In Artikel

Gelaran Jakarta International Film Festival (Jiffest) 2009 tahun ini disemarakkan oleh seksi Indonesian Feature Film Competition (IFFC) yang memperlihatkan kelayakan kualitas filem nasional di tingkat internasional. Dalam IFFC ini diseleksi berdasarkan segi pemilihan tema, penceritaan maupun gaya artistiknya. IFFC untuk pertama kali diselenggarakan pada tahun 2006 dan di tahun 2009 ini adalah gelaran yang keempat. Dalam IFFC 2009 ini, filem-filem yang dikompetisikan terdiri dari 15 filem nasional di antaranya 3 Doa 3 Cinta (sutradara: Nurman Hakim), Babi Buta Yang Ingin Terbang [Blind Pig Who wants To Fly] (Edwin), Bukan Cinta Biasa (Benni Setiawan), Cin(t)a (God is a Director) (Sammaria Simanjuntak), Garuda Di Dadaku (Ifa Isfansyah), Get Married 2 (Hanung Bramantyo), Identitas (Aria Kusumadewa), Jermal (Ravi Bharwani, Rayya Makarim, Utawa Tresno), Kado Hari Jadi (Paul Agusta), Keramat (Monty Tiwa), King (Ari Sihasale), Merantau (Gareth Evans), Pintu Terlarang (Joko Anwar), Romeo Juliet (Andibachtiar Jusuf), Under The Tree (Garin Nugroho).  Dari kelima belas filem yang dikompetisikan di IFFC Jiffest 2009, filem 3 Doa 3 Cinta karya sutradara Nurman Hakim memenangkan kompetisi. Dalam pengantar IFFC Jiffest 2009 proses kurasi dilakukan oleh www.rumahfilm.org. Pihak www.rumahfilm.org melihat ada dua hal paling mencolok di industri filem Indonesia tahun ini. Industri filem di tahun 2009 seperti ban berjalan. Pengandaiannya ialah struktur perfileman Indonesia semakin mapan di mana kondisi perfileman dari segi tema dan penokohan, mengalami pengulangan, begitu pun diversifikasi produk yang juga menguat. Filem Indonesia pada tahun ini semakin mengintensifkan kepada produk instan yang bersifat massal. Selanjutnya, ada beberapa filem yang mencoba menghidupkan genre di masa lalu. Tentunya, dengan bahasa filem yang dapat beradaptasi dengan tema dan estetika kontemporer. Dalam catatan kuratorial IFFC Jiffest 2009 ini nama-nama baru bermunculan. Munculnya para pemain baru tersebut bukan tanpa alasan. Seperti yang telah disinggung di awal, struktur mapan industri perfileman Indonesia semakin membuka peluang bisnis filem yang menguntungkan dan ditambah para pendatang baru tersebut ingin menunjukkan gagasan kreatifnya kepada publik. Tak ayal, pendekatan populerlah yang menjadi lokus mereka dalam menarik perhatian publik, dengan harapan filem-filem yang mereka buat mampu bicara kepada sebanyak mungkin penonton dan eksesnya adalah perolehan akumulasi kapital yang menggiurkan. under-the-tree Pada catatan kuratorial yang sama, tidak semua perfileman Indonesia di tahun ini yang menghamba pada grafik jumlah penonton namun di lain pihak ada yang menggunakan pendekatan artistik yang berbeda tanpa harus mengorbankan diri pada pasar. Dan ini memperlihatkan bahwa industri perfileman Indonesia di tahun 2009 tidak semata-mata tergantung dari jumlah penontonnya. Kuratorial IFFC Jiffest 2009 mencatat kecenderungan-kecenderungan lanskap perfileman Indonesia yang dianalogikan seperti ban berjalan sebagai formula dalam pembuatan filem dan diversifikasi produk yang juga menguat ditambah dengan filem-filem yang dikompetisikan di IFFC Jiffest 2009 secara atributif dan artistik memenuhi kelayakan secara internasional. Film Under The Tree adalah satu dari 15 filem yang dikompetisikan dalam IFFC Jiffest 2009. Meskipun Under The Tree gagal mendapatkan Best Feature Film IFFC Jiffest 2009, filem karya sutradara Garin Nugroho ini untuk pertama kali diputar di Tokyo International Film Festival 2008 pada seksi The Tokyo Sakura Grand Prix