In Artikel

KLIMAKS IRON BUTTERFLIES baru terasa—setidaknya oleh saya sendiri—pada saat sepuluh menit sebelum film ini berakhir, yaitu dalam sebuah adegan (dengan bidikan kamera tegak lurus dari arah atas) yang memperlihatkan sejumlah benda kecil berbentuk dasi kupu-kupu1, tampaknya berbahan besi, diletakkan di atas sebuah wadah yang ditaburi semacam serbuk logam. Tangan seorang anak kecil memain-mainkan benda tersebut; menyusunnya menjadi satu saf, atau menumpuknya menjadi menara. Di tengah-tengah keasyikan si anak, tiba-tiba saja serbuk itu ditingkahi suatu daya magnetis dan bereaksi liar terhadap besi-besi berbentuk dasi kupu-kupu yang ada di dekatnya

Cuplikan dalam "Iron Butterflies" karya Roman Liubyi. © Andrii Kotliar/Babylon 13/Rise and Shine.

Tangan si anak kecil berusaha menahan gerak tak menentu benda-benda di atas wadah itu, sampai akhirnya muncul sekelebat foto benda logam lainnya dengan bentuk yang mirip dasi kupu-kupu pula—jika sedang menonton film ini dari awal, kita akan tahu itu adalah foto pecahan peluru kendali. Suara denting logam dan besi di atas wadah menguatkan nuansa dramatik adegan (yang tersusun dengan beberapa jump-cut); membuat kita ngilu, memicu interpretasi tentang hal yang menggelisahkan, juga mencekam.

Adegan itu seakan menjadi “inti fiksional” mengenai momok dan trauma yang dihadirkan oleh subjek utama yang menjadi lokus sinematik dalam investigasi berbasis media yang dilakukan Roman Liubyi: pecahan peluru logam berbentuk kupu-kupu yang ada di dalam rudal BUK,2 barang bukti yang padanya judul film ini merujuk baik secara harfiah maupun puitik.

Setelah foto pecahan peluru menghilang, kita perlahan disuguhkan gambar tabel manifes (dokumen jasa angkutan yang berisi daftar kargo) milik maskapai Malaysia Airlines, bertanggal 17 Juli 2014. Manifes ini memuat informasi bahwa pesawat MH17 dijadwalkan terbang dari Bandara Schiphol Amsterdam, Belanda, menuju Bandara Internasional Kuala Lumpur, Malaysia. Salah satu objek yang terdata di dalam manifes penerbangan itu adalah empat ekor burung merpati balap.

Adegan kemudian berganti: bidikan kamera—sepertinya ditaruh di atas koper—bergerak menyusuri jalur konveyor bandara. Menyusul setelahnya, gambar animasi (bergaya child art) yang mengilustrasikan bagaimana sebuah sangkar berisi unggas diangkut ke dalam sebuah pesawat sebelum lepas landas. Tak lama kemudian, saat terbang di langit, pesawat itu diserang oleh objek-objek hitam (yang bentuknya juga menyerupai dasi kupu-kupu) hingga hancur berkeping-keping; bagian-bagiannya jatuh ke ladang bunga matahari.

Animasi masih berlanjut: sesosok figur (yang terlihat lebih mirip zombi daripada manusia) memungut benda-benda yang tersisa di antara puing-puing, termasuk sangkar berisi unggas itu, dan membawanya pulang. Lalu, layar menjadi gelap.

Unggas yang diceritakan dalam adegan animasi itu merujuk kepada empat ekor burung merpati balap yang terdata di dalam manifes, yang turut menjadi korban mati—bersama semua penumpang dan kru pesawat—dalam insiden meledaknya MH17 sembilan tahun silam. Dan hari ini, banyak orang meyakini (termasuk pembuat film sendiri) bahwa sistem rudal BUK milik Rusia-lah yang telah menembak jatuh pesawat tersebut ketika transportasi udara tipe Boeing 777-200ER itu melintas di atas wilayah timur Ukraina.

