In Kronik

Artikel ini aslinya merupakan makalah yang disampaikan oleh Penulis dalam Simposium Sastra ke-V Fakultas Sastra Universitas Indonesia, lalu dimuat menjadi dua bagian dalam majalah Aneka: 1958, No. 31, 1 Januari, h. 18-19, dan No. 32, 10 Januari, h. 14-16.

Jika pada kesusastraan, kesatuan komunikasi terkecil adalah “kalimat yang dibangunkan oleh kata-kata” maka pada filem kesatuan komunikasi terkecil ialah “satu camera angle atau camera set up”. Dan jika kita ingat bahwa phenomenon filem terlahir dari adanya bahan mentah yang terbuat dari seluloid yang berukuran dua dimensi bersifat peka terhadap cahaya. Kepecakan dan ukuran dua dimensi dari pita filem ini menjadi dasar dari susunan gambar menurut nilai-nilai bentuk dari perspektif-perspektif garis dan bidang-bidang. Dari kenyataan ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa ‘alat’, terutama yang dipergunakan oleh seorang seniman filem untuk menyatakan perasaan atau pikirannya, ialah alat-alat grafis.

Foto: Asrul Sani

Jadi, dalam hal ini ia boleh disamakan dengan tukang potret. Penciptaan ruang dan keharuan visual dengan garis-garis dan bidang-bidang. Tapi ada lagi satu alat lain yang penting untuk melaksanakan pembuatan filem ini dan yang menyumbang unsur-unsur bagi kemungkinan-kemungkinan filem sebagai medium. Alat itu ialah kamera. Kamera ini, kecuali adanya suatu sistem lensa yang pelik padanya untuk menyalurkan cahaya yang kemudian akan ditimpakan pada pita filem yang peka cahaya, juga ada padanya kaitan-kaitan dan alat penggerak yang dapat menggerakkan filem tersebut dalam kecepatan yang normalnya 24 frames atau gambar dalam suatu detik.

Jadi, dalam satu detik ia dapat memotret 24 bagian dari satu kejadian atau gerakan, yang kemudian karena terdapatnya sifat ‘persistance of vision’ pada mata kita, kelak jika diproyeksikan di layar putih akan memberikan gambaran dari gerak yang berlangsung dengan licin dan berkelanjutan. Dari kenyataan-kenyataan ini dapat kita karakterisasikan filem, sebagai “rentetan gambar yang bergerak berkelanjutan”. Jadi, adanya gambar dan adanya gerakan yang kontinu adalah unsur-unsur pembangunan yang asasi bagi filem dan, karena itu, bersifat menentukan bagi hukum-hukum pembuatannya. Karena adanya gerak yang berkelanjutan maka juga terdapat padanya unsur waktu. Artinya, padanya juga terdapat kesanggupan untuk menyusun kejadian-kejadian menurut rentetan waktu seperti yang kita temui pada cerita. Jadi, ia memang mempunyai kemungkinan seperti yang dimiliki oleh seorang pengarang cerita. Cuma, jika hasil seorang pengarang adalah suatu keesaan yang timbul dari kontinuitas kata-kata, maka hasil seorang seniman filem adalah keesaan dari kontinuitas gambar-gambar.

Untuk memungkinkan penarikan sebuah garis pemisah yang jelas antara filem dan kesusastraan, saya kira perlu sekali kita mengemukakan sebuah definisi tentang kesusastraan. Biarpun definisi ini tidak lain hanya sebuah definisi kerja. Sebuah definisi yang bisa diperdebatkan panjang-lebar, tapi yang ingin saya pergunakan di sini semata untuk memperjelas hal-hal yang hendak saya bicarakan. Dalam hal ini: sastra atau kesusastraan adalah pengutaraan sebuah ide atau cita dengan pertolongan kata-kata yang dituliskan. Tapi nilai atau harga sastra dari pengutaraan ini tidak hanya terletak pada ide yang hendak diutarakan, tapi terlebih-lebih pada cara penggunaan alat—dalam hal ini, kata—untuk mengutarakan ide tersebut, dan pada kesanggupan cara ini untuk mengharukan pembaca. Cara ini begitu penting sehingga ialah yang membedakan apakah sebuah lembaran yang ditulisi berisi sebuah ciptaan sastra ataukah ia sekadar surat perintah kerja. Jadi, banyak dari harga sebuah hasil sastra itu tergantung pada sikap pengarang terhadap kata dan penggunaan kata. Seperti dikatakan oleh Jean-Paul Sartre dalam salah sebuah esainya: “Seorang disebut pengarang bukan karena ia telah mengatakan sesuatu tapi karena ia telah memilih untuk mengatakannya dalam suatu cara tertentu”. Dari sini tambah jelas lagi bahwa sifat sastra itu lebih lagi ditentukan oleh alatnya daripada isinya.