dan di beberapa festival internasional lainnya termasuk BFI London ke-52. Di tanah air, filem ini secara perdana diputar pada gala premier perhelatan Jiffest 2008. Pada ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2008 yang diselenggarakan di Bandung, filem ini masuk nominasi. Pada Jiffest 2009 ini, filem Under The Tree masuk sebagai kompetitor dalam IFFC. Dipilihnya Under The Tree mungkin dilihat dari kecenderungan-kecenderungan industri perfileman Indonesia yang telah dijelaskan di atas. Filem Under The Tree adalah pengecualian dari kecenderungan umum industri perfileman Indonesia dan itulah tawaran yang ingin disampaikan Garin Nugroho sebagai pembuatnya. Memang seperti itulah Garin dalam membahasakan pendekatan artistik pada filem-filemnya, termasuk di filem Under The Tree, filem kesepuluh yang ia buat selama berkiprah sebagai pembuat filem. Pada tulisan ini, saya ingin melihat filem yang dibuat Garin dari sudut pandang narasi besarnya, terutama dari pendekatan artistiknya. Ada hal yang menggelitik saya bahwa filem ini mencoba untuk menuangkan problem-problem sosial dan budaya melalui bahasa filem yang puitik, layaknya filem-filem yang ia buat sebelumnya. Namun, di filem yang terbarunya ini, ada sesuatu yang menurut hemat saya menjadi pertanyaan besar. Di filem ini, Garin berpretensi menolak kuasi moderenitas. Penolakan itu secara eksplisit ia tegaskan dalam menerjemahkan visinya secara acak dan terfragmentasi melalui simbol-simbol lokalitas yang genuine dan memberikan ruang penafsiran kepada penonton. Penolakannya terhadap kuasi moderenitas ia sematkan pada setiap ambilan gambar, pengadeganan, tata sinematografis, dan konstruksi montasenya. Menurut Ikranegara, salah seorang pemain di filem ini, Under The Tree berobsesi untuk keluar dari bingkai moderenitas. Secara naratif maupun stilistikanya, Under The Tree menolak pola kesatuan ritmis moderenitas itu. Garin, menurut Ikranegara, adalah seorang pascamoderen karena ia memberikan ruang penafsiran bagi penonton filemnya untuk dapat memberikan interpretasi sendiri. Begitupun bangunan naratif dan stilistika posmo dengan pola yang acak-acakan ditambah bahasa filem yang kental nuansa puitiknya. AyuLaksmi Tradisi Bali dipilih sebagai representasi pendekatan artistiknya dengan memadukan problem sosial dan tradisi religi masyarakat Bali. Garin dalam komentarnya menandaskan bahwa di filemnya ini ia mengutarakan kerisauan terhadap krisis sosial dan lingkungan di masyarakat yang semakin melebar. Di filemnya ini, Garin mencoba mengartikulasikan keprihatinan tersebut dengan mengangkat isu-isu sentral yang terjadi di masyarakat seperti perdagangan anak, kerusakan lingkungan, moralitas, keterasingan dan konflik-konflik eksistensial yang melanda sebagaian besar masyarakat. Di filem ini, persoalan-persoalan yang tergambar miris dipertemukan secara acak dalam satu latar yang sama, yakni Bali. Pulau Bali dipilih sebagai simbol atas tegangan moderenitas dan lokalitas, tarikan antara individualisme dan komunitarianisme. Bali  sendiri dipilih sebagai tempat pelarian diri masyarakat kota seperti Jakarta. Eskapisme inilah yang digambarkan Garin dalam sosok Maharani (Marcella Zalianty) yang lari dari Ibu tirinya dan Nian (Nadia Saphira) seorang artis top ibukota yang lari karena ayahnya terlibat skandal korupsi. Tokoh-tokoh dalam filem ini ditampilkan secara miris atas masalah yang mereka hadapi masing-masing. Garin mencoba menuangkan penyakit masyarakat moderen di dalam filemnya ini seperti alienasi, kehilangan, ketidakberdayaan, krisis identitas dan semakin merajalelanya