In Kronik, Wawancara

*Sebuah wawancara dengan Joris Ivens

Pengantar dari Redaksi
Menyambut Festival Film Dokumenter (FFD) Yogyakarta, Festival Film Indonesia (FFI), Jogja Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2011, serta keprihatinan kami atas hilangnya Jakarta International Film Festival (Jiffest) dan Festival Film Konfiden, Jurnal Footage akan menghadirkan beberapa tulisan David Albert Peransi atau D. A. Peransi—seorang seniman/sutradara filem dokumenter dan eksperimental/pemikir budaya yang kami anggap salah satu tokoh penting dan dapat menginspirasi pembaca tentang sinema dan filem Indonesia.


“Di sini, pada tahun 70 Masehi, Claudius Civilis[1], pemimpin dari daratan rendah berdiri dan melihat ke bawah, ke arah sungai Rhine, melihat bagaimana bala tentara Romawi berbaris memasuki negerinya, bala tentara yang telah menaklukkan hampir seluruh Eropa”. Ini tertera pada suatu prasasti di atas salah satu bukit tertinggi di Nijmegen, Belanda, yang bernama Het Valkhof.

Begitulah Joris Ivens[2] memulai biografinya yang diterbitkan oleh International Publisher, New York. Begitu pula ia memulai ceritanya ketika aku bertemu dengan dia pada tanggal 25 Februari 1978, jam 9 pagi di kamar 1616, Hotel Gotlam di New York. Di Nijmegen itulah ia dilahirkan 89 tahun yang lalu (1898) dan prasasti di atas telah menimbulkan kesadaran akan sejarah sewaktu ia masih anak-anak.

Kakeknya adalah seorang fotografer, rekan Daguerre[3], penemu fotografi yang membuat sejarah fotografi. Ayahnya, juga fotografer dan memiliki beberapa toko foto. “Pada saat aku lahir aku sudah terpaut dengan fotografi dan sewaktu remaja tentu saja ada filem sebagai suatu gejala baru”, katanya.

Dipengaruhi oleh cerita-cerita Karl May, ia dan saudara-saudaranya membuat filem mereka yang pertama: filem Indian yang berjudul Flaming Arrow (1912), dengan sebuah kamera profesional milik ayahnya: Pathe.

Joris_Ivens_filmt_Philips-150dpi

“Kemudian aku belajar ekonomi di Rotterdam, tapi hanya sampai sarjana muda. Itu tahun 1917,” ia melanjutkan.

Ia kemudian masuk milisi untuk menghadapi tentara Jerman. Setelah Perang Dunia Pertama, ia belajar di Universitas Charlottenburg, suatu periode menarik baginya. Di bidang kesenian merekahnya Ekspresionisme dan Dadaisme, teori Relativitas Einstein menggoncangkan dunia ilmu pengetahuan, dan kesadaran pada dasar-dasar demokrasi yang makin kuat timbul karena ancaman Fasisme. Kembali dari Jerman ia menjadi manajer dari toko ayahnya di Amsterdam dan berkawan baik dengan Marsman[4], penyair yang dikagumi Chairil Anwar.

Setiap malam mereka berdiskusi tentang filem. Pada ketika filem Pudovkin[6], Mother masuk ke Amsterdam, ia meminjamnya dan dengan kawan-kawannya, memutar filem itu empat kali. Filem itu didiskusikan berkali-kali dan kemudian terbentuklah suatu kine-klub yang disebut Filmliga[6]. Pada bulan September 1927, Filmliga itu terbentuk dengan suatu manifes yang antara lain berbunyi: Filem Amerika adalah filem komersial yang kitsch, masa depan filem akan hancur kalau bukan kita yang menyelamatkannya. Alberto Cavalcanti dan Rene Clair[7] datang ke Amsterdam untuk berbicara. Mereka meminjam filem Potemkin dari Eisenstein[8] dan menganalisanya frame demi frame. Lalu dengan sebuah Kinemo kamera 35, Joris Ivens membuat filemnya yang berjudul The Bridge (De Brug, 1928—red). Lalu ia membuat Regen (Hujan, 1929—red) yang oleh Paris disebut cine-poem.

jori-ivens

Aku bertanya pada Joris, “Kenal Pudovkin dan Eisenstein?”