Foto: Ignazio Silone

Dan, karena soal ‘kata’ ini jadi penting  dalam persoalan kita, kita boleh bertanya, bagaimana pandangan atau pendirian seorang pengarang atau seorang penyair, sebetulnya, terhadap bahasa. Bagi seorang sastrawan atau seorang penyair, bahasa adalah struktur dari dunia lahir. Seorang penyair berada di luar bahasa. Ia melihat bahasa itu terbaik seolah-olah dia bukan seorang manusia yang serupa dengan sesamanya. Dan baginya, kata-kata ditemuinya sebagai sebagai semacam dinding, dalam usahanya menemui manusia. Aturannya ia kenal kepada benda-benda berkat namanya, seolah-olah ia terlebih dulu mengadakan semacam kontak dengan benda tersebut. Kemudian, baru ia berpaling kepada bahasa. Bahasa ini ia raba-raba seperti orang buta, ia uji, kemudian ia temui di antara kata-kata, bahasa itu yang mempunyai sedikit kemiripan dengan benda yang tadi ia hubungi—dengan air, langit atau-[apa]-pun jua. Karena kecondongan-kecondongannya sebagai penyair atau pengarang tidak memungkinkannya mempergunakan kata sebagai tanda dari suatu aspek dunia, ia melihat dalam kata, bayangan dari salah satu aspek ini. dan gambaran kata yang ia pilih untuk menyatakan seorang gadis bukannya mustahil sebuah kata atau beberapa buah kata yang biasa kita pergunakan untuk menunjukkan seorang gadis. Sebagai akibat dari usaha-usahanya ini maka terjadilah semacam revolusi dari ekonomi dalam sebuah kata.

Sikap terhadap bahasa ini adalah unik. Ini telah menyebabkan dia menjadi seorang sastrawan. Biarpun, waktu kepada Ignazio Silone ditanyakan mengapa ia mengarang dan ia menjawab karena ingin mengadakan komunikasi, maka keinginannya untuk berkomunikasi haruslah dilihat dari sudut ini. Dalam keextremannya, seorang penyair bukannya lagi menciptakan sebuah kalimat tapi ia menciptakan sebuah objek. Maka kata di sini menjadi benda.

Kini, ternyata dari praktik pembuatan filem bahwa, seorang sutradara tidak mengarahkan kameranya begitu saja. Ia biasanya dipimpin oleh sebuah ide yang mau ia kemukakan secara sinematografis. Ini bisa ditulis dan kemudian menjadi apa yang orang sebutkan dalam filem-filem [sebagai] cerita  screenplay. Jika kita membaca sebuah screenplay maka kita akan membaca sebuah cerita, dengan segala unsur seperti yang saya kemukakan di bagian pertama pidato saya ini. Di dalamnya kita temui pengisahan kejadian-kejadian dalam rentetan waktu, watak-watak dan plot. Pendeknya, tidak ubahnya seperti sebuah roman. Jika begitu, apakah itu bukan kesusastraan? Dan jika begitu, bukankah ada juga kedudukan sastra dalam filem? Sebelum saya jawab pertanyaan atau tukas ini, ingin saya terlebih dulu membacakan sebuah screenplay. Waktu menulis apa yang akan saya bacakan ini, tidak ada sedikit juga terbayang di mata pengarang satu sangkut-paut dengan filem. Ia ditulis bukan dengan maksud untuk dijadikan untuk dijadikan sebuah filem. Judulnya, Anak Laut.

ANAK LAUT
Sekali ia pergi tiada bertopi
Kepantai landasan matahari
Dan bermimpi tengah hari
Akan negeri didjauhan,

 Pasir dan angin seakan
Bertjampur. Awan
tiada menutup
matanja dan hatinja rindu
melihat laut terbentang biru.

 “Sekali aku pergi
dengan perahu
kenegeri djauhan
dan menjanji
kekasih hati
lagu merindukan
daku”.