***

Iron Butterflies (2023) adalah sebuah film dokumenter hibrida berdurasi 84 menit karya sutradara Ukraina, Roman Liubyi. Di bawah ko-produksi negara Ukraina-Jerman, film ini menjadi rilisan terbaru Babylon’13, sebuah kolektif di Ukraina yang berdiri sejak tahun 2013, yang di dalamnya Liubyi juga aktif sebagai salah satu anggota.

Tayang perdana secara internasional pada tahun ini di Sundance Film Festival (Amerika Serikat), Iron Butterflies juga telah ditayangkan di sejumlah festival film internasional lainnya, seperti Berlin International Film Festival dan DOK.fest München (Jerman), Thessaloniki Documentary Festival (Yunani), Movies that Matter Festival (Belanda), DokuFest International Documentary and Short Film Festival (Kosovo), Warsaw International Film Festival (Polandia), DocAviv – The Tel Aviv International Documentary Film Festival (Israel), Global Cinema Film Festival of Boston (Amerika Serikat), Bildrausch Film Festival (Swiss), dan Doc Edge Film Festival (Selendia Baru). Film ini pun mendapat penghargaan RIGHTS NOW! dari DocuDays UA International Human Rights Documentary Film Festival (Ukraina) sebagai dokumenter terbaik yang menarasikan contoh-contoh paling relevan di masa kini mengenai perjuangan hak asasi manusia.

Cuplikan dalam "Iron Butterflies" karya Roman Liubyi. © Andrii Kotliar/Babylon 13/Rise and Shine.

Iron Butterflies juga menjadi salah satu film utama yang dipresentasikan di KinoFest, sebuah festival yang menghadirkan film-film Jerman. Sebagai sebuah program besar Goethe-Institut, ruang lingkup penyelenggaraan KinoFest terbilang cukup luas dan panjang, yaitu mencakup berbagai lokasi di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Myanmar, Vietnam, Timor Leste, dan Selandia Baru selama bulan September hingga November. Khusus di Indonesia, KinoFest berlangsung dari tanggal 21-27 September 2023 di GoetheHaus Jakarta, dan Iron Butterflies dijadwalkan tayang di negeri kita pada tanggal 26 September.3

Mengingat bahwa tahun ini adalah tahun pelaksanaan luring pertamanya di masa pandemi, KinoFest terbilang taktis dalam merespon fenomena dan situasi dunia kontemporer karena menghadirkan kuratorial yang dibungkus dengan tiga kata kunci tematik: Interkoneksi, Imigrasi, dan Keterikatan. Masalah-masalah global yang mencakup persoalan konflik bersenjata, kesehatan masyarakat, dan krisis iklim berkait jalin dengan fenomena adu kekuatan berbasis media yang melaluinya kondisi aktual dari relasi kekuasaan dan keadilan mengalami suatu spektakularisasi dan terus-menerus menjadi bahan utama disinformasi. Menimbang latar isu yang dibawa dalam narasinya, Iron Butterflies bisa dibilang merupakan salah satu sajian paling penting dari festival ini untuk merefleksikan bagaimana praktik kekerasan lintas negara telah dipupuk dengan praktik kebohongan global, sedangkan kebohongan itu sendiri merupakan anak tangga yang melanggengkan pewacanaan kekerasan. Hubungan resiprokal dari kedua tindakan kejahatan ini, faktanya, telah menyelimuti kehidupan masyarakat antarnegara dengan horor politik dan sentimen teritorial.

