In Artikel, Terjemahan

Tidak banyak yang bisa dibilang saat mengenalkan subjek Bollywood. Istilah ini marak, sebagaimana maraknya Hollywood di tahun 1920 dan 1930an. Sukses mendunia luar biasa produksi-produksi Bollywood seperti Dilwale Dulhaniya Le Jayenge (sutradara Aditya Chopra, 1995) dan Kuch Kuch Hota Hai (sutradara Karan Johar, 1998) menandai kehadiran ‘ledakan’ global Bollywood di pertengahan 1990an, lebih luas dikenal sebagai pergantian besar dalam status nasional, regional atau bahasa sinema-sinema ‘lain’. Sepuluh tahun kemudian, pada 2007, orang bisa berpendapat kalau monopoli Bollywood pada ruang yang dibersihkan dan ditempati beberapa tahun lamanya telah berubah dan membentuk pola-pola berbeda, serta bahwa geografi sinema dunia sedang dipetakan kembali sebagiannya oleh sinema Hong Kong, sinema Iran, dan sinema basis-Nigeria yang pesat, nollywood. Budaya kegemaran global yang tampak tidak terpahami seputar aktor-aktor India seperti Shah Rukh Khan dan Rajnikant, dan sukses mancanegara luar biasa filem-filem ini seperti menyokong merek ‘bollywood’, menyatakan status keunikan Bollywood hari ini –hal ini mungkin dikarenakan praktik kontemporer yang telah datang mendekat untuk mencapai idiom ungkapan global yang setara dengan sukses penyebaran Hollywood klasik pada paruh awal abad itu.

Tapi bagaimana kita melihat fenomena ini? Apa yang ditandai Bollywood, dan untuk siapa? Apakah industri, praktik kultural, atau sekadar sebuah gagasan? Bisakah faktor-faktor yang menentukan sukses Hollywood klasik pada masa awal merembeskan semua cahaya bagi tarikan Bollywood sekarang? Pengertian apa yang ingin dibangkitkan para penonton melalui kaitannya dengan filem-filem Bollywood, dan negosiasi-negosiasi apa yang mengambil tempat secara global, melalui batasan ‘bollywood’?

Persebaran Virtual
Kata pencarian ‘Bollywood’ menghasilkan lebih dari 24 juta masukan di Google, lebih banyak ketimbang kata ‘sinema India’ yang masukannya hanya 3 juta. Soal ini, para bloger merujuk pada satu situs jaringan khusus seperti ‘Bollywood Film Generator’. Situs ini, TV Bombay, mempersilakan pengunjung untuk memilih dari banyak contoh cuplikan filem India, dan menambahkan subteks mereka sendiri ke dalam skenario, di salah satu dari lima bahasa utama dunia.1 Cuplikan-cuplikan ini tidak membatasi filem-filem produksi Bombay, sebagaimana dikatakan situs tersebut, tapi merupakan pilihan acak beragam genre, konteks produksi dan era, bermula dari mitologi Marathi 1960an ke filem-filem Tamil terkini sampai ‘Koboi’ India 1970an yang dibintangi si legendaris Amitabh Bachchan. Lebih khusus, tidak ada satu pun cuplikan yang benar-benar baru –filem-filem dibuat pada dekade terakhir tidak dimunculkan.

Diskursus semiotika dalam situs jaringan ini menarik. Gagasan menciptakan ‘generator subteks filem’ sangat menggerakkan. Di satu sisi, ketiadaan subteks filem di mana pun dalam cuplikan-cuplikan itu mengingatkan kita pada peran subteks sebagai terjemahan kultural dan linguistik dalam distribusi internasional dari filem-filem (khususnya non-Hollywood). Ini berdampak tidak hanya pada penonton internasional tapi juga para penonton di India sendiri –cuplikan-cuplikan filem dalam ragam bahasa India, yang berarti bahwa dalam bentuk tanpa subteks filemnya, semua tidak akan bisa diakses oleh seluruh penonton India. Untuk itu, benar atau tidak yang dimaksudkan pencipta situs jaringan ini, aktivitas subteks filem palsu bisa dipahami dalam hubungan kecerdasan relatif dari para penonton pengguna internet di setiap tingkatan pengenalan dengan sinema India sebagaimana juga sinema mancanegara –tentunya ditunjukkan bahwa mereka menguasai satu dari lima pilihan bahasa! Rujukan lain melekat dalam undangan membuat subteks filem adalah bahwa bahasa kiasan dan unsur-unsur formal dari cuplikan-cuplikan filem begitu dikenal secara universal di mana setiap orang bisa menebak apa yang sedang ditandakan cuplikan itu, dan dengan berlaku demikian, pengeluaran tambahan subteks filem dengan kebudayaan dan intertekstual mereka sendiri membubuhi penandaan. Akhirnya, subteks filem di cuplikan yang sudah selesai bisa dibuat secara publik dan didistribusikan online di bawah nama pembuat subteks filemnya, jadi penonton menjadi tidak hanya seorang konsumen komoditas, tapi pembuat makna, dan partisipan yang jelas dalam pembuatan makna ekonomi global kompleks.

Keputusan pengguna-jaringan dan bloger untuk menamai kembali situs jaringan TV Bombay ‘Bollywood Film Generator’ juga penting. Mencatat kecenderungan dehistorisasi dalam penggunaan istilah alamiah ‘bollywood’ internasional baru-baru ini untuk merancang apa yang dulu dikenal sebagai sinema populer ‘Hindi’ atau ‘India’, sarjana studi filem Madhava Prasad (2003) mencatat bahwa Bollywood cenderung digunakan sebagai penanda kosong yang cocok untuk ‘setiap kelompok tanda dalam wilayah sinema India’.2 Untuk itu, sebagai contoh, kebingungan yang tampak pada perancangan banyaknya cuplikan-cuplikan beragam di bawah totalisasi bendera Bollywood. Saya mengajukan, dengan begitu, tindakan penamaan kembali yang tadi sudah disebutkan menyarankan bahwa Bollywood bukan hanya sebuah penanda yang terlalu menentukan tapi sebuah praktik penandaan yang begitu canggih, di mana signifikasi sebuah hasrat untuk dikenal sebagai moderen dibuat secara global digunakan untuk menegosiasi dan menata dunia komoditas media pascamoderen.

