In Artikel

PADA BAGIAN KE-3 dari seri ulasan tentang Change of Fortune ini, saya ingin mengajak Anda untuk merenungkan betapa keganjilan-keganjilan adegan yang dihadirkan Muratova di dalam film tersebut merupakan sebuah gaya formal-konstruktif yang mengarahkan konsepsi dunia “fantastis”-nya ke dalam pengertian-pengertian yang cenderung menyetujui gagasan grotesque yang berkembang dalam sejarah seni.

Secara etimologis, ‘grotesque’ berasal dari bahasa Prancis ‘crotesque’ yang berasal dari bahasa Italia ‘grottesco’, yang secara harfiah berarti “gua”, dari kata ‘grotta’. Arti ini sebagaimana termuat dalam situs Online Etymology Dictionary, yang mendefinisikan grotesque sebagai “bentuk liar, proporsi yang tidak beraturan, dan sangat aneh”. Kamus daring tersebut juga menyebut bahwa kata ini berkaitan dengan kata ‘antic’ yang awalnya digunakan di Italia pada abad ke-16 sebagai kata benda, untuk merujuk representasi aneh dan fantastis dari mural-mural kuno di sekitar Roma. Kemudian, artinya meluas menjadi “segala hal atau perilaku aneh apa pun”, terutama ketika kata itu sudah mulai digunakan dalam bahasa Inggris.1

Akan tetapi, dalam konteks pembahasan kita, apa yang dipahami sebagai ganjil, atau keganjilan, bukanlah semata terletak pada “komposisi” visual (sebagaimana yang biasa kita lihat dalam lukisan-lukisan bergenre grotesque itu sendiri). Dalam kasus Change of Fortune (dan juga film-filmnya yang lain), apa yang justru dilakukan Muratova adalah mengimplementasikan gagasan grotesque ke dalam teknik editing, untuk mempersoalkan relasi antara visual yang satu dengan visual lainnya. Lebih jauh lagi, bahkan, antara visual dan bebunyian (suara), sehingga, yang justru “aneh” adalah konstruksi filmisnya.

Adegan intim dalam sekuen perselingkuhan di awal film ini, misalnya, terasa ganjil (mewakili ide grotesque) disebabkan oleh racikan konstruktif Muratova dalam memanfaatkan benda-benda dalam relasinya terhadap ruang (latar lokasi). Dua sejoli dengan pakaian manusia modern, dipadu dengan sebuah objek yang mewakili konsep “iblis” (topeng Harlequin), berada di tengah-tengah taman yang lebih menyerupai belantara hutan, bergumul dalam interaksi yang mengesankan kekerasan dan kemesraan sekaligus. Belum lagi suara percakapan repetitif yang mengiringi sekuen ini. Perpaduannya menghadirkan sebuah dinamika visual-auditori yang alternatif dari kelaziman visual umumnya, terlebih jika dibandingkan dengan ilusi stereotipikal yang kerap kita temui dalam sekuen-sekuen pembuka film-film komersial kebanyakan.

Begitu pula dengan adegan-adegan di dalam penjara bawah tanah yang menunjukkan interaksi Maria, si terdakwa, dengan para sipir. Komunikasi yang berlangsung tampak dan terdengar tidak biasa, penuh dengan konten rasis yang—oleh para tokoh di dalamnya—dianggap lumrah. Gesture mereka satu sama lain juga menunjukkan perilaku dari jiwa yang kacau, terasa lebih mendekati gila, kalau bukan non-manusiawi. Kesengajaan Muratova menghadirkan ke tengah-tengah sekuen ini sebuah adegan pertunjukan sirkus, misalnya, meruntuhkan pengertian lazim dari lapas. Ketimbang dipenuhi penjahat, inilah gedung yang didiami oleh kegilaan, atau dalam pengertian yang lebih halus: suatu ruang yang didalamnya komedi berpadu dengan tragika, pengalaman katarsis yang menginduksi tawa secara ganjil.

