In Kronik

Mingguan SIASAT, No. 411/Tahun IX, 24 April 1955, halaman 23 & 27 

Apabila sesudah Dosa Tak Berampun (1950) kita melepaskan kritik pada hasil seni filem Indonesia hingga kini, maka dengan cemas terpaksa kita bertanya, ‘apakah pertumbuhan seni filem Indonesia mencapai puncaknya di tahun 1950 ini?’.

Memang banyak kemajuan yang dicapai filem-filem kita. Kemajuan teknik seperti dalam Leilani (Tabu) (1953), Rela (1954), dan lain-lain; kemajuan permainan pemain seperti dalam Krisis (1953), Pulang (1952), dan lain-lain. Tapi secara keseluruhan, filem-filem Indonesia lebih banyak merupakan rangkaian gambar indah. Selebihnya tidak berkata apa-apa, baik dalam bahasa filem maupun seni dramanya.

Agaknya menjadi suatu cita-cita yang terlalu tinggi untuk berharap banyak dari dunia filem kita. Toh yang sudah terlibat begitu dalam pun banyak mengalami kesulitan, seperti tajamnya guntingan sensor yang melumpuhkan sama sekali daya cipta sang sutradara, sengitnya persaingan dengan filem-filem impor, banyaknya kaum produser yang menghitung pembuatan filem hanya dalam ukuran debet-kredit neraca keuntungan daripada dalam nilai kebudayaan dan lain-lain.

Maka apabila ditengah kerumitan kesulitan itu ada satu-dua filem yang mendekati cita-cita filem kita, maka sepatutnya kita berikan penghargaan dan perhatian setinggi-tingginya. Salah satu filem yang kami maksud itu ialah Lewat Djam Malam. 

Pelukisan Cerita

Tema cerita seputar pada kekecewaan seorang bekas pejuang dalam usaha kembali ke masyarakat. Kekecewaan atas pengalaman yang dirasakannya begitu jauh menyimpang dari cita-citanya semula sehingga memudarkan kepercayaannya pada sesama manusia. Kepercayaan yang akhirnya ditemukan kembali dalam diri sang kekasih yang setia menanti, dimana dipangkuannya sang tokoh menemui kedamaian abadi, tewas tertembak dan mati karena melanggar lewat jam malam.

Lewat Djam Malam

Lewat Djam Malam

Apabila kita ikuti pelukisan cerita ini dari penulis skenario (Asrul Sani) dalam bentuk filem, maka kita bisa membaginya menjadi lima babak: Babak pertama: Kembalinya bekas pejuang Iskandar (Alcaff) ke kota, tapi dengan kenangan yang tertambat pada kelampauan. Babak kedua: Rasa haru atas kesetiaan sang kekasih, Norma (Netty Herawaty) yang mendorongnya untuk menyesuaikan diri dengan irama kehidupan kini. Babak ketiga: Kekecewaan yang dialami dalam usahanya menyesuaikan diri dan kesadaran bahwa kenyataan jauh menyimpang dari apa yang diimpikannya. Babak keempat: Hasrat dan perbuatan membuat perhitungan dengan pemimpin palsu (Rd. Ismail) yang telah mengkhianati cita-cita perjuangan dengan jalan membunuhnya. Babak kelima: Teman-teman yang berpaling akibat pembunuhan itu, serta pudarnya kepercayaan pada sesama manusia sebagai puncak kekecewaannya. Tapi akhirnya ia menemukannya kembali pada diri kekasih yang tetap setia menanti dan dipangkuannya itulah ia memasrahkan diri pada kepercayaan yang fitri.

Adalah suatu keuntungan ketika menerjemahkan skenario ke dalam bentuk filem, penulis skenario dan sutradara (Usmar Ismail) telah bertindak sangat efisien dengan membuang segala franjes [embel-embel], sehingga dapat dihindarkan sifat bertele-tele seperti yang sering kita temukan dalam filem-filem kita. Dialog-dialog dibatasi seperlunya bahkan pada beberapa adegan dilukiskan sangat filemis (adegan-adegan di kantor yang melukiskan kesibukan yang membuat Alcaff pusing, kesangsian Alcaff membunuh keluarga yang tak bersalah, dan lain-lain).

Adegan Pembunuhan Keluarga Tak Bersalah

Adegan Pembunuhan Keluarga Tak Bersalah

Adegan di Kantor

Tema, konflik dan penyelesaian terpenuhi dalam cerita ini. Dan pelukisan cerita (verhaal uitbeelding) pun telah disusun baik oleh penulis skenario. Persoalannya, apakah para pemain mampu mendukung peran yang diinginkan oleh pengarang cerita?

