In Kronik

Artikel ini pertama kali dimuat dalam majalah Aneka, No. 26, Tahun ke-III, tanggal 10 November 1952. Bachtiar Effendi, penulisnya, mengkritik pandangan Binggawattee (Iskandar Rais) yang meragukan kualitas film-film Indonesia dan membandingkannya dengan film-film Malaya.

Berkaitan dengan hal itu, aspek penting yang juga dikritisi oleh Effendi adalah tentang sistem produksi dan distribusi film-film nasional di biosko-bioskop dalam negeri. Menurutnya, sudah ada banyak film-film Indonesia yang berkualitas baik, hanya tidak mendapat kesempatan untuk ditayangkan di biosko-bioskop kelas wahid karena minimnya dukungan pemerintah dalam memfasilitasi distribusi yang merata di masyarakat.

Kritik tajam Effendi terhadap Binggawatte ini menguatkan refleksi kita terhadap kondisi perekonomian dan perfilman di Indonesia, di mana film-film produksi dalam negeri masih bersaing dengan film-film asing meskipun hari ini telah banyak film-film Indonesia yang diputar di bioskop-bioskop komersil. Membaca artikel ini, di lain hal, kita juga akan mendapatkan gambaran tentang optimisme para pegiat film nasional zaman itu di Indonesia, serta situasi persaingan pasar perfilman di lingkup global.

Kami memuat artikel ini di situs Jurnal Footage setelah melakukan sejumlah penyuntingan di beberapa bagian, khususnya mengubah kata-kata ejaan lama ke dalam EYD, serta penambahan tanda baca (tanda koma) di beberapa bagian, agar pembaca dapat lebih menikmati isi artikel tersebut.

Selamat membaca!

Binggawattee (Iskandar Rais) dalam usahanya membikin propaganda untuk film-film Malaya (yang sebenarnya tidak perlu dipropagandakan lagi karena kebanyakan dari film-film yang datang dari semenanjung memang sudah digemari oleh penonton di Indonesia) telah dipengaruhi oleh perasaan sombong begitu rupa sehingga mencerca produksi-produksi film studio di Indonesia hanya sebagai produksi loak belaka. Dalam tulisan Binggawattee “Film Malaja [Malaya—red.] di Indonesia” terbit di majalah Aneka Nomor 23, tanggal 10 Oktober 1952, memang ada didapatkan penyataan-penyataan yang nyata dan analisa yang tepat tetapi sebagian besar dari karangan itu seolah-olah dimaksudkan sebagai anjuran kepada penonton: Kalau hendak menonton bioskop, lihatlah dahulu film apa yang akan dipertunjukan. Jikalau gambar dari Malaya, silakanlah masuk, tetapi kalau film keluaran studio Jakarta berfikirlah dua tiga kali terlebih dahulu sebelum membeli karcis.

Binggawattee mengatakan bahwa rakyat kecil makin hari semakin film minded, sudah pandai membedakan yang kurang buruk dengan yang buruk alias lebih tepat mempergunakan uang karcis bioskopnya.

Kenyataan, “lebih tepat mempergunakan uang karcis bioskopnya” memang tepat, yakni rakyat kecil akan memilih film yang dapat memberi kepuasan hatinya yang digemarinya, tetapi dengan kenyataan ini belum berarti bahwa film-film yang tidak digemari rakyat itu adalah film yang buruk. Film Tjitra [karya Usmar Ismail—red.] umpamanya, tidak dapat dikatakan film yang buruk tetapi tidak digemari rakyat.

Bukan karena buruk tetapi terlampau tinggi.

Dan di sinilah letaknya ‘Kekuatan Gaib’ (menggunakan perkataan Binggawattee sendiri) dari sutradara-sutradara Ramanthan, Krisnan Rajhans. Mereka membikin film-film semata-mata untuk mengejar keuntungan, tidak memperdulikan faktor kebangsaan. Seorang Rajhans umpamanya tidak merasa silu perasaannya membikin film di mana ditunjukan seorang Haji (berkopiah putih) memanggil ke rumahnya penari-penari yang berpakaian serba jarang dan bersama-sama istri dan anak memandang tari-tarian berupa ngegol-ngegolan.