***

Berbeda dengan dokumenter pada umumnya yang berbasis pendekatan jurnalistik, Iron Butterflies lebih bersifat eksperimental dalam menginvestigasi kasus seputar jatuhnya pesawat MH17. Hal itu terutama karena penekanan gaya ungkapnya yang menghibridisasi fiksi ke dalam bahasa-bahasa performatif untuk dihadirkan di antara rentetan rekaman-rekaman faktual yang telah dipilih dan dipilah menjadi elemen strukturalnya. Film ini mengkolase arsip-arsip audiovisual, baik yang berasal dari lembaga resmi dan media massa, maupun dari koleksi pribadi aparat militer dan sipil, bahkan rekaman-rekaman gawai pintar yang diambil warga biasa. Rekaman-rekaman itu lantas dipadupadankan dengan adegan-adegan rekaan berorientasi fiksi, tetapi merujuk kepada imajinasi kritikal sekaligus sinikal tentang apa yang terjadi pada insiden penembakan pesawat serta dampaknya di masa pascakejadian.

Cuplikan dalam "Iron Butterflies" karya Roman Liubyi. © Andrii Kotliar/Babylon 13/Rise and Shine.

Namun, bukan dengan gaya narasi konvensional, adegan-adegan fiksi di dalam film ini dikonstruksi menjadi semacam pertunjukan yang lebih kental dengan nuansa teatrikal. Bagaikan menelusuri ragam informasi dalam lembaran-lembaran arsip yang dipenuhi dengan banyak bab, “fiksi performatif” Liubyi—yang tampil dengan warna hitam-putih—seakan berperan menjadi semacam jeda, semicolon, atau justru catatan kaki, yang memberikan penonton ruang reflektif untuk memaknai data-data faktual yang telah dipaparkan. Gelagat puitik seperti itu, sebagaimana yang diakui oleh sutradaranya sendiri, mengikuti jejak-jejak wacana film eksperimental dari tradisi yang telah berkembang di dalam kancah pergerakan sinema politis Ukraina, khususnya di ranah non-arus utama.4

Di samping memperlihatkan informasi-informasi alternatif yang sering kali mengejutkan, pengkonstruksian yang dilakukan Liubyi atas data-data audiovisual tersebut, untuk mencapai sudut pandang berbeda dalam menguak misteri MH17, ternyata turut mempertegas situasi bermedia kita hari ini: signifikansi dari kontinuitas konten telah digeser oleh sebuah potensialitas dari penyajian fakta-fakta arbitrer. Inilah sebuah cara yang melaluinya perluasan peluang untuk memahami kerja sistematis dari praktik “pengalihan politik”, “karnivalisasi fakta”, “mistisisasi dan mistifikasi informasi”, dan “politik disinformasi” dapat dimungkinkan, atau bahkan direalisasikan, menjadi sebuah langgam sinematik tertentu yang menolak model pembingkaian yang kaku, sepihak, dan bias kepentingan.

Bagaimanapun, perlu disadari bahwa latar belakang Liubyi sebagai anggota Babylon’13, sebuah kolektif yang mengemban ideologi politik revolusioner dan, terutama, merupakan oposisi radikal terhadap politik propaganda Rusia, sehingga tujuan dari film ini sejak awal memang kentara ingin menuding dan mendakwa otoritas Rusia sebagai dalang utama penyebab kematian 283 penumpang dan 15 awak pesawat MH17. Akan tetapi, di film ini, penonton tetap disuguhkan sudut pandang media arus utama yang pro pemerintah, yang dengannya justru secara perlahan memperlihatkan bagaimana klaim-klaim bohong otoritas tersebut dapat terbangun menjadi wacana politik. Film ini memang tidak menciptakan perubahan dan memberikan dampak langsung terhadap muslihat metanarasi yang tengah berlangsung, terutama dalam kaitannya dengan isu konflik Ukraina-Rusia, tetapi paling tidak ia berupaya menegaskan bahwa terdapat suatu praktik kekerasan yang diakumulasi dengan kebohongan skala besar yang memengaruhi tatanan sosial masyarakat Eropa dan dunia. Dengan posisi yang demikian, film ini menawarkan harapan, kalau bukan peringatan, tentang nasib manusia di masa depan di tengah-tengah konflik antarnegara.

