In Wawancara
[tab] [tab_item title=”ID”]

Pada 19 Agustus 2009, Indonesia Visual Art Archive meluncurkan situs arsip seni rupa pertama di Indonesia. Namanya iclick.IVAA. Pada kesempatan itu, Jurnal Footage mewawancarai Farah Wardani, Direktur Eksekutif IVAA. Berikut hasil wawancara kami.

Farah Wardani, Direktur Eksektif IVAA

Bisa diceritakan sedikit soal iclick.IVAA?
Sebelumnya IVAA bernama Cemeti Art Foundation. Sejak 2007, diganti menjadi Indonesian Visual Art Archive, yang lebih dikenal dengan sebutan IVAA. IVAA mengkhususkan tentang pengarsipan seni rupa kontemporer Indonesia. iclick.IVAA sendiri merupakan media baru kami, yaitu arsip seni rupa dalam bentuk online. Data-data yang kami miliki, dibuat digital sehingga bisa diakses lewat internet. Program digitalisasi arsip-arsip ini kami lakukan sejak 2008. Saat ini kami telah merampungkan sistem web dan telah memasukkan 20% data matang ke dalamnya. Kami menyebut ini sebagai fase satu. iclick.IVAA menawarkan semacam pusat penelitian tentang seni rupa kontemporer Indonesia sebagai alat bantu para peneliti, kurator, kritikus, seniman, dan juga khalayak luas.

iclick.IVAA adalah arsip online pertama di Indonesia?
Ya. Sebelumya sudah ada juga orang-orang yang menaruh data file sharing, misalnya pada blog mereka. Namun yang mengkhususkan pengarsipan dengan data foto, audio, dan video tentang seni rupa kontemporer indonesia, baru kami yang melakukan.

Data seni rupa kontemporer tertua yang bisa dikases mulai tahun berapa?
Mulai tahun 1959. Datanya lebih banyak berupa tulisan dan foto-foto lama. Tapi yang paling banyak adalah data mulai tahun 1970an ke atas.

P1010052

Adakah seleksi untuk data yang bisa masuk ke iclick.IVAA?
Kami memang menyeleksi data yang akan dimasukkan ke iclick.IVAA. Saat ini iclick.IVAA memiliki enam kategori arsip; Seni Rupa Publik, Isu Sosial, Ruang Alternatif, Budaya Anak Muda dan Industri Kreatif, Multimedia, dan Identitas. Kami menyeleksi data yang cocok dengan kategori tersebut, sebab kategori-kategori itulah yang masih dominan dijelajahi oleh seni rupa di Indonesia. Tapi ini masih akan berkembang dan sangat mungkin bertambah.

Apakah arsip yang dimiliki IVAA sudah mencakup seluruh Indonesia?
Lumayan banyak. Bahkan, Taman Budaya Papua pun ada yang mengirimkan data untuk dimasukkan ke dalam iclick.IVAA. Tapi kami tetap harus menyeleksinya lagi ke dalam bingkaian kategori dan ideologi IVAA. Saat ini, kami memiliki data dari Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Bali, Padang, Manado. Namun, praktik seni diskursif dan terarah memang masih dijuarai oleh Jawa dan Bali. Mungkin karena pusat kegiatan seni ada di sana, meski senimannya sendiri berasal dari berbagai kota.

P1010082

Kenapa tidak tetap dengan nama Cemeti, bukankah dari dahulu Cemeti sudah bergerak di bidang pengumpulan data?
Kami mengganti namanya karena sering tertukar dengan Cemeti Art House, yayasan serupa yang berada di jalan Pandjaitan, Yogyakarta. Sejarah awal berdirinya memang hampir sama. Namun setelah berjalan, kami sadar bahwa ini memang lembaga yang berbeda, dengan nama yang sama. Oleh karena itu, banyak surat-surat salah alamat yang masuk ke nama sebelumnya. Hal ini sangat mengganggu kinerja dan manajemen kami. Selain itu, kami memilih nama IVAA karena saat ini, kami memang mengkhususkan program pengarsipan seni rupa kontemporer Indonesia.

Mungkinkah IVAA juga akan mengarsipkan data dari luar negeri?
Ya, mungkin saja. Tapi luar negeri atau tidak, kami memilih data yang terkait dengan isu kultur Indonesia. Salah satu yang penting dipahami adalah, arsip kami ini bukan hanya sekadar direktori, tapi kami ingin memberi informasi pada peneliti tentang perkembangan seni rupa. Jadi lebih kepada praktik seni yang berhubungan dengan masyarakat.

Proses pengalihan analog ke digital butuh berapa lama?
Satu tahun. Tapi kalau mengumpulkan datanya sudah sejak lama, yaitu pada 1995, saat masih memakai nama Cemeti Art Foundation.

