DI ULASAN-ULASAN sebelumnya, telah kita singgung berulang-ulang (dengan mengacu Iampolski) bahwa sinema Muratova, yang mengusung paradigma Ornamentalisme, secara filosofis menolak stereotipe.1 Dua di antaranya yang utama adalah stereotipe soal psikologisme, dan stereotipe soal simbolisasi (termasuk juga simbolisme). Jika ingin diurai menjadi dua domain, maka psikologisme ditolak oleh Muratova dalam konteks naratif (dan, tentu saja, pengadeganan),2 dan secara subsekuen, simbolisasi/simbolisme ditolaknya juga dalam konteks bentuk. Masalah inilah yang akan kita coba telisik untuk sedikit lebih memperdalam pemahaman mengenai ornamentalisme, dengan meninjau sejarah perkembangan pemikiran tentangnya di ranah kajian sastra.
Kalau kita hendak menggunakan kalimat sederhana yang rada kasar, istilah “ornamental” bisa saja diartikan serampangan sebagai “puitik”, maka “ornamentalisasi” adalah “puitisisasi” (yaitu: suatu gaya ungkap yang “mempuitis-puitiskan” ujaran)—semacam menambah “bunga-bunga” pada bentuk. Pengertian kasar inilah yang konon, jika diacu sebagai dasar, membuat kata ornamentalisme (atau “ornamentalisasi”) menjadi terma peyoratif: “sekadar” dekorasi yang ditambahkan, yang kalau bukan inesensial, ya…, dianggap artifisial (dibuat-buat). Padahal sebenarnya, dalam sejarah pemikiran dunia, ornamen mendapatkan perhatian yang tidak sembarangan. Ornamen telah dikaji banyak ahli sebagai konsep yang pengertiannya lebih kompleks daripada makna konvensional dekorasi.
Jika kita menggunakan pengartian yang sedikit lebih tertib, sebagaimana yang sudah saya terapkan sejak sub-ulasan sebelumnya, arti dari kata ornamental agaknya memang lebih sepadan dengan istilah “punya gaya”, maka “ornamentalisasi” adalah “penggayaan” atau “stilisasi”. Keputusan ini lebih tepat untuk diambil mengingat ada begitu banyak kajian ilmiah berbahasa Inggris yang menggunakan kata ‘stylization’ dan ‘stylistic’ untuk merujuk pengertian dari kata “ornamentalisasi” dan “ornamental”. Dan sebagai sebuah konsep yang berkaitan dengan gaya ungkap, ornamentalisme hidup dan berkembang di berbagai ranah disiplin. Tiga di antaranya yang penting disebut: senirupa, sastra, dan tentu saja, sinema.
Kisah tentang memuaranya konsep ornamentalisme ke ranah sinema, telah diulas salah satunya oleh Rosalind Galt, dalam bukunya yang berjudul Pretty: Film and The Decorative Image (New York: Columbia Universiti Press, 2011). Relatif lebih komprehensif ketimbang ulasan András Bálint Kovács di dalam Screening Modernism: European Art Cinema, 1950–1980 (Chicago & London: The University of Chicago Press, 2007), uraian Galt diperkaya dengan tinjauan interseksional yang mempertemukan pemikiran-pemikiran dari ranah kajian sejarah seni, teori seni, filsafat, sastra, dan teori sinema, baik dari pemikiran-pemikiran yang berkembang dengan perspektif yang sepenuhnya “barat” maupun dari yang punya simpati terhadap pengetahuan “timur” dan “timur-tengah”.
Untuk kajian yang lebih mendalam dengan fokus pada pemetaan bahasa sinematik terhadap film-film yang lebih beragam, buku Galt itu memang sangat patut menjadi acuan utama. Akan tetapi, terkait dengan konsep “ornamentalisme sinematik” yang akan kita bahas di sini—sebuah istilah yang saya kira patut kita lekatkan pada film-film Muratova (meskipun diragukan apakah ia pernah menggunakan istilah semacam itu)—pemahaman mengenai ornamentalisme dari sudut pandang sastra terbilang lebih relevan untuk diacu sebagai “akar pemikiran”-nya. Alasannya bukan hanya karena titik temu antara sinema dan sastra adalah “cerita” (dan bahwa “cerita” memang merupakan soal tak terelakkan ketika mendiskusikan film-film Muratova), tetapi juga karena wacana kesusastraan Rusia (atau Uni Soviet) sangat penting untuk ditarik ke dalam pembahasan, mengingat konteks sosial, budaya, dan politik yang melingkungi tema-tema di film Muratova itu sendiri. Dengan meninjau sejarah pemikiran dari “sisi sastrawi”-nyalah, khususnya sastra yang berkembang di Rusia, saya yakin, konteks dari kecenderungan ornamentalisme menolak psikologisme dan simbolisme itu dapat dicermati dan dipahami. Dan dengan menyadari pula adanya konteks “rezim ideologi” yang bekerja menaungi ranah sastra Rusia dan film-film Muratova, spekulasi analitis yang akan kita coba kedepankan nanti terkait modus Ornamentalisme Sinematik Muratova, diharapkan tepat sasaran.