ketidakadilan. Alih-alih mempersoalkan Bali sebagai destinasi pariwisata, Under The Tree mencoba menawarkan realitas lain dari eksotisme pulau ini. Realitas Bali yang sesungguhnya digambarkan secara miris akibat krisis sosial yang melanda Bali pasca G30S/PKI. Pulau Bali tumbuh dan berkembang pesat sebagai destinasi dan ikon pariwisata Indonesia. Kandungan religi dan budayanya menyatu sebagai kekhasan tersendiri, di mana Bali mengundang pesona bagi yang berada di sana. Bali dengan segala kekayaan budaya dan alamnya dalam 30 tahun terakhir ini melaju sebagai sebuah pusat aktifitas seni dan budaya, di mana bermunculan karya seni kreatif di multisektor. Hal inilah yang juga menghantarkan Maharani dan Nian bertandang ke pulau ini untuk mendapatkan katarsis diri. Filem yang diproduksi oleh PT. Karya SET Film & PT. Credo Cine Arts, mengisahkan tiga sosok perempuan dengan tipikal masalahnya masing-masing. Adalah Maharani, Nian dan Dewi (Ayu Laksmi). Maharani yang kabur dari ibu tirinya bertolak ke Bali dengan segumpal kebencian dan mencoba untuk menemukan makna dirinya. Di tengah kebenciannya akan sosok ibu, ia dengan tegas menolak untuk kelak menjadi ibu. Namun ia terjebak dalam situasi pelik. Tempat yang ia diami tersebut adalah sindikat perdagangan anak. Betapa terguncangnya ia melihat perempuan-perempuan hamil yang akan melahirkan anak untuk diperdagangkan. Terbersit di hatinya betapa sia-sianya peranan seorang ibu dan peristiwa inilah yang semakin menambah kebencian terhadap sosok Ibu dan ia pun semakin menolak untuk menjadi Ibu kelak. Nian dengan gaya Jakartanya bertandang ke Bali untuk lepas dari permasalahan yang ia hadapi. Ia merasa hidupnya kosong tak bermakna. Nian mengalami kehilangan pegangan. Hilangnya figur ayah dalam hidupnya semakin membuat ia merana apalagi dalam sebuah adegan di filem ini, Nian menyaksikan pemberitaan di televisi. Ayahnya tertangkap KPK karena skandal korupsi megatriliun rupiah. Segala kesenangan dan kekayaan materi membuat hidupnya tak mempunyai arti apa-apa. Lantas ia pun melarikan diri ke Bali untuk mendapatkan pemenuhan hidup dan kerinduan akan figur ayah yang ia rasakan pada diri Darma (Ikranegara), seorang seniman yang di filem ini memerankan adegan mayat hidup dalam prosesi ritual magis Calonarang. Prosesi religi yang dibalut dengan tarian-tarian ini secara simbolis menghantarkan mayat hidup ke area pemakaman. Sebagai ekspresi seni pertunjukan yang bersifat eskatologis, Calonarang menyiratkan sebuah pesan sosio-etik masyarakat Bali terhadap problematika kehidupan. Di filem ini, prosesi tersebut dinisbatkan sebagai keprihatinan terhadap persoalan lingkungan hidup. Pertemuan Nian dan Darma inilah yang menjadi kekhasan di filem, karena untuk pertama kalinya, Nian melihat sosok Darma yang menurutnya terasa aneh dan secara diam-diam Nian memperhatikan Darma dalam sebuah pura di pantai, di mana ia (Darma) setiap harinya memungut bunga kamboja dan kerap kali berteduh di bawahnya. Inilah menjadi judul filem ini. Darma, laki-laki tua yang baru saja pulang dari Bali, setelah tahun 1965 menghilang karena dituduh komunis, dihampiri oleh Nian. Disini percapakan terjadi antara kedua orang dengan jarak generasi yang berbeda. Darma yang mempunyai trauma politik mengutarakan kerisauannya kepada Nian tentang kebangsaan dan menekankan sekali pentingnya sejarah. Namun Nian yang terlahir dari produk pragmatisme dan keluarga borjuis tak mengerti apa yang dibicarakan oleh bapak tua tersebut. footagefilmUnderTheTree3 Dalam bingkaian adegan ini, jelas terlihat posisi Garin Nugroho sebagai