Sebagaimana genre grotesque berkembang, tuturan-tuturan bergaya “tragikomedi” telah menjadi unsur penting untuk menekankan penciptaan empati yang beririsan dengan apati, serta keprihatinan yang melekat dengan kemuakan bagai dua sisi mata uang koin.

Sementara itu, di luar penjara: unsur afeksi (yang tampak dari bagaimana cara Maria menyambut murid perempuannya) bersanding dengan unsur cabul (yang berasal dari tingkah sipir). Ketidaksinkronan dua unsur dari masing-masing shot tersebut seolah tampak bekerja dalam suatu logika montase dialektis meskipun tidak tampil secara abstraktif. Namun, makna intelektual macam apakah yang sedang disasar Kira Muratova? Yang kita saksikan, nyatanya, adalah ini: hal yang semestinya digambarkan normal, dalam dinamika sekuen tersebut, menjelma menjadi abnormalitas subtil.

Kontradiksi-kontradiksi semacam itu juga terjadi pada adegan yang memperlihatkan situasi “kebingungan oriental” di kantor si advokat, pertemuan canggung antara yang oksidental dan non-oksidental. Kostum dari tokoh-tokoh di dalam adegan ini, tentu saja, juga memainkan peran penting bagi penciptaan kesan “asing” dan aneh di kantor itu. Namun, dari segi konstruktif, hal yang patut diamati dari sekuen ini adalah gangguan suara. Dalam adegan perbincangan di dalam kantor, suara yang memanggil, “Tuan Advokat! Tuan Advokat!”, mengesankan sebuah panggilan mendesak. Akan tetapi, ketika si advokat keluar, tidak ditemukan hal mendesak apa pun. Adegan dua orang pribumi yang tampaknya sedang menunggu dilayani si advokat pun, ternyata, juga tidak ditanggapi dengan serius. Alih-alih, kita melihat hiruk-pikuk yang tak begitu berarti selain sebagai tanda ringkas tentang adanya kehidupan masyarakat berbeda etnis.

Di situ, yang menjadi grotesque kemudian bukanlah semata visualisasi yang aneh dari perpaduan Asiatik dan Kontinental, tetapi—yang jauh lebih utama—juga pada hubungan antara satu shot ke shot yang lain yang tidak menjelaskan logika naratif yang lazim. Dibumbui dengan emosi yang meledak-ledak dari sejumlah tokoh (bukan saja ekspresi si advokat dan Filip, tetapi juga dua orang yang berbicara tak nyambung itu), adegan ini secara utuh menjadi ruang kaos yang justru membingungkan.

Kebingungan oriental serupa juga tampak pada adegan ketika si advokat mengunjungi Filip di sebuah bar, ataupun ketika mereka pergi menjelajahi kampung antah-berantah untuk mencari rumah si gundik yang menyimpan surat. Hubungan antara pribumi dan pendatang hanya menyisa sebagai tanda, tanpa indeks yang bisa dianggap dapat mereferensikan lebih jauh politik kolonial yang spesifik dari dunia riil.

Selain itu, desakan permohonan dari seorang pribumi terhadap si advokat (untuk menolong saudaranya yang terjerat kasus pembunuhan), ataupun serbuan para gelandangan di tengah-tengah gang, hadir lebih sebagai adegan komikal dalam konstruksi di sekuen tersebut; itu adalah “serbuan mendadak” yang mengganggu keseriusan dari suatu persengkongkolan para lelaki yang hendak melawan hukum. Namun, komikalisasi yang dihadirkan Muratova, sekali lagi, tidak mengandaikan konsekuensi, atau kausalitas apa pun, misalnya terhadap lancar atau tidaknya persengkongkolan yang sedang dijalani oleh ketiga laki-laki (Filip, si advokat, dan asisten magangnya). Konstruksi semacam ini malah mengesankan betapa ketiga tokoh tersebut tersesat di dunia karnaval yang semestinya tidak mereka datangi; mereka bagaikan terjebak di tempat dan waktu yang tidak tepat untuk urusan yang penting dan “bermanfaat”. “Ketidaktepatan” ini pun bergema dengan kebingungan ketiga tokoh itu saat mereka nyaris tersasar, menelusuri jalan setapak, mencari rumah yang hendak dituju.

