In Tokoh

Ada begitu banyak gelar yang disematkan padanya: Godfather of Independent Cinema((Weber, Bruce. “Jonas Mekas, ‘Godfather’ of American Avant-Garde Film, Is Dead at 96.” The New York Times, The New York Times, 23 Jan. 2019, www.nytimes.com/2019/01/23/obituaries/jonas-mekas-dead.html.)), High Priest of Underground Film((Macnab, Geoffrey. “Jonas Mekas: An Interview with the High Priest of Underground Film.” The Independent, Independent Digital News and Media, 21 Dec. 2017, www.independent.co.uk/arts-entertainment/films/wine-and-women-high-priest-of-underground-film-jonas-mekass-secret-to-a-long-life-a-dance-with-fred-a8120231.html.)), Guiding Spirit of Independent Cinema,((Hubert, Craig. “Jonas Mekas, a Guiding Spirit of Indie Cinema, Dies at 96.” Hyperallergic, Hyperallergic, 24 Jan. 2019, hyperallergic.com/481568/jonas-mekas-a-guiding-spirit-of-indie-cinema-dies-at-96/.)) The Most Important Cinephile in Film History,((Kohn, Eric. “Jonas Mekas, RIP: Why This 96-Year-Old Legend Was Our Most Important Cinephile.” IndieWire, 24 Jan. 2019, www.indiewire.com/2019/01/jonas-mekas-rip-cinephile-obituary-1202037652/)) (The) Most Important Defender and Promoter of the American Avant-Garde Cinema Movement((Mekas, J., & Smulewicz-Zucker, G. R. (2016). Movie journal: The rise of new American cinema, 1959-1971. New York: Columbia University Press.)) dan masih banyak sebutan bombastis lainnya jika kita telusuri namanya di berbagai kritik dan kajian sinema juga situs pencarian. Sebutan tersebut, walaupun terdengar berlebihan, tentu tidak sembarangan mereka berikan. Jonas Mekas adalah tokoh vital dalam perkembangan pergerakan sinema alternatif di Amerika Serikat yang dampaknya tidak hanya di Amerika Serikat itu sendiri, tapi juga menginspirasi banyak orang di belahan dunia lain yang bergerak di wilayah yang sama.

Lost, Lost, Lost (1976).

Jonas Mekas dikenal dengan karya-karyanya yang berbentuk film-diary. Selain sebagai pembuat filem, Jonas Mekas juga adalah kritikus (mendirikan jurnal Film Culture bersama adiknya, Adolfas Mekas), pengarsip (mendirikan Anthology Film Archives), pengajar di berbagai universitas dan kurator. Dia juga menginisiasi pembentukan distributor filem bernama The Film-Makers’ Cooperative sebagai wadah distribusi filem avant-garde. Di sini kita bisa melihat Jonas Mekas berusaha membuat suatu ekosistem mandiri dan organik terhadap keberlangsungan arus filem alternatif di Amerika Serikat. Jonas Mekas sadar betul bahwa untuk membuat keberadaan filem alternatif tetap berlanjut, dibutuhkan berbagai elemen terkait dari hulu ke hilir. Tidak hanya produksi saja, tapi juga kajian terhadap filem-filem tersebut, distribusi dan pengarsipannya. Hal ini dilakukannya sebagai wacana tanding kultural terhadap bentuk filem yang lebih populer dan konvensional, yaitu filem industri.

