just like a turtle without its shell, the emptiness of life as a servant, modernity, becoming a different person, also about the fear of an artist. The conversations had been done between their duties to serve the guests. What presented actually might be about the acting problem solving itself. Acting was some confusion between seriousness and drunk.

Then young Van Dam left the island. Released by a group of storks. Lying asleep on the boat deck. Hoping that he could sleep for many years, accompanied by peace music which underlay Leroy Blanche’s without precedent liberty. Free from his mother’s dream.

Meanwhile, the mother who didn’t accept that her son had left his dream soon went to find him. But she looked for in the wrong continent just like Christopher Columbus who had never wanted to admit that he had never arrived in India. Logically functional, this loss was a description about Alzheimer the mother had been suffered. It was done with comical approach. The mother wanted to multiply the possibility of finding her son. So, her journey in South American tropical forest always split into 2 frames in one screen.

Slowly she disappeared into new dreams and a friendly form of Alzheimer, thus the narrator explained.

In the end of the story, the dream was made into reality. The narrator, who during two and half hours expressed the director’s inner voice, showed his face. He appeared as a black old man who still went on with the story to his younger friend. Did the dialectic about truth and lie. How illusory those two things are.

Jan Willen Van Dam put his own biography in a film structure through world (political) events, he used metaphor by using a young black boy to play as himself, and then manipulated the audiences with an illusory dream that called cinema.

About the Filmmaker

Jan Willem van Dam is a Dutch independent filmmaker. he has made a number of short and feature-length films including What You Expect From The World Behind You or: Verwar de staat waarin u verkeert (…niet met die van uw omgeving) (Netherlands, 2004, colour, video, 150 mins) and Kakaja Zemla (1992, 20 mins, 16mm). Both were shown at the 2004 Rotterdam International Film Festival.

Je Vis Dan Le Rêve De Ma Mere were shown at the 2011 Rotterdam International Film Festival. At the moment, a retrospective of the director is being held, from 12-15 of September 2012 at Eye Instituut Amsterdam, IJpromenade 1 Amsterdam.  (www.eyefilm.nl).

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search