Lantas, apa pula maksud dari “kebingungan” yang [sengaja atau tidak] dihadirkan oleh Muratova itu…??? Sabar…! Akan kita coba jelaskan nanti.

Sementara itu, upaya Maria untuk mengingat-ingat kejadian penembakan Alexander, seperti yang telah saya sebut, terasa lebih bersifat performatif daripada nostalgis-tragis. Dilatari ruang bawah tanah yang remang, terkesan lembab, dan menjemukan, dipadu dengan karakteristik Maria yang memiliki emosi berubah-ubah, serta usaha kerasnya menjelmakan imajinasi (dan ingatan)-nya ke tengah pembicaraan, memaku perhatian penonton. Namun, yang membius justru bukan informasi yang disampaikan dalam cerita Maria, melainkan tingkah laku non-natural si protagonis (yang beberapa kali bahkan tampak terganggu dengan kehadiran sebuah sofa). Pengadeganan dengan basis defamiliarisasi semacam ini mengikat penonton dalam empati sensorial ketimbang empati naratif.

Selanjutnya, adegan-adegan dalam sekuen “kilas-balik” yang menguak kejadian sesungguhnya dari peristiwa pembunuhan, menurut saya, tampak ganjil karena dua alasan. Pertama, ialah karena kedudukannya sebagai eksposisi spesifik tentang sisi lain dari kepribadian si protagonis; sifat keras hati, agresif, dan posesif bersebarangan dengan stereotipe yang selama ini melekat pada dirinya: perempuan terhormat, pendiam, dan lembut. Kedua, karena adanya shot demi shot yang berperan sebagai elemen untuk menegaskan interpolasi-interpolasi—kalau bukan “ekses-ekses”— naratif. Tiga bocah bertenis Cina yang tersenyum kecil tanpa suara itu, misalnya, pada dasarnya adalah penampakan yang wajar sebagai suatu komposisi visual, tetapi ketika mereka ditempatkan dalam suatu konstruksi kejadian mengerikan, yaitu pembunuhan, tentu hal ini menjadi tidak logis secara naratif.

Begitu pula dengan adegan kuda Alexander yang berlari kabur di subuh hari: sebuah “kenyataan” yang puitik, syahdu, bersanding begitu saja tanpa sebab-musabab visual apa pun secara “simbolik” (selain informasi dari kata-kata yang disampaikan oleh kedua pelayan tentang kuda yang kabur) dengan adegan yang di dalamnya kita telah melihat sekujur mayat bersimbah darah di lantai. Membandingkan rangkaian tersebut dengan adegan kuda Filip yang berlari bebas pada sekuen penutup, kontradiksi yang sudah menjadi kekhasan film ini kembali terulang. Kebebasan yang buas menyahuti-nyahuti tragika kematian yang ironis, menyisakan kisah film ini pada ranah olok-olok yang getir.

Berdasarkan analisis saya di atas terhadap sejumlah adegan/sekuen yang saya jadikan contoh kasus, maka, apa yang patut disebut grotesque dalam sinema Muratova adalah konstruksi antar gambar: bagaimana sebuah visual yang seharusnya biasa saja, ketika ditempatkan ke dalam sebuah konstruksi adegan atau sekuen, ia memunculkan suatu perasaan ganjil, aneh, asing, tidak biasa, tidak lumrah, tidak lazim. Atau, bagaimana sebuah susunan dari sejumlah bidikan visual yang semestinya rasional secara montase, ketika disusun dengan pendekatan ini, malah memunculkan “penyimpangan estetik”.

***

“BIDIKAN ITERATIF”-NYA MURATOVA, sebagaimana yang terimplementasi dalam The Long Farewell, Getting to Know the Big, Wide World, dan Among Grey Stone,2 adalah salah satu teknik konstruksi gambar yang mewakili visi Muratova sebagaimana yang sudah saya utarakan di atas.