P1010072

Kendalanya?
Banyak sekali. Apalagi, satu tahun terakhir ini kami sedikit ngebut dan fokus.
Yang paling sulit adalah pengelolaan database content management system. Sering ada coba dan salah pada saat kategorisasi datanya. Kendala lainnya, pola pikir kami yang berubah dari analog ke digital. Biasanya, kami menyimpan data dalam rak almari, sekarang kami harus menyimpannya di situs jaringan.

Ada berapa orang dibalik IVAA?
10 orang. Sebanyak 50% merupakan orang-orang lama dari Cemeti Art Foundation. Selebihnya, orang-orang baru dengan visi yang baru pula.

P1010070

Bagaimana cara IVAA mengumpulkan data-data tersebut?
Dulunya kami lebih banyak memiliki arsip lokal, Yogyakarta dan sekitarnya. Tapi karena sekarang seniman sudah mulai banyak yang mendokumentasikan karyanya, dan jaringan kami pun sudah bertambah banyak. Jadi, kami meminta para seniman memberikan sebagian data mereka untuk kami digitalkan. Kami menyebutnya program Mitra Arsip.

Situs ini bisa diakses bebas?
Bisa. Kalau sistem keanggotaan dengan membuat akun itu hanya untuk penyegaran saja. Tapi kami belum tahu juga ke depannya. Mungkin kalau ini sudah berjalan dan berkembang, baru kami memikirkan tentang royalti dan sebagainya. Pada dasarnya kami ingin orang tahu dan bisa mengaksesnya tanpa perlu berpikir banyak. Karena yang selama ini terjadi tidak banyak orang yang tahu tentang seni rupa kontemporer Indonesia. Orang-orang yang ingin tahu pun, harus datang langsung ke IVAA. Kami pikir program ini menjadi sebuah kesempatan baru untuk lebih mengenalkan seni rupa. Yayasan-yayasan lain yang bergerak di bidang seni rupa, teater, sebenarnya juga memiliki arsip. Dan dengan iclick.IVAA ini, kami mencoba membuat pancingan agar yayasan lain juga ikut membuat pengarsipan online seperti kami. Alasannya, negara kita tidak punya museum, dan negara juga tidak memberi perhatian. Jadi, kami pikir, situs jaringan adalah cara yang sangat efisien.

P1010076

Bagaimana Anda melihat perkembangan praktik seni rupa Indonesia?
Kalau menurut saya, orang-orang Indonesia memang senang berkesenian. Seni itu menjadi medium berekspresi dari sejak dulu. Apapun kondisi kehidupan Indonesia, sedang naik atau turun, seni pasti tetap seru. Namun yang berkembang hanya infrastrukturnya, contohnya renovasi Galeri Nasional sekarang. Saat ini apresiasi seni dari masyarakat sudah makin tinggi. Dulu, kalau membuat pameran seni rupa yang datang hanya teman-teman saja, kalau sekarang jadi lebih luas.

Bagaimana cara memperkenalkan iclick.IVAA ke khalayak?

Selain peluncuran, kami hanya mengandalkan hyperlink dari situs saja.

P1010073

Apa program IVAA berikutnya?
Kami mau membangun residensi peneliti (researcher residence). Biasanya kita hanya mengenal pertukaran seniman. Kami ingin mencoba melakukan pertukaran peneliti. Semoga bisa berjalan mulai tahun depan. Peneliti dari luar negeri datang kesini dan mencoba menggunakan alat-alat yang tersedia di IVAA, dan sebaliknya kami mengirim peneliti kesana. Kami pikir, dengan begitu, data yang didapatkan bisa diolah lagi.

>> Klik di sini untuk mengunjungi situs IVAA <<
[/tab_item] [tab_item title=”EN”]

Farah Wardani: It’s The First Visual Arts Online Archive in Indonesia

On August 19, 2009, Indonesia Visual Arts Archive launched the first visual arts archives website in Indonesia, iclick.IVAA. On the occasion, Jurnal Footage interviewed Farah Wardani, Executive Director of IVAA. The following is our interview.

Farah Wardani, Direktur Eksektif IVAA

Can you tell us a bit about iclick.IVAA?
IVAA was previously known by the name Cemeti Art Foundation. Since 2007, it was changed into Indonesian Visual Art Archive, more widely known as IVAA. We specialize in archiving Indonesian contemporary visual arts. iclick.IVAA itself is our new media in the form of online archive. Our existing archives are now digitalized and accessible via the internet. We started this digitalization since 2008. Currently we have completed the web and uploaded therein 20% of digitalized data. We term this as phase one. iclick.IVAA offers a kind of research center on the Indonesian contemporary visual arts, to provide helpful tools for researchers, curators, artists, and also for public.