King Alfonso (Astaman) sedang bersidang dengan penasehat-penasehatnya tentang penyerbuan tentara Turki. Nampak Radja Alfonso sedang berbicara dengan Ratu Isabella (Sukarsih), dalam film New Ansco-Color Persari: "Rodrigo de Villa".

Kekuatan penarik yang terutama dari film-film Malaya ialah lagu-lagu langgam yang diperdengarkan dalam perjalanan cerita, lagu-lagu dengan suara merdu yang dinyanyikan oleh Rubiah, Asia, Momok, dan sebagainya.

Rakyat senang mendengarkan lagu-lagu dan suara-suara itu, jangankan lagi dalam film dengan pemandangan-pemandangan dan penyanyi-penyanyi yang cantik (seperti Kasma Booty, Siput Serawah, dan lain-lain) sedangkan di depan radio orang telah asyik mendengarkannya.

Dalam hal menyulamkan lagu-lagu dalam cerita, film-film Indonesia memang jauh ketinggalan. Lagu dan musik dalam pembikinan-pembikinan film di Indonesia tidak dipentingkan, hanya dipandang enteng saja. Kebanyakan produser-produser film di sini enggan mengeluarkan jumlah yang sepadan untuk membayar ciptaan-ciptaan lagu yang baik. Kepenatan dan kemampuan mencipta kurang dihargai, ukuran pembayaran lazimnya diambil dari penatnya bermain musik.

Padahal di antara seratus ahli musik belum tentu ada tiga orang yang mampu mencipta.

Memang studio-studio di Malaya tidak sangat lebih modern dari studio di sini, tetapi studio di Malaya (umpamanya kepunyaan Shaw Bros) ada mempunyai kamera juga lensa yang baik. Dan di lensa inilah terletak bagusnya pemandangan alam film Malaya, hingga tayangannya di layar putih hampir serupa dengan film-film Barat. Kalau studio-studio di Indonesia sudah mempunyai kamera baru dengan lensa yang baik (seperti yang baru dibeli oleh studio Bintang Surabaya dan pertama kali digunakan dalam pembikinan Dr. Samsi) dengan sendirinya tayangan-tayangan di layar putih akan serupa dengan film Malaya.

Jadi tidak pada tempatnya kalau Binggawattee menuduh ahli-ahli tehnik di Indonesia bekerja “tidak sungguh-sungguh”. Tentang mutu pelakon-pelakon Malaya dan Indonesia memang tidak jauh berbeda. Kebanyakan pelakon yang bermain dalam film Malaya adalah anak Indonesia juga. Kasma Booty anak dari Medan, Osman Cumanti dan Tompel dari Padang. Siput Serawak dari Kalimantan, Sitti Tadjung Perak dan Jaffar Wirio dari Jawa, Harris dari Makassar, dan sebagainya.

Hanya mereka bermain dalam film Malaya tidak terpaksa mengucap kalimat-kalimat yang panjang-kalam sebagai kebanyakan film Indonesia.

Dalam hal ini kita sendiri setuju dengan pandangan Binggawattee. Ada sangat baiknya jikalau pengarang-pengarang skenario atau regisseurregisseur [sutradara—red.] di Indonesia menjauhkan tutur kata yang panjang kalam seperti susunan kalimat-kalimat dalam buku cerita. Dengan sendirinya permainan si aktor akan bertambah baik dan kurang kakunya.

Kita ragu-ragu dan merasa curiga membaca tulisan Binggawattee yang menganjurkan supaya “avonturir-avonturir” [petualang—red.] pembikin film gulung tikar saja dan melepaskan gelanggang industri film ini pada rekan-rekan yang jujur dan bercita-cita.

Apakah mereka yang belum mendapatkan sukses, dan karena itu dituduh “avonturir”, tidak jujur dan tidak bercita-cita.

Apakah uang yang diavontuurkan mereka itu bukan uang mereka sendiri? Apakah keinginan mereka untuk mengambil bagian dalam pembangunan industri film bangsa sendiri tidak harus dipuji? Apalagi dengan mencoba mendapatkan keinginan dan mencapai cita-cita mereka, mereka bersedia mempertaruhkan uang yang tidak sedikit. Katakanlah ongkos buat sesuatu film Rp. 300.000.