Beberapa pengkaji menyebutkan bahwa ornamentalisme dalam konteks sastra nyatanya berkembang di lebih dari satu-dua periode.3 Secara khusus di lini masa kajian sastra Rusia, seorang teoretikus sastra menggunakan kata “ornamental” untuk mengacu karakteristik dari sebagian besar karya sastra Rusia kontemporer di awal abad ke-20.4 Yang agaknya paling sulit dipisahkan—dan karenanya memengaruhi pilihan definisi atas ornamentalisme sampai hari ini—adalah hubungan antara Ornamentalisme dan Simbolisme. Sejarah tentang irisan keduanya ini jugalah yang, kadang kala, memunculkan kebingungan terkait maksud Ornamentalisme Muratova yang, oleh beberapa kritikus film hari ini, diyakini justru malah menolak “simbolisme”. Oleh karena itu, persoalan ini perlu kita urai lebih dahulu secara saksama: bagaimana masing-masing paradigma tersebut akhirnya bergerak ke arah yang berbeda satu sama lain?
***
PROFESOR sastra Rae Beth Gordon berpendapat di dalam bukunya, yang berjudul Ornament, Fantasy, and Desire in Nineteenth-Century French Literature (New Jersey: Princeton University Press, 1992), bahwa dalam konteks sastra Prancis, konsepsi ornamental bisa dikatakan telah mendahului penelitian-penelitian estetika mengenai “bentuk dekoratif” yang berlangsung di penghujung abad ke-19. Definisi ornamen pun, menurutnya, perlu dianggap berbeda dengan dekorasi, terutama dari segi bagaimana konsep ini berfungsi di dalam teks, yaitu: (1) menampakkan makna, maksud, dan hasrat-hasrat yang selama ini terrepresi di dalam teks-teks; (2) membuat apa yang biasanya dianggap “hanya” aksesoris menjadi memiliki peranan yang sama pentingnya dengan subjek utama karya; dan (3) menyediakan struktur yang akan menjadikan sebuah karya bernilai.5 Keberadaan fungsi yang pertama, khususnya, disebabkan oleh aspek “keberkelebihan” (‘excessiveness’) dari ornamen, yang mana dengan aspek itu, struktur suatu karya ornamental dapat menembus batas-batas bentuk alamiah untuk menemukan atau menciptakan hal yang selama ini tidak terlihat.6 Mallarmé, misalnya, dalam karyanya yang berjudul Un coup de dés jamais n’abolira le hazard (1897), memanfaatkan ruang-ruang kosong sebagai ornamen untuk menyediakan struktur bagi spasialitas puisi-puisinya.7 Huysmans, contoh lain, mengornamentalisasi karyanya dengan teks-teks “menjijikkan” sehingga tersedialah suatu struktur histeria yang memicu efek agitatif,8 seperti yang dapat dilihat pada kumpulan puisinya yang berjudul Le Drageoir aux épices (1874) atau novelnya yang berjudul En rade (1887).9
Kajian Gordon tersebut mengindikasikan bahwa konsepsi ornamental sudah ada bahkan sejak masa peralihan dari Romantisisme ke Simbolisme.10 Dapat dicerna juga, konteks studinya itu telah menerangkan secara tersirat posisi ornamentalisme sebagai bagian dari diskursus Simbolisme [Prancis], yang di dalam diskursus itu konsepsi ornamental terhadap bahasa [puitika] dipercaya berfungsi untuk memicu dimensi Simbolik (dengan “S” besar—mensugestikan makna yang “melampaui” realitas). Maka tak heran, ornamentalisme dalam konteks sinema pun diyakini oleh sejumlah pemikir sebagai paradigma yang mengamini pengertian-pengertian emblemetik (sebagaimana pandangan Szilágyi dengan konsep “Film Ornamental”-nya itu).
Sementara ornamentalisasi sastra oleh kaum Simbolis Prancis lebih berkembang menuju puisi prosaik (puisi yang diungkapkan dalam bentuk prosa), konsepsi ornamental yang tumbuh di Jerman pada masa yang kurang-lebih sama, yaitu era Pascarealisme, justru membuahkan bentuk sebaliknya: prosa puitik (prosa yang gaya ungkapnya menggunakan perangkat-perangkat puitik—disebut juga dengan istilah prosa ornamental).11 Bisa dikatakan, dari sinilah salah satu permulaan dari pemahaman tentang “ornamentalisme menolak naratif” terjadi.
