In Artikel

“Demi masa depan, aku harus tinggalkan. Ah…abang, demi cita-cita…”

Ini adalah salah satu potongan lirik lagu dangdut yang dinyanyikan Dian Sastrowardoyo saat berperan sebagai Dona Satelit di filem 3 Doa 3 Cinta. Goyang pinggul dan riasan Dian mengingatkan saya akan perayaan malam tahun baru lalu, ketika saya hanya menonton acara dangdut di lapangan voli dekat kediaman. Tiba-tiba seorang kawan menyeletuk, “mencekam nih…” Saya bingung dengan pernyataan kawan ini, akhirnya bertanya, dan ternyata “mencekam” yang dimaksudnya adalah singkatan dari “Mencari Cewek Kampung”. Mungkin karakter Dian dalam filem ini masuk kategori “cewek kampung”, meskipun di sini, Dian adalah penyanyi dari Jakarta yang sedang tur ke kampung kelahirannya.

Sebelum saya memutuskan menonton filem ini, saya sempat dilanda kebingungan. Jumat, 9 Januari 2009, sekitar pukul 16.30 WIB, temaram jingga meliputi gedung kala sore merangkak senja dan sedikit mendung. Dua kali naik kendaraan umum menuju sebuah mal di selatan Jakarta. Di dalamnya ada gedung teater yang akrab dengan sebutan bioskop berangka dua dan satu. Agak aneh melihat ABG (Anak Baru Gede) sedang menunggu antrean tiket untuk menonton. Cukup membuat kikuk ketika saya harus ikut mengantre. Pasalnya, ini kali pertama pada tahun 2009 saya nonton filem Indonesia. Di bioskop pula. Sedikit pilih-pilih dulu mau nonton apa, dan akhirnya keputusan jatuh ke filem 3 Doa 3 Cinta. Konon,  menurut seorang kawan yang terlibat dalam proses produksi filem ini, judul aslinya adalah Pesantren. Dalam filem ini, Dian Sastrowardoyo terlihat agak gemuk dan montok jika dibandingkan saat dia bermain di “Ada Apa dengan Cinta?”.

Filem 3 Doa 3 Cinta mengisahkan tiga sahabat dari Pondok Pesantren Al-Hakim, Yogyakarta –Huda (Nicholas Saputra), Rian (Yoga Pratama) dan Syahid (Yoga Bagus). Mereka memiliki kebiasaan menulis doa dan harapan di sebuah tembok. Rian memiliki ketertarikan pada dunia sinematografi. Huda memiliki kerinduan pada ibunya, yang telah meninggalkannya di pesantren sejak berumur 11 tahun. Perkenalannya dengan penyanyi dangdut amatir, Dona Satelit, memberi harapan baginya untuk bisa bertemu ibunya. Syahid adalah jemaah garis keras yang sangat ingin menjadi martir, sesuai dengan namanya. Syahid begitu benci orang yang telah membeli tanah bapaknya. Kebetulan, orang yang dibencinya berasal dari Amerika. Tanah itu terpaksa dijual untuk membayar biaya pengobatan bapaknya yang terkena penyakit ginjal. Tapi, orang yang dibenci Syahid ternyata melunasi biaya pengobatan bapaknya, bahkan dia tidak tahu bahwa orang Amerika itulah yang telah menjadi malaikat penolong bagi keluarganya. Adegan ini mungkin basi tapi lumayan membuat penonton di sebelah saya terharu.

Ketika ada nama Nicholas Saputra dan Dian Sastrowardoyo dalam filem tersebut, muncul pertanyaan di kepala, akankah aksi-aksi Nicholas dan Dian jauh lebih menarik ketimbang filem Ada Apa dengan Cinta? Setelah menontonnya, saya sedikit kecewa, sebab ternyata, dalam filem ini Dian dijadikan sekadar pemanis. Meskipun begitu, saya cukup terhibur dengan goyangan Dian di filem ini. Bahkan, adegan bergoyang Dian mampu membuat pasangan muda di samping saya tertawa keras.