Ini berarti buat tiap-tiap percobaan (kalau hendak dituduh mereka itu “avonturir”) mereka mempertaruhkan uang sebanyak Rp. 300.000.

Entah berapa susah dan berapa lama mereka mengumpulkan jumlah uang sebanyak itu. Apakah orang-orang yang mempunyai inisiatif dan keberanian begitu rupa akan disuruh gulung tikar begitu saja?

Apakah patut dilemahkan semangat mereka dan dituduh mereka hanya avonturir?

Binggawattee menyuruh mereka menyingkir supaya jangan menghambat rekan-rekan yang jujur dan bercita-cita.

Siapa rekan-rekan yang jujur dan bercita-cita itu? Dari mana mereka akan datang? Menilik dari contoh yang kita berikan di atas, yaitu sesuatu film akan memakan modal Rp. 300.000. Nyata dan sejelas-jelasnya bahwa percobaan-percobaan membikin film itu bukanlah satu “permainan” yang murah. Jadi, sesuatu perusahaan film yang tidak akan dituduh bersifat avontuur, harus mempunyai rancangan yang konkret dan bukan saja rancangan tetapi alat-alat yang serba cukup, pendek kata harus mempunyai studio yang lengkap. Dan untuk mengadakan studio yang semacam itu harus mempunyai modal yang kuat. Tidak cukup dengan satu juta atau dua juta, tetapi berjuta-juta.

Sekarang kita ingin bertanya pada Binggawattee. Siapa bangsa Indonesia yang dapat membentuk modal begitu besar, kalau tidak dengan pertolongan pemerintah? Kalau ada seseorang yang membentuk modal begitu besar sonder [tanpa—red.] pertolongan pemerintah, bangsa apakah orang itu? Binggawattee rupanya hendak membukakan jalan ke lapangan film Industri Indonesia, buat rekan-rekan yang sanggup dalam usahanya berpedoman pembentukan modal dari aktivitasnya sendiri dan tidak membutuhkan pinjaman-modal pemerintah.

Buat siapa jalan ini dirintis dan dibukakan? Sekali lagi kita ulangi: “Kita ragu-ragu dan merasa curiga.”

Lapangan film adalah satu lapangan penting dalam tiap-tiap negara modern.

Maupun pembikinan film-filmnya atau pasar peredaran bioskop film-film itu. Di Indonesia, ada lebih kurang 500 gedung bioskop (650 kalau terhitung bioskop terbuka). Kalau dihitung tiap-tiap bioskop sehari menjual karcis sebanyak Rp. 2000 saja, ini berarti penonton di seluruh Indonesia setiap hari mengeluarkan uang sebanyak 500 x Rp. 2000 = Rp. 1.000.000. Jadi, perputaran uang dalam pembelian karcis setiap bioskop berjumlah Rp. 356.000.000. Satu jumlah yang tidak boleh dipandang enteng.

Padahal bioskop di Indonesia baru sampai 500 buah, sedangkan satu negara yang berpenduduk 75 juta membutuhkan sekurang-kurangnya 5000 gedung bioskop.  Sedangkan Amerika (berpenduduk 150 juta) yang mempunyai tempat-tempat hiburan beraneka warna mempunyai lebih dari 12.000 gedung bioskop. Apalagi kita di Indonesia di mana rakyat bisa mendapatkan hiburan (menurut perbandingan jumlah penduduk) akan membutuhkan lebih daru 5.000 gedung bioskop.

Di hari yang akan datang, perputaran uang penonton film tidak lagi berjumlah Rp. 365.000.000 — setahun — tetapi akan meningkat Rp 3.365.000.000 (tiga milliar tiga ratus enam puluh lima juta rupiah).

Dan jikalau sementara itu studio-studio film Indonesia telah dapat memperbaiki produksi-produksinya, atau lebih nyata dan tegas kita katakan: telah dapat menyesuaikan produksi-produksinya dengan keinginan rakyat dan rakyat sudah lebih national film minded (seperti India, di mana satu film bangsa sendiri dalam satu bioskop dapat diputar berturut-turut satu tahun lamanya) daripada sekarang, maka nyata kini bahwa lapangan film bukanlah satu sasaran yang kosong, malahan boleh dikatakan, lapangan film adalah satu tambang emas yang belum cukup digali.