Is iclick.IVAA the first online archive in Indonesia?
It is. Previously some people upload their data via file sharing, for example from their blogs. But to focus on archiving contemporary visual arts with pictures, audios, and videos, we are the first to initiate.

From what year is the oldest data accessible?
As far back as 1959. Mostly they are in the form of texts and old pictures. But the largest portion of data consists of works starting from 1970 and later.

P1010052

Is there any particular selection to determine which works to store in iclick.IVAA?
We do select the data to store in iclick.IVAA. Currently iclick.IVAA categorizes the archives into six types: Public Visual Art, Social Issues, Alternative Space, Youth and Creative Industry Culture, Multimedia, and Identity. We select the data based on the categorization because those six are the most explored areas in Indonesian visual art. But I believe it’s evolving and very likely to expand.

Do the archives cover the works from all across Indonesia?
Quite many. Even Papua Cultural Preserve submits their data to be included in iclick.IVAA. But we have to select them based on our category and ideology nevertheless. Currently, our existing data represent the works from Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Bali, Padang, Manado. But the discursive and directed art practices are mainly the ones from Java and Bali. Most likely due to the many art centers located there, eventhough the artist themselves come from different cities.

P1010082

Why not remain with the name Cemeti? Cemeti has even before focused in art archiving, has it not?
We decided to change name because it is often mistaken with Cemeti Art House, a similar foundation down at Pandjaitan Road, Yogyakarta. Our histories are indeed similar. Yet during the course, we realize we have become two different organizations, by the same name. There are also a lot of letters mistakenly addressed to Cemeti Art House. It hinders our work and management. We decided to use the name IVAA because we do specialize in archiving Indonesian contemporary visual arts.

Is it possible for IVAA to archive data from foreign countries as well?
Yes, it is. But either foreign or local, we particularly select data in relation to the issues of Indonesian culture. One thing to understand is that our archive is not just a directory, but we also would like to provide information for researchers regarding visual arts development. So it’s more to art practices with relation to the society.

How long does it take to digitalize the analog data?
A year. But data gathering activities have started way even before, since 1995, when we were still under the name Cemeti Art Foundation.

P1010072

What are the obstacles?
There are plenty. During the past year we’ve been trying to speed things up and focus. The most difficult thing is to manage database content management system. There are many trial-and-errors during categorization process. Another obstacle is our own changing mindset, from analog way of thinking to, now, digital. We used to store physical data on the shelves, but now we have to upload the digitalized version to the site.

How many persons are there behind IVAA?
Ten persons. Half of us are former players from Cemeti Art Foundation. The rest are new individuals with new vision as well.

P1010070

How does IVAA gather all the data?
Previously we acquired local archives, mainly from Yogyakarta and the surrounding regions. But as nowadays artists tend to document their work, our network has—along with the development—expanded, too. So we ask artists to submit some of their data for us digitalize. We name this program Archive Partnership.

Is the site accessible for free?
It is. We have account-based membership but merely for refreshment purposes. We have yet to figure what will become of it. Once it’s established and flourished, I think we can start thinking about royalties et cetera. Basically we’d like to inform the public and let them have the access to the arts without having to think much about it. What happens today is most people don’t actually know about Indonesian contemporary visual arts. And the few people who want to know would have to come down to IVAA directly. We think this program is a new opportunity to introduce visual arts. Other art foundations, also theaters, they actually have their own archives. And with iclick.IVAA, we try to stimulate more foundations to do online archiving like us. The reason being, our country has no functioning museums and the government do not really attend to such thing. So, we think website is the most efficient way.

P1010076

How do you see the development in Indonesian contemporary visual arts?
To me, Indonesians are basically artsy. Art has become our medium of expression since long ago. No matter what condition the country is undergoing, art has always been appealing. But the development tends to reach only infrastructural needs, for example the current renovation of the National Gallery. Nowadays, appreciation for arts has increased. Back then, when we organize exhibitions, it’s usually attended only by circles of friends. Now it has gained larger crowds.

How do you introduce iclick.IVAA to the public?
Aside from the launch, we depend on hyperlink on the site.

P1010073

What are IVAA’s upcoming programs?
We intend on establishing researcher residence. Usually we did only artists exchange. Now we’d like to have researchers exchange. Hopefully we can start next year. Foreign researchers can come and utilize the tools provided in IVAA, and vice versa, we send researchers to other countries. That way, we think, we can further process the data gained.

>> CLick here to visit IVAA Online <<
[/tab_item] [/tab]

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search