In Artikel

Seorang pemuda menumpang angkutan bajaj dengan kekasihnya yang sedang mengandung, melewati kawasan kumuh Jakarta di era 1970an. Anak-anak jalanan di lorong-lorong kota menjadi rangkaian sintagmatik bajaj. Pemuda tersebut adalah seorang mahasiswa bernama Sony (W.S. Rendra). Kekasihnya juga seorang mahasiswi bernama Titiek (Yati Octavia). Pandangan pemuda dalam bajaj itu seakan mempertegas diskursus kemanusiaan yang hanya mungkin diakses ketika memasuki wilayah pendidikan kampus. Suatu pandangan kelas menengah dengan segala tempaan diskursusnya.

Adegan menaiki kendaraan bajaj masih berlanjut. Bayangan sepanjang perjalanan menuju rumah juga dipenuhi konservatisme orangtua akan nilai-nilai tradisi. Klaim dokter tentang kehamilan sang kekasih menjadi klimaks dari kebebasan yang sedang dipertaruhkan dan diperjuangkan. Di saat sama, mereka tengah memperjuangkan keadilan di tengah arus kapitalisme oligarki. Inilah praktik montase, sebuah upaya estetika dari filem Yang Muda yang Bercinta, karya Sumanjaya (1977). Filem ini menarasikan situasi disparitas sosial yang cukup lebar. Disparitas itu adalah feodalisme dan kebebasan, kemiskinan dan kekayaan, individualisme dan tradisi.

Sjumandjaja

Konteks sosial politik Indonesia pada era 1970an, mungkin hanya bisa dijembatani melalui montase sinema. Montase di sini dimaksudkan sebagai jawaban visual atas melebarnya oposisi biner sosial. Barangkali kita bisa menafsirkan bahwa upaya montase dalam filem tersebut terinspirasi dari syair puisi Rendra, Sajak Sebatang Lisong. Namun, montase sebagai jawaban-jawaban sinematik atas situasi sosial politik Indonesia di tahun 1977, mempunyai daya ganggu luar biasa. Sudah pasti puisi memainkan peran penting dalam setiap kondisi sosial politik masyarakat yang rawan akan ketidakadilan. Puisi Rendra sendiri bisa dibaca sebagai metafora analisa sosial dan teori kritis situasi ketidakadilan masyarakat Indonesia pada masa ideologi pembangunan Orde Baru. Pada 1978, ketika filem Yang Muda yang Bercinta pertama kali ditayangkan, pihak pemerintah, melalui aparat keamanan Laksusda (sekarang Kodam Jaya), membreidelnya. Pemerintah menganggap filem ini dapat menimbulkan tafsir keliru yang dapat mengganggu stabilitas sosial politik negara. Menteri Penerangan masa itu, Ali Moertopo, menyatakan kalau filem Yang Muda yang Bercinta dapat dianggap mengganggu ketertiban umum.

Merujuk pada daya ganggunya, kita boleh bertanya apakah kekuatan filem Yang Muda yang Bercinta terletak pada syair puisi Rendra yang galak atau dikarenakan kemampuan filmis Sumanjaya sebagai sutradara untuk mempengaruhi situasi sosial masyarakat di era rezim Orde Baru?

Penggunaan montase dalam karya sinema Sumanjaya tentu bukanlah hal yang mengherankan. Sebagai lulusan All Union State Institute of Cinematography, Moskow, Uni Soviet, penggunaan teknik montase memberi pengaruh besar pada Sumanjaya. Dalam filem Yang Muda yang Bercinta, montase Sumanjaya mungkin lebih dilatari oleh puisi Rendra yang memerankan tokoh Sony, seorang mahasiswa yang mengakses wacana kebebasan, demokrasi, keadilan di tengah situasi sosial-ekonomi-politik Orde Baru yang mengalami ketimpangan cukup lebar pada masa itu. Konteks disparitas sosial masyarakat Indonesia sendiri mengasumsikan sebuah kebutuhan montase sebagai suatu metode ekspresi bahasa yang mampu membongkar relasi sosial yang melatari situasi ketidakadilan di Indonesia. Sosiologi montase Sumanjaya tentu akan menjadi berbeda dalam tradisi montase Rusia, tempat di mana Sumanjaya belajar sinema.

WS Rendra

Segi pedagogi montase Sumanjaya dalam Yang Muda yang Bercinta lebih membuka selubung sosial Indonesia dalam praktik kapitalisme negara yang rawan oligarki ekonomi politik. Dari segi narasi, misalnya, seorang teman Sony yang kaya raya, memiliki ayah yang melakukan praktik oligarki dengan para pejabat negara dalam melancarkan bisnis perusahaannya. Dalam narasi lainnya, diceritakan juga tentang konflik antara Sony dengan sang ayah yang dilatari oleh pandangan kaum muda individualis dan liberal dengan pandangan kaum tua yang konservatif dan mengikuti paham tradisi tertentu. Harapan-harapan akan nasib sang anak pun adalah harapan sisa kebudayaan kolonial, di mana status sarjana menjadi status sosial untuk menyandang pangkat sebagai ambtenaar (pejabat). Secara visual, Sumanjaya seakan membuat siasat estetika dengan menampilkan syair-syair Rendra di tengah plot konflik yang terdapat dalam narasi filem Yang Muda yang Bercinta. Selain dalam beberapa dialog tokoh Sony, juga dilakukan cukup teaterikal sebagai bentuk satir yang mampu menggugah alam pikir keseharian para penonton.  Sebagai sebuah alat refleksi yang memiliki daya kritis, dialog-dialog Sony bisa dianggap semacam pengantar analisa sosial terhadap praktik ideologi pembangunan Orde Baru. Misalnya, dialog ketika Sony dan sang kekasihnya berada di mobil bersama temannya yang kaya ketika akan berangkat ke Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam acara pembacaan puisi. Sony berkata, “Yang gue ganyang bukan babe lo, tapi sistem.”

