SEJAK AWAL MULANYA, Forum Lenteng membangun Jurnal Footage dengan konsep media yang menerbitkan artikel dengan jadwal yang fleksibel; tidak ajek. Situasi ini karena mengingat bahwa Forum Lenteng dikelola oleh para pegiatnya dengan semangat berkomunitas; menulis adalah bagian dari kesenangan dan kesukarelaan, bukan dijalani di bawah tekanan “tenggat waktu”.
Akan tetapi, ketakberkalaan Jurnal Footage saat itu tetap dibingkai dengan kerangka redaksional; media ini juga menerbitkan artikel Editorial untuk menunjukkan opini Jurnal Footage terhadap perkembangan sosial-budaya masyarakat terkini. Diketahui ada delapan Editorial yang pernah diterbitkan Jurnal Footage—halaman arsip dari artikel-artikel Editorial yang lampau dapat diakses di tautan ini.
Perlu diakui, kedisiplinannya tidak bertahan lama. Setelah tahun 2009, Jurnal Footage berhenti menerbitkan artikel Editorial. Selama 12 tahun kemudian (2010-2021), dengan struktur redaksi yang silih berganti, Jurnal Footage masih tetap aktif menerbitkan tulisan-tulisan mendalam mengenai sinema dan video, serta ragam perkembangan dari medan sosialnya, meskipun dengan jadwal terbit yang jauh berkali-kali lipat lebih fleksibel dibandingkan sebelumnya.
Di tahun 2022, jurnal ini bisa dibilang “vakum” karena berbagai faktor. Nyatanya, sebelum artikel Editorial yang sedang Anda baca sekarang ini terbit, Jurnal Footage hanya menerbitkan satu artikel di tahun 2022. Suatu keadaan yang layak dikritisi dan patut dikoreksi. Dengan sadar diri, kami merasa perlu menyampaikan permintaan maaf kepada pembaca umumnya, dan secara khusus kepada para pembaca setia Jurnal Footage.
Ketidakaktifan tahun ini, barangkali, bisa dijadikan sebuah refleksi juga. Agaknya, rentang waktu setahun ini telah menjadi periode jeda yang bersifat tak langsung. Seiring dengan kesibukan, ataupun pilihan-pilihan jalan hidup, yang diambil oleh redaktur-redaktur terdahulunya, Jurnal Footage tidak pernah benar-benar kami tinggalkan. Selalu ada hasrat untuk tetap bisa memproduksi tulisan kritik melalui media ini, dan setiap kesempatan yang ada, kapan pun itu, akan diambil sebagai momentum untuk mengaktifkan kembali Jurnal Footage.
Penghujung tahun 2022, kami rasa, adalah momentum yang baik untuk mendayagunakan kesempatan yang tersedia. Ini tentunya akan menjadi langkah yang baik pula untuk menyambut dan mengawali, serta mengisi tahun 2023 yang akan datang dalam hitungan hari. Jurnal Footage mencoba berkomitmen untuk mengulang tradisi yang berkembang di awal kemunculannya, yaitu dengan menerbitkan artikel Editorial secara rutin meski tulisan-tulisan kritik di media ini masih akan terbit dalam kerangka waktu fleksibel seperti biasanya. Terkait hal itu, dengan niat menghidupkan kembali cita-cita Jurnal Footage sebagaimana terepresentasi melalui keberadaan artikel-artikel Editorial terdahulu, Editorial kali ini tetap kami labeli dengan nomor 09, untuk menegaskan keberlanjutan, walau terbentang jarak lebih dari 10 tahun dengan Editorial nomor 08.
***
Tahun 2023 akan menjadi tahun yang istimewa bagi Forum Lenteng. Tahun depan, Forum Lenteng akan berusia 20 tahun. Salah satu program utama organisasi ini, yaitu ARKIPEL – Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival, akan berusia 10 tahun sementara Jurnal Footage, sebagai kanal media utama yang dikelola Forum Lenteng, akan berusia 15 tahun. Bersamaan dengan itu, Reformasi Indonesia pun akan berusia 25 tahun.
Kami ingin menyambut dan merayakan usia-usia menarik ini dengan mencoba melakukan perenungan serta peninjauan kembali diskursus-diskursus sinema dan video yang pernah dibicarakan oleh Forum Lenteng, secara khusus dalam rentang waktu satu dekade terakhir.