Bollywood, Hollywood: Moderen atau Pascamoderen?
Madhava Prasad membaca putaran linguistik ke Bollywood sebagai sebuah indeks transformasi sosioekonomi dalam industri filem India dan para penonton asli Indianya. Dia menghubungkan fenomena Bollywood dengan serangkaian perubahan industrial di pertengahan 1990an yang menandai sebuah refleksivitas baru dalam hubungan sinema India dengan moderenitas dan moderenisasi. Perubahan-perubahan ini termasuk transformasi generasional di industri-industri filem India, kebangkitan mazhab elit –atau sutradara-sutradara muda dan bintang-bintang didikan luar, dukungan finansial yang meningkat dari para pengusaha bukan India asli (NRI) kaya, dan hubungan persebaran global aktivitas-aktivitas beragam menyangkut distribusi dan konsumsi kebudayaan India. Seiring dengan perubahan-perubahan ini muncul sebuah akses bersama merek filem India yang secara internasional popular yang dibedakan oleh hibriditas generik dan stilistik, produksi bernilai tinggi, sekuen-sekuen tari-nyanyi terkoreografi baik, bintang-bintang terkenal secara internasional, dan tema-tema kembali ke asal. Prasad merujuk penamaan produksi semacam filem-filem ‘bollywood’ begitu besar ke pengungkapan kehendak menamai kelas-kelas ekonomi bergerak (atau seperti disebutnya, ‘yang bicara Inggris’), yang mau membangun kembali realitas eksisten dalam citraan mereka sendiri. Industri, dalam saat refleksivitas, menanggapi hasrat ingin dikenal ini sebagai moderen, yang secara dialektis berhubungan dengan hasrat untuk reproduksi perbedaan yang diwakili Bollywood pada sebuah landasan dunia. Dalam kata lain, Bollywood sebagai merek mewakili sebuah ‘kelainan’ yang menggiring semacam pertukaran nilai terhasratkan dalam pasar global, baik ‘pasar’ identitas komodifikasi dan pasar dunia. Prasad melacak muasal penamaan ‘bollywood’ sampai pada dorongan-dorongan moderenisasi paternalistik dari sinema klasik Hollywood –nama ‘tollywood’ (menyatukan ‘hollywood’ dengan lokalitas ‘tollygunge’ Kalkuta) pertama kali diberikan pada konsentrasi paling awal studio-studio filem Kalkuta pada 1932, untuk merancang kedatangan moderenitas ke India dalam citraan dan bentuk sistem produksi studio Hollywood. Dan meski industri filem di India dipahami telah mencapai bentuk kekiniannya sejak, katakanlah, 1950an, hanya setelah lobi getol bagian industri filem yang akhirnya diberi penghargaan ‘status industri’ oleh pemerintah pada 1998.3 Popularitas nama ‘bollywood’ muncul untuk beriringan sesaat dengan pengakuan resmi industri filem India ini yang berhubungan dengan standar ekonomi moderen dan produksi serta konsumsi massa industrial yang diwakili Hollywood pada 1930an.

Analisa sosiologis ‘bollywood’ ini sebagaimana diproduksi oleh ‘kehendak menamai’ komunitas domestik dan NRI sangat berguna saat membicarakan hasrat ‘pembangunan’ tertentu bagi pengakuan global sebagai moderen, dalam tawaran untuk mendapat kekuatan pasar. Bagaimanapun, penjelasan ini tidak pergi jauh saat mengalamatkan hasrat-hasrat beragam para partisipan global dalam situs jaringan TV Bombay, yang paling jelas tidak membatasi pada komunitas-komunitas berkepentingan dalam moderenisasi dan kekuatan ekonomi India. Subteks-subteks filem di cuplikan itu dihidupkan dan dipublikasikan oleh para pengguna situs jaringan melalui keterikatan mereka dengan tampilan ‘bollywood’ tidak hanya sebuah ‘kehendak menamai’ tapi sebuah kehendak untuk mengasup makna, dan untuk memproduksi makna secara resiprokal bagi konsumsi dan resignifikasi abadi. Maka pada satu sisi ‘bollywood’ tampak berfungsi sebagai penghubung subjek untuk negosiasi ruang-ruang urban baru dan mode-mode kerja berhubungan dengan konsumen yang diberi tekanan pada pilihan antara komoditas dalam wilayah pengaturan ketat –yang tampaknya begitu ‘bebas’.