Wolf Schmid berpendapat bahwa penerapan perangkat-perangkat puitik pada teks prosa ornamental umumnya mewujud dengan bentuk dasar berupa paronomasia (‘permainan kata’), yaitu suatu ornamentalisasi yang memfasilitasi sebuah struktur semantika yang ngelantur, menyebabkan kecenderungan kata menjadi ikon [dalam pengertian semiotika Peircean] sehingga merangsang cara “berpikir mitikal”-nya Ernst Cassirer, dan sebagai dampaknya, terdapat pelonggaran batas antara kata (sign) dan intisarinya (object), juga antara wacana (discourse) dan ceritanya (story), yang mengakibatkan pelemahan narativitas.12 Sebagai produk seni yang mengundang modus Pikiran Mitikal, teks-teks prosa ornamental Jerman—yang juga disebut naratif liris/ritmis itu—memang masih “…menggunakan representasi-representasi simbolik, tetapi,…” mengoposisi Realisme, “…dengan tanpa memperbedakan simbol-simbol yang digunakannya dari objek-objek yang direpresentasikannya.”13 Prosa kemudian menjadi sebuah struktur yang mempunyai kedalaman bentuk (formal inwardness), di mana kedalaman itulah yang jauh lebih penting untuk dipersepsikan daripada mengandaikan sesuatu [yang “barangkali” dirujuk oleh teks-teks prosa dan berada] di luar strukturnya.
Cuplikan tentang kajian Schmid di atas, sekali lagi, juga menunjukkan bahwa ornamentalisme dirayakan sekaligus difungsikan dalam wacana artistik dan estetika sastra Simbolis. Sama halnya dengan apa yang berlangsung di Rusia pada awal abad ke-20, di masa-masa menjelang “kepunahan” Simbolisme itu sendiri. Ornamentalisme telah berkembang ke dalam sebuah konstelasi pengetahuan yang di dalamnya kerap terjadi “…perdebatan-perdebatan intelektual yang…,” kalau meminjam kalimat Victor Erlich, “…memadukan ‘kelincahan jiwa’ (esprit)-nya Prancis dan ‘kedalaman batin’ (inwardness)-nya Jerman untuk menyelidiki Oscar Wilde dan Nietzsche, serta Misteri Eleusinian dan filsafat Neo-Kantian, secara setara.”14 Erlich menjelaskan bahwa orientasi puitik dari Simbolisme, terhadap penghilangan dikotomi mekanistis antara bentuk dan konten, memengaruhi pemikiran para pegiat sastra Simbolis Rusia kala itu: bahwa “puisi adalah Ilham, sebuah bentuk kesadaran (cognition) yang lebih tinggi, yang menjembatani realitas empiris ke ‘Yang Tidak Diketahui’, maka kata-kata puitik adalah sebuah Logos mistika, mengumandangkan kegaiban, yang di dalamnya metafora diangkat derajatnya dari sekadar kiasan menjadi Simbol, untuk mengungkapkan paralelisme antara yang fenomenal (dunia indra—‘realia’) dan noumenal (dunia transendental—’realiora’).”15 Hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified),16 bagi mereka (menurut Erlich), bersifat dakhil dan organik, di mana “tekstur bahasa puitik” adalah korespondensi langsung (atau ekuivalen) dari “rujukan (referent) muskil”-nya, sehingga perhatian saksama terhadap bentuk puitik (‘poetic form’—seperti citra, kata, unsur metrik, dan rima-irama yang digubah sastrawan) menjadi sangat penting dalam rangka mengurai atau memahami subjek laten puisi.17 Andrei Bely (salah seorang sastrawan Simbolis sekaligus pengkaji sastra di Rusia), yang mempercayai pandangan filosofis tersebut, menjaga kesetiaannya pada Simbolisme dengan menggalakkan semacam penelitian (salah satunya dengan memanfaatkan metode berbasis statistik) terhadap karya-karya sastra Rusia dari berbagai periode, demi menemukan dan merumuskan suatu “hukum empiris” dalam persajakan,18 agar bentuk puitik dapat ditelaah secara sistematis, dan cara kerja struktural-nya dapat dimengerti secara menyeluruh.
Agaknya, di situlah “perhatian formal” dalam konteks ornamentalisme sastrawi Rusia bermula. Nyatanya, ada cukup banyak kajian sastra Rusia kontemporer yang melabeli Bely sebagai sastrawan ornamental terkemuka pada periode setelah Nikolai Gogol dan sebelum Revolusi 1917.19 Namun, metode penelitian sistematis yang dikembangkannya itu, yang konon dianggap sebagai salah satu tonggak terpenting dalam perkembangan “puisi ilmiah” Rusia,20 malah akan menginspirasi studi-studi sastra di era kemudian yang semakin menjauhi “cita-cita mistik” kaum Simbolis, termasuk juga memberikan cara pandang baru mengenai konsepsi ornamentalisme sastrawi, bahwa: yang menjadi berbeda bukan saja signifikansi dari narativitas (akibat permainan bentuk-bentuk puitik), tetapi juga kedudukan, sifat, dan fungsi dari bentuk (terhadap konten) dalam konteksnya sebagai modus berbahasa. “Ornamentalisme simbolik” pun, dapat dikatakan, mulai ditolak sejak saat itu, seiring dengan munculnya kebencian generasi baru terhadap Simbolisme Rusia.
