In Kronik

Tulisan ini dibuat S.M Ardan saat masih berumur 22 tahun. Beliau memberikan pandangan bahwa sineas Indonesia ada baiknya mencontoh moda produksi pembuatan film Neorealisme. Mengambil contoh beberapa film yang dibikin oleh Vittorio de Sica, S.M Ardan berargumen bahwa kondisi Indonesia yang saat itu baru saja merdeka merupakan iklim yang sesuai untuk pembuat film berbasis kenyataan lokasi seperti Neorealisme ketimbang harus mencontek Hollywood dan mengimbangi Malaya dalam mengejar keuntungan (Kritik terhadap film produksi Malaya bisa dibaca di artikel ini yang ditulis oleh Bachtiar Effendi).

S.M. Ardan juga bukanlah satu-satunya yang menghimbau tentang penggunaan estetika Neorealisme bagi pembuat film di Indonesia. Di artikel ini, Rosihan Anwar juga memberikan pandangan serupa terhadap metode pembuatan film. Sineas di Indonesia, baginya, harus melihat film-film Neorealisme sebagai alternatif pembuatan film. Film, sebagai karya seni, tidak hanya sekedar barang dagangan belaka.

Selamat membaca!

Kalaulah film Indonesia mau berkiblat menghadaplah ke Roma! Film Indonesia lebih pantas mencermin film Italia, lebih kena! Kecenderungan ke Malaya hanya menghasilkan kekonyolan, hasrat menandingi Hollywood cuma menimbulkan kegelian. Indonesia sebagai bekas negara jajahan dan yang baru saja merdeka secara tidak langsung mengalami akibat peperangan lebih hebat, ditambah lagi oleh revolusi. Rakyat Indonesia yang baru saja mendapat kemerdekaan politiknya dalam lapangan ekonomi lebih-lebih masih terjajah. Dan keadaan ini masih akan lama berlangsung. Koperasi rakyat masih sedikit dan baru tumbuh, karenanya masih lemah, perekonomian rakyat masih dikuasai tengkulak-tengkulak. Dengan kenyataan masyarakat Indonesia yang begini kalaulah film Indonesia mau mencermin berkiblatlah ke Roma. Tentu saja disesuaikan dan didasarkan pada keadaan Indonesia! Ke arah ini telah dimulai oleh Mochtar Lubis dengan cerita filmnya Nelajan (1953, disutradarai oleh Ratna Asmara) suatu analisa kelemahan ekonomi nelayan-nelayan Indonesia seperti halnya para petani kita, masih dikuasai tengkulak-tengkulak. Tapi film ini yang sudah (?) selesai itu belum ada tanda-tandanya akan diedarkan, bahwa lenyap tak berberita. Dengan belum melihat sendiri film Nelajan itu, ke arah inilah hendaknya cerita-cerita film Indonesia ditunjukkan. Karena sepantasnya dan sewajarnya mengingat dan melihat kenyataan masyarakat Indonesia seperti diuraikan diatas. Cukuplah kalau ceritanya realistis untuk Indonesia, janganlah dulu universil tapi nilai-nilai universil sesungguhnya timbul sendirinya dari sifat realistis itu, seperti halnya film-film Italia sesudah perang dunia ini. Neorealisme pada seni film Italia sanggup menggemparkan dunia berkat kesenimanan para sineas-sineasnya, yang di antaranya bernama Vittorio de Sica dengan Ladri di Biciclette (Pencuri Sepeda)-nya (1948).

SM. Ardan. Foto diambil dari Wikimedia Commons.

Pencipta Pencuri Sepeda ini memulai dengan Sciuscia (Penggosok Sepatu, 1946) lalu sesudah itu Miracolo a Milano (Keajaiban di Milan, 1951) dan Umberto D. (1952). Cintanya pada manusialah yang mendorongnya membuat film-film itu, yang semuanya membayangkan kecintaannya kepada manusia. Dia lebih mencinta dari membenci, malah benci tidak ada sama sekali padanya. Hal ini menimbulkan kejujuran pada lukisannya, suatu ciri terpenting Neorealisme. Seniman de Sica ini dapat menciptakan film yang karena realistisnya mencapai sifat-sifat universil dengan alat-alat yang kurang dan sederhana. Tidak tingginya tehnik menimbulkan kesuraman dalam film-filmnya, tapi justru itulah yang membikin bagus, sebab sesuai dengan cerita yang mendukungnya: kemurungan! Suatu gita meratapi bahagia yang hilang bagi manusia dan pegangan terakhir satu-satunya: kepercayaan pada cinta, kepercayaan pada kebaikan. Teknik hanyalah pembantu, memudahkan pelaksaan penciptaan, yang penting adalah manusianya yang berdiri di belakang kamera itu, karena ketidaktinggian teknik inilah maka sudah sepantasnya Indonesia bercermin ke Italia.

