In Artikel

Haxan, besutan sutradara Swedia, Christensen, merupakan filem horor dengan muatan sosial politik yang kental. Haxan tidak hanya menggambarkan ketakutan manusia pada soal-soal supranatural. Lebih dari itu, Haxan merupakan sebuah dokumenter historis yang menggambarkan kondisi sosial politik masyarakat Eropa abad kesembilan belas. Penyihir-penyihir wanita diburu dan digantung mati atas nama inkuisisi agama. Para inkuisitor, begitu gesa untuk memurnikan batin masyarakat. Sebab dalam pandangan mereka, hal-hal gaib bisa menjadi sesuatu yang mengguncang keimanan seseorang. Filem horor, dalam beberapa sisi, mampu merepresentasikan rasa takut masyarakat itu. Filem horor bukanlah sekadar gambaran rasa takut intim dari pribadi-pribadi. Filem horor menjadi gambaran masyarakat di setiap zaman. Ketakutan akan kondisi sosial politik yang tidak menentu, kediktatoran seorang penguasa, dan lain-lain, bisa secara implisit dipertunjukkan oleh filem horor. Sebab, rasa takut merupakan sesuatu yang asali. Hampir semua manusia memiliki rasa ini.

paranormalparanormal-activity-dwrks2

Dengan filem horor, rasa takut itu dapat dikembangkan sampai ke titik puncak. Darah, teriakan histeris, menjadi sangat identik dengan filem horor. Penonton kemudian diberikan sugesti bahwa ketakutan yang tertuang dalam gambar itu nyata. Namun, seiring berjalannya waktu, dan komersialisasi ketakutan, filem horor sekarang begitu banyak yang menampilkan kengerian superfisial. Muatan psikologis dan sosial politik hampir tidak tampak pada kebanyakan filem horor. Penonton filem horor kemudian hanya diberikan sesuatu yang ilusif, yang jauh dari kenyataan, dan membayangkan hal-hal yang sama sekali melecehkan intelektualitas.

Saat saya mencoba menonton satu filem horor beberapa waktu lalu di bioskop, dari awal saya sudah skeptis. Akankah filem horor yang satu ini sekadar menampilkan ilusi? Dan kemudian membuat saya kecewa telah mengeluarkan rupiah demi menonton sebuah filem yang sama sekali tidak berharga untuk ditonton? Tiket sudah dibeli. Suka tidak suka, saya harus menonton filem ini. Judulnya Paranormal Activity. Sebuah filem karya Oren Peli, bekas programer video game. Ini merupakan filem pertamanya. Saya tahu filem ini dari internet, ketika saya menyaksikan trailer orang-orang yang ketakutan menonton filemnya. Bukan karena orang-orang ketakutan itu yang membuat saya tertarik membeli tiket dan menonton filem sampai habis. Melainkan karena peralatan yang digunakannya. Minim bujet, tapi menghasilkan limpahan emas bagi sang sutradara. Filem ini banyak dipuji sejak kemunculan pertamanya di salah satu Festival Filem Horor Independen di Amerika Serikat. Kata independen cukup membuat saya tertarik, meski ini terbilang klise. Sebab, pada akhirnya, toh, filem ini didistribusikan oleh sebuah perusahaan besar, Paramount Pictures, di mana nama Steven Spielberg juga tercantum di dalamnya. Singkat cerita, saya mendatangi sebuah bioskop dan langsung membeli tiketnya.

paranormal_activity_02

Pada awalnya, memang tidak ada yang istimewa dari filem ini. Paranormal Activity tampaknya bukan sebuah filem horor yang berteriak-teriak. Tidak ada gerakan yang terlalu untuk menunjukkan kengerian orang berkait dengan hal-hal supranatural. Ambilan kamera statis, jauh dari kesan gambar horor yang biasa saya lihat. Tapi, justru inilah yang menarik perhatian saya untuk lebih lanjut menonton filem ini sampai habis. Saya merasa mendapatkan keintiman dengan ambilan-ambilan kamera statis yang ditunjukkan filem ini. Intensitas ketegangan pun terbangun dengan baik, dan sebagai penonton, saya merasa terlibat dengan setiap ekspresi kengerian yang disampaikan filem ini. Saya, yang terbiasa tertawa ketika menyaksikan riasan berlebih dan efek suara filem horor, yang dimaksudkan untuk membangkitkan rasa takut, tidak dapat tertawa ketika menyaksikan Paranormal Activity. Filem ini, tampak begitu alami. Pemerannya bermain dengan sangat organis dan saya merasakan intensitas ketegangan itu.

 

Paranormal Activity berkisah tentang sepasang kekasih yang tinggal bersama di San Diego, Amerika Serikat. Pasangan ini memiliki masalah dengan mahluk gaib. Katie (Katie Featherston) selalu diganggu oleh hantu masa kecilnya. Kekasihnya, Micah (Micah Sloat), mencoba membantu mengatasi masalah Katie. Dengan menggunakan kamera video, Micah mulai merekam setiap kegiatan supranatural di dalam rumah mereka. Setiap malam, ia menghidupkan kameranya di kamar mereka dan membiarkan kamera itu merekam kegiatan dalam kamar sampai pagi hari. Di siang hari, Micah mengecek hasil rekaman pada saat mereka tidur dan menemukan berbagai kejadian aneh. Awalnya, semua biasa saja. Rekaman kamera tidak menunjukkan kejadian aneh sama sekali. Sampai suatu saat, Katie yang ketakutan mengundang seorang cenayang (Mark Fredrichs). Micah tidak terlalu antusias dengan kehadiran cenayang ini dan mengolok-oloknya dengan kamera. Sang cenayang memperingatkan pasangan tersebut akan mahluk yang ia sendiri tidak dapat mengatasinya. Kehadiran kamera dianggap oleh sang cenayang sebagai ancaman karena akan membuat mahluk gaib itu bereaksi. Sang cenayang pun menganjurkan Katie untuk menghubungi kawannya yang ahli dalam mengatasi mahluk-mahluk gaib, namun Katie tidak pernah dapat menemuinya.