Screenplay atau fragmen dari sebuah screenplay ini saya ambil dari “Gema Tanah Air—Prosa dan Puisi 1942–1948”. Kalau melihat maksud buku itu sebagai kumpulan dari prosa dan puisi, maka screenplay yang di atas ini tentulah sebuah sajak dan menurut ukuran pengumpul buku tersebut dapat disebut hasil kesusastraan. Saya akan membacakan sebuah screenplay yang lain.

Foto: Bachrum Rangkuti

Dalam sebuah gubuk kopi, lumajan djuga hiasannja, perempuan-perempuan mengidari kami. Seorang jang luar biasa manisnja mendekati Ferrie, jang tampan itu.

“Minum tuaan?”
Ferrie mendjawab lebih merdu lagi, sambil menekan suku penghabisan setiap kata seperti dalam bahasa Perantjis:
“Kalu bisa”.
“Mau minum apa, tuaan?”
“Kopisusu ada?”
“Aadaa tuaan…” Merdu mengalir. Lemah lunglai dia masuk kedalam.
“Alunanmu jang masjhur. Penuh djuita, Ferrie”, kata Jean.  Aku interpiu dia dulu”.
“Mudah-mudahan berhasul interpiumu”, kata Jean. “Kami djuga segera akan pergi menginterpiu jang lain. Wartawan di Tandjung”.  

Juga penulis fragmen dari screenplay ini tidak bermaksud menulis sebuah screenplay karena ia adalah sebuah fragmen dari cerita pendek[nya] Bachrum Rangkuti, Laut, Perempuan dan Tuhan yang juga saya kutip dari “Gema Tanah Air”.

Apakah ini belum lagi bukti yang cukup untuk menegakkan pendirian bahwa sastra mempunyai kedudukan dalam filem dan bahwa, boleh masalah kedudukan sastra dalam filem dijadikan pokok sebuah ceramah. Jawab saya hanya satu: tidak. Jadi, kalau begitu, bagaimana sebetulnya? Atau jika boleh saya memakai ucapan Bachrum Rangkuti: “Ini apa, madu atau tomat?”

Soalnya, ialah: kita di sini menghadapi suatu grensgeval [Bld.: kasus khusus (?)] Ini bukan secara kebetulan. Sengaja saya pilih contoh-contoh yang di atas karena grensgevallen [Bld.: perbatasan kasus (?)] sering menyebabkan salah paham. Sedangkan jika screenplay-screenplay rutin yang dipakai sebagai contoh, maka akan mudah sekali untuk membuktikan bahwa persoalan kedudukan sastra dalam filem adalah persoalan yang edan. Di atas tadi kita telah membicarakan tentang sikap seorang sastrawan terhadap bahasa. Hal itu tidak atau tak dibutuhkan sama sekali oleh seorang pengarang skenario. Bagi seorang penyair, kata-kata ditemui dalam keadaan liar, bagi seorang pengarang skenario, kata-kata yang dipakai hanya kata-kata yang sudah jinak. Bagi seorang penulis skenario atau screeplay, kata-kata bukanlah objek tapi alat-alat penunjuk bagi suatu objek. Tidak dipersoalkan apakah kata itu enak atau tidak enak, tapi apakah ia sanggup menyatakan suatu benda atau pendapat dengan benar. Tapi, dengan kedua contoh di atas tadi kita beroleh kesulitan. Karena di sini pisau bermata dua.

