In Artikel

Para perempuan sedang mandi di sungai, dimulai dengan ambilan jauh kamera, shot panorama pepohonan, dan suara para perempuan sedang tertawa riang. Kamera bergerak sedikit ke bawah, nampak percikan air. Kemudian kamera berhenti pada ambilan jauh, menampilkan empat orang perempuan sedang bersenda gurau dengan latar pepohonan. Shot berganti dengan ambilan kamera yang lebih sedang; seorang perempuan berjarit membasahi tubuhnya di sungai. Lalu empat orang perempuan sedang bersenda gurau, tiga diantara perempuan tersebut berjarit bertelanjang dada.

Pareh-6

Konstruksi Shot-shot di atas menjadi identifikasi antara alam dan manusia; sebuah kontruksi bahasa visual yang lazim dalam cara memandang kaum pribumi pada masa kolonial.  Seperti juga yang dilakukan oleh F. W. Murnau dalam Tabu (1931) dengan menampilkan gambaran masyarakat jajahan di Polinesia. Adegan yang terdeskripsikan di atas adalah satu diantara adegan-adegan pada filem berjudul Pareh.  Secara harfiah kata “pareh” berasal dari bahasa Sunda “pare” yang berarti padi[1]. Pareh merupakan karya Albert Balink bersama Mannus Franken produksi tahun 1935. Berdasarkan judul filem, Pareh memungkinkan representasi visual; kaum pribumi dengan panorama alam. Dapat dilihat bahwa pengaruh Mooi Indie (Hindia yang Jelita) yang pada masa kelahiran filem tersebut memang masih kental. Mooi Indie adalah penggambaran alam dan masyarakat Hindia Belanda secara damai, tenang dan harmonis[2].  Bagi S. Sudjojono[3], Mooi Indie merupakan produk visual yang hanya melayani kebutuhan ‘turisme’ atau pelancong pensiunan pekerja kaum Eropa. Paham tersebut sangat dekat dengan gambaran ideal terhadap kaum pribumi dengan kebudayaan masyarakat Eropa di masa lalu. Bisa diandaikan, berdasarkan judul pada karya Pareh, merupakan eksplorasi ambilan dekat dari kritik S. Sudjojono terhadap karya-karya pelukisan Mooi Indie yang dikenal sebagai Trimurti[4] (gunung, sungai, sawah) yang indah nan damai.

Perihal panorama alam sebagai konstruksi visual belum terlalu banyak disadari sebagai bagian warisan sejarah kekuasaan di Indonesia, terutama berkaitan dengan identifikasi manusia terhadap alam yang banyak terdapat pada produk visual di masa awal modern kolonial Belanda. Pada perkembangannya lebih banyak menjadi persoalan etis dibanding estetis, terutama pada produk visual yang lahir pada periode Mooi Indie.  Adegan para perempuan yang sedang mandi di sungai seperti gambaran di atas, memiliki kecendrungan yang sejajar dengan lukisan keindahan alam nusantara dari Rudolf Bonnet (30 Maret 1895–18 April 1978 pada umur 83 tahun), Gerard Adolfs (1897–1968), atau lukisan panoramanya Ernest Dezentje (1884–1972) dan Walter Spies (18 September 1895–19 Januari 1942)—sebagai praktek ideal yang membekukan kondisi sebenarnya para kaum pribumi.

 

Wartawan Pembuat Filem

Sejarah produksi filem di Hindia Belanda tidak lepas dari peran dunia jurnalistik dalam perkembangan awalnya. Selain sebagai alat publikasi—pemutaran filem tentang Hindia Belanda yang jelita—para wartawan memberikan kritik pada masa awal produksi filem.  Keterlibatan para mantan wartawan yang terjun langsung dalam produksi filem, berasal dari kegelisahan mereka terhadap perkembangan filem di Hindia Belanda. Semangat itu berasal dari latar intelektual para kaum wartawan yang sangat peka terhadap perkembangan estetika filem di dunia. Masuknya para pedagang dalam usaha produksi filem, membawa implikasi orientasi hiburan semata dalam menarik para penonton. Mereka adalah para peranakan Tionghoa seperti Tan Boen Soan, Wong Brothers, dan The Teng Chun. Hanya satu nama peranakan Tionghoa yang berlatar sebagai wartawan yang turut serta menukangi awal produksi filem di Hindia Belanda, yakni Tan Boen Soan dengan filemnya berjudul Setangan Berlumur Darah[5].  Menurut Salim Said, dari sejarah kepeloporan orang Tionghoa dalam bidang filem di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa alasan utamanya adalah komersial[6].