sutradara dalam menyikapi problem kebangsaan yang dilihatnya ada sendi-sendi yang keropos dan pelapukan, di mana Nian dijadikan penanda atas realitas saat ini –atau dalam bahasanya Garin, tipikal manusia seperti Nian adalah tipikal manusia Indonesia yang teknokapitalis, bersandar pada apatisme artifisial sebagai generasi yang terlahir akibat depolitisasi Orde Baru dan transisi reformasi. Dalam adegan ini, pernyataan politis Garin Nugroho terejawantahkan di samping isu-isu perdagangan anak, reproduksi perempuan, komodifikasi budaya, lingkungan hidup dan subversi Garin Nugroho terhadap Bali yang dilihat dari sudut berbeda vis-a vis Bali sebagai destinasi pariwisata yang tanpa cacat. Lain halnya dengan Dewi, seorang penyiar radio. Ia menghadapi konflik batin yang sangat rumit sebagai seorang ibu. Pilihannya apakah ingin mengaborsi kandungannya akibat janinnya menderita pengecilan otak atau melahirkan bayinya meskipun umur sang bayi tak bertahan lama. Ketegangan eksistensial inilah yang terpatri di raut wajah Dewi yang dalam filem ini senang melantunkan tembang-tembang tradisional Bali. Ketidakrelaan Dewi menerima kenyataan tergumpal pada adegan ia dengan geramnya memotong kelapa dan menggebuki janinnya dalam kandungan. Saat mengecek kandungannya ke dr. Bulantrisna, Dewi diberi sebuah keyakinan agar ia menerima ini semua meskipun bayi yang dilahirkan nanti tak bertahan lama. Dalam adegan ini Dewi dan dr. Bulantrisna melantunkan tembang-tembang. Salah satunya ialah tembang Marilah Kemari gubahan Titiek Puspa. Tembang ini mengingatkan akan memorabilia semasa Presiden Soekarno berkuasa. Adegan ini juga menyimbolkan semangat kebangsaan yang kuat di mana dalam adegan ini terlibat sebuah percakapan yang membuihkan harapan kepada Dewi tatkala dr. Bulantrisna menunjukkan kepada Dewi foto-foto kenangan semasa menjadi penari yang pernah diundang di istana dan kaisar Jepang. Dr. Bulantrisna dengan bangga menunjukkannya kepada Dewi untuk memberi harapan akan bayi yang ia kandung. Makna ibu, dunia reinkarnasi yang disangsikan oleh Dewi dalam adegan ini, mendapatkan penyelesaiannya dengan hadirnya sosok dr. Bulantrisna yang bertindak sebagai ahli kandungan sekaligus ibu di mata Dewi. footageunderthetree2 Filem ini juga diramaikan dengan penampilan para maestro seniman Bali. Maestro seniman Bali yang turut bermain di filem ini ialah dr. Bulantrisna Djelantik, I Ketut Rina, Aryani Kriegenburg Willems yang berperan sebagai Soka, wanita yang terhimpit dalam situasi yang kurang menguntungkan, dan aktor teater Ikranegara, yang berperan sebagai Darma serta aktor Dwi Sasono yang berperan sebagai Mayun Mahendra, seorang pemuda yang merasa bersalah terhadap ibunya. Obsesi Garin menolak monisme moderenitas di filemnya ini terasa kehilangan daya sengat. Alih-alih keterbukaan atas tafsiran, plot yang terpecah-pecah dan menolak struktur naratif Hollywood, Under The Tree gagal dalam mengemban bingkai kerja pascamoderenisme. Under The Tree belum sampai kepada gaya bahasa filem yang mengandaikan eklektisme, sebuah entitas pascamoderenisme yang memiliki kecenderungan bertolak belakang antara sebuah gaya atau kode dengan gaya atau kode lainnya yang berlainan namun disatukan dalam sebuah ruang. Capaian estetiknya dengan susah payah ditransmisikan dengan penolakan penuh terhadap dogmatisme moderenitas yang seragam, univokal dan logos yang oleh Garin diterjemahkan dalam setiap babak dan logika montasenya menjadi kontraproduktif. Di filem ini, Garin gagal membahasakan filemnya sebagai kolase pascamoderenisme. Juktaposisi montasenya belum