Mengapa penting untuk mengajukan wacana tanding terhadap filem industri? Ada satu kalimatnya yang penting untuk dilihat mengenai polemik ini: “We need less perfect but more free films”((Ibid)). Bagi seseorang yang kabur dari kampung halamannya di Lithuania, terperangkap di antara perang Soviet dan Nazi Jerman saat Perang Dunia II, lalu dipenjara sebagai tahanan perang di Jerman, hingga berakhir sebagai imigran di Amerika Serikat, menjadi hidup dan bebas berekspresi menjadi mahal harganya dan harus diperjuangkan. Pandangannya terhadap kebebasan ini melahirkan kerja-kerja aktivisme yang membuatnya tersandung masalah terhadap otoritas. Jonas Mekas menginisiasi penayangan dua filem yang yang dianggap tidak layak tayang karena terbentur standar moral yang ada saat itu. Di tahun 1964 Jonas Mekas ditangkap polisi karena menayangkan Flaming Creatures (Jack Smith, 1963) dan Un Chant d’Amour (Jean Genet, 1950)((Ibid)). Dalam konteks produksi filem, wacana sinema alternatif menjadi penting dalam membawa gagasan kebebasan dalam berkarya, yang tidak terikat dengan sistem produksi filem studio bergaya industri seperti Hollywood. Namun ini juga tidak berarti Jonas Mekas melihat industri dan alternatif sebagai oposisi biner yang berkontradiksi satu sama lain. Di satu sisi, Jonas Mekas juga mengakui bahwa beberapa pembuat filem terbaik adalah sutradara yang bekerja di ranah industri. Dia menganggap Howard Hawks sebagai “dua atau tiga sutradara terbaik Amerika Serikat yang masih hidup”((Ibid)). Sehingga, kita bisa melihat bahwa, walaupun Jonas Mekas mengadvokasikan pembuatan filem di luar ranah arus utama, dia juga melihat sinema sebagai satu keseluruhan tanpa batas moda produksi dan intensi filem tersebut dibuat, filem sebagai medium seni. Tapi, di sisi lain, Jonas Mekas juga menekankan bahwa ada upaya lain dalam pembuatan filem di luar moda konvensional tersebut, seperti disebut juga dalam manifesto 100 tahun sinema yang ditulisnya.((MacKenzie, Scott. Film Manifestos and Global Cinema Cultures: a Critical Anthology. University of California Press, 2014.))

Beberapa tangkapan frame dari Walden (1969)

Serupa dengan kerja-kerja aktivismenya, karya-karya Jonas Mekas juga berusaha untuk keluar dari metode pembuatan filem yang konvensional. Guns of the Trees (1962) adalah karya pertamanya. Filem ini berisi pergolakan terhadap ide-ide yang berkembang saat itu, diceritakan oleh tokoh-tokoh yang hadir silih berganti. Guns of the Trees tidak memliki struktur cerita yang ‘ajeg’, beberapa bagian filem seakan-akan seperti fragmen yang tidak berkaitan dalam narasi filem tersebut. Filem ini jika ingin disederhanakan memiliki sinopsis sepeti ini: seorang perempuan bertemu dengan laki-laki bernama Gregory dan pasangan menikah bernama Ben dan Argus, perempuan yang bernama Barbara ini mengungkapkan bahwa dia ingin mengakhiri hidupnya. Gregory, Ben dan Argus berusaha meyakinkannya untuk tidak melakukan bunuh diri. Barbara tetap pada pendiriannya untuk mengakhiri hidup dengan melompat dari jembatan. Kawannya merasa bahwa mereka telah gagal, namun hidup haruslah berlanjut. Yang perlu ditekankan dalam filem ini adalah bagian saat Barbara hendak melompat. Kita tidak melihat Barbara melompat, tapi kita tahu bahwa dia hendak melakukannya. Jonas Mekas hanya menunjukkan jembatan yang dibidik dari atas dan wajah Barbara yang diterpa angin. Rangkaian bidikan itu ditutup dengan cahaya putih selama beberapa detik dan suara noise yang mensugestikan bahwa Barbara telah mengakhiri hidupnya. Lompatannya tidak diperlihatkan, juga tidak dibicarakan melalui dialog internal. Segalanya terjadi di dalam imajinasi penonton, dan cara ini membuat efek kematian tersebut menjadi teramplifikasikan. Mengapa ini menjadi teramplifikasikan, karena dengan ketidaktampilannya, kematian langsung dibayangkan melewati konteks filem itu sendiri; bayangan tentang kematian terhubung langsung dengan pengalaman personal penonton. Guns of the Trees adalah upaya awal Jonas Mekas dalam merayakan kemanusiaan dan hal-hal kecil yang kita lalui sebagai manusia, namun sering kali abai kita perhatikan.