***

Di film ini, Liubyi menyertakan rekaman-rekaman pengadilan terkait kasus penembakan pesawat MH17, rekaman-rekaman wawancara di media massa, rekaman-rekaman warga yang melihat langsung peristiwa jatuhnya pesawat, rekaman-rekaman analitik berbasis forensik media, dan juga rekaman-rekaman arsip tentang teknologi persenjataan militer Rusia. Semuanya disusun secara nonliner, dan pada beberapa bagian, montasenya diperkaya dengan adegan-adegan fiksi.

Cuplikan dalam "Iron Butterflies" karya Roman Liubyi. © Andrii Kotliar/Babylon 13/Rise and Shine.

Namun, jika kita mengesampingkan sejenak eksistensi dari bagian-bagian fiksi film ini, kita juga bisa menelaah sepenting apa metode pengolahan arsip audiovisual yang diterapkan oleh Liubyi. Saya pribadi berpendapat bahwa, agaknya, kesetujuan film ini terhadap penggunaan data audiovisual yang beragam, yang satu sama lain memiliki kualitas properti visual berbeda, mengingatkan kita pada imajinasi visioner Peter Snowdon akan estetika video vernakular. Pada satu sisi, dalam konteks bahasa sinema semacam ini, kualitas citra tak lagi bergantung pada ukuran-ukuran berdasarkan ketelitian mata kita terhadap jendela bidik kamera, melainkan pada sensasi total tubuh si perekam terhadap peristiwa-peristiwa yang dialaminya, yang karenanya kamera mesti dinyalakan. Pada sisi yang lain, gaya sinematik seperti ini mendudukkan konsep arsip pada pengertian yang baru: arsip ada di mana saja, dan arsip dari mana-mana itu adalah sumber maha luas untuk mengempang kekerasan epistemologis para penguasa rezim pengetahuan dan informasi.

Akan tetapi, hubungan tarik-menarik antara yang dokumenter dan fiksi, bagaimanapun, adalah saraf utama dari Iron Butterflies. Pada satu sekuens, kita menyaksikan bagaimana salah seorang anggota keluarga korban melakukan investigasi mandiri untuk membuktikan bahwa pesawat itu benar-benar ditembak. Di menit yang lain, kita juga mendengar semacam monolog dari seorang aktivis HIV/AIDS mengenai konspirasi politik dari kasus ini yang bisa jadi berhubungan dengan upaya-upaya pendiskriminasian para penyintas AIDS. Kita juga dapat menyimak upaya para ahli yang merekonstruksi bangkai pesawat untuk mengungkap kebenaran dari penyebab kecelakaan. Liubyi dengan tangkas melakukan komparasi konten, melakukan cut-to-cut bolak-balik untuk mengklarifikasi sekaligus memverifikasi pernyataan-pernyataan yang tersirat dalam data-data audiovisual yang dipaparkannya.

Cuplikan dalam "Iron Butterflies" karya Roman Liubyi. © Andrii Kotliar/Babylon 13/Rise and Shine.

Yang lebih menggelisahkan, di tengah hamparan fakta-fakta termediasi itu, yang tentunya memang tidak dapat secara langsung menjawab pertanyaan mengenai kebenaran yang sesungguhnya, kita juga melihat suatu ilustrasi tentang bagaimana tindakan klandestin berupaya membungkam mulut warga—mewakili imajinasi tentang upaya otoritas untuk membasmi suara warga soal kebenaran kasus. Kegelisahan ini pun disela-sela pula oleh visual puitik yang, bisa dibilang, sangat subjektif dari sutradaranya sendiri: adegan pendulum pasir yang terus berayun (muncul di awal dan di akhir film), bidikan lanskap ladang bunga matahari yang didramatisir untuk menegaskan nuansa dari zona duka dan makam pesawat, atau sekadar rekaman biasa dari proses penciptaan suara musik yang, di beberapa bagian, digunakan untuk mengiringi montase-montase di film ini. Racikan ini membuat realitas dokumenter dan fiksi terikat dalam suatu hubungan yang hibrid: bukan sekadar saling menegaskan informasi audiovisual, tetapi lebih jauh mewujud sebagai suatu kehadiran informatif yang baru.

