In Artikel

Periode 1960-an, merupakan periode politik dalam khasanah karya-karya Jean-Luc Godard. Sebagai satu di antara pengusung “gelombang baru” (new wave) Perancis, Godard cukup intens mengungkapkan perihal-perihal politik dalam karyanya termasuk  juga adalah mempertanyakan estetika itu sendiri dalam sinema. Pada konteks-konteks sezaman sutradara para pengusung “gelombang baru” Perancis terjadi pergulatan perihal realisme dan modernitas. Semenjak Lumiere (1895), sinema menjadi kepercayaan pada penerimaan penonton bahwa apa yang mereka saksikan adalah sesuatu yang nyata–meski sinema pada dasarnya adalah sesuatu yang dikonstruksi, termasuk didalamnya adalah dokumenter ataupun dokumentasi, hal in disebabkan sinema memiliki kodrat yang mengandaikan adanya bingkai (frame), pemilahan (editing) dan seterusnya yang menjadi elemen-eleman artistik. Ilusi-ilusi dari realitas di dalam sinema tersebut secara mudah menjadi selubung-selubung ideologi kaum borjuis, karena jarak antara penonton dan sinema nyaris tanpa sebuah rujukan kritis dan sepenuhnya diserahkan oleh konstruksi sinema borjuis tersebut, seperti yang diperlihatkan dalam karya-karya sinema Hollywood.

Periode karya Godard pada dekade 1960-an, adalah sebuah periode karyanya dalam cara pandangan estetika moderen dalam mempertanyakan realisme dalam sinema. Bagi Godard, sinema adalah sesuatu yang tidak terikat dengan makna, karena dalam sinema memuat irama seperti halnya musik, sehingga sinema memiliki kodrat yang khas dan berbeda dengan sastra yang lebih terikat dengan makna. Bagi Youssef Ishaghpour, sinema dianggap sebagai sesuatu yang bisa mengkisahkan sejarahnya sendiri. Hal ini menjadikan sinema adalah medium yang berbeda dengan medium seni lainnya, termasuk didalamnya adalah sinema yang mempertanyakan realisme dalam diri sinema itu sendiri.

Weekend (1967), merupakan satu di antara karya Jean-Luc Godard yang cukup penting dalam memandang pergulatan antara realisme dan modernisme di abad ke-20. Filem ini memiliki tingkatan problematis yang cukup tinggi dalam sinema moderen, karena kompleksitas estetis dalam memperlihatkan antara perihal-perihal naratif dan gambar, sampai dengan perihal-perihal fiksional dan dokumentatif. Ketaksaan makna begitu kuat seakan mengukuhkan kembali ketidakstabilan realisme dalam sinema dengan membuka selubung-selubung ilusi dalam realisme dalam memandang dan memperlihatkan sebuah peristiwa. Weekend menjadi semacam sebuah teks, yang dalam kerangka Barthesian pembedaan teks dan karya adalah sebangun dengan kerangka Lacanian tentang ‘realitas’ dan ‘yang real’. Teks adalah sesuatu yang ‘yang menghadirkan’ (yang real) atau ‘pemerlihatan’, sedangkan karya adalah sesuatu yang sekedar ‘terlihat’ (realitas).  Pengertian antara teks dan karya dalam kerangka Barthesian, filem Weekend  membuka khasanah pengertian sebuah seni itu sendiri dalam perkembangan kekiniaan tentang realisme bukan lagi sebagai sesuatu yang dipandang substansial, namun lebih pada perihal-perihal membangun realisme secara meteodelogis, atau membongkar aturan-aturan baku realisme dalam sinema melelui pembentukan gambar pada filem.

