SEJUMLAH ADEGAN DALAM Getting to Know the Big, Wide World mengingatkan kita pada eksperimen “nyeleneh” yang telah Muratova terapkan di film-film provincial melodrama-nya. Diskontinuitas adegan—bukan saja karena adanya shot yang berulang, tetapi juga karena blocking subjek yang sewenang-wenang—dalam sekuen perbincangan Misha dan Lyuba di stasiun kereta, contohnya, mengingatkan kita dengan perilaku kamera (atau bahkan perilaku editorial Muratova) dalam adegan-adegan di The Long Farewell (contohnya: adegan Shasha bercengkrama di pantai dengan teman kecilnya, atau adegan ketika sang ibu berdandan di dalam kamar, atau adegan saat Shasha akan melakukan lompat atletik). Adegan di stasiun ini juga mengingatkan kita soal bidikan intensional kamera Muratova yang memberikan “peran” kepada objek nonmanusiawi di dalam adegan pembuka Brief Encounter: jika perabotan rumah mengiringi monolog Valentina di dalam film Muratova yang pertama itu, gerbong kereta di stasiun dalam Getting to Know the Big, Wide World mengganggu perhatian kita menyimak curhatan Lyuba.
Penekanan soal pentingnya interaksi subjek-subjek dengan lingkungan interior juga turut mengemuka di film ini. Enigmatika dari “adegan menyentuh ruang dan benda” dalam Brief Encounter teringat kembali saat kita mengamati Misha meraba-raba baik dinding gedung yang belum di-aci maupun alat kemudi truknya. Akan tetapi, kali ini interioritasnya diperkaya dengan superimposisi citra lewat pantulan-pantulan di kaca/cermin. Fungsi regulatif gitar (dalam Brief Encounter) untuk mendefinisikan motif-motif karakter, juga mencuat dalam derajat yang sama, misalnya, pada adegan Misha dan Lyuba memainkan daun pintu di tengah-tengah kesibukan kerja memplester dinding bangunan, atau pada adegan intim mereka yang diperantarai alat musik harmonika. Adegan-adegan ini, pada akhirnya, menggoda suatu pembacaan berdasarkan kerangka sinematika haptis.
Satu lagi: masih ingat sosok balita yang melongok di jendela apartemen dalam The Long Farewell? Anda mungkin akan tertawa geregetan menyadari bahwa tingkah visual yang sama juga terjadi di film ini: seorang balita melongok dari jendela rumah, mengakhiri percumbuan via alat musik tiup yang dilakoni kedua protagonis tersebut.
***
Di samping adegan-adegan misterius yang “Muratova banget” itu, ada beberapa aspek lain di dalam film ini yang menarik untuk dibahas sehubungan dengan paradigma materialisme, wacana haptik, dan ide mengenai “pengindraan” yang berkembang di dalam sejarah sinema Rusia. Alih-alih dramatik untuk membangun tegangan tertentu, beberapa adegan yang akan saya jabarkan di bagian ini, bisa dibilang tampil dalam suatu subtilitas yang mengamalgamasi sensibilitas material. Sensibilitas yang saya maksud, terutama, berkaitan dengan kritisisme Muratova terhadap titik temu antara tubuh individu, tubuh masyarakat, budaya (massa), dan diskursus kekuasaan.
Mengacu penjabaran Emma Widdis tentang “kesadaran indrawi Sosialis” (‘Socialist senses’),1 saya berpendapat bahwa, di dalam Getting to Know the Big, Wide World, Muratova mempertanyakan ulang “sensasi Sosialis” (‘Socialist sensations’)2 sembari memperselisihkan “perasaan Sosialis” (‘Socialist feelings’)3 dengan taktilitas subjektif individual yang bebas; mentransfigurasi anasir kemajuan pembangunan sosialisme menjadi sarana ungkapan ekspresif subjek individu yang “memberontak”.