Pemain Filem

Watak sentral dalam cerita ini dipegang oleh Iskandar (Alcaff). Pemain lainnya mempunyai fungsi untuk menumbuhkan watak sentral ini sesuai dengan arah haluan cerita.

Sebagai peran yang dekat dengan Alcaff kita jumpai kekasihnya, Norma (Netty Herawaty). Norma menurut rancangan [opzet] cerita, melukiskan tokoh wanita yang setia penuh kasih yang tumbuh menjadi tipikal perempuan ideal, lambang optimisme dan sangat menjunjung tinggi kemanusiaan. Untuk itu diperlukan gaya ekspresif dan mimik yang mampu menghadirkan ketenangan dan kedamaian. Suatu syarat yang menurut kami, Titi Savitri[1] lebih mampu daripada Netty.

Apabila di adegan terakhir, pengarang cerita ingin meletakkan penyelesaian pada diri Netty sebagai lambang dari keyakinan dan optimis –jadi kira-kira sederajat dengan sang bayi dalam filem Rashomon[2]– maka sangat disayangkan hal itu tidak terlukis pada Netty. Sehingga akibatnya menjadi fatal. Kesan yang diakibatkan dari adegan terakhir menjadi suatu tragedi, pesimis, dan tidak seperti yang dimaksudkan oleh pengarang.

Adegan Terakhir

Adegan Terakhir

Adegan Terakhir

Adegan Terakhir

Berbeda dengan pemain yang berhasil melukiskan perannya adalah Dhalia sebagai Laila. Kalau kami tak salah memaknai, maka Dhalia membawa peran seseorang yang tenggelam dalam lumpur masa lampau dan sangat sukar menempatkan dirinya di hari ini. Populernya, peran itu mengarah pada tokoh Shirley Booth dalam Come Back, Little Sheba[3]. Tapi apa yang diperankan Dhalia adalah tokoh wanita yang bimbang [ontwricht], yang dungu [imbeciel], seperti Vivien Leigh dalam Streetcar Named Desire [disutradarai oleh Elia Kazan]. Kalau memang ia memerankan tokoh yang bimbang dan dungu maka ia telah main dengan baik. Tapi kami khawatir bahwa sutradara telah salah tafsir. Sebab peran Dhalia yang seperti itu tidak memiliki hubungan fungsional dengan keseluruhan cerita sehingga ia ‘tergantung’ diluar cerita. Dan kalau dalam buku program dikatakan bahwa Alcaff menemukan sosok dirinya pada Dhalia, maka sia-sialah kita mencari adegan yang melukiskan hal itu.

Laila

Awalludin sebagai bekas pejuang kawan Alcaff, tetapi pandai menyesuaikan diri kembali ke masyarakat, telah memainkan perannya dengan baik. Awal adalah contoh bagaimana seorang pemain filem bisa bermain baik asal dipimpin oleh sutradara yang baik dan . . . apabila bersedia dipimpin.

Sebab tidaklah selalu demikian halnya dengan pemain-pemain filem yang lain, seperti Aedy Moward dan Titien Soemarni. Mereka hanya memiliki fungsi sebagai unsur periang [ontspannings elements] dalam filem yang serba tegang ini. Tapi apa yang dibawakan oleh Aedy dan Titien adalah permainan dengan derita [pathos] yang melewati batas fungsinya sehingga mengakibatkan kaburnya fungsi peran mereka dalam keseluruhan filem. Bahkan tak berguna [overbodig] sama sekali. Tapi mungkin mereka memang disiapkan sebagai daya jual [trekpleister] yang mampu menarik banyak penonton. Entahlah.

Unsur keriangan yang tidak berhasil dibawakan Aedy dan Titien justru terlihat dalam peran Bambang Hermanto. Bambang adalah kebalikan dari Awal. Apabila Awal cepat menyesuaikan diri, sedangkan Bambang (juga bekas pejuang) adalah tokoh yang bingung [onevenwichtig], sukar menyesuaikan diri, mudah terbawa arus hidup yang tak karuan seperti judi dan lain-lain. Tapi apa yang diperankan Bambang cenderung seperti badut. Walaupun dalam beberapa adegan (di warung kopi misalnya), Bambang memperlihatkan permainannya yang baik. Bahkan terkadang mendominasi permainan [overvleugelen] Alcaff.