Realisme and Modernisme

Weekend adalah semacam filem satir. Filem ini  berkisah tentang Roland (Jean Yanne) dan Corinne (Mireille Darc), sebagai pasangan yang menikah  dari kalangan borjuis. Suatu ketika mereka sedang dalam  perjalanan ke rumah orang tua Corrine. Perjalanan mereka berdua adalah perjalanan di akhir pekan yang penuh dengan kehebohan. Adegan-adegan sepanjang jalan dari perjalanan Roland dan Corinne adalah sebuah situasi reflektif yang dibangun secara parodi maupun satire dari sejarah kebudayaan dan sosial politik berdasarkan perjumpaan-perjumpaan pada para tokoh yang ditemui sepanjang perjalanan mereka.  Sampai suatu ketika Corinne dan Roland akhirnya tiba di tempat orangtuanya, dan mereka menghadapi situasi yang jauh dari harapan karena sang ibu Corrine yang menolak pembagian warisan pada sang anaknya. Perjalanan mereka berdua pun berlanjut, sampai akhirnya mereka sampai pada akhir perjalanan pada sebuah komunitas para hippies yang sedang melakukan revolusi dan kanibalisme, dan Roland bersama Corinne melarikan diri dari rombongan para hippies tersebut.

weekend2

Pada konteks estetika kelahiran filem Weekend kala 1960-an, adalah pergulatan antara realisme dan modernisme yang satu diantaranya adalah mempertanyakan realisme itu sendiri di dalam sinema. Modernitas pada Weekend merupakan kritik terhadap ilusi-ilusi realisme pada sinema yang satu di antaranya yang paling utama adalah menghapus ilusi-ilusi pada realisme sinema.  Perjalanan Roland dan Corinne di akhir pekan merupakan perjalanan terhadap perjumpaan-perjumpaan dari ‘peristiwa-peristiwa’ bahkan penggalam-penggalam ‘sejarah’ yang secara organis berkesinambungan dengan kisah Roland dan Corinne.  Apa yang teradegankan pada Weekend adalah apa yang disebut Alain Badiou sebagai ‘traffic cop (agent de la circulation de la verite)[1] , yakni melihat peristiwa tidak dengan menempatkan sebuah sebab krisis pada percobaannya melalui sebuah perjumpaan dengan situasi yang dihadirkan. Perjalanan Roland dan Corrine adalah semacam perjumpaan dengan peristiwa kekiniaan seperti pada adegan ketika para pengangkut sampah yang mereka jumpai melakukan sebuah statemen tentang  situasi politik yang berlangsung di Ajazair kala itu. Demikian pula pada adegan ketika Roland dan Corrine bersua dengan salah seorang tokoh pada masa revolusi Perancis yang sedang membaca puisi secara satire, sebagai bagian dari narasi ketika sang kedua tokoh tersebut dalam perjalanan menuju rumah Corrine, sampai kemudian perjalanan Roland dan Corinne yang berjumpa dengan para kelompok anarkis. Perjumpaan-perjumpaan peristiwa tersebut menjadi sebuah kesatuan kisah yang berorganis dalam narasi filem Weekend.

Perjalanan Roland dan Corrine pada kisah Weekend adalah rentang peristiwa sosial politik dalam konteks Perancis kekinian. Cara pengkisahan pada Weekend dilakukan oleh Godard dalam pendekatan yang cukup modernis sebagai usaha untuk mengkritik  tradisi ‘naratif’ yang mementing segi-segi artistik untuk membangun ilusi kenyataan yang sepandan dengan kenyataan sehari-hari para penonton. Hampir pada setiap scene pada adegan Weekend ini, Godard menyertakan teks pada beberapa adegan. Kehadiran teks pada beberapa adegan pada filem ini seperti semacam jeda yang memecah ilusi pada adegan dengan memberikan keterangan teks. Seperti pada adegan ketika Roland dan Corrine berangkat dari rumahnya, memuat semacam parodi politik tentang situasi sosial politik ketika mereka bersitegang dengan sang tetangga. Pada adegan tersebut terjadi bersitegang antara Roland dengan tetangganya dan terjadi kekerasan. Adegan ini diungkapkan oleh Godard tidak secara naratif, namun Godard melakukannya secara diskursif dengan menyisipkan teks “a scene Parisian life”. Dialog-dialog dan kode-kode visual yang berlangsung pada adegan kekerasan ini merupakan semacam parodi dari situasi sosial tertentu yang berlangsung pada konteks sosial politik di Paris.  Pada tradisi realisme ‘naratif’ adegan kekerasan dilakukan secara ilusif dengan membangun ‘realitas’ kekerasan dalam realisme filemnya. Adegan kekerasan pada Weekend oleh Godard diungkapkan secara diskursif dengan menghadirkan ‘yang real’ dari sebuah fenomena kekerasan. Adegan kekerasan secara diskursif ini banyak dihadirkan pada adegan-adegan filem Weekend, seperti adegan yang memperlihatkan darah pada adegan kecelakaan yang tidak lagi sebuah visual yang ‘mirip’ dengan darah, namun Godard cukup mengadirkan cat merah atau semacam ilusi tentang darah sebagai gambaran diskursif dari sebuah adegan kekerasan.