Dalang yang mengawali peperangan (terhadap Simbolisme [Rusia]), tak lain dan tak bukan, adalah sebuah kelompok “kurang ajar” yang menyerukan pemutusan total hubungan dengan masa lalu; penolakan terhadap semua otoritas/standar sosial, moral, etika, dan estetika; dan pengabaian segala praktik/teori kekaryaan yang sudah berkembang mapan sebelum sekarang; kelompok ini membuang semuanya keluar dari apa yang mereka cita-citakan sebagai “kapal uap modernitas”, yang bernama Futurisme Rusia: sebuah gerakan yang sejak kelahirannya sekitar tahun 1910, tujuh tahun sebelum Revolusi, tanpa kompromi membenci pakem-pakem bahasa apa pun yang telah digunakan hingga kini, dan mendeklarasikan revolusi kosa-kata, sintaksis, dan pokok-pokok bahasan kepengarangan (kepenyairan), demi membasmi habis semua konvensi sastra dan seni yang pernah ada.21 Merespon perubahan zaman modern di mana kehidupan masyarakat telah dan sedang melompat dari masa lalu agraris ke revolusi industri dan politik, Futuris Rusia lebih tertarik untuk meromantisasi penanda-penanda “baru”: sains, teknologi, penemuan, dan kecepatan.22 Semangat dan cara pandang ini tercermin dalam salah satu manifesto mereka, “A Slap in the Face of Public Taste” (1912), yang menegaskan penghancuran tradisi lama dan penciptaan sesuatu yang sepenuhnya baru.23
Sebagaimana dijelaskan Erlich lebih lanjut, Futurisme Rusia—yang tentu saja juga membantah pemikiran rasional ala Realisme (yang lebih mementingkan penggambaran naturalistik, mengutamakan objek yang direpresentasikan, dan mengedepankan pesan sosial ketimbang kecerdikan dan eksperimen bentuk)—merayakan dan mendayagunakan bahasa puitik tapi dengan menolak Doktrin Korespondensi-nya Baudelaire24 secara terang-terangan, sembari mencemooh penafsiran mistik ala Simbolisme Rusia yang, menurut mereka, telah melakukan kecelakaan fatal karena melihat Logos puitik sebagai alusi batiniah yang dapat menghantarkan kita kepada ‘realitas yang lebih tinggi’.25 Bagi para Futuris, tujuan akhir bahasa puitik adalah justru bahasa puitik itu sendiri (yaitu, kata), yang mereka yakini merupakan entitas mandiri yang bernilai karena dirinya sendiri, yang mempunyai kekuatannya sendiri—kata puitik adalah suatu fakta primer,26 atau…, rada-rada mendekati pengertian dalam konsepsi mitikal-nya Cassirer: suatu bentuk kesadaran yang di dalamnya konten dan bentuk menyatu satu sama lain secara menyeluruh menciptakan suatu persepsi yang bersifat langsung.27
Sepintas, pandangan Futurisme Rusia terasa sejalan dengan teori filsafat Cassirer mengenai bentuk simbolik.28 Keduanya, bahkan, sama-sama menganggap bahwa versi “citra mitikal” yang mempunyai kesadaran mandiri itu dapat ditemukan di dalam bahasa seni (seperti puisi). Akan tetapi, pada kenyataannya, wujud seni [seperti puisi, juga senirupa] yang direalisasikan Futurisme Rusia untuk mencapai hal tersebut sangat berbeda dengan seni yang dipikirkan oleh Cassirer.29 Hirschkop berpendapat bahwa, hal paling mendasar yang membedakan keduanya, adalah, Futurisme Rusia tidak melihat dan tidak menyatakan sama sekali adanya realitas “cadangan” (kenyataan “lian”) untuk menegaskan kata sebagai suatu bentuk (yang mana, menurut mereka, karakteristik “spiritiual” atau “mitikal” kata hanyalah hal yang dicari-cari Cassirer), hanya demi meyakinkan kita bahwa kata adalah wujud yang merdeka. Bagi Futuris (menurut penjelasan Hirschkop), yang terpenting hanyalah “kata sebagai kata” (the word as such), yang [semestinya] merdeka 100% dari konsep-konsep apa pun yang bisa dilekatkan padanya, dan oleh karena itu kata harus bebas total dari segala macam rantai representasi (baik yang ke arah riil maupun hiperriil) agar kekuatan sejati dari kata dapat berfungsi sepenuhnya.30