Dalam salah satu adegan yang menampilkan keintiman Misha dan Lyuba, misalnya, yaitu saat si laki-laki membantu membersihkan mata si perempuan yang kelilipan, kita dapat melihat bagaimana Muratova menempatkan lokasi pembangunan apartemen sebagai latar “pembangkangan” atas wacana “emosi dan subjektivitas Soviet”.4 Adegan ini berupa aksi saling sentuh antara Misha dan Lyuba, yang dibidik oleh kamera dari beragam arah. Tingkah laku kedua subjek yang diamati kamera ini tampil sebagai suatu peristiwa haptis, dan keberlangsungannya menonjolkan rangsangan jasmaniah (pengalaman ketubuhan). Poros tematik adegan ini, sebagaimana yang dapat dipahami, juga melingkupi aspek emosional—luapan perasaan karakter—dan penekanannya adalah “emosi individu”. Namun, keintiman kedua subjek dalam adegan ini justru mendisrupsi makna representasional dari “lokasi konstruksi”—yang dalam agenda Realisme Sosialis diidentikkan sebagai “arena” bagi keterlibatan badaniah setiap subjek Soviet di dalam proses pembangunan sosial. Kita bisa berargumen bahwa, adegan ini lagi-lagi merupakan bentuk kritisisme Muratova terhadap Realisme Sosialis. Mengapa?
Elizaveta Mankovskaya (2022) menjelaskan bahwa, pada periode awal transformasi material di dalam proyek-proyek ideologis Soviet, pendekatan atas material dan objek (yang dilakukan oleh para pelaku budaya) memungkinkan akses terhadap “realitas yang sedang berubah/berkembang”. Para pembuat film tengah merealisasikan “masa depan yang sedang dibangun”, yang di dalamnya subjek-subjek Soviet dapat hidup selama rentang waktu yang dimungkinan untuk berinteraksi dengan material—yaitu material-material yang digunakan dalam revolusi pembangunan—atau setidaknya dengan representasi material tersebut di layar sinema. Gagasan soal “interaksi material terhadap dunia (yang benar)” ini diamini meskipun kenyataan sekitar yang sebenarnya masih jauh dari visi ambisius mengenai masyarakat sosialis-komunis. Sebagaimana avant-garde dan pegiat revolusioner 1920-an yang bersemangat menyongsong masa depan baru di hari ini, subjek-subjek Soviet dihimbau untuk merayakan keadaan sekarang yang masih bersifat sementara karena masih berprogres, sedang menuju final.5
Namun, menurut Mankovskaya, peradigma dan dimensi berbasis material-sensorik semacam itu justru menghilang dari representasi karya-karya seni—terutama sinema—Stalinis pada tahun-tahun berikutnya. Sebab, pada masa Stalin dan Realisme Sosialis, terjemahan dalam wacana mengenai “bentuk kehidupan” adalah “masa-kini-[adalah]-masa-depan utopis” (dan ini sangat mendominasi proyek budaya Rusia kala itu), dalam arti: masyarakat dipaksa harus percaya bahwa masa depan gemilang yang tuntas dan utuh, yang sempurna, itu sudah tiba dan benar-benar ada hari ini. Konsekuensinya, interaksi material yang dianggap sesuai dan pantas adalah interaksi rekreatif yang dilakoni oleh “subjek-subjek ideal yang sudah final dan sedang merayakan” sebuah “keadaan kehidupan yang juga final dan sempurna dari masyarakat sosialis” di “lokasi-lokasi yang juga final” (di situs-situs yang sudah selesai dibangun).6
Dengan kata lain, dalam pandangan Realisme Sosialis, gambaran soal kenikmatan sensasional, sensorial, dan luapan emosional harus mewakili “rasa ideal” Sosialisme Stalin; kenikmatan material (rekreasional) dari luapan rasa emosional tidak boleh digambarkan pada latar-latar yang menunjukkan “proses pembangunan” karena, pada latar-latar itu, yang mesti dikedepankan adalah “kerja dalam kepatuhan kolektif”. Jadi, adalah tabu bagi sebuah film untuk menyajikan adegan “santai” sebagaimana yang dilakukan Muratova: bercumbu di lingkungan konstruksi pembangunan apartemen. Dengan kata lain, adegan “mata kelilipan” dan adegan “bermain harmonika” memanifestasikan disrupsi Muratova terhadap wacana Realisme Sosialis tersebut, sekaligus mewakili minatnya atas kaos sebagai situs perayaan yang bersifat manusiawi.