“Oh!” katanya. “Bukan kenal lagi. Pudovkin menganggap dirinya bapakku. Tapi sebenarnya Flaherty adalah ‘bapak spiritual’-ku. Yah, itu tahun 1929 ketika Pudovkin datang ke Amsterdam dan melihat filem-filemku. Setelah makan di Rembrandtplein, sebelum ia berangkat ke Moskow, ia berkata, ‘Mengapa kau tidak ke Moskow melihat pekerjaan kami. Filem-filemmu mempunyai kualitas, yang jarang dimiliki pembuat filem dokumenter’.”

Joris berpikir bahwa ucapan itu hanya sopan santun, sampai tiga bulan kemudian ia menerima surat singkat dari Pudovkin. Isinya, “Mengapa kau tidak datang sekarang. Biaya kami tanggung. Bawa filem-filemmu!”

Ia segera berangkat dan menginap di apartemen Eisenstein. Dan asisten Eisenstein, Pera Attasheva membantu dia mengenalkan budaya dan dunia perfileman di Rusia.

“Yang tidak akan aku lupakan adalah pada saat filem-filemku diputar di Dom Kino dan Pudovkin sendiri yang memberi pengantar. Dan aku tahu, aku kemudian diberi kepercayaan untuk membuat filem semauku. Aku pergi ke Magnitogorsk dan membuat filem tentang Rencana Pembangunan Lima Tahun, judulnya Song of Heroes[9].”

Aku bertanya lagi:

“Apakah orientasi Anda pada sosialisme berasal dari periode ini?”

Dengan tegas Joris membantah.

“Begini, itu sudah aku miliki di Jerman”.

Aku bertanya lagi:

“Apakah kepercayaan Anda pada kebebasan, keadilan sosial menyebabkan Anda menjadi sosialis?”

Orang tua yang sudah putih rambutnya, tapi masih sigap, merubah posisi duduknya.

“Lihat! Itu terlalu umum. Memang, waktu aku masih muda, aku diganggu oleh perasaan-perasaan yang bersifat umum itu seperti misalnya kemanusiaan, tetapi semakin tua, dan pada usiaku seperti ini, aku berpendapat bahwa sebagai pembuat filem kita harus berjuang, berani mengambil sikap demi kebenaran yang kita yakini. Dan ingat, aku belum pernah menjadi anggota partai apapun juga”.

Dalam hati aku berpikir: ‘ini seniman tulen’.

Joris melanjutkan:

“Karena itu, bersama Roman Karmen sebagai juru kamera, dan Ernest Hemingway, pengarang terkenal itu, aku pergi ke Spanyol untuk melawan Franco, sang fasis, yang dibantu oleh fasisme Jerman. Hasilnya adalah The Spanish Earth (1937), yang beredar di seluruh dunia dan membantu dunia mengutuk fasisme. Itu sebabnya, aku pergi ke Vietnam, Laos, Chili, dan Kuba untuk menjadi saksi kejadian-kejadian sejarah, menyatakan pendapatku tentang itu. Dan itu pula sebabnya aku membuat Indonesia Calling (1946—red).”

indonesia_calling
indonesia-calling1indonesia-calling
Indonesia Calling (1946)

Ia membungkuk mendekati aku, lalu ia melanjutkan:

“Tahu, bahwa hatiku dekat sekali dengan Indonesia, dengan perjuangan kemerdekaan kalian, jauh sebelum tahun 1945”.

Aku bertanya:

“Mengapa filem itu tidak disyut di Indonesia tetapi di Australia?”

Joris Ivens tersenyum geli dan melanjutkan ceritanya:

“Aku diminta oleh pemerintah Hindia-Belanda di Brisbane (karena Indonesia diduduki Jepang) untuk membuat sebuah filem tentang pembebasan Indonesia oleh pemerintah Hindia-Belanda dalam pengasingan itu. Aku menerimanya, tetapi di dalam kontrak aku menyatakan bahwa pembebasan itu harus dilakukan atas dasar ide Barat tentang kebebasan dan demokrasi (het grote westelijk ideal van vrijheid en democratie), di mana Indonesia dan Belanda berdiri sama tinggi. Bulan Agustus 1945, kami mendapat kabar bahwa Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaannya sendiri. Kapal-kapal perang Belanda dan Inggris berlayar menuju Indonesia, tetapi aku tidak diajak, padahal aku telah menyusun kru yang baik sekali. Mirion Michelle, juru kamera wanita yang terkenal itu, datang dari Amerika membantuku”.