Lebih ekstrem dari Cassirer, Futurisme Rusia juga mendeklarasikan bahwa kata adalah pencipta mitos, alih-alih “sekadar” mensugestikan kesadaran mitikal, dan bahkan, menurut mereka, ketika kata mengalami krisis makna dan mulai menuju suatu keadaan “kehilangan konteks asali”-nya, justru di situlah kata akan melahirkan mitos-mitos baru (atau makna-makna baru), serta sebaliknya: mitos-mitos (yang dilahirkan kata-kata itu) akan menyehatkan dan menyegarkan kembali kata-kata.31 Pada konteks ini, kata bukan lagi dilihat sebagai wadah untuk menyampaikan [atau menunjuk/merujuk ke] ekspresi subjektif, emosional, ataupun ide-ide yang spesifik. Dan karena Futuris Rusia “…lebih menaruh perhatian pada kata ketimbang Jiwa,”32 maka di mata mereka kedudukan bentuk atau tanda mengungguli konten atau objek (isi atau makna), yang dengan kata lain: bentuk menentukan atau menciptakan konten, bukan sekadar “adalah” konten. Pandangan ini, pada akhirnya, mengamini bahasa puitik sebagai perangkat artistik yang melaluinya upaya penciptaan-kata [kata-kata baru] bisa direalisasikan. Keluaran puncaknya, ialah, neologisme puitik (a.k.a kebaruan total). Jika bahasa (kata-kata) “memiliki” jiwa, maka “…‘jiwa bahasa’ itu bersemayam di dalam gramatika [tata-bahasa]…, yaitu suatu ‘bentuk batin’ yang [mempunyai otoritas] mendikte perwujudan dan arah perkembangannya sendiri di masa depan.’”33
Dalam dekade keaktifannya, Futurisme Rusia pun bertemu jodoh: Formalisme Rusia. Gerakan yang pertama, menurut Erlich, mendramatisasi kebutuhan akan sistem puisi ilmiah yang memadai di lingkup kesusastraan Rusia masa itu karena wacana yang mereka galakkan mengundang perhatian terhadap dinamisme dalam-diri (inner dynamism) dari fakta-fakta lingustik, serta mendorong studi-studi sistematis terhadap bahasa puitik. Sedangkan gerakan yang kedua, adalah tanggapan teoretik dari dunia akademik terhadap gelombang aktivisme seni yang mencita-citakan sistem tersebut—mereka berkomitmen untuk mengembangkannya.34 Konon, karena sama-sama sering nongkrong dan ikut serta acara-acara diskusi intelektual di Stray Dog, sebuah kafe yang berlokasi di St. Petersburg (kala itu bernama Petrograd) yang menjadi lokasi favorit para avant-gardis,35 para intelektual sastra dan ahli bahasa dari lingkungan akademik membangun pertemanan yang akrab dengan para penyair dan seniman-seniman Futuris. Dan ada banyak juga sejarawan sastra yang percaya bahwa, kelahiran gerakan yang kedua terjadi setahun setelah manifesto Futuris terbit, yaitu ketika seorang mahasiswa pengagum gerakan ini, Viktor Shklovsky, mendapat giliran untuk menyampaikan pidato, yang berjudul “Tempat Futurisme dalam Sejarah Bahasa”.36
Di pidato itu, Shklovsky menyerukan kebangkitan kata: bahwa tradisi dan adat kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari, yang tipikal dengan familiaritas atau kelaziman—di mana semua hal (termasuk kata) selalu mudah dan sudah ‘dikenali’ (‘recognized’)—menyebabkan kata-kata mengalami ‘kematian’ (kata menjadi tidak bisa ‘dirasakan’ atau ‘dialami’ [secara indrawi]; tidak bisa ‘dilihat’ dan ‘didengar’).37 Oleh karena itu, agar bisa ‘dindrai’, ‘dialami’, dan menjadi ‘hidup’, bahasa puitik harus mencolok, atau ‘menyerang’ (‘strike’) indra [pendengaran; penglihatan], yaitu dengan cara ‘meremuk-retakkan’ dan ‘memecahkan’ kata-kata.38 Ahli-ahli yang menyetujui momen penyampaian pidato tersebut, sebagai kelahiran Formalisme Rusia, juga menganggap bahwa pidato kontroversial Shklovsky itu merupakan salah satu deklarasi pertama tentang teori defamiliarisasi yang menjadi ciri khasnya, yaitu teori yang melihat bahasa puitik (atau secara lebih umum, bahasa seni) sebagai teknik untuk mengalienasi hal-hal keseharian, untuk membuat sesuatu yang biasa atau akrab menjadi asing—justru—agar bisa dialami dan dirasakan oleh indra [penglihatan; pendengaran] kita.