Pada dialog lainnya, tokoh Sony juga melakukan satir sosial yang cukup mengena dari refleksi kebudayaan masyarakat feodal rezim Orde Baru di masa itu. Hal ini terungkap pada adegan ketika Sony sedang bertengkar dengan sang ayah. Ayah Sony menyatakan diri sebagai seorang pekerja keras dan jujur, tapi tidak mampu mengubah situasi. Oleh Sony, metafor tentang sifat ayahnya diungkapkan dengan kalimat: “Ayah macet…” Dialog-dialog tersebut cukup mengangkat Rendra sebagai aktor yang tidak kehilangan daya puitik dan teaterikalnya dalam filem Yang Muda yang Bercinta. Dalam hal ini, peran puitik pun bisa dimiliki dalam siasat filmis sebagai mode ekspresi komunikatif.

Keberadaan Rendra sebagai aktor dalam filem Yang Muda yang Bercinta, mungkin menjadi perhatian utama dalam memandang kualitas karya ini. Apalagi, dalam filem ini terdapat adegan dokumenter pementasan puisi Rendra di Universitas Indonesia (UI) Salemba dan ITB. Namun, pertautan antara puisi dan sinema dalam Yang Muda yang Bercinta –jika mengasumsikan Rendra sebagai tokoh Sony yang memang memainkan peran sebagai seorang mahasiswa penyair—terletak pada adegan pembacaan puisi Sony yang divisualisasikan secara montase tentang situasi kemiskinan dan peminggiran kaum miskin di perkotaan. Seperti syair Rendra yang dibuat secara dokumenter dengan visual perusahaan PT. Astra Indonesia. Rendra, dengan lantang membacakan puisi: “kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing/diktat-diktat hanya boleh memberi metode/tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan/kita mesti keluar ke jalan raya/keluar ke desa-desa/mencatat sendiri semua gejala/dan menghayati persoalan yang nyata.” Serta sebuah visual dokumenter sebuah mobil dan gedung mewah dengan suara puisi Rendra yang berbunyi: “aku bertanya/tetapi pertanyaanku/membentur jidat penyair-penyair salon/yang bersajak tentang anggur dan rembulan/sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya.

Sebagai sebuah karya sinema, Yang Muda yang Bercinta cukup memberikan referensi artistik tentang bagaimana sebuah bahasa filem dibangun. Di luar kekuatan puisi, dialog dan kemampuan berperan Rendra, sisipan-sisipan estetika Sumanjaya pada karya sinema ini cukup memberikan wahana filmis bagi penonton di Indonesia. Misalnya, pada adegan tokoh Titiek yang sedang menunggu sang kekasih Sony namun tak kunjung datang sebab sedang pergi ke luar kota. Logika filmis kepergian Sony disampaikan melalui penanda suara pesawat yang melintas dengan tampilan visual tokoh Titiek yang sedang menunggu di depan pagar rumah. Gaya sinema Sumanjaya tersebut cukup kental mengingatkan kita akan kaidah-kaidah filmis yang terdapat pada salah satu adegan dalam sekuel filem karya Eric Rohmer, Six Moral Tales. Sisipan-sisipan estetika yang diberikan Sumanjaya dalam karya, Yang Muda yang Bercinta, tersebut bisa dianggap sebagai usaha memberikan praktik mode ekspresi yang mampu membangkitkan nalar dialektis penonton filem di Indonesia. Walau kepekaan sinematik mungkin belum banyak dimiliki oleh para penonton di Indonesia pada umumnya, tapi sebagai kaidah filmis yang terdapat dalam karya, Yang Muda yang Bercinta, cukup membawa kode-kode estetika yang membangun rasio dibandingkan empati dan naturalisasi penonton.

Tahun 1978 adalah konteks Indonesia dalam ideologi pembangunan Orde Baru yang membawa praktik birokrasi, serta pembentukan kelas borjuis baru yang menikmati kaidah tetesan dari modal asing (trickle down effect). Sialnya, dampak tetesan tersebut justru tidak mengalir secara alamiah mencari tempat terendah. Tetesan tersebut mengalir secara oligarkis, bermuara pada satu atau dua kantong tertentu. Bisa dipastikan dampak dari oligarki tersebut, modal asing tidak menjadi agenda pemerataan tapi menggelembungkan satu atau dua kantong.

Pemandangan kemiskinan yang berhimpitan dengan kekayaan menjadi keseharian kota yang tak terelakkan, khususnya di ibukota Jakarta. Posisi kebudayaan dengan para senimannya, semacam penyair Rendra serta sutradara Sumanjaya, tentu lahir dari kondisi sosial yang membutuhkan bahasa seni sebagai mode ekspresi atas kegelisahan sosial yang mampu menjangkau sosiologi masyarakat Indonesia. Dan filem Yang Muda yang Bercinta adalah jawaban kontekstual di masanya, di mana kebudayaan dan kesenian berusaha mengambil peran sosialnya. Secara tegas, Rendra menggambarkan keadaan ini dalam puisinya di filem tersebut berjudul Sajak Sebatang Lisong: “inilah sajakku/pamflet masa darurat/apakah artinya kesenian/bila terpisah dari derita lingkungan/apakah artinya berpikir/bila terpisah dari masalah kehidupan.

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search