Di film Change of Fortune sendiri, pengulangan nyaris satu sekuen panjang (yaitu adegan dari detik-detik peristiwa menjelang insiden penembakan), bagi saya pribadi, adalah contoh dari lompatan radikal yang visi filosofisnya melampaui teknik itu. Berbeda dengan teknik iteratif yang ia lakukan di film-film sebelumnya, pada film Change of Fortune ini, Muratova malah menggunakan material shot dan scene yang sama persis untuk diterapkan pada urutan pengulangan yang juga sama persis.

Pada pengalaman pertama ketika menonton adegan yang spesifik itu, sebagaimana yang terjadi pada saya sendiri, kesan yang tercipta bukanlah keterkejutan dalam artian takjub. Reaksi yang muncul di diri saya, sebaliknya, adalah kebingungan. Apakah film yang saya tonton adalah hasil dari suatu kesalahan editing?

Setelah memastikan ke beberapa sumber, agaknya pengulangan sekuen tersebut memang disengaja oleh Muratova, meskipun terdapat beberapa versi file digital dari film itu, yang telah beredar di internet, yang telah memotong sekuen berulang yang saya jelaskan tadi.

Penelusuran verifikatif saya bisa saja keliru; pengulangan sekuen itu bisa saja memang merupakan kesalahan editing (atau disebabkan oleh eror pada berkas digital yang saya punya). Namun, untuk kebutuhan diskusi pemikiran yang hendak saya ketengahkan dalam esai ini, marilah kita untuk sementara ini menyepakati bahwa sekuen berulang itu memang bagian dari teknik artistik yang dimaksudkan oleh Muratova. Keputusan ini, tentu saja, didasari oleh alasan bahwa kecenderungan untuk menyajikan “adegan iteratif” memang telah terbuktikan ada pada karya-karya film Muratova sebelumnya.

Nah, tentang kebingungan (di kepala penonton) yang disebabkan oleh model eksperimen formal-konstruktif Muratova ini, secara khusus pula untuk kasus Change of Fortune, dalam kaitannya dengan konsepsi “fantastisisme” yang definisinya lebih condong mengarah kepada pengertian dari konsep grotesque, kita bisa menggunakan teoretisasi dari Rémi Astruc.3

Sebelum melanjutkan penjelasan saya, di sini saya harus secara jujur mengutarakan sebuah kendala: Astruc menulis bukunya dalam bahasa Prancis, dan saat ini versi digitalnya dijual dengan harga yang tinggi. Maka, karena keterbatasan bahasa dan akses, mau tidak mau saya hanya akan mendasarkan pembahasan saya yang menggunakan pemikiran Astruc tersebut pada sebuah dokumen yang berisikan ikhtisar bukunya, yang termuat di situs Academia.edu milik si penulis.4 Tentu perlu diakui bahwa rujukan semacam ini terbilang tidak memadai. Akan tetapi, untuk kebutuhan praktis bagi pembahasan kita selanjutnya, paparan ringkas dari dokumen yang saya gunakan itu relatif cukup untuk, setidaknya, memberikan gambaran umum tentang tawaran perspektif teoretikal Astruc mengenai konsep grotesque.