“Aku tahu bahwa kapal-kapal itu bertugas untuk menumpas gerakan nasionalisme di Indonesia. Aku mengadakan konferensi pers, dan ketika itu diketahui maksud Belanda, maka pekerja-pekerja kapal dan pelabuhan di Brisbane mengadakan pemogokan. Banyak pula orang Indonesia yang ikut. Akibatnya adalah bahwa kapal-kapal yang masih harus berangakat membawa senjata dan amunisi tidak bisa berangkat. Orang Australia, Malaysia, India, berdemonstrasi”.

“Kami mengumpulkan uang dan membuat filem tentang gerakan ini. Judulnya: Indonesia Calling. Komentar dilakukan oleh Peter Finch. Kami menyatakan di dalam filem ini, bahwa bangsa-bangsa di dunia menyokong proklamasi kemerdekaan negerimu. Filem itu kami edarkan ke seluruh dunia, untuk membentuk opini publik. Akibatnya adalah bahwa pasporku dicabut oleh pemerintah Belanda selam 7 tahun. Aku dianggap pengkhianat. Kau mengerti betapa hatiku ada di Indonesia dan senang bertemu kau?”

indonesia_calling_05
Indonesia Calling (1946)

taleofthewind6

Kami berhenti sebentar, karena suasananya menjadi emosional. Itu sebabnya aku segera mengajukan pertanyaan baru:

“Jadi sebagai pembuat filem, Anda lebih menitik beratkan ‘pesan’ dari pada bentuk?”

Joris agaknya terkejut mendengar pertanyaanku. Ia menyangkal dengan tegas.

“Aku tidak pernah mengorbankan bentuk untuk isi, tidak pernah mengorbankan segi artistik untuk ideologi. Bagaimana suatu pesan bisa sampai kalau bentuknya jelek? Membuat filem tidak mudah, kalau kesatuan isi dan bentuk menjadi tujuan kita. Itu sebabnya, aku selalu memilih kru yang kecil, terdiri dari orang-orang yang mau mempertautkan seluruh dirinya pada filem yang kita buat. Sebagai sutradara aku tidak pernah merahasiakan ideku pada anggota kru dan akupun selalu mendengar saran-saran mereka. Kru filem sama dengan kesebelasan sepak bola. Semuanya penting, tetapi ada kaptennya. Melibatkan kru pada ide, pada kenyataan yang kita filemkan, bersikap jujur pada kenyataan itu, bertanggungjawab pada diri sendiri, prinsip sendiri, dan juga pada publik yang melihat. Kita tidak boleh menipu publik yang menonton filem kita”.

Aku menyela Joris:

“Tetapi filem-filem Anda adalah interprestasi terhadap kejadian-kejadian historis”.

Joris segera menjawab:

“Tetapi saya jujur bukan? Aku nyatakan di mana aku berdiri. Pada pihak gerakan anti fasisme dan pada gerakan kemerdekaan Indonesia dalam filem Indonesia Calling. Gerakan fasisme dan kemerdekaan Indonesia adalah kenyataan historis. Dan pendirianku adalah kenyataan juga bukan?”

peransi-07

D. A. Peransi (memundak kamera)

peransi-08

D. A. Peransi (membidik kamera)

Satu pertanyaan lagi:

“Fase mana pada produksi filem yang penting?”

Ia diam sebentar lalu berkata:

“Fase syuting, ya syuting-nya. Editing adalah fase terakhir bukan?

Aku menyangkalnya.

Dengan perlahan, lambat tapi meyakinkan ia bilang:

“Dapakah kita membangun rumah dengan batu yang rapuh? Dapatkah kita menyusun filem dengan shot-shot yang jelek dan tidak berarti?”

Aku menyela lagi:

“Apakah Anda menganggap teori-teori Eisenstein dan Pudovkin tidak berarti?”

Joris ketawa.

“Teori Eisenstein lahir dari filem bisu. Masalah filem bisu berbeda dengan filem bersuara bukan? Untuk filem bisu, arti dibentuk oleh montase. Tetapi montase dapat menipu bukan?”