Bollywood sebagai Ungkapan Moderenisme
Tulisan Miriam Hansen tentang kesuksesan luar biasa sinema klasik Hollywood, dan teorinya tentang ‘ungkapan moderenisme’ mungkin jadi model berguna dalam analisis Bollywood sebagai praktik penandaan.4 Hansen melihat bahwa ketertarikan mendunia sinema klasik Hollywood didasarkan pada bagian promosi diri sebagai sebuah praktik beriringan dengan ‘pengalaman moderenitas’, sebagai sebuah produksi industrial, medium berbasis massa yang disisipi dengan janji konsumsi massa sebagaimana kualitas moderenitas yang lebih halus, semacam pemuda, vitalitas dan kecepatan yang berhubungan dengan penanda ‘amerika’. Lebih jauh, sebagai sebuah idiom campuran yang dihibridasi dari tradisi budaya heterogen, diskursus-diskursus dan bentuk-bentuk di tingkatan domestik, bisa jadi telah ada peningkatan sebaran dan tarikan kosmopolitan di mancanegara. Menurut Hansen, kunci resonansi global filem Hollywood klasik bersandar pada kemampuannya untuk menghidupkan tandingan budaya pada moderenitas teknologis, ekonomi dan sosial. Dia merujuk istilah ‘ungkapan moderenisme’ untuk menjelaskan kapasitas refleksif Hollywood klasik untuk berfungsi sebagai ‘bahasa penginderaan global pertama’. Sebagai bentuk diskursif moderen spesifik, Hollywood klasik memiliki potensi refleksif bagi pengalaman individu untuk diartikulasikan dan dicari pengakuan. Lebih jauh, sebagai idiom terjemahan dan transnasional, ia menghadirkan ambang batas estetika yang mampu membangkitkan penonton beragam untuk berhubungan dengan pengalaman masyarakat industrial, dan moderenitas. Kaitan ini terjadi melalui alur, penampilan, penyutradaraan dan genre; dagelan, sebagai contoh, adalah situs kritis untuk membangkitkan masalah dan tegangan masyarakat multietnis. Secara krusial, negosiasi-negosiasi refleksif ini dipadukan dalam pengalaman indera, sebab bagi Hansen, mengikuti Walter Benjamin dan Siegfried Kracauer, ini hadir pada tingkatan pemahaman di mana cara-cara persepsi direkalibrasi secara fundamental oleh dampak teknologi moderen. Hansen mengatakan bahwa Hollywood klasik membawa kepada ‘kesadaran optis’ yang mode-mode persepsi penginderaan dan organisasinya belum diterima sampai sekarang. Ia menambahkan, ‘refleksivitas tidak selalu harus kritis atau jelas; sebaliknya, dimensi refleksif filem-filem ini mungkin mengandung ketepatan dalam cara di mana mereka membolehkan penonton untuk berhadapan ambivalensi moderenitas konstitutif.’

Dalam analisa lain, Hansen mengajukan bahwa sinema-sinema nasional lain, Hollywood lain, juga berfungsi sebagai ungkapan moderenisme berbeda melalui proses-proses terjemahan budaya dalam sebuah hubungan kompleks dengan Amerika, model-model luar dan tradisional. Sinema Shanghai, sebagai contoh, tetap menjadi ungkapan lokal ketimbang global di awal abad kedua puluh, menyangkut halangan-halangan beragam untuk masuk ke pasar dunia. Hansen membayangkan apa yang akan kita temui jika proses itu ‘diperluas ke arah yang lain, dalam bentuk produk yang bisa diekspor dan disirkulasi secara internasional’.5 Fenomena filem-filem Bollywood, yang dibuat secara global menyediakan sebuah otoetnografi India di dalam ambang unik tentang kelainan, menciptakan ketepatan tantangan ini: bagaimana untuk melakukan teorisasi sinema ‘lain’ dalam pertanyaan ketika ia menjadi praktik produksi utuh yang beriringan dengan pengalaman teknologis, ekonomi dan sosial dari moderenitas dalam konteks konsumsi kebudayaan mendunia pascamoderen. Apakah Bollywood mewakili keseiringan dengan ‘standar’ moderenitas tertentu yang ditunda oleh proses pembangunan? Atau apakah ia merupakan perwakilan dari, sebagaimana diungkapkan Hansen, ‘keanekaragaman’ sinema global, pascamoderen, yang menggantikan dalam keutuhan kecenderungan-kecenderungan penyatuan sinema Hollywood klasik dan perwakilan zaman dari budaya massa moderennya?6

Arah pascamoderen bukanlah pergerakan besar rapi tapi terfragmentasi, parsial dan tidak setara, dikarakterisasikan oleh ketidaksinambungan, transisi-transisi dan aporia (ketidaksambungan logika teks). Bagi mantan koloni-koloni, secara khusus, pengalaman moderenitas adalah pertarungan yang sedang berlangsung, diinformasikan oleh daya-daya beragam dari pembangunan serta agenda-agenda kebudayaan, ekonomi dan politik yang bersaing. Pada titik tertentu, model ungkapan moderenisme Hansen menyediakan gagasan-gagasan dan istilah-istilah tertentu, seperti refleksivitas, persepsi indera, kesadaran optis dan organisasi diri dalam hubungan dengan dunia, yang berguna untuk menangkap fungsi kontemporer Bollywood. Sisa esai ini mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan ini melalui sebuah investigasi strategi-strategi formal dua filem India yang berhubungan dengan putaran masing-masing mengenai definisi moderenitas. Devdas-nya P.C. Barua (1936), diadaptasi dari lengkungan abad novel India, sering dianalisa sebagai satu dari teks-teks sinema pertama untuk membentuk sebuah moderenitas India. Devdas telah dibuat-ulang lebih 17 kali dalam banyak bahasa, mengarahkan banyak teorisi untuk mempertimbangkan apa yang digambarkan teks ini begitu tak berbatas ke ‘imajinasi India’. Versi paling baru filem ini adalah ulangbuat spektakuler Bollywood 2002 Sanjay Leela Bhansali. Promosi diri sebagai sebuah produksi besar Hollywood, Devdas-nya Bhansali adalah sebuah sukses internasional. Ia menyapu hampir semua kategori dalam penghargaan Filmfare di India tahun 2003, pernah menjadi entri resmi untuk kategori Filem Mancanegara Terbaik di ajang penghargaan Oscar tahun 2002, dan bahkan dipilih untuk diputar di Cannes pada 2002. Dianggap kemudian sebagai produksi paling mahal yang pernah ada di India, dan menampilkan alur terkini proporsi-proporsi global, bintang-bintang terkenal secara internasional dan karya-karya musikal terkoreografi dalam lingkup fantastik, skala paling kini Devdas tampak hampir tak terpikirkan dalam perbandingan dengan kesederhanaan filem Barua 1936.

Analisa saya membatasi diri pada dua filem dari dua momen sejarah ini (yang berfungsi hampir sebagai pinggiran buku bagi moderenitas India), saat mengelompokkan seluruh ulangbuat kelas tengah.