Dengan perspektif begini rupa di hadapan mata, kita berasa sangat pikirkan pendapat Binggawattee untuk menyuruh orang-orang yang dinamakannya avonturir menggulung tikar dan melepaskan gelanggang film yang penuh beranyam saluran emas, pada rekan-rekannya yang sanggup membentuk modal berjuta-juta sonder pertolongan pemerintah.

Selanjutnya Binggawattee merasa keberatan jikalau diminta pada pemerintah untuk melarang pemasukan film Malaya; Binggawattee menuduh ikhtiar yang semacam itu usaha jauh dari fairplay dan akan memalukan produser Indonesia. Dan dengan mengemukakan hak penggemar-penggemar film Malaya, Binggawattee hendak mematahkan maksud mereka yang hendak memajukan permintaan itu pada pemerintah.

Usaha Binggawattee ini harus mendapatkan pujian, tetapi bukan harus pujian dari film produser Indonesia, hanya dari filmmagnaten [raja film—red.] di Malaya. Ia meningkat sampai begitu jauh hingga ia menyampingkan cap kenasionalan.

Dengan perkataan lain, Binggawattee dengan tidak malu berasa terang-terangan ingin mengejar keuntungan (untuk rekan-rekannya di Malaya) dengan tidak memperdulikan kenasionalan. Film Industri Indonesia biar lumpuh, biar mati pucuk, asal film Malaya jangan terhalang-halang mengeruk keuntungan di sini yang di bawa ke luar negeri.

Dalam perlombaan mendapatkan pasaran, kita memang mesti mengakui bahwa film Malaya telah mendapatkan voorsprong [pemimpin—red.]. Kalau dibandingkan penjualan-penjualan karcis dari film-film Malaya dengan penjualan karcis film Indonesia, film-film Malaya lazimnya akan menunjukan jumlah yang besar dari film-film keluaran di sini.

Sebab, hampir semua film Malaya dibuat untuk winstbejag [mengejar keuntungan—red.] untuk mengeruk keuntungan dengan sedikit sekali (atau hampir tidak ada) memperdulikan kebudayaan. Sedangkan produser Indonesia, maupun warga negara atau (apakah asli) bangsa Indonesia asli sangat memperhatikan soal-soal kebudayaan dan kebangsaan.

Kita betul heran, heran di balik heran, mengapa Binggawattee berkeberatan dan terlebih dahulu telah membantah kalau pemerintah melarang (atau membatasi) pemasukan film Malaya.

Bukan pembatasan film Malaya saja yang harus diminta pada pemerintah tetapi juga pembatasan film-film luar negeri yang lain, hingga film Indonesia bisa sedikit mendapatkan napas dan kesempatan. Apakah Binggawattee tidak pernah dengar bahwa pembatasan pemasukan film dari luar negeri, di negara-negara lain telah dijalankan; berangsur-angsur menurut dan berimbangan dengan perkembangan pembikinan di dalam negeri sendiri? Malahan ada negara seperti Inggris yang dengan sekaligus secara besar-besaran membatasi pemasukan film dari luar negeri hingga dalam negeri kekurangan film untuk dipertunjukan dan karena itu banyak gedung-gedung bioskop bertukar bulu menjadi gedung-gedung sandiwara.

Pemerintah negara-negara itu mengambil langkah ini karena mereka merasa perlu memberikan perlindungan pada industri film bangsa sendiri.

Sebagaimana sekarang pemerintah kita telah memberi perlindungan pada bermacam-macam usaha-usaha bangsa sendiri, juga pada perusahaan film nasional harus diberikan pertolongan.

Selain dari membatasi pemasukan film luar negeri, harus juga diberi pertolongan pada peredaran film nasional.

Pada bioskop exploitanien [pemilik—red.] harus diwajibkan memberi kesempatan pada film nasional untuk diputar dalam bioskop-bioskop kelas satu.

