In Berita/Liputan, Forum

Enam tahun berlalu sejak Kongres  Nasional Kegiatan Perfilman Berbasis Komunitas 2010. Saat itu saya masih berkegiatan sebagai auditor keuangan di suatu kantor akuntan publik. Tidak mengerti apa itu komunitas filem dan apa yang mereka bisa lakukan. Yang saya tahu adalah saya suka menonton filem, punya sekumpulan teman dengan hobi yang sama, dan rutin bertemu seminggu sekali atau dua minggu sekali di Ratu Plaza untuk saling bertukar filem hasil unduhan. Kami sering mengidentifikasi kumpulan kami sebagai ‘geng RatPlaz”. Apakah kami sebuah komunitas filem?

Foto dari Fani Atmawijaya.

Pasca-Reformasi 1998, sudah menjadi tidak asing bagi kita mendengar kata ‘komunitas’. Pada masa Orde Baru, kata ini juga sudah terdengar, tetapi diselingi dengan imbuhan yang tidak terasa subversif, misalnya komunitas motor. Kini, istilah ‘komunitas’ telah merambah banyak wilayah, baik sosial, politik, maupun kebudayaan. Dalam konteks kebudayaan, istilah ini digunakan untuk menjembatani ekspresi-ekspresi minoritas dan marjinal terhadap sebuah dominasi tertentu. Demikian pula para pelaku filem, yang juga turut serta memiliki semangat membentuk komunitas.

Pada 17-20 Maret, 2010, atas inisiatif beberapa penggerak komunitas filem, diselenggarakanlah sebuah perhelatan yang diberi tajuk Kongres Nasional Kegiatan Perfilman Berbasis Komunitas, di Taman Budaya Surakarta, Jawa Tengah. Menurut laporan panitia waktu itu (dikutip dari teks Bowo Leksono pada pembukaan Temu Komunitas Film 2016), kongres ini dihadiri oleh 170 individu dan kelompok (tercatat 93 komunitas) dari Jawa, Sumatera, Bali, dan Kalimantan. Kongres ini menghasilkan beberapa rekomendasi dan catatan tentang peran komunitas filem dalam kebudayaan Indonesia. Ada banyak catatan penting lahir dalam kongres ini, salah satunya adalah lima rekomendasi dalam menempatkan posisi komunitas di ranah perfileman Indonesia, yaitu; (1) Melakukan kajian dan analisis orientasi masing-masing organisasi untuk memahami kebutuhan untuk berkumpul dan kerja-kerja di wilayah komunitas masing-masing; (2) Melihat dan meletakkan posisi strategis organisasi dalam skema kegiatan perfileman secara umum, baik di tingkal lokal maupun nasional; (3) Meningkatkan pengetahuan internal tentang filem yang menjadi dasar utama kegiatan perfileman, seperti defenisi, batasan-batasan, hal teoritis, dan peningkatan pengetahuan yang bersifat teknis dan praktis; (4) Melihat ulang kerja dan inisiatif yang dilakukan selama ini, dan melakukan desain ulang visi-misi yang terstruktur menurut capaian berdasarkan jangka waktu; dan (5) Menetapkan skala ukur evaluatif secara internal agar dapat terus mengembangkan program-program ke depan.1

Enam tahun setelah kongres tersebut, pada tanggal 25-27 Maret, 2016, atas inisiatif penggerak filem komunitas yang sama, diadakan kegiatan Temu Komunitas Film Indonesia 2016 di Purwokerto, Jawa Tengah, dan dihadiri oleh sebanyak 350 individu dari 95 komunitas dari 33 kota yang tersebar di 14 provinsi.

Forum Lenteng melakukan wawancara dengan beberapa perwakilan komunitas yang hadir pada Kongres tahun 2010 dan bisa dibaca di https://jurnalfootage.net/v4/profil/filem-apa-itu-komunitas-filem, yang hadir antara lainnya adalah Dharmansyah Lubis (Sources of Indonesia, Medan), Welldy Indra (Kine Wakref UIR, Pekanbaru), Insan Indah Pribadi (Sangkanparan, Cilacap), Damar Ardi Atmaja (komunitasfilm.org, Wonogiri), Joko Narimo (Mata Kaca, Solo), Elida Tamalagi (Kinoki, Yogyakarta), Agus Mediarta (Konfiden, Jakarta), dan Stefanus Andre Agung (12,9 AJ Kineklub Atmajaya, Yogyakarta).