Sebuah Ungkapan Awal/dengan sebuah Tanggal Kadaluarsa?
Devdas (sutradara P.C. Barua, 1936) adalah sebuah adaptasi novel Bengali 1907 dari Saratchandra Chattopadhyay, penulis moderenis, sering digambarkan sebagai ‘Penulis profesional pertama India’.7 Sebuah produksi Teater Baru, satu dari dua studio sulih suara pertama ‘tollywood’ pada 1930an, dan dikeluarkan di Kalkuta saat India masih di bawah jajahan Inggris, Devdas adalah teks fundamental dalam pengertian gambaran estetika ‘moderenitas’ India. Sutradaranya adalah anak ningrat didikan Inggris, tuan tanah aristokrat. Dalam konteks perkembangan, naik turun dan kultur filem marginal India, Devdas mewakili upaya awal untuk menghibridasi dan mengadaptasi medium filem baru bagi kondisi-kondisi, bentuk-bentuk stilistik dan selera-selera India. Saya membaca filem Barua sangat berfungsi sebagai contoh ungkapan moderenisme spesifik bagi konteks urban India 1930an. Filem sebagai medium ditemakan dan membuat jelas kontradiksi moderenitas India, menyediakan sebuah matriks untuk artikulasi dan mediasi dari zaman fantasi pra-kemerdekaan, ketidakpastian, dan kecemasan menyangkut mobilitas kelas dan kasta, serta migrasi urban.

Devdas menceritakan kisah kelinglungan anak keluarga desa seorang pemilik tanah kuat. Dilarang oleh perbedaan kasta untuk menikahi Paro, gadis yang diinginkannya, anak muda ini menemukan kenyamanan di pangkuan pelacur kota kelas berat, Chandramukhi. Tertangkap dalam titik tengah antara nilai-nilai tradisional desanya dan etos permisif kota terbaratkan Kalkuta, Devdas menjadi peminum dan akhirnya mati sebagai gelandangan. Beberapa sejarahwan sudah menulis soal ketertarikan kekal kisah Devdas sebagai ‘psikis India’ dalam sebuah nadi otoesensialis, merujuk karya-karya ulangbuat fenomenal dan adaptasi-adaptasi Devdas ke ‘relevansi kekal metaforis arketifal di mana tiga karakter utama dilandaskan pada, meski bentuk-bentuk melodramatik dan struktur-struktur tematik ini cenderung sering dihibridasi oleh impor kolonial’.8 Saya lebih tertarik untuk membaca ketertarikan historis pada tipe ‘tokoh lemah’ karakter Devdas dan reinkarnasi setelahnya (sang ‘tokoh terpinggirkan penuh amarah’ yang dipopulerkan filem-filem laris Amitabh Bachcan pada 1970an dan ‘tokoh gila’ sinema Hindi pada 1990an, sering dibangkitkan oleh Shah Rukh Khan) seiring dengan diskursus kolonialisme dan krisis gender.9 Teorisi budaya Ashis Nandy sudah menulis dengan sangat meyakinkan sentralitas figur ambivalen, dwikultural, tragis dan androginus (setengah laki setengah perempuan) dari P.C. Barua sendiri (bintang dari versi asli Devdas Bengali, 1935) ke budaya penokohan awal yang melingkupi filemnya. Jejak-jejak mistik Barua dipertahankan dan dikembangkan sekitar ulangbuat-ulangbuat selanjutnya, termasuk versi 1936 yang dibintangi penyanyi terkenal K.L. Saigal, yang seperti Barua adalah seorang alkoholik, dan mati muda.10 Dilip Kumar, bintang Devdas Bimal Roy (1955), mempromosikan diri sebagai pahlawan ‘tragis’, sedang Shah Rukh Khan, bintang Devdas Bhansali (2002), sering diperbincangkan dalam majalah gosip terkait tuduhan biseksualitasnya.

Artikulasi ambivalensi secara struktur terpusat pada Devdas (1936). Saya membaca figur Devdas berfungsi dalam filem sebagai analog struktural sinema itu sendiri. Ia murni dihadirkan, sebuah medium reaktif seiring dan sepanjang pengalaman moderenitas ditampilkan. Melaluinya, tidak hanya desa dan kota dikonstruksi sebagai ruang-ruang ambivalensi fundamental, tapi karakter-karakter perempuan Paro dan Chandramukhi juga dibubuhi dengan ambivalensi yang memperumit pembacaan konvensional atas mereka dalam pengertian kata kiasan biner sederhana semacam ‘ibu rumahtangga penuh pengorbanan’ dan ‘pelacur berhati emas’. Saat Devdas meninggalkan desa ke Kalkuta, Paro mengeluh pada seorang teman, ‘Devdasku tidaklah seperti yang lainnya’, memaksakan Devdas kebal pada pengaruh-pengaruh rusak kota. Dan jelas, meski tidak dalam ungkapan tepat sentimen Paro, Devdas menolak tidak hanya kota tapi juga desa, dan penuh cemas mencari untuk melepaskan ikatan dari setiap penandaan identitas. Ia lalu berkata pada pelacur Chandramukhi, ‘Aku minum supaya tidak merasakan apapun’. Dalam istilah simbolik, minum menjadi semacam anestesi bagi Devdas melawan persepsi kenyataan ‘moderen’, meski ini jadi dorongan anarki kota atau konvensi-konvensi stagnan desa.