Foto: Jean Renoir

Sekarang, coba kita perhatikan bagaimana hubungan seniman-seniman filem terkenal dengan hasil-hasil kesusastraan, dalam hal ini roman. Dalam sebuah percakapan dengan sutradara Prancis yang terkenal, Jean Renoir, saya bertanya pada beliau: “Tuan Renoir, sebagai seorang sutradara, apakah sebetulnya sekarang yang ingin tuan capai?” Maka sutradara yang telah tua itu, yang telah cukup memakan asam-garam dalam filem menjawab dengan pendek, “Saya ingin bercerita sebagai Prosper Mérimée”. Sebagai saudara-saudara ketahui, Prosper Mérimée adalah salah seorang sastrawan Prancis yang baik dicatat namanya. Juga seniman filem Rusia, Eisenstein, yang dikatakan juga [sebagai] bapak dari teori filem, menyatakan dengan jelas bahwa ia banyak belajar dari roman—jadi, satu hasil sastra. Ia menyatakan bahwa montase, sebetulnya, bukanlah suatu teknik yang begitu saja jatuh dari langit dan yang khas bagi filem. Tidak, menurut dia, pengarang-pengarang yang besar telah lama memakai teknik montase ini. Antara lain, ia menunjuk kepada Leo Tolstoy. Tapi, janganlah kita terlalu lekas mengambil kesimpulan dari kenyataan-kenyataan ini. Bahwa para seniman filem belajar pada kesusastraan sudah wajar sekali karena kesusastraan adalah sebuah seni yang lebih tua. Bukan itu saja, bahkan Eisenstein sampai menghubung-hubungkan huruf dengan warna seperti yang kita temui dalam salah sebuah sajak Rimbaud dalam kumpulannya, Semusim di Neraka. Dalam kumpulan ini terdapat sebuah sajak Rimbaud di mana ia mulai mengatakan: “A, hitam; E, putih; I, merah; U, hijau,” dan sebagainya. Juga ini, sebetulnya, belum mengatakan apa-apa. Jika kesusastraan mempunyai kedudukan dalam filem, maka kita akan menemui semacam kesejajaran ukuran pada keduanya. Artinya, suatu puncak yang tinggi dalam kesusastraan harusnya juga menghasilkan suatu puncak yang tinggi dalam filem. Nanti akan terbukti bahwa, tidaklah demikian adanya. Jika kita selediki hubungan Esenstein dengan pengarang Inggris Charles Dickens, seorang pengarang yang buku-bukunya banyak ia sanjung, akan ternyatalah bahwa penilaiannya adalah lain sekali dan sangat sinematik. Dalam sebuah esainya untuk menggambarkan hubungan seniman filem Amerika, Griffith, dan sumbangan yang dapat diberikan oleh Dickens pada para pembuat filem sekarang ini, ia telah mengutip ucapan-ucapan dari Jackson (T. A. Jackson: Charles Dickens; The Progress of Radical, London, Chapman and Hall, 1892) dan Stefan Zweig (Three Masters: Balzac, Dickens, Dostoyevsky, 1930). Jackson mengatakan, antara lain, tentang Dickens: “Jika ada orang yang mempunyai bakat mata—bukan saja mata tapi juga telinga dan hidung—dan mempunyai kesanggupan  untuk mengingat sampai ke perincian-perincian yang sekecil-kecilnya segala yang telah pernah ia lihat, dengar, rasakan, cium, atau rasai, maka orang ini adalah Charles Dickens”. Dan tentang penulisan tokoh-tokoh oleh Dickens, Stefan Zweig menyatakan: “…psikologisnya mulai dengan apa yang dapat dilihat oleh mata; ia beroleh pandangan terhadap watak seseorang dengan jalan pengamatan dari luar… Dengan membuat tarikan-tarikan garis, ia menyingkapkan tipe”. Dan di tempat lain, Eisenstein memuji ketelitian mengenai details dan gambaran watak yang agak berlebih-lebihan. Ini yang terutama dipuji oleh Eisenstein pada Dickens, dan ini yang terutama ia lihat dalam karangan-karangan Dickens yang menyebabkan ia kagum melihat pengarang tersebut. Dari pengemukaanya, ternyata, bahwa baginya tokoh-tokoh itu penting karena sifat-sifat visualnya dan karena tokoh-tokoh itu dapat memperlihatkan sifatnya masing-masing berkat tindakan-tindakan lahirnya. Dalam kritik sastra, kebanyakan tokoh-tokoh yang kita temui dalam roman Dickens, adalah tokoh-tokoh yang orang katakan ‘pecak’. Tokoh-tokoh pecak ini umumnya dibangunkan [di] sekeliling sebuah ide. Tokoh-tokoh yang betul-betul pecak dapat dirumuskan dalam suatu kalimat. Mereka memperlihatkan suatu garis yang lurus, tidak memberikan penyimpangan-penyimpangan yang tiba[-tiba], dan sebetulnya tidak lain daripada tipe dan karikatur. Salah satu dari keuntungan seorang tokoh yang ‘pecak’ ialah karena mereka mudah dikenal dan, karena itu, tidak usah diperkenalkan berkali-kali. Keuntungan yang kedua, ialah karena ia mudah diingat oleh pembaca. Tokoh-tokoh ini terpatri dalam pikiran pembaca karena tokoh-tokoh ini tidak pernah berubah. Dan hampir semua tokoh Dickens dapat dirumuskan dalam satu kalimat. Sifat-sifat yang ditemui pada tokoh-tokoh ‘pecak’ ini adalah sifat-sifat yang cocok sekali buat filem. Dalam buku seorang pembaca, jika ia lupa sesuatu, bisa kembali ke halaman-halaman pertama untuk mencari hal yang terlupa itu. Tapi pada filem, hal tersebut tidak bisa dilakukan. Karena itu, pada penonton filem harus dihadapkan hal-hal yang lebih mudah, yang bisa diingat dan tak usah diperkenalkan berkali-kali.