Gambaran kehidupan pondok pesantren yang disajikan dalam filem 3 Doa 3 Cinta mengingatkan saya pada hal-hal seperti terorisme, pencabulan, poligami, Islam garis keras, dan kenakalan remaja. Dengan latar belakang pesantren, filem garapan Nurman Hakim ini benar-benar menunjukkan tempat yang cukup mirip dengan kehidupan nyata para santri. Mulai dari tempat tidur seadanya, makan yang dijatah dan hukuman menimba air ala pesantren. Mungkin karena sutradaranya pernah mengalami kehidupan pesantren, jadi tahu bagaimana dan apa saja kehidupan di sana. Namun sayang, saya merasa ceritanya terlalu datar dan isunya ketinggalan zaman sampai membuat saya hampir tertidur menontonnya.

Adegan pelecehan seksual di pesantren dan beberapa kenakalan santri memunculkan banyak reaksi penonton. Seperti ketika Rian menyentil kemaluan temannya yang sedang “berdiri” di balik sarung. Seorang penonton yang duduk di sebelah saya berkomentar, “Ih, jorok banget sih…” sambil menutup kedua mata layaknya sedang menonton filem horor. Beberapa penonton lain tertawa keras menanggapi adegan ini.

Mengalami itu, saya jadi berpikir, “Bagaimana jika semua penonton seperti orang yang duduk di sebelah saya?” Mungkin filem ini akan dinilai jorok. Sensor pastilah akan menjadi bahasa utama untuk menghapus kejorokan. Lalu, dilema antara norma dan estetika seni pun kembali menyeruak. Dan, pihak pembuat filem akan menjadi sasaran kritik, diprotes masyarakat karena karya mereka dianggap tidak bagus, tidak mendidik. Kenapa kita tidak menyalahkan penontonnya? Mungkin jika pihak pembuat filem atau pemilik bioskop memberi syarat-syarat untuk menonton seperti: yang berwawasan luas dilarang nonton, yang cerdas dilarang komentar, yang konvensional dilarang kritik, filem semacam ini akan aman-aman saja berlalu tanpa komentar dan kritik berarti. Bayangkan jika pada suatu saat sang sutradara filem ini nonton bersama dengan khalayak di luar kriteria-kriteria di atas? Pastinya, dia hanya mesam-mesem mendengar celotehan spontan penonton.

Filem 3 Doa 3 Cinta seakan ingin menyaingi kesuksesan filem-filem religi sebelumnya. Setelah Ayat-ayat Cinta tahun lalu, filem bertemakan religi mampu menyaingi komedi seks dan horor. Dengan embel-embel lambang festival luar negeri, filem ini berupaya untuk menarik perhatian calon penonton. Beberapa nominasi filem terbaik dan penghargaan pendukung pria terbaik di dalam dan luar negeri menjadi modal tersendiri bagi filem ini untuk bersaing di pasaran. Namun entah kenapa, embel-embel semacam itu tidak lantas membuat penonton berarak. Ya, mungkin hanya ada sekitar 20 orang saja sore itu. Banyak bangku-bangku tak terisi. Bahkan seekor anak tikus sempat lewat di sela-sela kaki penonton. Mungkin tikus itu tahu keadaan bioskop sedang sepi sampai tikus itu berani mondar-mandir di dalamnya.

Menonton filem ini, saya jadi semakin bertanya, “Sebenarnya apa yang menjadi masalah dalam filem ini?” Apakah sutradaranya yang ‘kurang berhasil’ menarik penonton atau memang penontonnya yang bermasalah dengan sang sutradara? Penonton memang berhak menilai. Penonton juga tidak bisa disalahkan saat tidak puas dengan sebuah hasil karya. Terkadang, penonton lebih mampu memaknai setiap rangkai adegan yang ditangkap retina. Bahkan objektivitas mata penonton terbangun dari mata subjektifnya. Untuk soal ini, saya tidak ingin terlalu banyak bicara, sebab yang pasti, filem 3 Doa 3 Cinta menjadi sangat sah jika dikatakan masih banyak kekurangan.

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search