Sinematografi Barua menggambarkan kota dan desa sama-sama ambivalen. Moderenitas baginya tampak berhubungan tidak hanya pada sebuah pengetahuan baru tunggal dalam bentuk kesepian dan keasingan di kota besar, tapi juga kehadiran pendirian kritis melawan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan kasta dan patriarkal desa ‘tradisional’. Transisi-transisi rapi antara adegan-adegan desa dan kota sering memunculkan komposisi serupa, yang melihat bahwa transaksi sama mengambil tempat di kedua ruang itu. Barua menghindari pemapanan biner-biner visual sempurna antara tempat-tempat kejadian ini dengan menggantikan hampir seluruh tindakan dalam filem ke wilayah pribadi, yang berfungsi sebagai pengamatan pada kecenderungan menutupi dan terlalu melindungi kelas aristokratik. Bahkan adegan-adegan perjalanan diambil dalam ruang-ruang tertutup kereta, gerobak dan palanquin (becak khas India), dengan ketidakhadiran sempurna ambilan-ambilan sudut pandang ruang penghubung perjalanan. Barua juga mengomplikasi representasi sinematik familiar dari pengasingan opresif ‘kerumunan’ sebagai fenomena urban yang sangat khas –desa juga bisa menghidupkan pengalaman serupa. Jalan-jalan, sering dengan kerja kamera udara bersudut tinggi dalam adegan yang menampilkan kehidupan desa membawa pengamatan terus menerus dari lingkungan penuh gunjing. Contoh dari ini ada dalam adegan di mana Devdas kembali ke rumah dari kota, dan bergegas menjumpai Paro, selain mengetahui bahwa ia, berasal dari kasta rendah, dianggap oleh semua sebagai pasangan tak sepadan baginya. Ambilan sudut tinggi membingkai Devdas saat ia mendekati rumah Paro, lalu memutar dan diam pada Paro, yang menunggu dengan cemas di samping pintu. Gambar itu dihadirkan seakan dari perspektif tetangga pengintai yang mengamati hasrat terlarang pasangan itu. Meski dia mempertahankan pembingkaian erat situasi ‘ramai’ bagi adegan-adegan kota, Barua menggunakan teknik lain untuk mengungkapkan daya-daya opresif multi-arah dari struktur komunitas gabungan keluarga desa tradisional. Saat Devdas mencoba menggalang dukungan anggota keluarganya melawan keputusan pengirimannya ke kota, serangkaian potongan-potongan cepat menunjukkan Devdas melawan ayah, ibu dan abangnya. Setiapnya mengungkapkan sebentuk sanksi negatif, dan suara-suara mereka, dibesarkan dalam kesatuan mengancam, berbalik menghantui Devdas selanjutnya, bahkan saat dia sendiri bersama Paro. Efek massa di desa sebenarnya psikologis ketimbang fisik, hasil dari ketidakmemadaian ruang pribadi, refleksi personal dan penentuan diri. Kota, juga, sesak. Pembingkaian dalam satu dari adegan-adegan kamar pelacur Chandramukhi menggiring alienasi paradoksikal kota yang penuh sesak. Chandramukhi dibingkai ketat di tengah sekelompok patron-patron lelakinya, sedangkan ambilan gambar lainnya adalah pelacur yang lain, duduk di dekatnya, memandang jauh entah kemana. Gabungan ambilan gambar menyarankan bahwa terlepas dari (atau sebagaimana berfungsi) kehadiran massa, kedua perempuan sebenarnya sepi.

Sebagai tambahan Barua mengawali drama pada permukaan dan kedalaman dengan figur Paro dan Chandramukhi melalui karakter Devdas. Ini membuat figur-figur perempuan sebagai situs ambivalensi tertentu yang terus mereka artikulasikan sendiri, melalui bentuk-bentuk penipuan. Devdas, dalam pencarian idealisnya bagi keterbebasan dari sanksi sosial, memukul Paro dengan tongkat di keningnya pada hari sebelum pernikahannya, yang membuat bekas luka dan membangkitkan perlambang somatis mereka sendiri di tempat sindur pernikahan ‘resmi’. Luka ini kemudian dimasukkan dengan sebuah kapasitas telepatik sebagai tambahan dari hubungan platonik yang menyenangkan yang harus dipelihara Devdas dan Paro di hadapan khalayak.

Interaksi Devdas dengan Chandramukhi juga membangkitkan pertanyaan investasi makna sosial dan kultural serta raga eksternal yang kemudian menandai identitas sosial. Saat mereka bersama dalam kamar sang pelacur, Devdas menghancurkan potret foto Chandramukhi berdandan dalam baju dansanya. Suatu kali kesamaan sang pelacur dihancurkan, hanya si perempuan Chandra yang tetap. Berbaju bersih, dia menyingkap bahwa perannya sebagai pelacur adalah setepatnya itu –sebuah peran. Bergerak ke aksi, Chandra menjual seluruh kepemilikan duniawinya dan istirah di desa setelah berhenti dari pekerjaannya, hanya kembali ke kota untuk menyelamatkan si pemabuk Devdas dari jalanan, setelah mendengar kejatuhannya dalam mabuk-mabukan. Chandra mengenakan perhiasan palsu dan menataulang kamarnya untuk mengembalikan hawa gairah mereka terdahulu, dengan begitu Devdas bisa mengenalinya. Saat mendapatkan kembali kesadarannya, Devdas berkata pada Chandra bahwa dia mengenalinya melalui perhatian penuh cinta dan kasih sayangnya, bukan pakaiannya.

Dalam bentuk terjelasnya, perhiasan merupakan perlambang ambigu baik dari ‘perempuan yang terjatuh’, dan terhormat, keistimewaan sosial, kekayaan, status dan kasta –pengantin juga bisa dibeli dengan sejumlah uang yang cukup. Perhiasan, bagaimanapun, juga menawarkan kemampuan membebaskan untuk penipuan. Mengikuti penolakan keluarga Devdas karena ia berasal dari kasta rendah, Paro menikah dengan tuan tanah kaya, dan seringkali diberi perhiasan untuk dipakai menemani status baru yang dimilikinya dan peran ibu rumahtangganya. Paro memilih untuk menghadiahkan seluruh perhiasanya kepada putri suaminya, dengan begitu menolak sistem pertukaran, penilaian status dan sosialisasi sepadan. Dengan mempertahankan bentuk luar dari hari-hari sebelum nikahnya, Paro mempersilakan kebebasan dirinya untuk menjamu fantasi cinta terlarang berkelanjutannya pada Devdas.