Dalam filem ini, setiap kejadian terekam dalam kamera video. Terutama ketika pasangan itu tidur di malam hari. Hingga akhir cerita, kamera video menjadi elemen penting dalam menangkap kejadian menegangkan. Filem pun berakhir dengan terbunuhnya Micah oleh Katie yang kerasukan hantu pengganggunya itu. Akhir yang bisa ditebak namun cukup membuat tegang penonton yang berada di ruang gelap bioskop. Satu catatan dari filem ini: pertunjukan darah, yang biasa dalam filem horor, diperlihatkan sangat sedikit dalam filem ini. Kehadiran darah hanya diperlihatkan di akhir filem sebagai penegas.

 

Paranormal Activity bisa dianggap sebagai gambaran masyarakat Amerika Serikat saat ini, yang begitu bising dan sangat terganggu dengan suara-suara. Sebuah kritik terhadap polusi. Suara mobil, aksi mesin-mesin yang menggerus ketenangan jiwa di waktu orang seharusnya tidur, merupakan sesuatu yang ingin digambarkan dalam filem ini. Suara menjadi bentuk ketakutan tersendiri. Bahkan, tidur yang seharusnya menjadi waktu istirahat, menjadi pengganggu. Dengan cerdik, Oren Peli memilih horor sebagai ungkapan kritisnya akan polusi suara. Ini yang jarang terjadi pada filem horor kebanyakan. Bahwa polusi suara itu menakutkan. Bahkan, membuat tidur orang tak tenang. Saya merasa, filem ini jauh dari kesan ilusif, yang sering ditunjukkan filem-filem bergenre horor.

paranormal-activity-bedroom1still-from-paranormal-activity

 

Kamera Video dan Intimasi Ketegangan

Hal menarik dalam filem Paranormal Activity adalah penggunaan kamera video. Segala bentuk ketakutan pemeran utamanya ditangkap melalui medium ini. Unsur reality TV tampak jelas mempengaruhi gaya penceritaan filem. Sang sutradara, tampaknya sadar benar bahwa reality show, merupakan tayangan yang mampu melibatkan emosi penonton. Meski tayangan-tayangan seperti itu manipulatif, tapi penonton awam tetap akan terlibat di dalamnya secara emosional. Ambilan-ambilan gambar yang intim justru membuat filem ini benar-benar menakutkan. Posisi kamera yang diam, menjadi sebuah revolusi tersendiri dalam filem bergenre horor. Posisi ambilan gambar mapan itu membuat penonton benar-benar dapat meresapi persoalan yang ingin disampaikan sutradara. Oren Peli tampak ingin mendapatkan gambar-gambar organis dari para aktornya. Hal ini ia ungkapkan sendiri dalam sebuah wawancara: ia tidak ingin membuat aktor-aktornya mengkhawatirkan pencahayaan atau sudut kamera yang mungkin akan mengalihkan perhatian mereka. Sedapat mungkin, ambilan gambar dibuat secara alamiah.

Ketika Micah memasang kamera pada tripod di kamar tidur mereka, hal inilah yang membedakan Paranormal Activity dengan berbagai filem horor lain. Gambar yang dihasilkan tampak natural dan jelas mengejutkan. Sebab, kebanyakan filem horor diambil dengan kerja kamera berputar dan pegang tangan (hand-held) yang justru memusingkan sebagian penonton, terutama yang memiliki penyakit vertigo. Sebab itulah, ambilan gambar statis menjadi begitu subversif dan berbeda dari pakem filem-filem bergenre horor. Ketegangan menjadi lebih terasa. Penonton dipaksa untuk memperhatikan setiap adegan, dan, mau tidak mau, terlibat dalam setiap luapan emosi para aktornya.

Kamera video, yang menggunakan elemen piksel terasa lebih dekat dengan penonton. Tidak seperti kamera seluloid yang tampak memisahkan diri dengan realitas emosi penonton, video membuat batas-batas itu mencair. Hasilnya, intensitas ketegangan pun dapat ditangkap dengan baik oleh para penonton. Ketika saya bandingkan dengan filem horor buatan sutradara Indonesia, saya berpikir, mereka harus lebih banyak lagi belajar untuk mempertunjukkan jenis ketakutan yang tidak hanya sekadar permukaan. Bagaimana membangun intensitas dan intimasi dengan penonton adalah inti persoalan yang belum bisa dipecahkan sutradara filem horor Indonesia. Persoalan hantu dan klenik sebagai representasi sosial dan politik, menjadi persoalan lain, yang sampai sekarang masih jauh dari harapan. Saya berharap banyak pada sutradara filem horor Indonesia untuk dapat memunculkan berbagai representasi tersebut. Bukan hanya sekadar membangun ketakutan ilusif yang begitu melecehkan intelektualitas bangsa Indonesia.

t13911gyhfi

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search