"Pencuri Sepeda", karya Vittorio De Sica, 1948.

Pencuri Sepeda mengisahkan seorang buruh yang untuk pekerjaan yang baru didapatnya membutuhkan sepeda. Sepedanya ditebus dari pegadaian dengan menggadaikan kelambu dan tilam. Pada hari pertama ketika dia memulai tugasnya sepedanya dicuri. Dia mengejar pencuri itu seorang diri. Yang lain tidak memperdulikannya, mereka juga mempunyai kesusahan-kesusahan sendiri. Kemudian anaknya yang juga bekerja di pompa bensin diajaknya mencari sepeda itu kembali. Usahanya sia-sia. Dan dia tidak berani pulang malam itu, hingga isterinya menyusulnya. Keesokan harinya usahanya diteruskan dengan mendapat bantuan kawan-kawannya. Juga usaha ini tidak berhasil. Dalam keputusasaannya dia mencoba mencuri sepeda, tapi malang dia tertangkap. Untunglah polisi jauh dari daerah itu, hingga orang-orang yang menangkapnya segan dan melepaskannya kembali. Dengan memandang jauh ke depan disambutnya tangan anaknya yang memandang penuh tanya, dan dituntunnyalah menjauhi kamera. Melihat film ini kita tidak merasa menonton film, tapi seolah-olah duduk di pinggir jalan melihat orang kehilangan, kebingungan mencarinya kesana-kemari. Dan latar belakangnya kehidupan nyata: jalan, pasar, kampung. Pemilihan terpaksa antara kelaparan dan mencuri membawanya kepada cinta. Dalam segala kesederhanaannya! Peperangan menghancurkan cinta. Dan cinta ini harus dikembalikan, karena sangat dibutuhkan serta satu-satunya pegangan.

Miracolo a Milano atau Keajaiban di Milan menceritakan tentang gembel-gembel di kota itu. Peranan utama ialah seorang anak —yang baru saja kehilangan ibu angkatnya. Tanah tempat mereka menetap itu ternyata mengandung minyak. Kaum hartawan akan mengebornya. Gembel-gembel itu berikut gubuknya harus pindah dari tempat itu, karena tanah itu telah dibeli. Terjadilah perjuangan antara gembel-gembel dan polisi. Ibu anak tadi datang dari surga memberikan merpati putih yang dapat menciptakan apapun. Dengan merpati putih itu kaum gembel hampir memperoleh kemenangan, tapi ada raksasa mencuri merpati itu, hingga hilanglah kesaktian para gembel itu. Akibatnya polisi dapat menangkap mereka dan mengangkutnya. Tiba-tiba sang ibu mengembalikan merpati putih, maka kendaraan polisi itu berantakan dan kaum gembel itu terbang menuju dunia baik. Dalam film ini de Sica meninggalkan alam nyata menuju alam dongeng, tapi masih terasa, bahwa hanya sebelah kakinya yang melangkah ke alam hayal, sedang yang sebelah lagi masih terikat di bumi nyata.

"Keajaiban di Milan", Vittorio De Sica, 1951.

Setelah ke alam dongeng sebentar de Sica kembali ke bumi nyata. Film Umberto D. melukiskan demonstrasi yang gagal dari para pensiun untuk menuntut pensiun yang lebih tinggi. Kegagalan ini berarti hilangnya harapan para pensiun itu. Salah seorang darinya bernama Umberto lalu kembali dengan anjingnya. Pengembaraan ini akhirnya membawa dia ke jalan kereta api. Dia bermaksud membunuh diri dengan anjingnya, satu-satunya makhluk yang dicintainya, dalam pelukannya. Tapi sebelum kereta menabraknya anjingnya melonjak, terlepas dan lari. Dia mengejarnya. Dengan susah payah berhasil juga dia membujuk anjing itu kembali kepadanya. Setelah mendapat cinta anjingnya lagi, berjalanlah Umberto meneruskan pengembaraannya entah ke mana. Dalam film ini diceritakan juga tentang seorang gadis pelayan yang malang. Dia tidak tahu siapa anak yang dikandungnya. Makin bertambah kesengsaraannya ketika Umberto, orang yang bersikap ayah padanya, juga lalu menghilang.

