In Editorial [Lampau]

Akhir tahun merupakan pesta raya perfileman kita. Berbagai festival dengan skala besar digelar dalam waktu satu bulan ini. Dimulai Festival Film Pendek Konfiden pada 19-22 November 2009. Kemudian diikuti Jakarta International Film Festival 2009 (Jiffest) pada 4-12 Desember 2009. Lalu Festival Film Dokumenter (FFD) Yogyakarta pada 6-12 Desember 2009. Pada 12 Desember 2009, juga berlangsung HelloFest di Jakarta. Festival ini menampilkan karya-karya filem pendek, animasi dan pesta kostum karakter. Dan, yang paling meriah adalah Festival Film Indonesia (FFI) pada 16 Desember 2009.

Pesta raya ini mencerminkan gegap-gempita dunia perfileman Indonesia masa kini. Selain beberapa festival tersebut, ada juga gelaran festival skala kecil yang dilakukan di berbagai daerah di Indonesia sepanjang tahun. Gelaran-gelaran ini menjadi kepingan peristiwa penting dalam warna-warni perfileman kita. Lalu, apa yang bisa kita tangkap dari berbagai festival filem di akhir tahun ini?

Festival Fim Pendek Konfiden 2009 telah berlangsung dan memberikan gambaran bagaimana situasi filem pendek masa kini. Beberapa karya berkualitas muncul dalam gelaran di Taman Ismail Marzuki ini, tentu dengan beberapa catatan tentang bagaimana festival ini bisa membawa pewacanaan filem pendek Indonesia di tengah arus besar produksi filem cerita panjang sekarang.

Jakarta International Film Festival  2009 (Jiffest), berlansung di Blitz Megaplex, Grand Indonesia, Jakarta. Seperti gelaran sebelumnya, festival kali ini menampilkan beberapa karya internasional terpilih sebagai gambaran perkembangan sinema dunia. Juga diadakan kompetisi untuk filem-filem lokal. Tidak terlalu banyak filem yang dapat masuk ke ajang kompetisi ini, di antara puluhan filem produksi satu tahun belakangan. Jiffest memberikan predikat sutradara terbaik kepada Edwin, sutradara muda berbakat kita, dengan filemnya Babi Buta yang Ingin Terbang (2008). Edwin adalah angin segar dalam dunia perfileman kita yang saat ini didominasi oleh kepentingan korporasi komersial.

Pada saat Jiffest berlangsung, FFD juga digelar di kota Gudeg Yogyakarta. Festival ini telah mulai berkembang menjadi festival berskala internasional dan regional dengan menampilkan beberapa karya terpilih dari beberapa negara. Isu sosial dan politik tetap menjadi presentasi utama dalam gelaran tahunan ini. Tema festival tahun ini: Politik: Up Close and Personal. Kita bisa berharap banyak kepada FFD ke depan. Dengan memasukkan tema-tema aktual, suatu saat festival ini akan menjadi barometer perkembangan filem dokumenter di level internasional.

Kemudian ada HelloFest 2009 yang diadakan di Balai Kartini Jakarta. Festival yang mengusung kreatifitas anak muda perkotaan sebagai isu utamanya ini, semakin menarik perhatian publik dengan penggabungan presentasi karya filem pendek dengan aktualisasi komunitas dan penonton dengan penampilan kostum-kostum karakter yang dikenal di komunitas penggemar animasi dan kartun karakter. Dengan kemasan pesta anak muda perkotaan, festival ini memberikan gambaran tentang ‘creative people’ saat ini yang dimotori oleh anak muda. Meski demikian, festival ini masih banyak kekurangan. Persoalan mengembangkan alam ‘pikiran’ dunia filem pendek dan animasi di Indonesia, masih jauh dari harapan. Festival ini masih berada di tahap kumpul-kumpul penggemar animasi dan filem pendek kelompok-kelompok tertentu.

Puncak perhelatan dunia perfileman di Indonesia adalah FFI 2009 yang diadakan oleh Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N). FFI 2009 memilih Identitas sebagai karya terbaik, sekaligus menempatkan Arya Kusumadewa sebagai sutradara terbaik. Dari gambaran nominasi FFI tahun ini, sineas dari Masyarakat Film Indonesia (MFI) masih memboikot festival. Menanggapi boikot ini, Tio Pakusadewo, yang terpilih sebagai aktor pemeran  pria terbaik FFI 2009 menyatakan, “Semangat belajar mereka bagus tapi kalau enggak punya kerendahan hati repot. Untuk Masyarakat Film Indonesia, cobalah buat festival yang selevel FFI, jangan cuma ngomong aja. Buatlah yang lebih baik. Saya setuju protesnya, tapi tunjukkan hasil kerjanya juga.”

Pernyataan Tio perlu kita pandang dengan jernih. Bagi kami, keyakinan tetap ada pada sineas-sineas MFI yang bekerja untuk memperjuangkan hak dan kewajiban masyarakat filem di level kebijakan maupun akar rumput. Mungkin Tio tidak pernah tahu bahwa komunitas-komunitas filem di daerah, terus berkarya dan bertarung. Hal ini tidak pernah terjangkau oleh arus besar perfileman nasional. Belum lagi di level internasional, yang tidak perlu digembar-gemborkan sebagai mewakili Indonesia, sebab toh mereka membawa nama Indonesia di badannya. Inilah yang tidak pernah dimengerti oleh para pengambil kebijakan. Dunia filem bukanlah pertarungan seremonial seperti FFI, namun lebih merupakan pertarungan kebudayaan yang mencakup berbagai lapisan di dalamnya. Jika kita masih berkutat pada persoalan seremonial festival, maka apa yang kita khawatirkan nantinya benar-benar menyata: diskursus kebudayaan akan tergerus dan tergantikan oleh sebatas kumpul-kumpul sosialita yang memamerkan gemerlap perhiasan.

Kita berharap, semoga tahun depan segalanya akan lebih baik.

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search