Guns of the Trees adalah satu dari banyaknya filem yang diproduksi oleh Jonas Mekas. Pada perkembangannya kemudian, Jonas Mekas menemukan bentuk estetika baru yang sesuai dengan visi sinematiknya. Untuk melihat bentuk estetika sinema yang diusung oleh Jonas Mekas ini, kita bisa ambil contoh beberapa filem yang dirasa cukup mewakilkan, yaitu Walden (1969), Reminiscences of a Journey to Lithuania (1971-72), Lost Lost Lost (1976), As I Was Moving Ahead Occasionally I Saw Brief Glimpses of Beauty (2000), Correspondence: Jonas Mekas – Jl Guerin (2011) dan Sleepless Nights Stories (2011). Pemilihan sampel ini tentu bukan berarti menggeneralisasikan karya-karya lainnya, juga tidak berarti karya yang tidak disebut sebagai ‘tidak lebih penting’ dari yang disebutkan, tetapi karya-karyanya yang disebutkan di atas adalah filem yang sudah saya tonton. Mengingat begitu banyak filem yang dia buat, akan memakan waktu yang sangat banyak bila harus menonton semua filem-filemnya sebelum menulis artikel ini.

Hollis Frampton, Peter Kubelka, Jonas Mekas, Ken Jacobs, dan Flo Jacobs saat pembukaan Anthology Film Archives. Foto oleh Gretchen Berg.

Tidak seperti Guns of the Trees, kesemua filem yang disebutkan di atas adalah filem-filem personal; Jonas Mekas melakukan perekamannya sendiri dengan kamera 16mm dan 8mm. Bidikan yang dibuatnya ekspresif, tapi juga impresionistik dan intuitif. Dia lebih menekankan pada pergerakan gestural dan perpindahan ritmik. Jonas Mekas melakukan beberapa manipulasi gambar untuk menciptakan efek tekstural dalam filem, entah itu memainkan kecepatan frame, potongan gambar yang berlangsung cepat bersamaan dengan suara dan musik yang didistorsikan dan berbagai manipulasi gambar dan suara lainnya. Kamera di tangannya bertindak seakan-akan sebagai pena (“stylo” bila merujuk Alexandre Astruc).((“THE BIRTH OF A NEW AVANT-GARDE: LA CAMERA-STYLO.” New Wave Film.com | French New Wave / Nouvelle Vague and International Cinema of the 1950s, 60s, and 70s, www.newwavefilm.com/about/camera-stylo-astruc.shtml.)) Potensi filem sebagai alat untuk mengungkapkan ekspresi diri tergunakan secara maksimal. Pengungkapan ekspresi inilah, baik secara visual, suara, maupun intertitles yang menciptakan efek puitik. Durasi dalam filem-filemnya tidak berbentuk horizontal, yang artinya waktu tidak diisi dengan rangkaian cerita-cerita yang memiliki tujuan, dari awal dan akhir, seperti melintas dari titik A, ke B menuju C, hingga berakhir di Z. Durasi dalam filem Jonas Mekas bisa kita bayangkan berbentuk vertikal, yang berarti waktu terinternalisasikan dalam diri masing-masing orang yang hadir di filem. Durasi mengungkapkan permukaan yang lalu menampakkan kedalamannya. Fragmen peristiwa yang terekam itu tidak bertindak sebagai awalan atau akhiran cerita tokoh-tokoh yang tampak di filem, tetapi lebih sebagai perekaman keseharian yang tidak memiiki tujuan awal dan akhir. Kita mengenali mereka yang muncul dari apa yang dilakukannya sepanjang durasi filem, bukan tujuannya. Proses tersebut terlihat dari orang-orang yang tampil dari waktu ke waktu. Kita bisa merujuk orang-orang yang hadir di filemnya itu (seperti Adolfas Mekas, Ken Jacobs dan terutama Jonas Mekas sendiri) ketika mereka muncul berulang kali di sebuah filem dan saat mereka hadir lagi di filemnya yang lain.