Saya tidak akan mengingkari bahwa Dickens adalah seorang pengarang yang baik jika dilihat dari sudut kesusastraan. Tapi, jika dibandingkan, misalnya, dengan Dostoyvesky, maka Dickens jauh lebih terbatas dalam kebesarannya. Dostoyvesky telah menggali kedalaman-kedalaman manusia dengan keluasan dan intensitas yang lebih hebat. Tapi, jika dilihat dari sudut sinema, keadaan itu akan terbalik. Dickens akan lebih memberikan puncak yang lebih tinggi [dari]pada Dostoyvesky. Ini adalah suatu bukti bahwa ketidakadaannya satu kesejajaran dalam pengukuran pada filem dan sastra. Sehingga, jika sastra mulai bicara maka filem akan terdesak, dan jika filem yang bicara, [karya-karya] sastra tiba-tiba menjadi dangkal. Dickens bisa dianggap seorang pengarang skenario yang baik, sedangkan sastrawan besar Dostoyvesky adalah seorang yang hampir tak berguna. Hal ini juga dapat kita lihat pada filem-filem yang didasarkan pada kitab-kitab kesusastraan yang termasyhur. Kita ambillah, misalnya, buku Perang dan Damai yang telah dijadikan filem oleh King Vidor. Buku ini adalah buku yang menarik sekali dilihat dari sudut penulisan roman. Cara penulisannya sangat renggang. Nada-nada kebesaran yang keluar dari buku ini tidak terlahir dari ceritanya, biarpun Tolstoy juga maklum soal rentetan waktu, itu tidak dari episode-episodenya dan tidak dari tokoh-tokohnya. Kebesaran ini keluar dari keluasan Rusia yang tak tepermanai di mana ia telah menjabarkan tokoh-tokoh dan kejadian-kejadiannya; kebesaran ini keluar dari jumlah semesta; dari jembatan-jembatan, sungai-sungai yang jadi beku, hutan-hutan, jalan, kebun, lapangan, yang kesemuanya menumpuk suatu kebesaran. Hanya sedikit sekali pengarang yang mempunyai rasa terhadap tempat dan ruang yang begitu hebat seperti Tolstoy. Tapi, jika kita lihat filemnya, kita akan tercengang, karena apa yang dapat disebutkan esensial dalam roman Tolstoy tidak kita jumpai sama-sekali dalam filem tersebut. Memang, dalam adegan-adegan pertempuran antara tentara Napoleon dan tentara Rusia, Vidor berusaha memperlihatkan pemandangan-pemandangan yang luas, tapi hal itu tidak ada hubungannya sama-sekali dengan ruang yang kita temui dalam bukunya. Tolstoy di sini hanyalah ‘alasan’ sedangkan Vidor adalah segalanya. Barangkali, ini adalah disebabkan oleh karena ‘ruang jiwa’ selalu lebih besar dari ‘ruang fisik’. Dalam romannya bukannya tidak ada  faktor visual ini. tapi gambaran-gambaran ditimbulkan dalam pikiran pembacanya, jadi bersifat kejiwaan, sedangkan pada filem, gambar disediakan sedangkan yang harus disediakan [adalah] oleh jiwa dan pikiran. Contoh yang lain yang pernah saya lihat [adalah] dari cerita Kucing Hitam karangan Edgar Allan Poe. Sambil lalu, ada satu kesulitan dalam membicarakan filem. Sebetulnya, filem yang dijadikan contoh itu harus diputar, tapi sayang sekali hal ini tidak selalu mungkin. Pemutaran filem ini adalah satu-satunya jalan untuk menjelaskan karena, bahkan pemakaian foto-foto pun tidak akan memadai. Jadi, dalam keadaan kita sekarang ini, pembicaraan ini hanya bisa dilakukan atas dasar kepercayaan kepada penglihatan saya.