Formalisme Rusia, yang dari segi pengorganisasian gerakan relatif lebih ‘lentur’ ketimbang Futurisme Rusia, berkembang pesat dari dua kutub lingkungan akademik. Yang satu di St. Petersburg, di mana Viktor Shklovsky dan sejawatnya mendirikan OPOIaZ (Society for the Study of Poetic Language) di tahun 1916, sementara yang satu lagi di Moskow, di mana sang ahli bahasa paling berpengaruh di abad ke-20, Roman Jakobson, membangun, mengembangkan, dan mengepalai Moscow Lingustic Circle yang berdiri setahun lebih awal.39 Pendekatan yang berkembang di dalam kedua kutub ini, menurut Erlich, adalah pendekatan fungsional, yaitu: memahami puisi sebagai fenomena linguistik, sebagaimana fenomenologi Husserlian—yang memengaruhi para sarjana muda lingustik dan sastra di kedua kota—menerapkan konsep tentang ‘gramatika murni/universal’ untuk melihat bahasa sebagai bahasa (“language as such”); bahasa adalah ihwal yang mesti terbebas dari interpretasi-interpretasi yang berhubungan dengan kemungkinan statusnya sebagai gejala sampingan dari proses psikologis individual.40 Tidak berbeda dengan Shklovsky yang menaruh keyakinan kepada teknik (atau прием — ‘priyem’, diartikan juga sebagai device atau method dalam bahasa Inggris) dalam kaitannya dengan konsep defamiliarisasi, Jakobson pun mempunyai cara pandang yang sama. Memparafrasekan kalimat Hirschkop, cara pandang Jakobson tersebut bisa kita urai seperti ini: pemusatan perhatian pada bahasa (yang adalah medium) disajikan sebagai hakikat estetika (hakikat yang pada dasarnya terdiri dari pengembangan kualitas dan sifat/properti medium itu sendiri), di mana dalam konteks kajian kesusastraan dan seni, apa yang dipahami sebagai puitisitas (atau ‘fungsi puitik’) ialah sesuatu yang ada ketika kata [atau ‘tanda’, ‘bentuk’] dialami/dirasakan sebagai kata [‘tanda’/’bentuk’], bukan representasi dari objek ataupun ledakan emosi; sementara bahasa mengungkap berdasarkan kerja mesin internalnya, maka puisi adalah “soal menampilkan mesin tersebut”.41
Erlich juga lanjut menjelaskan bahwa, kehendak Formalisme Rusia untuk memperpanjang wacana ‘sistem puisi ilmiah’ itu jugalah yang membuahkan kepercayaan mutlak mereka pada teknik seni (‘artistic device’) sebagai satu-satunya persoalan yang harus digali, sedangkan hal-hal lain, seperti ideologi, konten emosional, dan psikologi karakter, mesti dikesampingkan.42 Akan tetapi, kita perlu cerna di sini bahwa, konsepsi Shklovsky mengenai teknik dan Jakobson mengenai puitisitas itu, yang sama-sama mendudukkan bahasa sebagai medium, agaknya telah membuat mekanisme puitik menjadi persoalan faktual yang benar-benar tampak—segala hal muncul “ke permukaan”, tiada lagi yang “bersembunyi” di balik, di belakang, ataupun di dalam bentuk. Puisi, atau karya-karya seni lainnya, dengan kata lain, dapat kita anggap mempunyai “kedalaman” justru dengan keberwujudannya sebagai entitas “tekstural”—signifikan karena sifat datar (‘flatness’)-nya—di mana, “tekstur” adalah hal yang sungguh-sungguh dilihat sebagai fakta teknis utama dari bentuk. Ini seturut juga dengan penekanan Hirschkop dalam penjelasannya terkait pemikiran kedua tokoh tersebut (Shklovsky dan Jakobson): puisi (atau bahasa puitik) “…didefinisikan bukan berdasarkan penggunaan figuratif bahasa dalam konteks semantik, melainkan dengan mempermukakan [atau mengedepankan] properti-properti penanda (signifier)-nya…”—dan contoh penerapan yang mencerminkan definisi ini—kalau menggunakan terma Jakobson—adalah teknik ‘deformasi’ bahasa.43
Jika prosa puitik yang berkembang di Jerman menunjukkan “awal mula” penolakan ornamentalisme sastrawi Rusia terhadap narativitas, dan studi versifikasi-nya Bely dianggap menjadi model baru dalam hal mana ornamentalitas puitik semacam itu dikaji secara ilmiah dengan menekankan perhatian formal, maka tamparan revolusioner Futuris dapat dipahami menjadi “penyebab” menjauhnya simbolisme dari konsepsi ornamental yang tengah kita bicarakan. Sedangkan orientasi struktural-fungsional dan perspektif fenomenologis Formalisme Rusia, sebagai pengiringnya, bisa dibilang merupakan benang merah yang menjahit kedua persoalan itu melekat ke simpul-simpul anti-psikologisme. Dan bentuk dari ornamentalisme yang sedang kita telusuri jejak pemikirannya ini, dapat diteropong menggunakan ‘teori’ teknik-cum-puitisitas yang diajukan Shklovsky-Jakobson tersebut.
