In Wawancara
[tab] [tab_item title=”ID”]

Tahun 2009 ini, Yayasan Konfiden, sebuah yayasan yang bergerak di bidang pengembangan, penyebarluasan pengetahuan dan pemanfaatan media audio visual bagi kepentingan pemberdayaan, peningkatan apresiasi dan dukungan atas inisiatif masyarakat kembali mengadakan festival filem pendek pelajar. Tema festival kali ini cukup provokatif. Tawuran! Karya-karya yang masuk dalam festival ini terbilang variatif. Sebanyak 43 karya filem pendek pelajar sekolah menengah atas/setingkat berhasil dikumpulkan. 13 di antaranya lolos seleksi dan akan diputar mulai 28-30 Agustus 2009 di Kineforum TIM dan Ruang Audio Visual Galeri Nasional Indonesia. Menurut Direktur Yayasan Konfiden, Alex Sihar, penyelenggaraan festival kali ini cukup istimewa sebab karya para pelajar itu tidak bisa lagi dianggap remeh. Jurnal Footage menampilkan wawancara khusus dengan Alex Sihar seputar penyelenggaraan festival filem pendek Tawuran.

P1040780

Jurnal Footage: Apa latar belakang penyelenggaraan festival ini?

Alex Sihar: Gagasan penyelenggaraan festival ini berawal dari analisa kami terhadap festival-festival sebelumnya. Secara teknis, kami melihat ada ketimpangan dari cara bertutur filem yang semakin besar antara pemula, dalam hal ini pelajar, dengan para pembuat filem pendek mapan. Ibaratnya, mereka tidak bisa naik kelas. Sementara yang profesional semakin menanjak karyanya. Selain itu timbul kegelisahan di benak kami, juga kawan-kawan lainnya, soal ketiadaan nama-nama baru yang muncul dalam festival-festival filem pendek. Ini menjadi pertanyaan besar bagi kami. Kemanakah nama-nama baru? Kenapa tidak ada lagi yang nonjok dengan isi kepala yang segar? Tadinya kami selalu percaya bahwa karya adalah karya. Karya tak bisa dibelah. Yang bisa membedakan antara profesional dan amatir hanyalah proses bekerjanya. Tapi melihat data tiga tahun ke belakang, sepertinya kami harus membuat lapangan bermain dan kompetisi khusus untuk pelajar.

Jurnal Footage: Kenapa namanya Tawuran?

Alex Sihar: Tadinya kami membuat tajuk Hura-Hura, karena sangat menggambarkan anak SMA yang hidupnya selalu senang dan tidak memiliki beban pikiran. Tapi setelah didiskusikan lagi dengan dewan program, ada sebuah usulan dari Andang Kelana (salah satu anggota dewan program) untuk mengganti dengan yang lebih garang. Terpilihlah nama tawuran. Kami mencoba memberi kesan positif terhadap kata ini. Filosofinya, tawuran pelajar itu tidak perlu turun ke jalan dan baku hantam. Kalau mau tawuran, ya cobalah dengan video. Bersaing melalui karya.

n1375213589_594214_6422037

Jurnal Footage: Di Jakarta, Konfiden membuat workshop untuk para pelajar. Apa saja kendala dalam proses workshop?

Alex Sihar: Kompetisi ini banyak sekali lemahnya dan penuh evaluasi. Bagi kami, ini merupakan proses belajar. Workshop, menurut kami penting untuk menstimulasi para pelajar dalam membuat karya. Dari sini, kami berpikir untuk bisa memulai menumbuhkan generasi-generasi baru yang memiliki kebebasan berkarya. Atas dasar itu, kami juga mencoba untuk memberikan mentor yang beragam, agar hasilnya lebih variatif. Keluarlah nama-nama seperti seperti Dinda Junanda, Otty Widasari, Athpal Paturusi, Mirza Jaka Suryana, dan banyak lagi dengan sudut pandang yang berbeda. Begitupun dewan programnya. Kami memilih nama-nama yang masih muda tapi sudah ’jagoan’. Pengajar yang kami hadirkan juga sangat beragam. Kami sadar bahwa anak-anak SMA ini butuh pengetahuan tentang struktur. Maka kami memilih orang-orang yang cukup popular namun memiliki pengetahuan struktur yang baik. Dalam workshop tersebut, nama-nama seperti Joko Anwar, Edwin dan Ifa Isfansyah kami hadirkan. Semua keragaman itu pada akhirnya membuat proses workshop menjadi seru.