“Menimbulkan efek-efek yang tidak historis. Tapi coba lihat, dengan peralatan sekarang, yang memungkinkan kita merekam gambar dan suara sekaligus, kenyataan yang kita rekam menjadi lebih nyata. Itu sebabnya sekarang aku lebih sering mempergunakan plan-sequence, di mana kamera meraba kenyataan dan memungkinkan penonton merasa bahwa ia juga hadir di tempat kita membuat filem. Tentu untuk beberapa adegan montase atau editing menjadi lebih penting, tetapi menurut pendapatku, peranan editing tidak sepenting di jaman filem bisu. Dan pasti, kalau Eisenstein dan Pudovkin masih hidup dan bisa mempergunakan peralatan yang sekarang ada, pasti mereka akan merubah teori-teori mereka”.

Joris Ivens menuangkan teh lagi ke dalam cangkirku, sementara aku menyiapkan kamera untuk memotretnya.

rain_2-joris-ivens
Regen, 1929

Dia bilang:

“Sampai sekarang, cuma kau yang bertanya, aku belum mendapat kesempatan mewancarai Anda. Dimana filem-filemmu sekarang?”

Aku menerangkan kemudian bahwa Marini dan Bonar und Sri ada di Eikon Film, München. Boyolayar dan Mijn vriend Asmara adi Ikon-Televisi. Hilversum, dan satu filem ada di New York, di perpustakaan UN Habitat, dan satu filem yang berjudul Transmigration for a Better Life. Aku cerita juga bahwa untuk Marini dan Bonar und Sri aku dibantu oleh Thomas Mauch, juru kamera utama Jerman yang sering membantu Alexander Kluge dan Werner Herzog. Joris Ivens bercerita pula bahwa juru kameranya adalah istrinya yang tercinta: Maceline Loridan, juru kamera terkenal.

Dalam hati aku pikir: Siapa saja yang sudah membantu Joris Ivens dalam menciptakan filem-filemnya. Kalau kita mempelajari filemografinya, kita akan temukan nama-nama seperti: Ernest Hemingway, John Fernhout, Manus Franken, Alberto Moravia, Chris Marker, Jacques Prevent, Bertolt Brecht, Robert Capa, dan banyak lagi nama terkenal.

Joris-Ivens-Ernest-Hemingway-and-Ludwig-Renn-Spanish-Civil-War-1937

Joris Ivens, Ernest Hemingway dan Ludwig Renn

joris-ivens-suez-1948-arte.1237710273

Joris Ivens dan Marion Michelle, 1948

Ketika aku pamitan, saya berkata:

“Meneer Ivens, Anda boleh tahu satu hal, yaitu filem-filem dan tulisan-tulisan Anda banyak sekali memberi pelajaran bagiku. Sejak aku belajar di Amsterdam. Dan kalau aku boleh jujur, Anda adalah “spiritual father”-ku”.

Ia tersenyum dan berkata:

“Bulan April kalau aku kembali ke New York, aku mau melihat filemmu.”

Aku mengulurkan tangan. Ia menjamahnya dan menarikku ke dadanya. Ia memelukku erat-erat. Ketika kami melepas, aku lihat mukanya merah, dan matanya berkaca. Aku pun jadi begitu, lalu kami berpelukan lagi.

ivens

Saya meninggalkan hotel Gotlam di 55th Street dan jalan kaki ke 22th Street, tempat aku menginap. Perjalanan satu jam dan suhu hari itu 5 derajat Celcius di bawah nol. Tetapi aku tidak merasakan dinginnya. Tumpukan salju yang menghalangi jalanan hampir tidak aku lihat, yang terbayang hanya imaji-imaji dari filem-filemnya: The Spanish Earth, Le Ciel, La Terre (The Threatening Sky) 1966. A Valparaiso (1962) dan beberapa filem lain yang selam seminggu diputar di Museum Modern Art. Di telingaku masih mendengung kata-katanya:

“Aku pernah berdiri di pundak Pudovkin, Eisenstein dan kau. Kau harus berdiri di pundakku. Kau tahu maksudku bukan?”

Dalam hati aku berkata: “Akan kucoba”.

