In Kronik

Pengantar

Harta Karun (1949) merupakan filem pertama Usmar Ismail, setelah pengalaman berteaternya ia lalui semenjak masa penjajahan Jepang. Harta Karun sendiri adalah adaptasi bebas dari karya ternama dramawan dan sastrawan bergaya komedi Jean-Baptiste Poquelin (1622-1673) atau dikenal dengan nama panggung Molière, di mana pada masa ketika ia berteater—Teater Maya—sebenarnya juga sudah pernah mengadaptasi karya Eropa lainnya, Henrik Ibsen (1828-1906). Judul tulisan Melangkah ke Studio pada Majalah Mutiara, Oktober 1949 ini, seakan memberikan gambaran bagaimana pengalaman awal Usmar Ismail dalam proses pembikinan filem di masa itu, atau kalau boleh dibilang kata ‘studio’ adalah semacam pengalaman pertama tentang ‘teknik’ atau ‘teknologi’ bagi sang seniman ketika memasuki bidang filem. Pengalaman tentang teknologi ini adalah dunia filem itu sendiri, menurut Usmar Ismail bahwa seniman filem itu tidak cukup hanya mendapatkan ilham ketika berkarya karena ia bergantung sepenuhnya pada alat-alat teknik, termasuk diantaranya juga pengaruh filem-filem Hollywood yang dominan masuk ke Indonesia kala itu juga memperlihatkan bagaimana kehebatan teknik pengambilan gambar dan lain sebagainya.

Pengalaman teknik di dalam dunia filem itu sepenuhnya juga diantaranya mempengaruhi manajemen berkarya, apalagi dalam kondisi keterbatasan pendanaan, maka pengertian teknik termasuk di dalamnya adalah pada efektifitas dan efesiensi terhadap penggunaan alat-alat di dalam produksi filem. Pengalaman pertama Usmar Ismail tentang efesiensi dan efektifitas terhadap teknik ini, memberikan ilham pada dirinya, di mana pada tahun 1950 ia membikin filem secara mandiri menurut manajemen dalam karyanya Darah dan Doa. Tulisan Melangkah ke Studio adalah semacam kayuhan awal dari sebuah perahu yang mulai mencoba berlayar, yang tentunya adalah dengan kayuh yang seadanya yang tersedia di jaman itu. Masa depan filem Indonesia kala itu bagi Usmar Ismail sendiri memang belum dapat diduga pengaruhnya dalam mendidik masyarakat membentuk ‘dunia baru’. Tulis ulang karya Usmar Ismail ini, semoga bisa memberi ilham bagi sidang pembaca para pelaku filem di era digital hari ini tentang pengalaman pentingnya ketekunan dan ketelitian terhadap teknik untuk memproduksi karya-karya yang terbaik. *Redaksi Jurnal Footage.


Mutiara, 1 Oktober 1949, No. 7, Tahun I, (Terbit 2 x sebulan)

Redaksi Mutiara meminta kepada saya untuk menceriterakan serba sedikit segala sesuatu yang perlu dan ingin diketahui pembaca tentang pembikinan suatu filem. Pengalaman selama dua-tiga bulan itu, tentunya, tidak memberi hak kepada saya untuk mengemukakan pandangan-pandangan yang autoriter. Karena itu, saya juga cuma bermaksud sekadar mengobrol tentang hal-hal yang saya alami selama saya diserahi memimpin penyutradaraan dalam produksi Harta Karun. Waktu saya diminta oleh pemimpin produksi South Pacific Film Corporation [S. P. F. C.], tuan Denninghoof Stelling, apakah saya suka menerima [menjadi] pimpinan permainan [dalam] produksinya yang ke-4, ada juga timbul keragu-raguan dalam hati saya. Sebabnya ialah, sebelum saya berkenalan dengan perindustrian filem dari dekat, saya mempunyai pandangan yang sangat idealistis tentang bagaimana seharusnya filem Indonesia di masa datang. Dalam hal ini, tentu saja, saya memakai ukuran filem-filem Barat yang biasa saya lihat di bioskop. Setelah saya ikut bagai orang yang belajar dalam satu-dua produksi S. P. F. C., barulah saya mendapat siraman air dingin, bahwa cita-cita saya semula itu buat sementara, rupanya, akan tinggal mimpi belaka.