Kalau kita bandingkan Vittorio de Sica dengan sineas-sineas Italia lainnya, seperti Roberto Rossellini dengan Paisan-nya (1946) dan Giuseppe De Santis dengan Rome 11 o’clock-nya (1952) (telah juga kuuraikan), maka ternyata ada perbedaan Rossellini dan de Santis dalam Paisan dan Rome 11 o’clock-nya [seperti] cerita yang luas rangkumannya, berupa sentilan-sentilan: dokumenter dan anti-perang. De Sica ceritanya berupa petilan yang merangkum, lebih hidup, lebih “realistis” dalam arti kata lebih pahit lukisan kenyataannya, karena cintalah yang menjadi dasar dan pendorongnya. Roberto Rossellini mendapat kekuatannya dalam agama, sedang Giuseppe De Santis, meski dasarnya masih cinta, tapi lukisannya diselimuti sinisme.

"Umberto D", karya Vittorio De Sica, 1952.

Lukisan bahagia yang hilang dalam Pencuri Sepeda begitu pedih, hingga tidak tahan dia, lalu lari dari kenyataan menuju alam hayal (Miracolo a Milano). Pelarian ini janganlah dipandang sebagai lari dari kenyataan dalam arti sebenarnya. Tapi mesti dipandang sebagai suatu jeritan akan ketidakpedulian dunia dan perhatian yang dingin serta hilangnya cinta. Juga di sini diakhiri dengan kepercayaan akan kebaikan. Kebaikan atau cinta yang sesungguhnya dimiliki tiap manusia, meski karena keadaan jadi jauh tersembunyi, kemudian de Sica insyaf, bahwa bukan mimpilah jalan untuk keluar, bahwa mimpi betapapun indahnya mempunyai batas: jadi, tidaklah akan menolong. Dan bahwa kenyataan walau bagaimana pahitnya harus dihadapi dengan berani. Maka kembalilah dia ke bumi nyata (Umberto D), yang lebih perih karena baru bangun dari mimpi, tapi lukisannya jadi lebih halus. Kalau dalam Pencuri Sepeda kegetiran kenyataan dihadapi dengan cinta dan diterima dengan penuh kesabaran, maka dalam Umberto D cinta satu-satunya itu mau lepas, hampir saja lepas, kalau dia tidak insyaf, bahwa mati bukanlah penyelesaian: bahwa bunuh diri adalah perbuatan pengecut, bahwa kepahitan hidup hanya dapat diatasi dalam dan dengan cinta. Ya, cintalah yang mendorong de Sica mencipta dan cinta pulalah yang menjadi pegangannya terakhir.

Kalaulah film Indonesia mau bercermin berkiblatlah ke Roma! Masyarakat Indonesia yang masih penuh perbedaan kaya miskin yang menyolok, kemakmuran yang baru menyentuh lapisan kecil, kebodohan yang masih teguh berakar. Semua itu adalah sumber yang tak habis-habisnya bagi cerita film. Ini kalau film Indonesia mau bercermin, sebab kecenderungan ke Malaya cuma menghasilkan kekonyolan dan hasrat menyamai Hollywood hanya menimbulkan kejengkelan. Sebab Indonesia dengan keadaan seperti dilukiskan diatas dan tertinggalnya dalam hal teknik sepantasnya bercermin film Italia semacam Nelajan, analisa tentang kelemahan ekonomi rakyat Indonesia yang masih dikuasai tengkulak-tengkulak. Tapi tentu saja ini bukanlah satu-satunya jalan. Hanya salah satu contoh. []

Recommended Posts
Comments
  • Rahmawan
    Reply

    Salah satu film Usmar Ismail, Lagi-Lagi Krisis (1955) juga ada satu dialog RD Sukarno. “Orang-orang sekarang lebih tertarik dengan gaya Italia!”. Tulisan ini pun membuat saya lebih mengerti keadaan masa lalu. Kalian keren. Terima kasih!

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search