***
DARI uraian—yang saya harap tidak terkesan terlalu panjang dan bertele-tele—di atas, tentang sejarah pemikiran yang berkaitan dengan perkembangan perspektif terhadap “ornamentalisme”, khususnya gejala-gejala diskursif yang berlangsung di Rusia 1910-an, teranglah bagi kita sekarang ini mengapa dan bagaimana Ornamentalisme, pada sisi tertentu, bisa menjadi cara pandang ataupun fundamen estetik bagi bahasa-bahasa seni yang menolak naratif [naratif konvensional] dan lebih meng-“agung”-kan penggayaan bentuk, serta membenci realisme psikologis sekaligus mengabaikan kemungkinan-kemungkinan dari pengertian-pengertian simbolik (dalam pemahaman realisme) dan Simbolik (dalam kepercayaan Simbolisme). Tidak mengherankan, kritikus-kritikus pembela Muratova mengaitkan praxis sinematiknya dengan ide-ide avant-gardis Rusia (Uni Soviet) pra-Revolusi.
Selain itu, kombinasi dari anti-naratif, anti-psikologis, dan anti-simbolik tersebutlah yang juga mengerangkai modus “paradigma karpet/permadani” dalam Ornamentalisme Sinematik-nya Muratova: segala hal (yang ada di dalam filmnya) mesti dialami/diinderai sebagaimana kita mempersepsikan “tekstur karpet”, yang “dekoratif”, yang signifikan karena ‘sifat datar’ (flatness)-nya. Di sini, sinema dipahami sebagai fenomena “linguistik”: bahasa film/sinema adalah fenomena, yang dengan kata lain: disikapi sebagai suatu fakta, yaitu “fakta bahasa”. Dan jika pengertian ini kita kaitkan dengan teoretisasi Shklovsky, maka: pen-“dekorasi”-an (‘penggayaan’), sebagai teknik ornamental (yang sejajar dengan teknik defamiliarisasi-nya Shklovsky atau puitisitas-nya Jakobson), di dalam film-film Muratova, bertujuan untuk mengedepankan tekstur (atau mengedepankan konstruksi film sebagai tekstur)—semata untuk diamati, dialami, dan dikagumi oleh penonton—yang mana di dalam tekstur itulah, berbagai hal (things—isi/objek; intisari/makna) dipanggil, ditempatkan, dan ditampilkan lewat cara-cara yang sengaja menghindari penamaan (‘appellation’) ataupun penandaan (‘designation’ atau ‘signification’) konvensionalnya, demi mencapai suatu bentuk grotesque (a.k.a. “fantastis”).
Dalam penerapan yang terkadang jauh lebih ekstrem: hal yang dibicarakan tidak lain dan tidak bukan adalah “makna” formal itu sendiri: ia (konstruksi film) menjadi berarti karena bentuk-nya sendiri, terlepas apakah ia sedang merujuk hal-hal di luar dirinya sebagai film atau tidak.
Pada kebiasaan kita sehari-hari mencerna film (beserta “cerita”-nya), makna-makna simbolik selalu menghantui. Pada satu sisi, sudah menjadi suatu stereotipe bahwa film yang kita tonton kerap kali diharapkan atau diandaikan sedang mengisahkan suatu cerita, di mana cerita itu seharusnya sesuai dengan cara pandang konvensional kita memahami cerita (yaitu: plotnya harus jelas dan beralasan, motif-motif karakter harus sesuai, punya intensi emosional dan psikologis, serta setidaknya mencerminkan atau merefleksikan masalah-masalah dalam realitas kita sehari-hari). Narativitas jenis ini ditolak dalam kerangka berpikir Ornamentalisme Sinematik-nya Muratova.
Sementara itu, pada sisi yang lain, sterotipe yang ada adalah: kalaupun pengadeganan film tidak berkaitan dengan realitas sehari-hari, tentunya tanda-tanda yang tampak di dalam film semestinya sedang menyimbolkan (merujuk ke makna dari) sesuatu, misalnya: sesuatu yang ‘spiritual’, yang ‘melampaui’ kenyataan, atau merujuk ke sebuah “Ide”. Simbolisasi macam ini, nyatanya, juga ditolak oleh Muratova. Sebab, modus ornamental di dalam filmnya memang untuk “menyimpangkan” naratif dalam rangka mengedepankan bentuk, tetapi bentuk yang tersaji bukanlah simbol-simbol dalam pengertian Realis[me] maupun Simbolis[me]. Contohnya: manusia hanya sebagai manusia, kalung hanya sebagai kalung, dan kuda hanya sebagai kuda.