Hibrida semacam itu mengingatkan kita pada gaya investigasi esaistik ala Farocki ketika mengurai mekanisme bahasa dari media massa, identitas distortif dari citra-citra termediasi, dan dampak diskursif dari kerja aparatus militeristik, serta aspek psikososial dari teknologi vernakular dan teknologi supra. Eksplorasi forensik media yang diterapkannya justru mengungkap limitasi-limitasi di dalam apa yang digadang-gadang sebagai “jaringan-tak-terbatas” media baru, dan pada batas-batas terluar dari kendala teknis itulah kekuatan untuk mensubversi wacana justru dapat diraih dan dipancarkan. Alih-alih semata kebenaran historis, praktik sinema semacam ini menggarisbawahi “kebenaran media”, atau dalam istilah yang lain: kebenaran filmis.

***

Bagi saya, Iron Butterflies adalah sebuah film yang membangun efek dramatik lewat suatu proses montase yang terasa sangat pelan dan lambat untuk mencapai klimaks. Tak hanya itu, klimaks yang dicapainya pun adalah klimaks yang tidak mengandaikan antiklimaks.

Kembali ke sekuen yang saya singgung di awal tulisan ini: setelah layar gelap, Liubyi menampilkan kembali rekaman proses pengadilan (yang sudah ia tunjukkan di sekuen-sekuen awal dalam film), di mana salah seorang jaksa menyampaikan pidato:

“Penulis berkebangsaan Rusia, Alexandr Solzhenitsyn, berkata bahwa kekerasan tak punya cara menyembunyikan dirinya kecuali dengan kebohongan, dan kebohongan tak bisa mempertahankan keberadaannya kecuali melalui kekerasan. Ketika ratusan orang tak bersalah terbunuh, sebuah dunia yang enggan menegakkan kebenaran dan menghukum orang yang bersalah menyiratkan pesan bahwa rakyatnya adalah target eksploitasi yang diwajarkan. Menegakkan kebenaran dalam kasus ini dapat membantu mencegah terjadinya kekerasan baru di masa depan.”

Adegan pidato tersebut dipotong oleh tampilan kata “Future” dengan latar hitam. Beberapa saat kemudian, muncul rentetan foto kendaraan-kendaraan militer yang dicat simbol militer Z. Dan kita lantas menyaksikan suasana di salah satu pinggiran kota Kyiv pada tahun 2022: warga sipil berusaha mengungsi di tengah-tengah perang. Adegan ini memperkuat ironi. Di masa nyaris satu dekade pascainsiden MH17, wacana kekerasan yang diboncengi kebohongan masih terus berlangsung sementara konflik Ukraina-Rusia justru mencapai titik paling mengerikan.

Usai menontonnya, Anda mungkin, seperti saya, menangkap sebuah kesan tentang paparan yang menggantung. Dan memang begitulah narasi film ini. Bukan menyesali gaya semacam itu, kita malah dapat menyerap intensi utama sang sutradara, bahwa justru dengan meniadakan antiklimaks itulah film ini barangkali ingin memukul kesadaran kita.

Film pun ditutup dengan dua adegan: animasi peta dunia yang disesaki oleh lintasan pesawat, disusul oleh adegan pendulum pasir yang terus berayun sementara pasir-pasirnya bergetar seakan menunjukkan reaksi terhadap ketegangan global. Waktu terus berputar, tetapi dunia belum lagi melihat antiklimaks dari konflik yang sudah dan sedang terjadi. []

Artikel ulasan berjudul “Kupu-kupu Besi: Manuver dari Klimaks-Tanpa-Antiklimaks” ini terbit dalam rangka kerja sama media antara Jurnal Footage dan KinoFest Film Festival (Goethe-Institut Indonesia). Baca ulasan film lainnya dalam rangka acara ini: “Sinema dan Fotografi sebagai Rekonsiliasi Performatif“.

Endnotes[+]

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search