Devdas Bollywood
Devdas S.L. Bhansali (2002) didasarkan pada kisah sama sebagaimana filem Barua, dan penulis besar Saratchandra dalam ucapan pembukanya. Arah Devdas secara signifikan mengembang dalam lingkup geografis: filem ini dibuka dengan kembalinya sang tokoh dari London, di mana dia dikirim untuk pendidikan lebih tinggi. Kisah utamanya berfungsi dalam sebuah rumah sub-alur melodramatik dibubuhi dengan sensibilitas feodal dan konvensi-konvensi genre opera sabun televisi kontemporer yang dibuat terkenal oleh produser semacam Ekta Kapoor. Sebagaimana dalam kisah tanpa akhir keluarga besar ini, karakterisasi hiperbolik S.L. Bhansali, memuncak dan membebaskan permintaan tak terelakkan penahanan kehendak dari ketidakpercayaan penonton. Pusat perjuangan dalam Devdas 1936 berhubungan dengan negosiasi ambivalensi ruang-ruang moderen dan mode kehidupan; ia meninggalkan, dalam perhatian Barua, sebuah negosiasi yang secara mendasar menolak resolusi. Bhansali merefigurasi perjuangan ini sebagai konflik oedipal antara seorang Devdas reformis ‘asing yang baru kembali’ dan ayah congkaknya, seorang berkarakter ‘sahib coklat’ yang persetujuannya berpatokan pada kekaburan pandangan kaum putih. Penolakan tragis pada karakter Devdas secara rapi menggoyahkan konflik dengan membuat ajuan pada sentimen-sentimen nasionalistik dan patriarkal.

Sasaran dalam Devdas (2002) tampak menciptakan ‘kelainan’ mitis bagi penonton, tanpa pretensi bagi akurasi rincian sejarah. Tugas menghistorisasi perbedaan sosial, yang dipakai Barua melalui strategi-strategi realis, umumnya dimasukkan atau dimanipulasi filem Bhansali dalam layanan tampilan spektakuler. Secara khusus, filem ini menemukan kepentingan untuk memudarkan perbedaan-perbedaan kelas. Bhansali tidak terlalu memusingkan kerja pembedaan desa dan kota secara visual, atau rumah kasta tinggi Devdas dari rumah kasta rendah Paro, atau bahkan kamar pelacur Chandramukhi, sebagai ruang-ruang terpisah. Semua ini hampir identik dalam keterbukaan mereka, gaya arsitektur dan keluasan halaman—dan balkon, interior-interior terdekorasi. Lebih jauh, karakter Paro dianggap dalam filem Bhansali sebagai sama dengan kasta penari seperti Chandramukhi, yang menyediakan peristiwa bagi dua sekuen tari besar, satu melibatkan ibu Paro dan lainnya melibatkan baik Paro dan Chandramukhi. Presentasi dari pemandangan eksotis ini bagi konsumsi penonton akan tak terpikirkan di luar penyimpangan sejarah Bhansali. Seluncur historis tampak diterima luas sebagai bagian dari tanggungjawab kontraktual dalam pelibatan pengalaman Bollywood. Salah satu pengkritik online mengaku bahwa ia menikmati Devdas terlepas (atau barangkali disebabkan) oleh tampilan klise-klise ‘komersial tak termaafkan’.11 Penggiringan penonton secara kontraktual dilengkapi oleh invensi dan proliferasi ritual-ritual dan rincian-rincian etnik. Sebuah contoh dari tampilan bebas ini adalah rancangan lukisan Paro bersimpuh sebagai rutinitas keseharian, yang mengizinkan penonton etnik ‘beterbangan’ dalam adegan-adegan keseharian yang setara ketimbang satuan adegan-adegan yang secara spesifik menyarankan ritual, semacam tarian atau perayaan.

Rincian-rincian ini merupakan tata mitologis penandaan. Dalam ungkapan teorisi budaya Rey Chow, mereka tidak ada di sana untuk ‘memaknai’ diri sendiri tapi hadir sebagai pengungkapan tata kedua, untuk bicara dan mengakui: ‘Saya India feodal’. Di sini bersandar refleksivitas Bollywood sebagai ambang batas. Ia tidak hanya memproduksi dan menampilkan eksotika etnis primitif bagi konsumsi Barat, tapi juga membiarkan ‘orang asli’ menjadi asing pada tradisi mereka sendiri dengan mengaitkan pandangan mereka dengan pandangan orang Barat. Fenomena ini secara keseluruhan beriringan dengan model ‘otoetnografi’ Chow, atau sebuah praktik yang merangkum sebuah budaya ‘primitif” sebagai alat moderenisasi dan pemugaran kembali citra budaya. Di satu sisi, praktik penandaan semacam itu berlaku sebagai sarana penandaan, atau sebagaimana dinyatakan Chow, ‘sebuah bentuk baru organisasi yang sejenis dengan pengumpulan moderenis.’12 Tapi Bollywood juga sebuah praktik transaksional penataan diri sebagai subjek konsumsi, melalui tindakan masuk ke dalam sebuah hubungan penglihatan dengan subjek-subjek komodifikasi lainnya.

Subjek-subjek Visibilitas
Chow telah mengajukan bahwa, ‘kondisi keberadaan yang tampak padanya tidak hanya membangun ke dalam cara budaya-budaya bukan orang Barat dipandang oleh orang-orang Barat; lebih jauh ia merupakan bagian perilaku aktif di mana budaya-budaya tersebut mewakili –mengetnigrafikan—dirinya sendiri’. Beberapa teorisi sudah menulis tentang representasi dan subjektivitas sinema India dalam pengertian darsana, mode alternatif melihat dan dilihat yang diturunkan dari ungkapan kekuasaan berdasar citra ketuhanan dalam budaya agama Hindu. Sarjana studi filem Ravi Vasudevan menulis, ‘dalam praktik ini, penganut diizinkan untuk merengkuh citra ketuhanan, dan diistimewakan serta diuntungkan oleh izin ini, berkebalikan dengan konsep memandang yang diterapkan kekuasaan kepada bambungan dengan mengurangi citra ke sebuah objek pandangan’. Dalam pembacaan Vasudevan terhadap Devdas Bimal Roy (1955), filem ini menggerakkan subjektivitas Paro dengan merepresentasikan sudut pandangnya, tapi secara terus menerus melarang pandangan Paro ke kaki Devdas, terbingkai di sebuah pintu yang berfungsi sebagai jalur masuk sebuah pintu simbolis. Dengan begitu praktik darsana ditempatkan secara sinematik untuk membatasi medan pandang perempuan dengan memusatkan sang kekasih di dalam sebuah diskursus ketuhanan.13