Ini bukan pula berarti yang tiap-tiap film nasional harus diputar dalam bioskop-bioskop seperti Menteng, Capitol, atau Garden Hall, tetapi film-film Indonesia yang ukuran baik itu jangan pula diambil perbandingan dengan film-film Amerika atau produksi Eropa. Sekiranya film-film Amerika hendak dijadikan bandingan dari film-film Indonesia, sama juga seperti hendak membandingkan bisokop-bioskop kelas satu di Amerika dengan bioskop kelas satu di sini atau restoran-restoran kelas satu di sana dengan restoran kelas satu di sini dan begitulah selanjutnya.

Pengertian cukup baik harus diambil dari ukuran: “Apakah film Indonesia yang (akan) diputar dalam bioskop kelas satu akan mendapat perhatian dari penonton bioskop kelas satu, itu atau tidak.”

Walaupun kebanyakan film-film Indonesia belum dapat dikatakan cukup bagus untuk diputar dalam bioskop kelas satu, tetapi toh sudah ada yang mencapai nilai yang pasti akan mendapatkan perhatian dan penghargaan dari penonton yang biasa atau hanya mengunjungi bioskop-bioskop kelas satu. Kita sebutkan di sini umpamanya film Antara Bumi Dan Langit (disutradarai mendiang Dr. Huyung, pengeluaran Kino Drama), Dosa Ta’ Berampun (disutradarai Usmar Ismail, pengeluaran Perfini), Si Pincang (disutradarai Kotot Sukardi, pengeluaran PFN.) Sekiranya film-film yang kita sebutkan di atas tadi mendapat kesempatan dipertunjukan dalam bioskop kelas satu, bukannya saja film-film itu mungkin, tetapi pasti mendapatkan perhatian penonton-penonton (terutama dari bangsa sendiri) yang hanya mengunjungi bioskop kelas satu. Banyak di antara bangsa Indonesia kaum intelek dan kaum golongan atas yang mau melihat film Indonesia, tetapi karena film-film nasional hanya diputar dalam bioskop tweede [kelas dua—red.] dan derde rang [kelas ketiga—red.] mereka tidak dapat menyaksikannya.

Bachtiar Effendi, penulis tulisan ini (keempat dari kanan), waktu memimpin regi dalam "Djiwa Pemuda" di PFN.

Bukan karena mereka tidak mau atau tidak suka (malahan ingin) melihatnya, tetapi kedudukan mereka sekarang dalam masyarakat sudah begitu rupa sehingga tidak layak lagi bagi mereka masuk menonton dalam bioskop tweede [kelas dua—red.] atau derde rang [kelas ketiga—red.]. Kepincangan keadaan ini menimbulkan satu jurang antara film-film Indonesia dengan kaum atas bangsa Indonesia.

Kebanyakan dari mereka menyangka bahwa film-film Indonesia keluaran sekarang nilainya masih sama dengan film-film sepuluh tahun yang lampau, yang mereka lihat di waktu mereka belum menjadi pentolan-pentolan. Mereka hanya menyimpan kenangan-kenangan dari pembikinan-pembikinan lama.

Kalau film Si Pincang umpamanya bisa mendapat penghargaan dalam internasional film festival di Cekoslovakia, adalah satu hal yang mustahil manakala film itu tidak akan mendapat penghargaan dari kaum intelek bangsa sendiri yang pengetahuan dan critice zin [kritis—red.]-nya (umumnya) tidak lebih dari pada penonton-penonton di Cekoslovakia itu.

Tetapi film Si Pincang tidak dapat dilihat oleh bangsa Indonesia penonton bioskop kelas-wahid, semata-mata karena pada film itu tidak diberi kesempatan diputar di bioskop kelas-wahid.

Usaha-usaha untuk merapatkan penonton kelas-wahid (bangsa Indonesia, terutama) dengan film-film nasional telah menggelikan hati Binggawattee.

Tetapi buat seseorang yang belum lupa dengan perasaan nasionalnya, kegagalan usaha-usaha itu menyedihkan.

Keinginan mendapat kesempatan memutar film nasional dalam bioskop kelas satu… dengan bantuan peraturan pemerintah dinamakan oleh Binggawattee satu keinginan yang kekanak-kanakan.

Ini boleh jadi disebabkan Binggawattee tidak tahu, belum tahu atau tidak mau tahu, bahwa di negara-negara lain, di Filipina umpamanya, ada peraturan pemerintah yang mewajibkan bioskop kelas satu memutar dalam satu tahun beberapa film nasional. Kalau di Filipina berjalan peraturan pemerintah yang semacam itu, apa salahnya pemerintah kita juga memberi bantuan sedemikian pada film nasional?