Adegan Warung Kopi

Raden Ismail sebagai pemimpin palsu juga sangat sadar dan menguasai permainannya [beheersd]. Kita telah melihat Rd. Ismail dalam filem-filem yang lain, seperti Puteri dari Medan [1954, Surjosumanto], Dosa Tak Berampun [1951, Usmar Ismail], Baron Subroto [sandiwara], dan kini Lewat Djam Malam. Di semua filem itu telah menunjukkan kemampuan menempatkan dirinya dalam tokoh yang diperankan.

Suatu hal yang sukar dikatakan ada pada Alcaff. Alcaff telah bermain dengan sungguh-sungguh. Perannya adalah yang terberat. Tetapi suatu kelemahan pada diri Alcaff yaitu tidak bisa menempatkan seluruh dirinya pada peran yang dimainkan. Permainan Alcaff dalam Dosa Tak Berampun, sandiwara Perantauan dan kini dalam Lewat Djam Malam adalah tipikal Alcaff yang sama. Maka persoalan pada permainan Alcaff telah diatasi dalam beberapa adegan oleh pemeranan lawan-lawannya, seperti adegan di kantor importir oleh Rd. Ismail dan di warung kopi oleh Bambang Hermanto. Betapapun baik permainan Alcaff, kita mengharapkan permainan yang lebih baik sejak Dosa Tak Berampun-nya lima tahun yang lalu.

Adegan Menjelang Pembunuhan

Peranan Sutradara

Tetapi semua catat-cela pemain filem itu harus dikembalikan lagi pada peran sutradara, Usmar Ismail. Karena sutradara lah (yang seharusnya), seorang ‘diktator’ dan pemimpin dalam pembuatan filem ini. Agaknya Usmar agak segan untuk menarik kendalinya dengan tegas dalam menghadapi pemain-pemain filem –yang bagi dunia filem kita tergolong sebagai pemain-pemain yang baik– sehingga terjadi penyimpangan-penyimpangan permainan seperti di atas.

Pada beberapa adegan yang sangat memerlukan kontrol sutradara [massaregie], maka dapat kita catat beberapa kecerobohan yang tidak perlu ada. Adegan pesta umpamanya, terlalu sunyi dari keriangan, sedangkan para figurannya seperti terlalu diberi kebebasan untuk berebutan di depan fokus kamera.

Adegan Pesta

Dan dari awal cerita hingga akhir sia-sia saja kita mencari iringan musik (Tjok Simsu) seperti di filem Dosa Tak Berampun yang begitu bernada [suggestief] serta mengiring. Mengapa disini tercatat kemunduran?

Juga dalam permainan kamera (Max Terra) tak ada cara-cara baru yang kami lihat dalam pengambilan shooting atau komposisi gambar. Mengapa?

Walaupun demikian Usmar telah menggunakan semua bahan yang tersedia dengan maksimal untuk membuat filem ini secara baik.

Dan sengaja tidak kami singgung disini kekurangan teknis filem ini. Apabila PFN sedikit mempunyai loyalitas maka bisa dihindari para pekerja filem yang membanting-tulang di studio-laboratorium Perfini selama empat hari empat malam untuk merampungkan filem tersebut untuk mengejar penayangan perdana. Sayang sekali bahwa dalam proses pembuatan filem yang begitu elok ini, kita masih harus berbenturan dengan sikap kekanakan para produser yang saling memboikot.

Kami pulang menonton dengan rasa tenteram di hati. Tenteram akan kesadaran bahwa pertanyaan pesimis yang kami ajukan dengan penuh kecemasan pada permulaan tulisan ini tidak beralasan.

Dengan begitu, sesudah Dosa Tak Berampun, dunia filem kita melangkah satu langkah. Walaupun untuk tahun ini kita menunggu dengan cemas…..


[1] Titi Savitri banyak bermain dalam filem-filem buatan Usmar Ismail seperti Dosa Tak Berampun (1951) dan filem-filem Djajakusuma seperti Embun (1951).
[2] Filem Rashomon karya Akira Kurasawa diedarkan di bioskop-bioskop Indonesia pada awal 50an. Filem ini banyak dibicarakan oleh kalangan filem hingga politikus di kala itu.
[3] Permainan aktris Shirley Booth dalam filem Come Back, Little Sheba (1952) yang disutradarai oleh Daniel Mann juga banyak dibicarakan dan menjadi semacam ‘gaya’ yang populer yang menginspirasi banyak pemain filem di Indonesia tahun 50an.

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search