Harta Karun (1949)

Filem adalah kesenian abad atom yang dikuasai oleh teknik. Di sini si pencipta bergantung seluruhnya kepada alat-alat teknik. Tidak bisa dia bagai si pujangga, jika dapat ilham, mengambil pensil dan kertas, lantas menuliskan sajak-sajak yang indah dan abadi nilainya, atau bagai si pelukis yang kadang-kadang dapat menciptakan buah kesenian yang indah-indah hanya dengan arang kayu saja. Bagi si ahli seni filem, jika dalam hal ini kita dapat bicara tentang seni, pensil itu mesti ditukar dengan peralatan teknik yang ratusan ribu, malahan jutaan rupiah harganya. Tambah lengkap peralatannya, tambah banyak kemungkinan buat dia untuk menciptakan sesuatu seperti dicita-citakannya. Tetapi, peralatan itu hanya satu segi dari masalah si pencipta. Untuk mengendalikan tiap-tiap alat itu dia membutuhkan lagi ahli-ahli: ahli kamera, ahli suara, ahli pencahayaan, ahli penyuntingan (montage), ahli dekor, ahli musik dan bermacam ahli yang lain.

Jika semua itu sudah ada, belum tentu lagi mimpinya akan berwujud karena, kata terakhir ada pada sang direksi yang menguasai keuangan, yang menentukan macam apa filem yang akan dibuat itu: adakah akan membawa untung, apakah dapat mencapai publik [yang] seluas-luasnya, dan direksi pula yang mempunyai kata akhir tentang berapa jumlah uang yang patut dikeluarkan untuk pembikinan filem tersebut.

Itulah sebabnya, saya ragu-ragu menerima tawaran itu, karena dari mula saya sudah merasa bahwa dalam banyak hal saya terpaksa berkorban dan mengalah. Tetapi, agak sombong juga rasanya, jika kesempatan yang baik itu saya tolak saja mentah-mentah, padahal saya masih hijau dalam hal pembikinan filem dan belum merasakan kesulitan-kesulitan itu pada diri sendiri.

Produksi Harta Karun digolongkan dalam produksi “B”, artinya produksi yang tidak begitu mahal, tentunya dalam ukuran di sini, bukan ukuran Hollywood misalnya, di mana suatu produksi baru disebut mahal jika sudah makan ongkos jutaan dollar. Pada waktu menulis skrip-syutingnya (draaiboek) hal ini sudah mesti saya pertimbangkan. Ini berarti, bahwa settingnya (dekor) jangan sampai terlalu banyak, syuting filem (opname) jangan terlalu dicari yang sukar-sukar, sudut penglihatan kamera (instelingen) jangan terlalu sering diganti-ganti, [semuanya] supaya bisa menghemat tempo. Itulah beberapa petunjuk yang diberikan kepada saya sebagai penulis skrip-syuting.

Harta Karun (1949)

Harta Karun adalah gubahan merdeka dari karangan Moliere “Si Bachil”, dan kekuatannya terutama terletak pada percakapan yang lucu dan tajam, serta pada keadaan-keadaan (situasi) yang menggelikan. Dalam menyalin cerita ini dari bentuk lakon ke dalam bentuk skenario filem hal inilah yang perlu diperhatikan; karena itu, sukar untuk mengelakkan kesulitan yang mungkin timbul bahwa filem itu akan tetap mempunyai sifat-sifat sandiwaranya. Masalah lain yang harus dipecahkan ialah mengenai pelaksanaannya, karena dalam lakon komedi [Ed.] seperti karangan Moliere ini, orang gampang melebih-lebihkan hingga mungkin jatuh menjadi lelucon yang kasar; tetapi di samping itu, perlu pula dijaga supaya jangan terlalu halus sehingga tak bisa tertangkap oleh penonton banyak yang, tentunya, berlawanan dengan kehendak sang direksi yang justru menghendaki pendapatan yang sebanjak-banjaknya.

Pada saat saya menulis ini, sesudah filem itu rampung, dapatlah saya katakan buat diri saya sendiri, bahwa saya tidak terlalu terpeleset dalam mengimbangkan diri melalui jalan yang serba licin itu. Tentu saja, kata pertimbangan adalah pada khalayak ramai juga adanya!

Meskipun demikian, bagi saya sendiri, tidak ada alasan untuk terlalu berbangga-bangga diri karena, rasanya, titik cita-cita masih terlalu jauh; maksud hati masih tetap memeluk gunung tapi apa daya…

Juru kamera R. Husin dan Max Tera serta paling kanan Usmar Ismail

Tetapi, tak dapat pula saya tiadakan begitu saja bahwa, langkah pertama ini telah memberikan pelajaran-pelajaran yang berharga pada saya, pelajaran-pelajaran bagaimana seharusnya dan bagaimana tidak seharusnya. Dalam berbagai hal, dengan kerjasama dengan tuan Denninghoof Stelling yang juga memegang kamera, dapat juga dijalankan percobaan-percobaan ke arah kemajuan, antaranya, kepada kamera lebih banyak diberi keleluasaan bergerak; objek juga lebih banyak disuruh bergerak, [dan] pergantian adegan dilangsungkan dalam objek sedang bergerak sehingga filem itu lebih punya kecepatan. Tentu saja, dalam filem-filem Hollywood semua itu sudah barang lama, tapi bagi kami, ini adalah percobaan-percobaan baru. Dalam melaksanakan ini banyak timbul kesulitan yang disebabkan oleh kurang sempurnanya alat-alat meskipun studio S. P. F. C. terhitung salah satu yang paling moderen di Asia Tenggara ini, misalnya disebabkan deru giro (alat pendukung kamera), jika kamera bergerak belum bisa diadakan pengambilan percakapan jika pelaku-pelaku sedang berjalan.