Foto: Fyodor Dostoyvesky

Seperti saudara ketahui, cerita Kucing Hitam karangan Poe—kalau saya tidak salah, pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia—menceritakan tentang perjalanan hidup seseorang yang sangat ganjil. Cerita ini terdiri dalam beberapa bagian dan memuat penulisan-penulisan yang sangat menarik hati. Bagian pertama melukiskan orang itu sebagai seseorang yang menyukai hewan-hewan dan yang memiliki seekor kucing hitam. Bagian kedua diperlihatkan bagaimana ia makin lama makin gelisah, dan akhirnya, menangkap kucing itu dan mencongkel mata hewan tersebut dengan sebuah pisau pena. Bagian ketiga menceritakan bagaimana kebenciannya dilanjutkan dan, akhirnya, menggantung kucing itu di dahan sebuah pohon. Di sini kita temui sebuah prosa yang indah sekali yang pernah dituliskan oleh Poe.

“Suatu pagi dengan perasaan yang dingin, kukalungkan tali pada lehernya (kucing itu) lalu ia kugantung di dahan sebuah pohon; —kugantung ia sedang airmata berlinang-linang dari mataku, dan dalam hatiku suatu penyesalan yang getir; —kugantung ia karena kau tahu hewan ini mencintai aku, dan karena aku merasa bahwa ia tidak memberikan alasan bagiku untuk membalas dendam; —kugantung ia karena aku tahu dengan berlaku begitu aku telah melakukan sebuah dosa yang besar…”

Kita melihat tiga puncak-puncak. Tapi dalam filem[nya], puncak-puncak ini tidak ditemui pada tempat yang sama. Sehingga, jika kita perbuatlah dua buah grafik dari turun-naik[nya] perasaan, yang pertama disebabkan oleh pembacaan karangan yang ditulis oleh Poe, sedang yang sebuah lagi disebabkan menonton filem dari cerita yang dikarang oleh Poe, maka kita akan beroleh bentuk-bentuk garis yang sangat berlainan sama-sekali, seolah-olah ia dilahirkan oleh dua dunia yang masing-masing tidak punya hubungan. Bait di atas yang saya bacakan, yang dalam tulisan Poe sangat mengharukan, dalam filemnya digambarkan tidak lebih daripada suatu penggantungan seekor kucing pada sebuah dahan. Mengharukan juga, tapi tidak sampai mendekati keharuan yang kita peroleh dalam karangan aslinya.

Tangkapan diam filem Un Chien Andalou (1929)

Hal-hal tersebut di atas, tiadanya ditemui ruang Tolstoy dalam filem[nya] King Vidor, tidak terdapatnya kesejajaran puncak antara prosa Kucing Hitam dan filem Kucing Hitam, bukanlah karena filem lebih terbatas daripada roman. Filem bukanlah roman yang dipenggal beberapa kemungkinannya. Karena kita melihat pada filem-filem, adegan-adegan yang tidak bisa ditimbulkan oleh seorang pengarang [yang] bagaimanapun juga. Sebuah close up dari sebuah tangan yang dirayapi oleh semut-semut besar—kalau saya tidak salah, dalam [filem] Los Olvidados [redaksi: yang benar: Un chien Andalou (1929), sama-sama filem karya Luis Buñuel]—tidak mungkin diutarakan oleh kesusastraan dengan cara yang bagaimanapun juga. Lintasan-lintasan wajah dari beberapa orang petani dalam sebuah filem Eisenstein, General Line, konflik bidang dalam adegan filem Potemkin, di mana kelihatan sebuah kereta anak-anak bergura-gura menuruni sebuah tangga dengan tak ada yang memegang atau mengendalikannya. Ini hanya beberapa contoh kecil dari perbendaharaan kekayaan filem yang boleh dikatakan tidak dapat diutarakan oleh kesusastraan [secara] sama.

Sumber dari segalanya ini, ialah karena pada seorang penulis skenario dan seorang sutradara, yang dijadikan soal bukanlah soal hubungannya dengan kata tapi masalah hubungannya dengan gambar. Yang menjadi soal baginya ialah, bagaimana caranya mengutarakan kedalaman-kedalaman kehidupan manusia dengan pertolongan benda-benda lahir. Jadi, tempat pertolakannya berbeda sekali. Dari segalanya ini, ternyata, bahwa sastra tidak punya kedudukan dalam filem. Ukuran-ukuran sastra tidak bisa dipakai. Filem mempunyai ukuran sastra. Tapi, sebaliknya, dalam filem, karena sifatnya sendiri terdapat unsur-unsur yang diperlukan untuk membuat suatu kesusastraan. Pada permulaan pembicaraan saya ini saya telah berkata tentang unsur cerita.

Jadi, biarpun tidak ada tempat buat kesusastraan dalam filem, sebaliknya, filem menyediakan lapangan yang sangat luas dan subur bagi kaum sastrawan

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search