Satu hal adalah pasti. Hari ini tanggal 25 Februari 1978, aku berbicara dengan Joris Ivens, saksi sejarah abad duapuluh dan seorang yang telah membuat sejarah.

peransi-01
peransi-03
peransi-05

Tentang D.A Peransi
David Albert Peransi (1938-1993), lahir sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara pasangan Simon Th. Peransi dan N. Peransi Soplantila. Ia menulis sejak usia 14 tahun. Majalah Tempo menyebutnya sebagai ‘seniman yang punya banyak kemampuan’. Ia dikenal sebagai pemikir, penulis, melukis, memotret, dan membuat filem. Pendidikan formalnya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan Nederland Film en Televisie Academie, Amsterdam. Ia juga tercatat pernah belajar filsafat pada Prof. Dr. J. Verkuyl dan Dr. D. C. Mulder. D.A Peransi belajar melukis pada Ny. L. Weinberg selama empat tahun. Ia tercatat sebagai salah satu pendiri Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) di Taman Ismail Marzuki, Pusat Kesenian Jakarta (sekarang IKJ). Sering menjadi juri di berbagai festival antara lain Oberhausen—Jerman, Mannheim, dan Festival Film Indonesia (FFI).

(sumber: buku D.A. Peransi, FILM/MEDIA/SENI, FFTV-IKJ Press 2005)


* Tulisan ini dikutip dan disarikan dari buku D.A Peransi, FILM/MEDIA/SENI, Penyunting Marselli Sumarno, FFTV-IKJ Press 2005, hal. 78-86. Jurnal Footage melakukan penyelarasan bahasa dan penambahan catatan kaki pada tulisan ini, tanpa mengurangi sedikit pun dari isi tulisan.

[1] Claudius Civilis adalah tokoh penting yang berhasil menaklukan tentara Romawi pada pemulaan abad Maseh (69 M) dengan menggalang kekuatan dari suku-suku yang ada di Eropa. Pentingnya Civilis sebagai tokoh perlawanan di kawasan sungai Rhine, hilang setelah ia dikucilkan saat perjanjian damai dengan Romawi, 70 Masehi (sumber: Encyclopædia Britannica, Edisi 11)

[2] Joris Ivens lahir pada 18 November 1898 di Nijmegen, Belanda dan meninggal dunia pada 28 Juni 1989 di Paris (red)

[3] Louis-Jacques-Mandé Daguerre (1787 – 1851) ialah seniman dan kimiawan Perancis yang dikenal untuk penemuannya yakni proses fotografi Daguerreotype. Daguerre mengumumkan penyempurnaan terakhir Daguerreotype, setelah tahun-tahun percobaan, pada tahun 1839—www.wikipedia.org.

[4] Hendrik Marsman (1899-1940) adalah penyair ekspresionis Belanda—red.

[5] Vsevolod Illarionovich Pudovkin (1893 – 1953) adalah sutrada/aktor kenamaan Rusia yang mengembangkan teori montase. Karya Pudovkin yang berlawanan dengan teman seangkatannya, Sergei Eisenstein, yang memanfaatkan montase untuk penggambaran kekuatan kekuatan massa. Sedangkan Pudovkin lebih menjadikan montase sebagai penekanan pada keberanian dan ketahanan individu—red.

[6] De Nederlandsche Filmliga (1927-1933). Para pendirinya adalah Menno ter Braak, Joris Ivens, L.J. Jordaan, Henrik Scholte dan Constant van Wessem. Mereka menolak filem hanya sebagai hiburan seperti filem-filem Amerika—red.

[7] Alberto Cavalcanti (1897–1982) adalah sutradara filem eksperimental dan penulis kritik asal Brasil yang tinggal di Paris dan René Clair (1898–1981) sutradara filem dan penunilis. Mereka sering disebut sebagai angkatas sinema Paska PD I bersama Luis Buñuel (1900–1983) dan Fernand Léger (1881–1955).—red.

[8] Sergei Mikhailovich Eisenstein (1898 –1948) adalah salah satu tokoh penting sinema Rusia dan dunia. Dia dikenal sebagai Bapak Montase filem dunia. Beberapa karya pentingnya adalah Strike (1924), Battleship Potemkin (1925) dan October (1927) serta karya epik sejarah Alexander Nevsky (1938) dan Ivan the Terrible (1944, 1958)—red.

[9] Filem tentang Magnitogorsk, diproduksi pada tahun 1931, sebuah filem propaganda tentang kota industri baru yang dibangun oleh para buruh. kerja paksa. Dalam filem ini, tergambar jelas ideologi komunisme Ivens—red.

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search