Dengan adanya peraturan perlindungan semacam itu, film produser dengan sendirinya akan lebih berhati-hati membikin filmnya. Mereka tidak lagi menunjukan pembikinannya hanya untuk “bung becak” atau “bung tukang gunting” (sebagaimana kebanyakan keadaan sekarang) tetapi juga akan menunjukan dan mendekati keinginan bapak-bapak.

Produser dengan sendirinya bersedia mengeluarkan ongkos lebih. Karena dengan mendapat kesempatan memutar film mereka dalam bioskop kelas satu, berarti mereka mendapat pasaran baru yang hingga sekarang belum dapat dimasukinya.

Jumlah film yang bernilai dengan sendirinya akan bertambah besar.

Bersangkutan soal tempat ini, Binggawattee mengatakan: “Publik yang ketagihan bercokol di Rivoli-Sintu tidak bakal kesemsem oleh Sunset Boulevard dan sebaliknya, publik yang termanja-manja nemplok di Metropole, Garden Hall, Menteng tidak mampu menangkap kenikmatan Rachun Dunia.”

Kalau Binggawattee mengatakan bahwa publik Menteng tidak dapat menangkap kenikmatan Rachun Dunia, kita tidak akan membantahnya. Sebab film-film semacam Rachun Dunia itu ‘nasib’, memang dibikin ‘bukan’ untuk penonton bioskop kelas satu. Tetapi kalau di Metropole, Garden Hall, Menteng diputar film Dosa Tak Berampun, film tersebut pasti mendapat penghargaan.

Usmar Ismail, Kotot Sukardi, mendiang Dr. Huyung telah bersusah payah membikin film yang bernilai yang pasti akan mendapat penghargaan dari penonton kalangan atas, tetapi film mereka tidak dapat diputar dalam bioskop, di mana kaum atas itu datang menonton.

St P.M dalam tulisannya, “Film-Film Nasional” berasa sedih karena masuknya film-film dari luar egeri (di antaranya Malaya dan Filipina) yang tak kenal pembatasan alkohol yang membinasakan manusia dengan perlahan-lahan tetapi tentu.

Tegoran St. P.M memang tepat dan harus diperhatikan oleh jawatan-jawatan yang bersangkutan. Kita sekarang di Indonesia berkeluh kesah dengan krisis ahlak dan majalah Merdeka manganjurkan supaya kita bersama-sama mencari sumber-sumber dari krisis ahlak itu.

Menurut pendapat kita, film-film yang tak kenal pembatasan itu adalah salah satu sebab dari kemerosotan ahlak di negeri kita ini.

Dalam lain tulisan, nanti kita akan mengupas soal krisis ahlak ini bersangkutan dengan film-film yang tak kenal batas.

Menilik dari tulisan Binggawattee, memperhatikan bagaimana caranya ia mencerca film-film keluaran studio Jakarta (walaupun di sana-sini ada yang baik). Seolah-olah ia menganjurkan jalan untuk mencapai kualitas yang lebih baik, kita mendapat dugaan bahwa Binggawattee dengan sengaja dan secara sistemis hendak menghancurkan popularitas film nasional di mata penonton bangsa sendiri.

Dengan usahanya mengemukakan pada pemerintah bahwa pada perusahaan-perusahaan film nasional tidak baik dipinjamkan uang serta menyuruh pionir-pionir film industri nasional (yang dinamakannya avonturir) menggulung tikar, nyata besar yang Binggawattee hendak membukakan jalan untuk sesuatu perusahaan film yang nasional dan sanggup mengadakan modal besar sonder [tanpa—red.] pertolongan pinjaman dari pemerintah.

Kita memperingatkan pada film produser nasional, maupun asli warga negara, supaya memperhatikan soal ini. Dan ada baiknya, malahan sangat perlu jikalau di Jakarta didirikan satu produser bond [organisasi produser—red.] yang dengan bersatu tenaga dapat menghadapi persaingan pembikinan film dalam negeri sendiri.

Saingan-saingan yang dimodali dari luar negeri. []

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search