Wawancara berkisar tentang mengapa berkomunitas, pengetahuan filem dan aksesnya, program, penonton sampai perkembangan dan daya tahan komunitas. Berdasar riset online kecil-kecilan yang sempat saya lakukan untuk mencari tahu keberadaan orang-orang dalam wawancara tersebut dan bagaimana kegiatan komunitasnya sekarang: setidaknya setengah dari komunitas tersebut sudah tidak berkegiatan lagi, dilihat dari update website atau media sosial mereka.

Foto dari Ali Aspandi.

Perhelatan Temu Komunitas Film Indonesia 2016 di Purwokerto bisa dikatakan sebuah kegiatan yang jauh lebih besar, jika dibandingkan dengan kongres pada tahun 2010. Selain adanya dukungan pemerintah melalui Direktorat Kesenian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), temu komunitas ini dihadiri sekitar 350 peserta. Hal ini tentu menunjukkan hal yang sangat positif, karena acara ‘temu’ ini menjadi ruang bertemu komunitas-komunitas, yang diikuti oleh pemberian materi acara yang terkait dengan kebutuhan sebagai pelaku komunitas filem. Hal lain yang sangat positif adalah hadirnya beberapa tokoh, seperti Maman Wijaya (Kepala Pusbang Film Kemdikbud), Abdul Kharis Almasyhari (Wakil Komisi X DPR RI, Panitia Kerja (Panja) Perfilman Nasional) dan Mujib Rohmat (anggota Komisi X DPR RI).2 Dukungan dari berbagai kalangan ini, tentu saja perlu kita sambut dengan baik, terutama dukungan pembiayaan pada kegiatan komunitas yang sebenarnya menjadi tanggung jawab pemerintah dalam menghidupi keberadaan komunitas bagi perkembangan filem di Indonesia.

Penyelenggara kegiatan membuat acara yang terjadwal sebagai kelas-kelas, yaitu: (1) Penulisan Proposal Kegiatan; (2) Pengelolaan Pemutaran dan Festival Film; (3) Pengelolaan Teknis Pemutaran Film; (4) Kritik dan Apresiasi Film; (5) Distribusi dan Teknologi; dan (6) Penulisan Skenario. Selain itu, juga ada Forum Pendanaan untuk memberikan dukungan pada komunitas dalam kegiatan nonproduksi.

Pada Temu Komunitas Film Indonesia 2016, Forum Lenteng mengikutsertakan beberapa orang anggotanya untuk ikut dalam berbagai kelas. Mereka adalah Andreas Meiki, Rayhan Pratama, dan Ario Fazrien, sedangkan saya dan Bunga Siagian hadir sebagai observer. Kehadiran Forum Lenteng pada temu komunitas filem ini adalah salah satu cara membangun jaringan pertemanan komunitas, dan juga ingin merefleksikan kembali bagaimana  perkembangan hasil-hasil dari kongres 6 tahun lalu dihadirkan dalam temu komunitas ini.

Kami berangkat pada 24 Maret 2016 menuju Purwokerto untuk kemudian lanjut ke kawasan Baturraden tempat acara dilaksanakan di Villa Kayu Palem. Untuk peserta kelas disediakan fasilitas akomodasi di lokasi kegiatan bersama-sama dengan perwakilan komunitas lainnya. Tanggal 25 Maret 2016 acara resmi dibuka oleh Bowo Leksono mewakili CLC Purbalingga sebagai tuan rumah dengan pidato yang sangat baik, menyinggung persoalan yang paling hangat terkait sensor filem yang diproduksi dan diputar di komunitas yang harus mendapatkan izin lulus sensor dari Lembaga Sensor Film (LSF). Isu yang sangat politis, yang menyentuh langsung persoalan komunitas serta pernyataan membanggakan tentang komunitas filem yang tersebar di seluruh Indonesa yang terus meregenerasi tanpa henti dan akan menjadi pemilik masa depan perfileman Indonesia. Malam pembukaan dilanjutkan dengan memutar tiga filem yang dulunya banyak diputar di komunitas-komunitas filem, yaitu Peronika (Bowo Leksono, 2002), Jalan Sepanjang Kenangan (Eddie Cahyono, 2007), dan El Meler (Dennis Adhiswara, 2001).