Kami memilih rentang waktu 10 tahun ke belakang dengan menyadari bahwa satu dekade merupakan periode yang cukup panjang untuk melihat berbagai gejala sosial-budaya kontemporer. Ada banyak peristiwa global, nasional, dan lokal yang penting telah terjadi, dan “10 tahun” adalah rentang waktu yang memadai untuk mengamati (serta mencatat) dampak-dampak dan hubungan-hubungan dari peristiwa yang ada, sejauh yang dapat terpetakan. Akan tetapi, satu dekade relatif bisa dinilai sebagai rentang waktu yang tidak begitu panjang juga, sebenarnya. Kejadian-kejadian yang telah berlangsung dalam periode tersebut rasanya belum tepat dilabeli “kedaluwarsa”, karena bahkan banyak di antaranya masih punya kaitan erat dan langsung dengan kejadian-kejadian terkini.
Oleh karena itu, Jurnal Footage akan merealisasikan perenungan dan peninjauan diskursus sinema dan video yang pernah dibingkai Forum Lenteng dalam satu dekade terakhir dengan cara menerbitkan ulang di halaman media daring ini beragam tulisan tentang sinema yang pernah ditulis oleh anggota ataupun kawan-kawan Forum Lenteng, yaitu tulisan-tulisan yang dimuat di media lain selain Jurnal Footage. Dalam hal ini, secara khusus kami merujuk kepada tulisan-tulisan yang dimuat di katalog-katalog festival ARKIPEL yang diproduksi sejak tahun 2013. Selain karena masih terbilang penting dan mempunyai relevansi dengan perkembangan sekarang dan masa depan, tulisan-tulisan di katalog-katalog tersebut secara tidak langsung juga akan menunjukkan semacam peta imajiner yang berguna untuk merunut ragam eksperimen, pendekatan, metode, sudut pandang, relasi, visi, dan estetika film-film kontemporer, serta pernyataan-pernyataan dan sikap-sikap kultural dari sejumlah pegiat ataupun lembaga perfilman yang berpartisipasi dalam medan sosial terkait.
Selain itu, penerbitan ulang tulisan-tulisan tersebut ke dalam rubrik Edisi Khusus di media daring ini merupakan langkah efektif dalam rangka mengawali proses aktivasi (atau sebutlah, pemanasan) situs web Jurnal Footage yang telah lama “vakum”. Dengan demikian, selama beberapa minggu ke depan, Jurnal Footage akan menerbitkan dua hingga tiga artikel setiap minggunya, berupa tulisan yang pernah dimuat di katalog ARKIPEL, sembari akan tetap menerbitkan artikel-artikel baru dengan topik pembahasan yang baru pula, berdasarkan kategori rubrik yang tersedia.
***
Sepuluh tahun berselang, kita telah mengalami dan menyaksikan banyak hal, tapi segala hal itu belum “ditelan” sejarah dan juga belum jauh meninggalkan kita. Kalau bukan merupakan aktualitas kiwari yang masih akan berkembang pada hari ini dan di masa mendatang, setidak-tidaknya kejadian-kejadian sepuluh tahun terakhir masih menjadi ingatan yang segar di benak kita semua.
Kita masih bisa ingat (beberapa kejadian mencolok, tanpa bermaksud mengabaikan kejadian-kejadian lainnya): bocornya rahasia program pengawasan global milik aliansi intelijen negara-negara adidaya ke publik tahun 2013, terjadi sebulan sebelum kudeta terhadap Morsi di Mesir (yang merupakan subsekuensi Arab Spring 2011). Setahun kemudian (2014), ISIS merajalela di kawasan Iraq dan Suriah; hingga intervensi militer internasional untuk memerangi mereka pun dimulai, sedangkan mereka terus memperkuat organisasi dengan membentuk sekutu dengan kelompok militan lainnya, yaitu Boko Haram (2015). Pada tahun 2016, secara mengejutkan Trump memenangi pemilihan Presiden AS di tengah hingar-bingar popularitas game seluler teraugmentasi Pokémon Go. Sementara Iraq mendeklarasikan kebebasan teritorial dari ISIS pada Desember 2017, dan sejak dua bulan sebelumnya tagar #MeToo mulai marak digunakan sebagai cara untuk menarik perhatian pada besarnya masalah diskriminasi perempuan, lebih dari 41 juta orang telah terkena dampak banjir muson yang melanda kawasan Asia Selatan (Bangladesh, India, Nepal, dan Pakistan) pada bulan September. Lantas di 2018, Putin terpilih kembali menjadi Presiden Rusia untuk keempat kalinya, dan Pemimpin Tertinggi Korea Utara Kim Jong-un secara mengejutkan mengadakan pertemuan dengan Pemimpin Tertinggi China Xi Jinping, sedangkan anak-anak muda bersatu menggalakkan gerakan internasional peduli krisis iklim karena terinspirasi Greta Thunberg.