Jurnal Footage: Ada kejadian unik selama workshop berlangsung?

Alex Sihar:  Di minggu ketiga, kami kedatangan guru audio visual sekolah mereka. Kedatangan guru ini cukup membuat repot sebab berbagai interupsi yang tidak perlu selama workshop berlangsung. Guru ini memiliki persepsi yang cukup berbeda dengan kami menyangkut soal filem. Menurutnya filem itu harus bermoral, sementara kami membiarkan anak-anak itu bebas mengekspresikan idenya. Kami hanya membantu memberi cara untuk menuangkan ide mereka ke dalam filem. Kami hanya menjadi lapangan bermain, dan melihat bagaimana perkembangan mereka ke depannya. Tapi selain kejadian ini, seluruh rangkaian workshop berlangsung lancar.

P1040795

Jurnal Footage: Apakah landasan mereka yang sudah belajar audio visual di sekolahnya cukup membantu?

Alex Sihar: Ya. Karena logika mereka jadi lebih cepat. Tapi proses workshop tetap lebih dominan, dan karena mereka anak muda jadi mereka cepat mengerti. Dan kami membiarkan mereka bicara dan mengeluarkan isi kepalanya yang ternyata sama sekali tidak terpikir di kepala kami. Dan  kami hanya menyediakan lapangan bermain untuk mereka berkarya. Menurut saya, karya-karya yang dihasilkan cukup keras. Mungkin kami merasa asing ketika menontonnya, karena belum terbiasa dengan dunia mereka. Tapi kami juga merasa takjub ketika menyaksikan hasil karya mereka. Kita bisa lihat ini dalam karya seperti 2 (Satrio Ramadhan & Khariz/SMA Madania Jakarta). Kami cukup terheran-heran karena mereka menggunakan permainan The Sims. Hal itu sama sekali tidak terpikir oleh kami, karena memang kami tidak dekat dengan permainan itu. Mereka merekam kekinian tersebut. Kita juga bisa lihat dalam karya Facebooked (Siti Nurul Azizah, Selvia dan Deden Ramadani/SMAN 34 Jakarta). Bagi generasi mereka, facebook is real life, sementara kami menganggap itu hanya social networking. Ada juga Sigi (Efi Sri Handayani/SMAN 6 Jakarta), yang ceritanya sangat liar. Karya ini berupaya mengungkap isi kepala anak yang bosan di kelas, merasa dikucilkan, sampai terpikir untuk membunuh orang.

P1040798

Jurnal Footage: Apa harapan dari hadirnya festival ini?

Alex Sihar: Mungkin yang paling penting sekarang adalah lebih mengenalkan bahasa video kepada khalayak. Ini menjadi tantangan besar bagi kita semua. Kita harus melihat, generasi sekarang adalah generasi yang langsung menonton televisi saat mereka lahir. Mereka dekat dengan video dan filem, hanya saja tidak sadar untuk menjadikannya wadah dalam berkarya. Kalau kita bisa terus membangun jaringan yang baik dengan berbagai institusi dan organisasi, saya yakin bahasa video akan menjadi lebih familiar. Mudah-mudahan lebih banyak lagi karya luar biasa yang muncul dari generasi-generasi muda Indonesia.

P1040801

Foto: Konfiden
[/tab_item] [tab_item title=”EN”]

Alex Sihar: A Challenge to Familiarize the Language of Video

This year, Yayasan Konfiden (Independent Film Community Foundation)—a foundation focusing on the development and distribution of audio visual media knowledge and usage to sustain empowerment as well as to gain appreciation and support—by public initiative, organized another short film festival for students. This year’s theme is quite provocative: Tawuran!1 Submissions are considerably vary.  As much as 43 videoworks submitted by high school students. Thirteen among them were selected and screened on August 28-30, 2009, at Kineforum, Taman Ismail Marzuki, and the National Gallery. According to Konfiden’s Director, Alex Sihar, this year’s festival is considered special since these students’ work-pieces can no longer be underestimated. Jurnal Footage hereby features an exclusive interview with Alex Sihar regarding the festival.