Teknik dan Praktik, tetap Penting

Hari kedua adalah hari pelaksanaan kelas-kelas yang telah disebut di atas sebelumnya. Tiga anggota Forum Lenteng berpartisipasi dalam kelas penulisan skenario bersama Perdana Kartawiyudha, kelas pengelolaan teknis pemutaran filem bersama Ahsan Andrian, dan kelas distribusi dan teknologi bersama Dimas Jayasrana dan Dennis Adhiswara.

Foto dari Andreas Meiki

Berbeda dengan kongres di Solo tahun 2010, pada kegiatan temu komunitas kali ini, kelas-kelas tersebut diisi materi-materi yang topiknya bersifat praktis. Sayangnya, persoalan yang paling hangat dan diutarakan pada pidato pembukaan tidak tersentuh dalam dialog-dialog di kelas. Bentuk acara berupa kelas-kelas praktik, bukanlah hal yang tidak penting. Bahkan, ini sangat baik bagi komunitas filem—yang sebagian besar adalah kelompok/komunitas filem berbasis kampus (Unit Kegiatan Mahasiswa/UKM), yang membutuhkan hal yang praktis untuk menggerakkan komunitasnya. Kekurangtepatan isi konten yang ada di kelas-kelas tersebut, contohnya, seperti yang dialami kawan-kawan Forum Lenteng saat di kelas penulisan skenario. Di website Pertemuan Komunitas Film, tertulis bahwa pembahasan akan berangkat dari wejangan Akira Kurosawa. Sejatinya, kelas ini bisa penting, misalnya belajar dari bagaimana sang maestro mengembangkan skenarionya. Kenyataannya, di kelas penulisan skenario tersebut, yang terjadi justru hanya semacam ‘profiling’ dari mentor dan Serunya Scriptwriting. Materi lainnya pun berkisar pada bagaimana skenario bisa menembus industri, bahasa skrip yang komunikatif dan common sense yang jamak dilakukan bila orang hendak menjual suatu produk.

Begitu juga dengan kelas pengelolaan teknis pemutaran filem, yang masih terjebak dalam pembahasan bagaimana teknis ideal pemutaran dalam ‘ruang’ yang notabene adalah cara yang paling aman dalam memutar filem. Padahal, kebutuhan komunitas dalam memutar filem bukan hanya soal-soal yang baku dalam pemutaran filem, tetapi juga bagaimana komunitas bisa menemukan ‘cara’ sendiri yang bisa beradaptasi dengan kondisi di lapangan di tempat komunitas itu bergerak. Sebab, tidak semua komunitas memiliki ruang dan peralatan yang baik.

Dalam kelas distribusi filem, baik materi maupun diskusinya belum memunculkan strategi baru dalam menghadapi perkembangan baru metode pendistribusian filem komunitas. Presentasi lebih banyak tentang platform distribusi video secara online. Bukan hal salah, tentunya. Menurut saya, semestinya ada alternatif lain yang memberi ruang kepada partisipan untuk dapat ‘ruang distribusi’ yang terbebas dari kepentingan tertentu. Kita tahu bahwa persoalan distribusi ini adalah persoalan yang paling krusial bagi komunitas filem kita. Kita cukup berlega hati karena mulai membaiknya bandwidth internet di beberapa kota Indonesia. Metode distribusi online menjadi jauh lebih efektif, di mana komunitas tidak perlu mengeluarkan biaya pengiriman karya atau mendistribusikan secara fisik, cukup melalui media online. Persoalannya, mampukah komunitas filem menggunakan metode distribusi online ini sebagai sebuah ‘sikap’ yang memberikan ruang kritis pada dominasi industri filem saat ini?