Di Indonesia sendiri, dekade lalu kita juga mengalami tahun-tahun yang bergejolak, baik dalam artian positif maupun negatifnya: mulai dari tahun politik (2014 dan 2019), demonstrasi massa sebagai konsekuensi sentimen keagamaan (2016) yang disusul aksi-aksi turun ke jalan di tahun selanjutnya (2017), hingga ke tahun-tahun bencana: kita menyaksikan lagi serangan teroris skala besar pasca-Bom Bali 2015, yang menyerang tiga gereja di Surabaya (2018), disusul bencana gempa bumi dan tsunami yang melanda Lombok, Sulawesi, dan Banten serta Selat Sunda (masih di tahun yang sama).
Sampai akhirnya, virus covid pertama kali teridentifikasi sebagai wabah di kota Wuhan, Cina (2019), kemudian merebak luas menjadi pandemi (2020) dan memengaruhi sebagian besar aspek kehidupan masyarakat global, mengganggu kelancaran aktivitas di segala ranah (sosial, politik, ekonomi, dan budaya). Tahun 2021, vaksinasi COVID-19 mulai digalakkan pemerintah sementara jumlah angka kematian di tingkat global akibat virus ini terus meningkat (hingga melampaui 4 juta jiwa di bulan Juli).
Sedangkan tahun ini, perekonomian global mulai mengalami pemulihan meskipun dampak lanjutan dari lonjakan inflasi akibat pandemi COVID-19 masih terus berlangsung. Di saat yang bersamaan, sejumlah yayasan internasional yang fokus pada pengembangan protokol blockchain mulai mengalihkan mekanisme konsensus mereka dalam rangka mengantisipasi dampak lingkungan; itu terjadi kurang dari setahun setelah pasar spekulatif NFT melonjak pada awal 2021 silam. Dan sejumlah peristiwa global pun kian akrab terdengar—invasi Rusia ke Ukraina, konon, dianggap sebagai konflik bersenjata terbesar di Eropa sejak pasca-PD II—seiring dengan semakin meluasnya penggunaan media sosial dan upaya untuk mengejar pengalaman di metaverse—sedangkan “unjuk rasa Mahsa Amini” di Iran menjadi momentum bagi pecahnya gerakan skala besar memprotes kebijakan dan respon kekerasan negara atas kebebasan masyarakat, berdampak pada pemutusan seluruh jaringan internet di seluruh wilayah negara itu.
***
Fenomena lokal, nasional, dan global, dengan berbagai konteks sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang ada, mestilah dapat dibaca dan diinterpretasi melalui sinema. Sebab, karya sinema niscaya merefleksikan gejala-gejala kehidupan manusia, sekalipun ia hadir dengan isi yang fiksi sama sekali. Sudah selayaknya kita menyikapi film dan sinema sebagai sarana untuk merefleksikan apa-apa yang terjadi di sekitar kita; kita pun harus cermat untuk memahami bagaimana film dan sinema berperan menangkap fenomena lokal, nasional, dan global yang telah, sedang, dan akan berlangsung, baik dari segi estetika maupun isu melalui beragam eksperimen artistik yang dimungkinkannya.
ARKIPEL – Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival, sejak perhelatannya yang pertama di tahun 2013, berdiri pada sudut pendirian di atas. Diskursus yang dibicarakannya, terutama, berkisar pada kualitas reflektif sinema terhadap gejala sosial, politik, ekonomi, dan budaya sezaman, serta terhadap sejarah. Membaca kembali teks-teks yang diproduksi ARKIPEL selama satu dekade terakhir bagaikan menjelajah perlahan ke belakang, melintasi waktu dengan sebuah wahana: sinema. Jurnal Footage dengan gembira menyajikan perjalanan itu di situs web ini.
Selamat membaca!
–
Sumber foto sampul untuk artikel ini: Darafsh, CC BY-SA 4.0, via Wikimedia Commons.