Tapi, interaksi material macam apa yang sebenarnya berlangsung di dalam, misalnya, adegan “mata kelilipan” itu? Toh, situs konstruksi pembangunan apartemen hanya menjadi latar adegan?
Di sini, kita menemukan lagi salah satu aspek dari filsafat Ornamental Muratova, yaitu pentingnya interaksi subjek dengan totalitas kebendaan yang memenuhi lingkungan yang dibingkai. Artinya, benda-benda pribadi juga termasuk dalam kategori ini; pakaian, perhiasan, pernak-pernik, dan semacamnya memiliki kedudukan yang sama dengan benda-benda yang sifatnya lebih eksternal dari diri subjek, seperti tanah, mesin, dan bangunan-bangunan, yang mana keberadaan mereka dalam zona amatan (di dalam bingkai bidikan) memungkinkan—atau setidaknya mengandaikan—interaksi material yang egaliter, resiprokal, dan produktif terhadap subjek yang mendiami lingkungan tersebut. Maskara, kalung, dan gaun, misalnya, sama pentingnya dengan lumpur, semen, dan jendela mobil dalam hal bagaimana aspek tekstural mereka dapat diartikulasikan sebagai faktura filmis demi menunjukkan hubungan konkret manusia [Soviet] dengan dunia material yang membentuk dirinya.
***
Dorongan pembacaan berdasarkan sensibilitas material juga mencuat pada sejumlah adegan lain. Misalnya, adegan-adegan awal dalam film Getting to Know the Big, Wide World: kita beberapa kali menyaksikan bidikan kamera terhadap subjek-subjek dengan menggunakan struktur “bingkai di dalam bingkai”: Koyla yang bertengger di jendela truk pada bagian kemudi, Misha yang mengemudikan truk mendekati Zhiguli, dan Lyuba, dalam balutan gaunnya yang berwarna mencolok, berdiri di atas gundukan tanah. Kamera membidik ketiga hal itu dari balik jendeja truk di bagian kemudi.
Bahkan, dengan struktur formal semacam ini pun, kita dapat menyadari bahwa orientasi bidikan kamera bukanlah menelaah bentuk (form) dalam arti mengejar kedalaman ilusionistiknya, melainkan untuk memahami tekstur lingkungan objektif (misalnya, bingkai jendela sebagai penggalan badan mesin—indeks dunia material “modernisme”; atau mimik dan kostum subjek—indeks subjek sosial era industrial). Adegan ini tidak membiarkan mata penonton mengabaikan “bingkai” yang melingkupi subjek/peristiwa untuk tenggelam dalam ilusi optis. Tujuannya, alih-alih, ialah bagaimana kita (penonton) bisa merasakan kehadiran material (yaitu “bingkai di dalam bingkai” itu sendiri)—ini berkebalikan dengan persepsi optikal yang menekankan kekuatan representasional gambar, yang melibatkan penonton pada identifikasi imaginatif di balik adegan.