sampai pada kaidah-kaidah diskontinuitas. Mampukah Garin menjemput visi pascamoderenisme jikalau ambilan adegan prosesi Calonarang masih menggunakan teknik sinema Hollywood, di mana kamera difungsikan dengan bantuan Jimmy Jeep? Visi pascamoderenisme tersebut menjadi ambiguitas tersendiri dan Garin pun mengalami inkonsistensi dalam bahasa filem yang ia gadang-gadangkan sebagai bahasa bukan arus utama. Apakah menjamin seperti yang diutarakan Ikranegara bahwa dalam filem ini kemampuan akting dan improvisasi naskah mendapat tempat yang utama, baik dari segi pengadeganannya maupun konstruksi montasenya? Garin dengan predikat sutradara kelas internasional tampak masih terjebak pada bingkai kerja moderenitas. Betapa tidak, eksklusifitas seni pertunjukan Bali berupa prosesi Calonarang dan ritme para penari terperikan secara eksotis. Terma oposisi biner selalu mendominasi dalam ambilan gambar dan montase yang disebut sebagai kesatuan unit kolase ini. Di filem ini, Bali masih dilihat dari bingkaian Barat melihat Timur yang diandaikan penuh dengan nuansa magis, eksotis, dan perlu dilestarikan sebagai bentuk komoditi industri pariwisata. Di filem ini, independensi bahasa filem terhalang oleh dominasi elemen seni pertunjukan yang bersifat dekoratif.  Terma realisme magis yang dipaksakan untuk berkompromi dalam bingkaian filem rupanya mengalami juga kesalahan prosedural sinematik. Pendekatan yang bersifat dokumenter menjadi hambar tatkala ambilan gambar dalam prosesi Calonarang sama sekali tidak memperlihatkan konstruksi stilistika dokumenter. Di sinilah Garin gagal, sekali lagi, untuk merealisasikan spontanitas adegan saat perekaman prosesi berlangsung. Dalam perjalanannya menyusuri sudut-sudut Pulau Dewata, tiba-tiba Maharani dikejutkan oleh kerumunan massa yang hendak menghakimi seorang ibu muda yang tertangkap mencuri susu dan tanpa pikir panjang Maharani menyelamatkan ibu muda yang tengah mengandung tersebut. Ia dengan memasukkan ibu itu ke dalam taksi yang ia tumpangi. Di dalam taksi, Maharani kembali dikejutkan setelah ibu muda ini merintih kesakitan. Akhirnya, ibu muda ini pun melahirkan di dalam taksi. Maharani benar-benar terguncang melihat kenyataan yang menyayat hatinya ini. Ia merasa tak kuasa melihat kondisi ini di tengah-tengah kebenciannya kepada ibunya. Peristiwa-peristiwa yang menyertainya selama di Bali, seperti keterjebakannya di dalam situasi yang kurang menguntungkan di mana ia tinggal di tengah kehidupan desa penari yang akan mementaskan kisah ibu yang melahirkan beragam tokoh Mahabarata, bertemu dengan praktik perdagangan bayi, dan pemuda yang merasa bersalah kepada ibunya sampai ia menolong ibu muda hamil yang tertangkap saat mencuri susu. Semua kisah yang ia alami berbicara mengenai sosok ibu dengan berbagai persoalannya. Filem ini diakhiri dengan montase penyuntingan silang (cross cutting) dari ibu yang ia selamatkan dan melahirkan di dalam taksi ke bingkaian Dewi yang telah menjalani persalinannya dengan menimang bayinya di rumah sakit. Kisah tiga wanita di pulau Bali dalam menghadapi persoalan kematian, kelahiran dan makna hakiki menjadi ibu terjawab tuntas dengan kebaikan hati Maharani menolong seorang ibu muda yang mencuri susu untuk jabang bayinya. Juga oleh kebahagiaan Dewi menimang bayinya. Mozaik perjalanan di Bali yang penuh dengan realisme magis dan ketakterdugaan peristiwa yang menghantam di masing-masing tokoh berakhir dengan harapan penonton. Dan, Garin pun tetap pada koridor monisme moderenitas yang ia tolak. under-10

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search