Dalam Kepatuhan dan Hukuman, Michel Foucault mengembangkan analogi visual panoptikisme untuk menggambarkan mekanisme hubungan-hubungan kekuasaan moderen: ‘Dia yang digambarkan dalam sebuah medan visibilitas, dan yang mengetahuinya, menganggap tanggungjawab bagi kekuasaan terbatas; dia membuat mereka bermain secara terus menerus dalam dirinya sendiri; dia menulis dalam dirinya sendiri hubungan kekuasaan di mana dia terus menerus memainkan kedua peran; dia menjadi sebuah keutamaan dari ketidakberdayaannya sendiri’.14 Dalam kata lain, dengan menjadi subjek yang ‘melihat’ atau bertindak, seseorang selalu sudah ‘menyetujui’ untuk menjadi suatu subjek yang ‘dilihat’ atau yang ditingkahi. Sarannya adalah bahwa kondisi eksistensi dalam sebuah medan visibilitas keduanya secara fundamental tak terhindarkan dan ambivalen –ini adalah kondisi kehidupan moderen.

Adegan dalam filem Barua di mana Devdas pertama kali mengunjungi ruang tari pelacur Chandramukhi menunjukkan misteri subjek moderen ini secara luar biasa. Devdas dengan enggan mendekati ruang bersama temannya Chunilal, yang telah mengungkapkan kehadirannya pada Devdas. Langsung saja, Barua memotong ke ruang yang hendak mereka masuki, dan membawa kita rincian pembagian interior ruang tari. Organisasi sirkular ‘pandangan’ dalam ruang begitu dahsyat. Sang pelacur menari di tengah ruangan. Di depan penari dan samping-sampingnya adalah para patron yang duduk dalam beragam jarak darinya, yang melihat ke arah penari, dan di seberang ruang pada masing-masingnya. Di belakang sang penari, duduk dalam busur semisirkular di sebuah matras adalah Chandramukhi dan para musisi, yang saling melirik satu sama lain, sang penari dan para patron. Sang penari, yang berputar-putar dalam lingkaran saat dia menari, ada dalam titik pandang sempurna untuk melihat semua orang yang duduk mengelilinginya dalam ruang yang berputar cepat, termasuk dirinya sendiri –ada satu cermin di dinding di belakang matras. Lebih jauh, sang penari bukan satu-satunya subjek yang menghadirkan tampilan literal bagi pemandangan—salah seorang patron lelaki telah meminjam kerudung sang pelacur, dan memeragakan gerakan penari dalam tingkah ambigu, tak enak pandang, dan berbayang.

Pandangan kita pada adegan sebagai penonton tampak dibatasi oleh satu dari para patron itu, dan dengan begitu dengan posisi yang membiarkan kita untuk meraba posisi kita sendiri dalam cermin. Saat Devdas masuk merusak tarian, Barua memutar dari penari ke sang tokoh, yang berhenti sejenak di depan pintu, mencermati pemandangan di depannya. Selanjutnya hadir serangkaian ambilan mundur dahsyat, di mana sang penari, Chandramukhi, para musisi dan masing-masing patron menemui pandangan Devdas akhirnya. Kita kembali ke Devdas, yang melihat lurus ke depan, dianggap juga melihat dirinya sendiri dalam cermin, terpaku pada momen itu –bahkan saat ia bertanya dengan malas pada temannya Chunni kenapa ia dibawa ke tempat tak berguna seperti ini—bahwa keterlibatannya dalam kegiatan urban ini, seperti para peserta lainnya di ruang itu, tidak bisa jadi salah seorang dari ketidakberdayaan sukarela. Tanpa harus memilih ambilan gambar sudut pandang, Barua dengan pintarnya membatasi penonton dalam momen krusial ini dengan Devdas, yang, saat menjadi satu subjek visibilitas, secara penting mengukir dalam dirinya ambivalensi konstitutif subjek moderen.

Pertimbangkan adegan setara kembalinya Devdas dalam versi Bollywood. Sebelum adegan ini, Devdas berbicara banyak soal darsanik. Di rumahnya, ibu Devdas, kakak iparnya dan neneknya dengan getol memperbincangkan siapa yang pertama bisa memegang bentuk tampilan Devdas, semacam dewa dalam status ‘kedatangan-dari-Inggris’ yang baru dipegangnya.

Ini adalah topik kontroversi bahwa Devdas pergi terlebih dulu menemui Paro –di mana dia akan menjadi yang pertama ‘memandang’ kepadanya. Bagaimanapun, pada sekuen darsana Devdas yang terlalu lama ini, pemunculan sang tokoh sebagai darsanik senyatanya merupakan alasan untuk mengalihkan pandangan penonton ke tubuh Paro, sang ‘primitif cantik’. Gema suara Devdas, mengumumkan kehadirannya, memberi kesempatan bagi Paro untuk berlari meniti tangga dan beragam koridor rumah besar tuannya, menunggu dengan gugup momen pengambilan darsana Devdas dan secara resiprokal menawarkan dirinya bagi pandangan Devdas dan penonton. Struktur rumah besar ini juga, yang hampir seluruhnya dibangun berjendela, pintu dan balkon-balkon kaca bergambar, serupa luar biasa dengan struktur fisik panoptik Foucauldian. Ruang tidur terbuka dalam beberapa tingkatan balkon, yang seterusnya merujuk pada ruang pusat ‘penunjukan’ selama maraton Paro, yang mengambil waktu semenit penuh waktu adegan, tidak hanya membuat penonton punya banyak waktu untuk melihat kekayaan eksotik dari rumah besar panoptik ‘pramoderen’, tapi Paro juga punya banyak kesempatan menghadirkan diri untuk dilihat –dan melihat pada refleksinya dalam beragam ruas kaca pada serangkaian pintu yang tampak tak berujung di mana dia berlari dan jendela-jendela yang dibukanya dalam lintasan kegirangannya. Pada setiap orang dalam saat ini, kita tidak melihat Paro secara literal, bertempat pada titik puncak dari cermin-cermin yang saling berhadapan, tapi juga diri kita sendiri, disetarakan, dengan figur Paro. Dengan begitu, Devdas (2002) berfungsi sebagai matriks refleksif dan refraktif canggih untuk menegosiasikan bagaimana secara dinamis memposisikan seseorang sebagai subjek visibilitas global –bukan hanya bagaimana melihat dan dilihat, tapi juga ditandai dan untuk menawarkan seseorang bagi penandaan-kembali; bagaimana mengonsumsi, dan menempatkan seseorang sebagai komoditas.