Pada sekuen selanjutnya, bidikan bingkai berganda semacam itu akan kita temukan kembali pada adegan saat ketiga tokoh (Lyuba, Misha, dan Koyla) mengunjungi kediaman seorang pengrajin tembikar. Dari balik jendela, kamera membidik Koyla yang tengah berdiri di atas bumper truk sambil mendeklamasikan sebuah pernyataan ironis (sekali lagi, dalam gaya retoris khas kamerad Soviet—dan oleh Muratova dihadirkan secara satirik), tentang “antinomi antara perihal keindustrian dan kerja manusia, antara yang modern dan yang tradisional.”7 Kata-kata Koyla dalam adegan ini, oleh sejumlah kritikus, diinterpretasi sebagai sentilan humor Muratova terhadap tirani dari transformasi sosiokultural yang diupayakan Uni Soviet: kemajuan sosialisme melupakan relasi-relasi organik antarmanusia, serta antara manusia dan alam. Didahului oleh adegan “pengrajin membuat tembikar” (gambaran kerja manual—mengolah material menggunakan tangan manusia, bukan mesin), adegan deklamatif Koyla tersebut, pada satu sisi, menjadi semacam re-spekulasi Muratova mengenai hubungan konkret antara manusia dan dunia material. Dengan melibatkan materi-materi yang pada dasarnya dalam konteks Soviet sudah terideologisasi satu sama lain—subjek-subjek (manusia), berinteraksi lewat bahasa artifisial (gaya populis Realisme Sosialis yang diinternalisasi), di depan latar mekanik (truk), di dalam bingkai abiotik (jendela), dan disela distraksi organismik (seekor anak ayam di foreground)8—ia membingkai kontradiksi situasional dalam transformasi sosiokultural tersebut. Tapi pada sisi yang lain, adegan ini menawarkan kepada penonton suatu amatan kritis terhadap “tubuh” dan “kebertubuhan” ideologis masyarakat Rusia, di mana dalam kondisi kebertubuhan itu, masyarakat telah secara paksa dijauhkan dari etos Romantis dan individualisnya; rutinitas mesin mengalpakan kepekaan kerja manual. Adegan ini, sebagai konsekuensinya, perlu dipahami sebagai pernyataan sinematik yang menggemakan tinjauan ulang tentang subjek (manusia) sebagai “material ideologis”. Sebagaimana yang nanti dapat dipelajari lebih jauh melalui tinjauan atas film-film Muratova berikutnya: subjek juga dapat diposisikan sebagai material itu sendiri—suatu konsekuensi paradigmatik dari “paham keseimbangan ornamental” dalam Ornamentalisme.
Sinematografi dengan sensibilitas material, seperti yang sudah saya uraikan di atas, terbilang subsekuensial dengan tipe sinematografi lain yang juga menekankan “materialitas” dan “sensasi”, yaitu “montase haptik”. Alih-alih analitik, Muratova mengandalkan unsur haptikal gambar/adegan untuk membicarakan lebih jauh model keterlibatan subjek dengan dunia material yang, dalam konteks Getting to Know the Big, Wide World, adalah “dunia kaos”. Terkait hal ini, perlu digarisbawahi bahwa film-film Muratova umumnya mengembalikan fitrah gambar (shot) sebagai bidang amatan dalam kerangka “konstruksi eksperiensial”, yaitu: bagaimana kumpulan citra visual dapat lebih mengedepankan aspek afektif dari dan atas lingungan, objek, subjek, atau peristiwa yang dibidiknya, untuk mengunggulkan sensasi di atas kognisi. Materialitas, dengan kata lain, terkandung dalam citra yang merangsang sensasi haptis, mendorong ide sentuhan “melalui” tatapan, dan bukan sekadar rupa yang melulu mesti dipahami lewat daya cerna atau daya identifikasi serebral. Realitas gambar dianggap signifikan berdasarkan kualitas taktil yang dikandungnya, baik secara intrinsik (sebagai bagian dari realitas di dalam bidikan/shot itu sendiri) maupun dari segi potensi sentrifugalnya terhadap penonton (sebagai bentuk kehadiran baru, “citra layar”, dari mana kualitas taktil mengarah keluar, memberikan sensasi tertentu kepada penonton). Dalam montase semacam ini, makna konseptual bidikan, adegan, dan sekuen bergeser menjadi perihal yang bukan lagi utama karena—jika kita mengacu pada perayaan Muratova atas kaos—apa yang perlu diobservasi ialah justru momentum puitik ketimbang politik.