Untuk mendukung argumentasi kita di atas, kita bisa menyimak kembali kuliah Iampolski yang secara khusus membahas perihal adegan kuda di dalam film Change of Fortune, dengan menjadikan pernyataan Kira Muratova sendiri sebagai basisnya.44
Iampolski menjelaskan, pada suatu wawancara, Muratova menjawab pertanyaan soal kuda (apakah kuda yang kabur di dalam adegan itu menyimbolkan sesuatu?), justru dengan bertanya balik: “Kuda apa? Mengapa kuda harus menyimbolkan sesuatu? Dan [keberadaan] orang [di adegan itu]? Apa yang sedang disimbolkan oleh [keberadaan] orang di situ?”45 Pertanyaan retoris Muratova ini merupakan kunci yang menarik: bahwa pada kenyataannya sangat jarang kita mempertanyakan “makna simbolik” dari keberadaan orang-orang di dalam “cerita” film, maka seperti itu pulalah Muratova menempatkan benda-benda (termasuk kuda). Pada konteks itu, Muratova dengan caranya yang unik telah meninggalkan orientasi penceritaan konvensional (di mana, baik dalam naratif ala Realisme maupun Simbolisme, apa-apa yang tampak diandaikan sedang menandakan sesuatu di luar cerita—keberadaan mereka dianggap sebagai “representasi”). Alih-alih dimaksudkan untuk mereferensikan sesuatu di luar film, perilaku kuda, yang ditampilkan Muratova dalam adegan itu, didefinisikan secara wajar berdasarkan keadaan lingkungan [materialitas] di dalam filmnya sendiri: “Seseorang [Filip] menggantung dirinya, kudanya kabur. Mengapa? Aku tidak tahu! Tidak ada apa-apa [terkait simbol apa pun].”46 Melanjutkan jawabannya, Iampolski menggarisbawahi pernyataan Muratova, “Memikirkan bahwa kuda itu gentar dengan ‘peradaban manusia’ [sebagai makna simbolik adegan itu], misalnya, adalah pemikiran yang bodoh. Kuda itu mungkin ketakutan karena…, entahlah…, ledakan…? Tembakan…? Atau sesuatu semacam itu yang membuat kuda itu kabur. Cuma itu.”47 Iampolski pun menjelaskan konteks dari pernyataan Muratova: “Kuda itu berreaksi terhadap keadaan di sekitarnya tanpa adanya prameditasi [‘renungan yang mendahuluinya’] ataupun pra-konstruksi [yang dimaksudkan si pencerita]; tidak ada plot ataupun karakter yang mendefinisikan perilaku kuda tersebut, dan [contoh perilaku] kuda tersebut jugalah yang mesti digunakan sebagai model bagi perilaku manusia [di dalam film Muratova].48
Kuda hanya sebagai kuda, begitupula kalung hanya sebagai kalung; benda hanya sebagai benda, sebagaimana manusia hanya sebagai manusia. Begitulah ornamentalitas yang bekerja di dalam pemikiran sinematik Muratova ini. Meminjam kalimat Emma Widdis, ornamental-nya Muratova “…ada di situ, … untuk menunjukkan keringkihan struktur, … memperlihatkan dunia dan, secara bersamaan, tubuh manusia dalam kementahan dan kehadiran sensoriknya yang total.”49 Sebagaimana yang dapat dipahami, kemudian, hal ini juga sejalan dengan gagasan “the word as such” dan “the language as such” yang diajukan Futurisme dan Formalisme Rusia. Semuanya bukan sedang “mewakili” hal, bukan menjadi representasi objek (makna), juga bukan mencerminkan suatu emosi dan ide. Alih-alih, konstruksi filmis Muratova mendekati sesuatu yang bersifat self-reflektif: ornamentalisasi, sebagai suatu teknik ‘penggayaan’, bukan bertujuan semantik, tetapi lebih untuk menunjukkan kerja mesin strukturalnya sendiri.
Tapi, kita masih bertemu dengan satu masalah: apa gunanya menujukkan mesin yang bekerja pada struktur tersebut kalau, ujung-ujunya, tak menawarkan refleksi apa pun tentang sesuatu yang, semestinya, bisa bermanfaat bagi penonton? Pembicaraan kita tentang Change of Fortune, mau tidak mau, memang belum selesai, karena hal itulah yang akan kita ulas lebih jauh di artikel berikutnya. []
Baca Bagian 01/07: “Yang Diperluas dari Surat: Struktur Naratif Peralihan Nasib”
Baca Bagian 02/07: “Yang Diperluas dari Surat: Interpolasi dalam Peralihan Nasib”
Baca Bagian 03/07: “Yang Diperluas dari Surat: Fantastisisme Peralihan Nasib”
Baca Bagian 04/07: “Yang Diperluas dari Surat: Anti-Ideologi dari Peralihan Nasib”
Baca Bagian 05/07: “Yang Diperluas dari Surat: Bentuk ‘Film Ornamental’”
Baca Bagian 07/07: “Yang Diperluas dari Surat: Ornamentalisme Sinematik”
Subseri artikel berjudul “Yang Diperluas dari Surat” ini merupakan bagian dari seri artikel dalam Editorial 10, bertajuk “Materialisme, Ornamentalisme, dan Fantastisisme”, yang secara khusus mengulas karya-karya dan praktik sinematik Kira Muratova.
Endnotes