vlcsnap-2013-12-18-12h21m26s104

Realisme naratif bisa dianggap sebagai selubung dari ideologi kaum borjuis. Representasi realitas dalam realisme naratif seringkali membuat keserupaan dengan realitas yang biasa berlangsung dikeseharian masyarakat. Dalam hal ini, jaminan-jaminan ‘kebenaran’ diperoleh dari sebuah representasi yang benar-benar fisis, karena realitas fisis dianggap sebagai bagian dari fakta ideologis bagi kaum borjuis. Godard dalam Weekend pada dasarnya ingin membongkar pengertian kekerasan dalam kesadaran para penontonnya melalui diskursus kekerasan yang ia hadirkan dalam karya Weekend. Godard membuat adegan kekerasan bukan secara ilusif, namun secara diskursif sehingga memberikan kesadaran kritis terhadap penonton tentang wacana kekerasan. Secara radikal, Godard memecahkan moda representasi yang dominan terhadap adegan kekerasan, yakni dengan  menghancurkan ilusi  untuk menggulingkan tirani naratif, melalui pembongkran realisme yang dibangun secara gambar.

Satu adegan yang bisa dianggap cukup gigantik dalam filem Weekend ini adalah ketika Roland dan Corrine sedang menghadapi sebuah kemacetan panjang dalam perjalanan akhir pekannya. Adegan ini diambil dalam satu bidikan bergerak (tracking shoot) dalam satu ambilan (take) yang panjang dalam memperlihatkan kemacetan mobil di jalan. Antrian mobil yang panjang pada adegan ini diambil dengan kamera yang bergerak secara perlahan-lahan dan konstan, memperlihatkan suasana antrian dari berbagai macam mobil yang sedang mengalami kemacetan. Pergerakan kamera yang konstan dalam beberapa titik fokus tertentu bergerak mengikuti arah objek untuk menangkap adegan tertentu yang memperlihatkan kekacauan yang berlangsung pada kemacetan mobil tersebut. Secara konstan pula, adegan kemacetan tersebut juga memperlihatkan pergerakan kamera yang seiring dengan adegan mobil Roland dan Corrineyang berusaha keluar dari kemacetan dengan mengambil jalan mobil yang berlawanan. Ambilan panjang (long take) pada adegan kemacetan jalan ini adalah semacam parodi yang mengkisahkan bagaimana hiruk pikuk pada sebuah akhir pekan. Secara satire, Godard mengadegankan kemacetan ini, sehingga memberikan semacam diskursus dan satire dalam melihat peristiwa akhir pekan bagaimana sebuah situasi sosial dalam masyarakat kapitalisme.