Adegan “mata kelilipan” dan “bermain harmonika” adalah contoh yang memicu pembacaan berdasarkan konsepsi haptik ini. Contoh lainnya bisa kita jabarkan di sini dengan merujuk penjelasan Mankovskaya tentang adegan close-up wajah Misha di gubuk pengrajin tembikar. Bidikan kamera yang lekat dan dekat serta khidmat dalam adegan ini bersifat haptik karena mengamini efek kinestetis terhadap penonton. Melalui ekspresi enigmatis Misha (yang nantinya kita tahu bahwa tokoh ini tengah mengamati kegiatan si pengrajin tembikar), kita secara empatik dibawa untuk mengalami bentuk hubungan antara materialitas kerja dan materialitas tubuh. Alih-alih sekadar representasi tindakan membuat produk (pot tembikar) dan memusatkan pandangan kita pada objek (tanah liat) yang tengah disentuh tangan si pengrajin, Mankovskaya berargumen bidikan close-up dalam adegan ini justru memotivasi suatu “kesaksian aktif yang menggiatkan daya melihat, daya mendengar, dan daya tanggap jasmaniah secara keseluruhan,”9 dan semua perangkat indrawi (pada penonton) itu dituntut untuk bereaksi secara serempak. Tanpa naratif, adegan close-up Misha ini, menurut Mankovskaya, memancing persepsi sensorial yang membuat penonton lebih peka terhadap mimik subjek dan gejala-gejala minor lainnya yang terekam di dalam bingkai tersebut, termasuk suara meja putar si pengrajin.
Unsur haptikal yang kuat akan kita temui juga dalam sekuen tentang kegiatan kencan Lyuba dan Misha. Salah satu adegan di sekuen ini memperlihatkan bagaimana Lyuba, yang tengah berdiri di depan bangunan asrama, ditingkahi sorotan lampu mobil truk (yang secara naratif kita ketahui dioperasikan oleh Misha sebagai semacam bentuk rayuan). Tidak ada percakapan, hanya interaksi yang diperantarai material cahaya. Pada beberapa bidikan, Lyuba melakukan gesture telapak tangan yang meraba udara—meraba cahaya. Mengakhiri sekuen itu, Muratova menerapkan gaya “bidikan berulang” andalannya secara ekstrem: ia lima kali mengulang adegan Lyuba berjalan menghampiri sumber cahaya, mendekati kamera—menghampiri Misha; lima tingkah yang sama (berjalan menghampiri sumber cahaya), tapi kelimanya berasal dari material bidikan yang berbeda (tiga yang pertama dalam bidikan medium, dua sisanya dalam bidikan panjang); masing-masing bidikan memperlihatkan tingkah yang sama dari subjek, tapi dengan mimik dan gesture yang sedikit berbeda satu sama lain. Masing-masing bidikan (shot) itu menunjukkan laku tubuh subjek dalam ketidakmampuannya melihat secara utuh (akibat terpaan cahaya). Meminja kata-kata Irina Schulzki, adegan ini seakan mengungkapkan semacam visi nokturnal di mana “ketidakcakapan melihat” berkonjungsi dengan “aspek ekstrasensorial” untuk merasa, juga untuk menyentuh, hal-hal di luar jangkauan rasional penglihatan dan keterbatasan kognitif atas dunia.10
Berdasarkan penjelasan tentang adegan-adegan di atas, sampai di sini kita dapat memahami bahwa Getting to Know the Big, Wide World merupakan eksperimen Muratova yang lebih jauh mengeksplorasi potensialitas haptik. Ia menerapkan pendekatan tekstural-formal (Faktura) dalam mengkonstruksi adegan, menekankan sensibilitas material. Akan tetapi, bukan dalam upayanya menegaskan fundamen bahasa sinematik untuk mengimajinasikan “tubuh baru Soviet”, ungkapan haptik visual Muratova justru ingin mendisrupsi “tubuh baru” itu, menegasi wacana dominan, mempertanyakan kemapanan. Dan uniknya, usaha “mengenali” dunia mapan itu dilakukan dari kaos dan kekaosan; meraba apa yang dianggap selesai tapi sesungguhnya belum pernah selesai. []
Baca Bagian 01/03: “Tentang Cinta dan Harmoni dalam Mengenal Dunia yang Luas dan Besar”.
Baca Bagian 03/03: “Kaos sebagai Ujung-Pangkal Estetik dalam Mengenal Dunia yang Luas dan Besar”.
Artikel berjudul “Sensibilitas Material dalam Mengenal Dunia yang Luas dan Besar” merupakan bagian dari seri artikel dalam Editorial 10, bertajuk “Materialisme, Ornamentalisme, dan Fantastisisme”, yang secara khusus mengulas karya-karya dan praktik sinematik Kira Muratova.
Endnotes