Karya-karyanya bisa dikatakan autobiografi yang menceritakan berbagai segmen dalam hidupnya. Bagian-bagian yang terekam ini, bisa jadi tidaklah signifikan untuk publik karena sangatlah subjektif, seperti pernikahan sahabatnya, pergi piknik bersama keluarga, hingga keseharian bersama anak-anaknya. Namun, beberapa juga sangatlah signifikan mengingat banyaknya tokoh terkenal yang sudah memiliki posisi dalam kultur kontemporer saat itu terekam di kameranya, seperti: perekaman konser pertama Velvet Underground, adegan wawancara Yoko Ono dan John Lennon di kasur dan pertemuannya dengan berbagai tokoh seperti Andy Warhol, Allen Ginsberg dan Ken Jacobs. Awalnya saya melihat ada kemungkinan Jonas Mekas ‘menunggangi’ kawan-kawannya yang terkenal ini untuk membuat filem-filemnya menjadi penting bagi publik, tapi belakangan setelah saya nonton kembali filemnya, praduga ini sepertinya tidak terbukti. Orang-orang yang direkamnya, baik itu terkenal ataupun tidak, memiliki nilai yang sama. Tidak terlihat apakah tokoh yang lebih terkenal memiliki durasi perekaman yang lebih panjang atau lebih banyak dibidik ketimbang yang tidak terkenal. Mereka masuk ke dalam filemnya sebagai kawan, bukan sebagai orang yang dikuntit seakan-akan Jonas Mekas adalah paparazi.

Jonas Mekas di depan Anthology Film Archives. Foto oleh Hollis Melton.

Filem-filemnya setelah peralihan abad menggunakan medium video, seperti Correspondence: Jonas Mekas – Jl Guerin dan Sleepless Nights Stories. Manshur Zikri dalam tulisannya yang berjudul “Jonas Mekas adalah Sekarang”, menuliskan bahwa Jonas Mekas adalah seniman yang “tangkas menanggapi gejala-gejala ter-kontemporer”.((Zikri, Manshur. “Jonas Mekas Adalah Sekarang.”, Jurnal Footage, 8 Mar. 2018, jurnalfootage.net/v4/jonas-mekas-adalah-sekarang)) Baginya, cara berpikir dan kedisiplinan Jonas Mekas bisa jadi teladan untuk seniman kontemporer sekarang dalam melihat berbagai perkembangan medium gambar bergerak saat ini. Dan pola pikir itu terrefleksikan di filem-filem format video-nya.

Pada saat proses pembuatan filem Golden Memories: Petite Histoire of Indonesian Cinema (2018) yang saya buat bersama dua kawan, Syaiful Anwar dan Mahardika Yudha (yang pernah berbicang langsung dengan Jonas Mekas saat di Tampere 2007),((Rancajale, Hafiz. “Arsip Kebudayaan Jonas Mekas.”, Jurnal Footage, 17 Apr. 2012, jurnalfootage.net/v4/arsip-kebudyaan-jonas-mekas/.)) nama Jonas Mekas sering terucap dalam perbincangan kami saat proses penyuntingan filem. Bagi kami, filem-filemnya menjadi semacam rujukan dasar terhadap apa itu filem keluarga, yang memiliki kemungkinan untuk bertransformasi menjadi bentuk seni yang berbeda filem-filem lain dan lalu kami coba refleksikan kembali ke dalam filem yang kami buat.

Melihat kembali filem-filemnya, kegiatan aktivismenya, serta pandangannya terhadap dunia, bagi saya apa yang dilakukan Jonas Mekas adalah upaya untuk merayakan kehidupan. Hidup, seberapa pun getirnya, memiliki rongga-rongga yang saling bertalian dengan kebahagiaan. Sinema adalah salah satu cara untuk merayakan kilasan kegetiran dan kebahagiaan tersebut yang terjadi silih berganti. Saya ingin mengulang kembali ‘mantra’ yang diucapnya di filem Walden sebagai penutup tulisan ini “I live, therefore I make films. I make film, therefore I live. Life. Movement. I make home movies, therefore I live. I live, therefore I make home movies.”

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search