P1040780

Jurnal Footage: What is the background of this festival?

Alex Sihar: The idea of this festival starts from our analysis on previous festivals. Technically, we perceive a widening gap between starters—in this case students—and the established short-filmmakers. Figuratively speaking, these students are yet to pass to the next grade. While at the same time the pros are getting more advanced. There is agony within us, and also among friends, regarding this void of fresh names emerging from short film festivals. It becomes a major question to us. Where are the new seeds? Why is there no punching work any longer, with fresh perspective? We used to believe a work is a work. It’s indivisible. What differentiates the pros from the amateurs is their working process. But, looking back to the past three years, it seems that we need to provide a playground and competition, designated specifically for students.

Jurnal Footage: Why Tawuran?

Alex Sihar: We planned on naming it Hura-Hura (to party, to have fun) since it truly reflects high school life which is full of fun and carefree. Once rediscussed with the board of program, there was an idea from Andang Kelana (a member of the board) to switch to a more aggressive name. The name tawuran came upon that idea. We try to adhere positive meaning to the word. The philosophy being is to mob-fight does not necessarily mean to march the street and strike on a clash. If one should involve oneself in a fight, why not try with a video. To compete in creation.

n1375213589_594214_6422037

Jurnal Footage: In Jakarta, Konfiden arranges workshops for students. What are the obstacles?

Alex Sihar: This competition has a lot of weaknesses and is full of evaluations. To us, it’s a learning process. We think workshops are important to stimulate students to create. We thought about raising new generations free to create. On that ground, we try to provide various mentors to have more varying results as well. Names such as Dinda Junanda, Otty Widasari, Athpal Paturusi, Mirza Jaka Suryana, among many other, are there to give different perspectives. The board of program as well. We pick out youths yet leaders of the pack. The mentors are also varying. We realize these high school students need to know about structure. So we choose popular names who, at the same time, possess good knowledge on structure. For workshops, we feature the likes of Joko Anwar, Edwin, Ifa Isfansyah. This variety ultimately brings more fun in the process.

Jurnal Footage: Anything unique during the workshop?

Alex Sihar: On the third week, we were approached by a teacher, he teaches audio visual in the school. Being there, he caused quite a hassle due to the unnecessary interruptions he made during the workshop. He has this rather different view from us regarding film. He thinks film has to be morally correct, while on the other hand we encourage students to free their minds in expressing ideas. We are there merely to help them turning the ideas into films. We are their playground, to see how they progress later in the future. But other than this incident, overall it went well.

P1040795

Jurnal Footage: Did their basic audio visual knowledge taught in school help?

Alex Sihar: It did, their logic in grasping things is faster. But the workshop process still dominated, though, and basically because they’re young, they’re very absorbent. We let them talk and articulate their ideas, which were unthought of to us. And we merely provided a playground for them to create. I personally think their works are quite strong. They may be unfamiliar because we are not accustomed to their world. But we were also astonished to see their works. We can see this in a work entitled 2 (Satrio Ramadhan and Khariz of Madania High School, Jakarta). It confounded us, the fact that they made use of the game The Sims. We never thought of that at all because we are not very familiar with the game. They record such current prevalence. We can also look at the work Facebooked (Siti Nurul Azizah, Sevia, and Deden Ramadani of 34 State High School, Jakarta). To their generation, facebook is real life while we only think of it as social networking. Then, there’s also Sigi (Efi Sri Handayani of 6 State High School, Jakarta), with a very wild storyline. It tries to picture the mind an extremely bored student, feeling terribly ostracized, that she even thinks of killing someone.

P1040798

Jurnal Footage: What is expected from this festival?

Alex Sihar: Probably, the most important thing now, is to introduce the language of video to common people. It’s a challenge for all of us. We have to realize that the now generation watches TV since the day they were born. They are familiar with video and film, they just don’t recognize them as channels to creation yet. If we can maintain a steady network with institutions and organizations, I believe the language of video will eventually be more familiar. I should hope for more incredible works coming from Indonesian youth.

P1040801

Photos: Konfiden


1 In Indonesian, the word specifically refers to violent mob-fight, usually and especially between students of different schools.
[/tab_item] [/tab]

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search