***

SEBAGAIMANA YANG DAPAT dirujuk pada dokumen ikhtisar yang saya gunakan, disebutkan bahwa Astruc, dalam bukunya, menjelaskan bahwa “ketidakpastian” (indeterminasi) yang menjadi karakteristik dari “hal-hal yang grotesque” adalah justru sesuatu yang perlu diamini. Sebab, ambiguitas (ambiguity) dan ketidaksempurnaan (imperfection) merupakan gagasan operatif terpenting untuk menjelaskan apa yang terjadi di dalam “sesuatu yang grotesque”, yaitu “…di dalam mana ‘hal yang tidak mungkin’ dapat menjadi aktual.” Selain itu, dokumen ini memaparkan bahwa, Astruc juga menekankan karakteristik penting yang lain dari grotesque, yaitu “dimensi alteritas”: bagaimana keganjilan yang ada justru memang sedang mengalterasi dunia sekaligus persepsi kita atasnya, dan juga menggeser poros moral manusia.5 Oleh karena itu, grotesque, menurut Astruc, akan lebih mudah dipahami jika direnungkan sebagai “pengalaman eksistensial” atas “perubahan” (‘change’) dan “keadaan menjadi lian” (‘alterity’), dan digunakan sebagai perangkat antropologis yang memungkinkan kita memikirkan “perubahan” tersebut melalui tiga macam pembedahan yang menjadi intisari dari estetika grotesque, yaitu kegandaan (doubleness), hibriditas, dan metamorfosis, untuk mempertimbangkan kembali batas-batas kemanusiaan beserta hal-hal simbolik yang dianggap melandasi kemanusiaan tersebut.6

“Kebingungan” yang muncul sebagai reaksi terhadap grotesque, di satu sisi, merupakan hal yang sebenarnya dipicu oleh sifat dari “ketidakpastian” yang dimilikinya. Pada sisi yang lain, grotesque justru juga menjadikan “kebingungan” itu sendiri sebagai sasarannya (a.k.a bahasanya). Dengan kata lain, bukan ditempatkan semata sebagai efek, grotesque memang mengamini “kebingungan” sebagai tujuan estetika—“kebingungan” sebagai cara pandang dan cara berpikir, dan “kebingungan” sebagai sebuah pengalaman eksistensial. “Kebingungan” adalah titik di mana subjek menjadi asing, merasa asing, dan berhadapan dengan yang asing.

Pada akhirnya, itulah yang agaknya memang dicita-citakan oleh Muratova melalui dunia sinemanya yang fantastis, dunia di mana latar kehidupan Change of Fortune memadupadankan nuansa fantasmagorikal-nonoksidental dengan suasana rasional-oksidental, menjadi dunia ganjil yang bermakna ganda, di mana masing-masing aspek yang berseberangan justru saling mencerminkan keberadaan satu sama lain. Yang wajar sama pentingnya dengan yang tidak wajar; yang menawan sama berartinya dengan yang menjijikkan; dan hal-hal yang kita mengerti adalah juga sesuatu yang sebenarnya tidak kita mengerti. Dualitas-dualitas tersebut bergejolak menjadi semacam kaos, kaos yang membingungkan. Dualitas-dualitas yang nonhierarkis semacam ini, menurut saya, dapat dimasukkan ke dalam suatu kategori penting tentang prinsip-prinsip Ornamentalisme: segala bagian punya nilai yang setara dan kesemuanya saling berrelasi dalam suatu keberimbangan ornamental.

Pertemuan-pertemuan dari “dua kutub” yang saling berseberangan ini mungkin dapat berujung pada dilema sosio-politik, tapi jika kita menempatkan pengalaman eksistensial kita ke dalam suatu afirmasi terhadap adanya unsur-unsur “peralihan” dan “perubahan” yang dimungkinkan dalam pertemuan-pertemuan tersebut, maka kita sedang berada pada suatu progresivitas ke “dunia yang lain”, menuju kemungkinan yang lain, atau justru sebaliknya: beranjak dari dunia yang selama ini kita mengerti—dunia dari kenyataan yang sudah terstereotipikasi. Dan dalam konteks Muratova, progresivitas fantastis seperti itu adalah hal terpenting dalam estetika sinemanya, untuk dialami oleh penontonnya: Karena, Ornamentalisme, sebagai paradigma untuk “membantah realitas”, adalah asas filosofis dari sinema antirealis. []

Subseri artikel berjudul “Yang Diperluas dari Surat” ini merupakan bagian dari seri artikel dalam Editorial 10, bertajuk “Materialisme, Ornamentalisme, dan Fantastisisme”, yang secara khusus mengulas karya-karya dan praktik sinematik Kira Muratova.

Endnotes[+]

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search