Week end 1

Apa yang dihadirkan oleh Godard dalam Weekend sesungguhnya mempertanyakan rentang realisme borjuis dalam sinema.  “Realitas” sinema selalu dijamin melalui kamera, yang menurut Godard “kebenaran 24 kali dalam satu detik”, atau “dibentangkan 24 kali sedetik” [2]. Persoalan-persoalan sangat dimainkan oleh Godard sebagai kerangka modernitas dalam memandang realitas dalam sinema. Selain bidikan panjang yang Godard lakukan pada adegan kemacetan, ia juga menggunakan kamera secara paning yang melingkar 360 derajat pada adegan di sebuah peternakan. Pada adegan tersebut, memperlihatkan adegan seorang maestro piano sedang memainkan sebuah sonata dari Mozart sambil memperbincangkan gagasan filosofi seni, kemudian kamera memutar memperlihatkan orang-orang yang berada di seputar peternakan yang mendengarkan alunan piano sang maestro. Kamera yang berputar tersebut berhenti sejenak pada adegan sang maestro yang sedang memainkan piano. Pada putaran kedua kamera memperlihatkan sepasang kekasih yang sedang berjalan mendekati sang maestro yang bermain piano. Cara pandang kamera yang berputar ini seakan memperlihatkan pengertian ruang dalam sinema. Seperti yang diperlihatkan pada adegan ini, ruang yang diungkapkan melalui kamera yang berputar 360 derajat seakan memperlihatkan peristiwa bukan pada bingkaian yang hanya dibatasi oleh bingkaian ‘panggung’. pada adegan ini seakan memperlihatkan sebuah ruang dalam cara pandang sinema yang memungkinkan menyibak ruang 360 derajat.

Modernitas pada dasarnya adalah persoalan ruang dan bagaimana memaknai ruang tersebut. Menurut Alain Badiou “Setelah semuanya, ruang mendukung representasi. Modernitas dapat dikatakan menjadi kecurigaan dari ruang.”[3]. Pada karya-karya Godard kala 1960-an,  adalah sebuah penanda yang disubversikan atau pun kolase-kolase untuk memecahkan dinding-dinding realisme yang selama sebenarnya justru membatasi kebenaran dalam bingkaiannya. Godard sangat dalam melihat sinema sebagai potensi yang besar terhadap modernitas, seperti yang diperlihatkan pada kamera bergeraknya dalam adegan-adegan kemacetan maupun pada  adegan kamera yang memutar pada adegan-adegan di istal sebagai sebuah kemungkinan-kemungkinan gambar dalam sinema dalam mendiskursuskan sebuah tema-tema modernitas. Bagi Alain Badiou, sinema dan modernitas adalah sebagai identitas dari sebuah sinema kebenaran (un cinema dela verite); yang menawarkan dengan pertanyaan kebenaran. Ini berbeda dari cinema verite yang hanya menyibak  fakta.

Brechtian dalam Sinema

Mempertanyakan realisme, atau setidaknya mempertanyakan ilusi pada realisme sinema sesungguhnya adalah membangun sebuah adegan atau gambar dalam filem yang memberikan jarak kritis pada penonton. Dalam kerangka ideologi borjuis, realisme menjadi semacam ilusi yang menghadirkan sebuah kerangka emosional dengan membawa penonton pada sebuah kesaksian tentang apa yang ia saksikan adalah seakan-akan ‘nyata’.  Dekade karya-karya Godard pada tahun 1960 an merupakan rentang penggunaan kaidah-kaidah Brecht dalam bahasa sinemanya, sebagai bagian dari pendekatannya untuk mengkritisi realisme borjuis dalam sinema yang ilusif kala itu.

week-end-godard

Yang paling kentara dari kaidah Brechtian adalah bahwa penonton sadar bahwa apa yang disaksikannya adalah teater. Sama hal nya dengan sinema melalui pendekatan Brechtian, adalah usaha untuk menyingkap hal-hal yang ilusif dari sinema dan membuat penonton sadar bahwa apa yang disaksikannya adalah sinema. Dalam Weekend karya Godard, skema-skema Brechtian banyak disingkapkan melalui adegan-adegan yang para aktornya sebagai aktor yang sedang memainkan peran seorang tokoh. Nyaris dihampir semua adegan pada filem Weekend adalah sebuah pemeranan yang tidak membuat hubungan yang ilusif kepada para penonton, namun lebih sebuah pengadeganan yang bersifat diskursif yang membuat jarak-jarak kritis terhadap penonton, dengan menghadirkan adegan yang dimainkan oleh para aktor yang selalu ‘keluar masuk’ dalam lingkaran fiksi dan lingkaran dokumenteris.