Merujuk pada hasil-hasil Kongres Nasional Kegiatan Perfilman Berbasis Komunitas 2010, ada cita-cita menempatkan peran komunitas filem dalam perkembangan kebudayaan Indonesia. Komunitas filem diajak untuk merefleksikan dirinya untuk melihat ‘posisi strategis’ mereka di tingkat lokal dan nasional. Pertanyaan-pertanyaan tentang pentingnya membentuk sebuah komunitas, peran apa yang mestinya diraih oleh komunitas, dan bagaimana strategi untuk bertahan (di luar persoalan finansial yang selalu ada dalam komunitas filem). Dari situ, kita tahu bahwa Kongres 2010 memberikan semacam ‘penyegaran’ tentang aktivisme kepada komunitas yang hadir.  Bahwa, berkomunitas bukan hanya persoalan berkumpul, keren, dan menjadi filmmaker terkenal nantinya. Namun, setiap komunitas dibentuk sesuai dengan kebutuhan anggotanya dan meletakkan posisi pentingnya di masyarakat.

Tentu karena panitia penyelenggara sebagian besar adalah para penggagas kongres tahun 2010, harapan Forum Lenteng pada munculnya gagasan yang lebih strategis dalam kerja-kerja aktivisme sangatlah besar pada temu komunitas ini. Harapan tersebut tentu tidak berlebihan, karena kesadaran akan pentingnya potensi jaringan komunitas ini.

Foto dari Ali Aspandi.

Pertanyaannya, bagaimana ‘posisi strategis’ komunitas filem dalam kebudayaan kita saat ini terkait dengan diadakannya pertemuan antar-komunitas tersebut? Perlukah memasukkan hal-hal yang politis dalam komunitas dalam menghadapi perkembangan medan perfileman Indonesia sekarang? Di sisi lain, jika dilihat dari materi acara yang termuat di perhelatan Temu Komunitas Film Indonesia 2016, sangat terasa bahwa hal-hal praktislah yang lebih didorong untuk diterima oleh para komunitas filem. Komunitas-komunitas filem tersebut seperti ‘hanya’ diajak berpikir produksi ala industri atau kondisi yang ‘ideal’, dan tidak ada demarkasi yang tegas, sehingga pemaknaan komunitas seakan-akan menjadi sebuah kultur yang afirmatif terhadap kebudayaan yang dominan (industri filem).

Untuk menutup tulisan ini mungkin saya perlu mengutip wawancara Jurnal Footage dengan almarhumah Elida Tamalagi (pendiri Kinoki Yogyakarta) di tengah malam bersama beberapa orang kawan saat Kongres Nasional Kegiatan Perfilman Berbasis Komunitas, Maret 2010 di Taman Budaya;

“Menurut gue ya, kita memang harus membuka lebar kenyataan itu bahwa, memang, berada di komunitas filem itu keren. Dia adalah hobi yang gampang untuk mendekati cewek. Apa pun lah ya… Iki opo toh. Dan itu sah-sah saja. Yang bisa kita lakukan dalam tahap komunitas itu, kalau tadi bahasannya adalah menjalin teman baru, kemudian meningkatkan intensitas itu menjadi ‘sahabat’. Maksudnya, buat gue, ‘kamu gak akan jadi volunteer Kinoki seumur hidup, keluar kau dari sini!’. Tapi ada hal yang esensial yang ditularkan ke dia; entah itu prinsip bahwa ‘dengan sinema kita berbagi’, dengan sinema kita mendapatkan ‘pendidikan’. Sehingga ketika dia ngapain pun, ada sisi itu yang tertanam. Jadi, bukan cuma peer grupnya aja yang kuat atau kenangan-kenangan romantis tentang itu. Tapi paling tidak bahwa, “Oke, kalau gue pernah melakukan sesuatu, gue melakukan itu dengan ini, karena ini!”3

Mungkin kutipan dari pernyataan Elida perlu kita renungkan, bahwa sinema komunitas adalah membangun budaya ‘berbagi’ dan ‘pendidikan’. Buat saya, temu komunitas seharusnya dapat menemukan kembali cita-cita yang politisnya, sebagai sebuah ‘gerakan’, di mana kata ‘komunitas’ itu sendiri tidak akan pernah lepas dari hal ini. Komunitas akan tetap menjadi fasilitator dan jembatan untuk mempertemukan kepentingan publik yang lebih luas, bukan sekadar menjadi ruang untuk ‘pasar’ pemikiran industri, yang semestinya dikritisi oleh komunitas itu sendiri.

Tetap semangat kawan-kawan komunitas filem!

Endnotes[+]

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search