Demikian juga, pencahayaan lampu serta pengambilan kamera pada umumnya, menurut orang yang tahu, lebih maju dari yang sudah-sudah, sedang suara pun lumayan juga.

Mengenai pengalaman saya sendiri sebagai sutradara yang diwajibkan mengatur permainan, tinggal satu kesan yang nyata bahwa, sesungguhnya, peran yang dimainkan oleh si sutradara dalam pembikinan filem jauh lebih besar dan lebih berat daripada dalam suatu pertunjukan sandiwara. Si pemimpin lakon adalah pusat dari seluruh permainan, dalam arti, bahwa dia memegang tampuk segala tali-temali yang harus mengikat lakon itu dengan erat. Dialah yang senantiasa harus memelihara persambungan adegan demi adegan. Karena dalam pembikinan filem, berlainan dari pertunjukan sandiwara, adegan-adegan itu tidak diambil menurut deretan cerita, [tapi] kadang-kadang pada pertengahan, malahan adakalanya pada akhir cerita. Jika suatu setting (dekor) didirikan, maka semua kejadian yang berlaku dalam dekor ini dihabiskan [dulu] pengambilannya, baru didirikan lagi dekor yang lain.

Harta Karun (1949)

Bagi pemain-pemain pun, hal ini merupakan kesulitan-kesulitan besar untuk membangunkan laku yang bersambung-sambung secara logis. Tambah lagi, tiap adegan itu dipecah-pecah dalam beberapa shot (bidikan) sehingga, kadang-kadang seorang pemain hanya mesti mengucapkan satu kalimat pendek saja lalu habis, atau kadang-kadang sama-sekali tidak bicara, cuma mewujudkan satu gerak laku saja.

Dengan berlaku dalam pecahan-pecahan ini, si pelakon mesti mambangunkan watak peran yang dimainkannya, tiap kali diambil mesti meresapkan kembali karakter yang mesti diwujudkannya. Itulah sebabnya, seorang pemain sandiwara, meski bagaimana sekalipun ulungnya, mula-mula akan tetap ‘kikuk’ berhadapan dengan kamera.

Dalam studio-studio besar biasanya kesulitan ini dicoba mengatasinya dengan memakai dolly atau kraan, yaitu kereta pembawa kamera yang bisa digerakkan ke segala jurusan mengikuti pelakon-pelakon dengan tidak memutus pengambilan [gambar] (take).

(Dengan alat dolly yang paling moderen dapat diambil dengan sekaligus satu adegan yang 3 ½ menit panjangnya).

Dalam memegang penyutradaraan filem, si pemimpin lakon terpaksa harus belajar memperhatikan hal-hal yang kecil sekalipun, karena mata kamera sangat tajam dan salah sedikit saja telah dapat menimbulkan suatu kesan yang janggal. Contoh-contoh di atas sekadar untuk membuka tirai ke belakang pembikinan suatu filem.

Sementara itu, bagi saya sendiri, pada hakikatnya sandiwara masih tetap merupakan seni pemeranan yang asli, sedangkan filem seperti wujudnya sekarang di negeri kita ini barulah merupakan pseudo-seni. Sungguhpun begitu, saya juga tidak akan menyangkal bahwa jika pembikinan filem dibawa melalui saluran-saluran yang sehat dan baik, tidak boleh tidak [ia] akan menjadi kesenian rakyat yang tidak ada taranya. Hal inilah yang menguatkan hati saya untuk tetap berlayar dengan kayuh yang ada meskipun keyakinan ini tidak saban hari sama cemerlangnya berkilau di dalam dada. Karena, sesungguhnya, siapa yang berani melangkahkan kakinya [ke] dalam dunia filem Indonesia dewasa ini, tidak perlu mengharap akan melalui jalan raya yang bertebarkan bunga mawar. Mungkin pengakuan-pengakuan di atas ini agak pesimistis kedengarannya, tetapi yang terlebih penting dalam obrolan saya itu ialah pengakuan bahwa, filem mempunyai masa depan yang sekarang belum dapat diduga batas pengaruhnya dalam pembinaan masyarakat dan dunia baru yang lebih baik.

 

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search