Bahkan pendekatan Brecht pada karya Weekend sampai pada menjaga jarak pada dirinya sendiri sebagai sebuah sinema. Hal ini terlihat pada adegan ketika Roland sedang berjalan di sebuah jalan dan mencari sebuah tumpangan mobil yang melintas. Pada adegan, beberapa kali ia gagal menyetop mobil untuk tumpangannya, dan pada sebuah mobil yang sudah ia gagal untuk menumpang ia bertanya “apakah anda di dalam filem atau realitas?”. Adegan ini memperlihatkan jarak yang cukup jelas antara sebuah narasi yang mana Godard sengaja membuat jarak kepada penonton untuk membeberkan kesadaran kritis. Permainan narasi oleh Godard ini adalah bagian dari usaha untuk membongkar selubung ilusi sampai pada dialog yang paling verbal. Namun kerangka mempermainkan atau menyadarkan jarak-jarak ilusif pada penonton ini, pada filem Weekend masih dalam kerangka sinematis sehingga para penonton pun tetap diajak untuk menyaksikan sebuah fiksi yang enak ditonton. Demikian pula pada adegan ketika Roland dan Corrine sedang menumpang pada sebuah truk pengangkut sampah. Ketika truk tersebut berhenti, pada petugas sampah pun beristirahat makan roti, dan mereka melakukan sebuah testimoni tentang situasi sosial politik yang berlangsung di Aljazair.  Dialog yang dilakukan oleh para aktor yang memerangkan pekerja sampah ini dilakukan dengan menghadap ke kamera (penonton). Satu di antara kaidah brechtian adalah dialog yang diceritakan kepada penonton dan bukan diadegankan sesama aktor. Pada adegan para pekerja pengangkut sampah ini, sangat kentara dialog yang mereka lakukan adalah menceritakan kisah mereka. Pada filem Weekend ini juga diperlihatkan kilas balik atau refleksi dari filem sebagai sebuah kesinambungan dari dialog atau testimoni yang dilakukan oleh para pekerja pengangkut sampah ini sebagai satu kesatuan kisah.

Secara umum, sinema pada tradisi naratif selalu melayani setting, karakteristik, detail realisme, gaya, dan lain sebagainya. Sinema sebagai tradisi ‘spectacle’ pada dasarnya memang telah mengkondisikan para penontonya untuk berada dalam dunia yang sepenuhnya ada pada layar filem. Menurut Hugo Mauerhofer ini yang disebut dengan ‘situasi sinema’, yang mana para penonton terisolasi dan terputus dari dunia luar melalui ruang gelap pada bioskop. Dalam tradisi naratif,  filem kemudian memperkuat situasi ilusif penonton dengan menghadirkan beberapa karakter utama atau ‘hero’ untuk mengambil tempat pada identifikasi penonton pada layar kemudian berdampak pada emosi penoton yang menjadi bagian dari kisah filem.  Dalam Weekend pendekatan brechtian dijadikan jembatan untuk menghapus segala ilusi-ilusi sinema. Contoh yang paling mencolok pada filem Weekend ini adalah dengan menyisipkan teks-teks pada banyak adegan, atau pada interupsi yang dilakukan melalui sisipan-sisipan perjumpaan pada peristiwa-peristiwa historis, sampai dengan penggunaan latar musik yang muncul secara tiba-tiba yang tidak mensingkronkan pada adegan yang sedang berlangsung.  Konteks Brechtian dalam karya Godard ini,  adalah bagian dari pergulatan modernitas dan realisme dalam sinema. Tabik..


[1] Alain Badiou. “Reference Points for Cinema’s Second Modernity”, dalam Cinema. Cambridge: 2013. hlm 59.
[2] Robin Wood. “Weekend”. hlm. 1310
[3] Alain Badiou. Ibid. hlm. 60

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search