Menuju Model Prismatik
Devdas Barua (1936) mungkin telah bekerja sebagai sebentuk ungkapan moderenisme dalam pengertian membawa ke ‘kesadaran optis’ yang mode-mode persepsi penginderaannya sampai sekarang tidak diterima sebagai organisasi seseorang dalam hubungan dengan konteks moderen. Bagaimanapun, dalam pascamoderen sekarang, konteks-konteks konsumsi mendunia, Devdas Bhansali (2002) bekerja, kita boleh bilang, sebagai sebuah ungkapan pascamoderenisme. Sebagai ambang interaksi, Bollywood menyediakan cakrawala refleksif untuk mengadaptasi secara teknologis perubahan persepsi pada tugas memposisikan diri secara dinamis dalam hubungan ruang-ruang dan mode-mode kerja yang terus berubah. Lebih penting lagi, ia bekerja sebagai prisma refraksif untuk menyatakan dan mendorong ke dalam pergerakan dinamika diri seseorang, jika ambivalen, potensial sebagai konsumen dan sebagai komoditas. Sebagai sebuah mikrokosmos praktik Bollywood, filem semacam Devdas (2002) menciptakan persebaran ekonomi dan maknanya sendiri. ‘Ungkapan pascamoderenisme’ merupakan praktik penandaan yang membatasi tuntutan-tuntutan pascamoderenisme; seperti kapitalisme, ia senyatanya harus berubah bentuk, mencari gema simultan di manapun sekadar untuk terus bertahan.

(Untuk edisi berbahasa Inggris silahkan klik di sini)

Catatan
1. Blogger website: ‘Subtitle your own Bollywood movie’. http://www.populationstatistic.com/archives/2006/02/04/subtitle-your-own-bollywood-movie/
Subtitling website: Bombay TV. http://www.grapheine.com/bombaytv/index.php?lang=uk
2. Madhava Prasad. ‘This Thing Called Bollywood’. Dalam Seminar Web Edition No. 525 (May 2003). http://www.india-seminar.com/semsearch.htm
3. Ashish Rajadhyaksha. ‘The Bollywoodisation of the Indian Cinema: Cultural Nationalism in a Global Arena’. Dalam (ed.) Preben Karsholm, City Flicks: Cinema, Urban Worlds and Modernities in India and Beyond (Seagull Books, 2007, London).
4. Miriam Bratu Hansen. ‘The Mass Production of the Senses: Classical Cinema as Vernacular Modernism’. Dalam (eds.) Christine Gledhill dan Linda Williams, Reinventing Film Studies (Arnold, 2000, London).
5. ······. ‘Fallen Women, Rising Stars, New Horizons: Shanghai Silent Film as Vernacular Modernism’. Dalam Film Quarterly, Vol. 54, No. 1 (Autumn 2000).
6. ······. ‘Early Cinema, Late Cinema: Transformations in the Public Sphere’. Dalam (ed.) Linda Williams, Viewing Positions: Ways of Seeing Film (Rutgers University Press, 1995, New Jersey).
7. Barua membuat dua versi Devdas. Setelah sukses regional luar biasa dari versi Bengalinya (dibintangi olehnya sendiri sebagai Devdas) pada 1935, dia langsung membuat dan mengeluarkan versi serupa dalam Hindi pada 1936, dibintangi penyanyi terkenal K.L. Saigal. Analisa saya didasarkan pada versi 1936; saya tidak banyak tahu soal versi Bengali 1935.
8. Lihat P.K. Nair, ‘The Devdas Syndrome in Indian Cinema’, dalam Cinemaya No. 56-57, h. 83-91 (2002); dan Maithili Rao, ‘An Outmoded Archetype?’ dalam Cinema in India, h. 16-23 (April-June 2002).
9. Untuk rincian analisa penempatan seksualitas dalam memproduksi subjek kolonial gender, lihat sebagai contoh Ann Laura Stoler, Race and the Education of Desire: Foucault’s History of Sexuality and the Colonial Order of Things (Duke University Press, 1995, Durham).
10. Ashis Nandy. ‘Invitation to an Antique Death: The Journey of Pramathesh Barua as the Origin of the Terribly Effeminate, Maudlin, Self-Destructive Heroes of Indian Cinema’. Dalam (eds.) Rachel Dwyer dan Christopher Pinney, Pleasure and the Nation (Oxford University Press, 2001, New Delhi).
11. Kabir Ahamad. ‘Devdas: A Critical Analysis’. http://www.geocities.com/mamavatu/devdas1.html
12. Rey Chow. Primitive Passions: Visuality, Sexuality, Ethnography and Contemporary Chinese Cinema (Columbia University Press, 1995, New York).
13. Ravi Vasudevan. ‘The Political Culture of Address in a ‘Transitional’ Cinema: Indian Popular Cinema’.
http://www.sarai.net/research/media-city/resouces/filmcityessays/ravi_vasudevan.pdf.
14. Michel Foucault. Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Terjemahan. Alan Sheridan (Random House Inc.,1995, New York).

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search