Albert Balink adalah sutradara yang memiliki latar belakang sebagai wartawan. Ia pernah bekerja di Soematra Post yang terbit di Medan dan pernah menulis di De Locomotief Semarang[7]. Pengetahuan filemnya banyak didapat hanya dari bahan bacaan semata.  Seperti halnya para pelukis Mooi Indie, para pembuat filem zaman itu sebagian besar melayani kebutuhan dokumentasi jawatan kolonial. Albert Balink sebelumnya juga membuat dokumenter untuk kebutuhan dokumentasi perusahaan-perusahaan asing. Pada tahun 1934, Balink bersama Wong sempat memproduksi dokumenter berjudul De Merapi Drejat (Gunung Merapi Mengancam) produksi Java Pasifik Film. Setelah Pareh, ia kemudian membuat film Terang Boelan (1937) yang cukup sukses dan ternyata menjadi filem terakhirnya.

Pareh-1
Pareh-2

Pembuatan Pareh bisa dianggap sebagai usaha memutus semangat produksi filem dikalangan peranakan Tionghoa, yang melulu menampilkan segi picisan dan aksi laga. Latar kewartawanan Balink tentu sangat membantu dalam membaca perkembangan estetika filem di dunia. Sejarah kelahiran filem cerita pertama, Loetoeng Kasaroeng di tahun 1926, sedikit banyak juga dipengaruhi oleh informasi tentang pembuatan filem di Burma yang ditulis oleh Balink dalam De Locomotief[8].  Keterlibatan  wartawan yang terjun langsung dalam memproduksi filem di Hindia Belanda ini yang akan terus berlanjut pada generasi berikutnya dalam sejarah filem di Hindia Belanda sampai Indonesia paska merdeka nantinya.

 

 

Pareh dan Orientasi Penonton Eropa

Proyek Pareh memang sangat ambisius, yakni membuat filem yang bermutu tinggi dan tidak hanya menampilkan kebutuhan hiburan semata. Satu-satunya yang menjadi legitimasinya adalah mendapatkan pengakuan dari para penonton intelektual Eropa. Mereka yang disebut sebagai kalangan bawah Hindia Belanda, pada dasarnya merupakan tulang punggung industri filem. Walau pada awal kelahiran bioskop memiliki orientasi bagi kalangan intelektual dan elite kolonial. Namun dalam perkembangannya, bioskop-bioskop kecil jauh lebih berkembang karena antusias kalangan bawah masyarakat Hindia Belanda. Setidaknya kondisi tersebut terjadi sebelum filem cerita pertama di Hindia Belanda diproduksi pada tahun 1926. Dalam beberapa sumber menyebutkan, 80% pemasukan bioskop yang memutar filem-filem impor memang berasal dari kantong para penonton peranakan Tionghoa dan kalangan bawah pribumi[9].

Ada dua kultur tontonan yang sudah mengakar di kalangan masyarakat pribumi dan kelas bawah pada masa itu, yaitu pengaruh tonil dan pengaruh filem-filem impor yang berisikan aksi laga. Kedua model tontonan tersebut yang mempengaruhi produksi film di Hindia Belanda. Dapat dilihat beberapa produksi filem seperti; Njai Dasima (1929) karya Lie Tek Swie, yang cukup booming. Ada juga Si Ronda (1930) dan Melati van Agam (1930) yang merupakan pengambilan cerita-cerita panggung tonil untuk merebut para penonton Toneel Melajoe. Pada film Njai Dasima, menggunakan aktor Padangsche Opera bernama Nancy.  Filem-filem seperti Si Tjonat (1929), Rampok Preanger (1929), Si Pitoeng (1931), mendapatkan antusias penonton kelas bawah karena adegan-adegan aksi laga yang meniru filem-filem action Hollywood. Dan juga filem-filem aksi laga yang terinspirasi dari filem kungfu Tiongkok, seperti karya The Teng Chun, Pat Kiam Hap (Delapan Jago Pedang, 1933), Ouw Peh Tjoa (Dua Siluman Ular Putih dan Hitam, 1934) dan Mercanton (1879-1932)[10].

Pareh-3
Pareh-5

Orientasi Balink terhadap penonton kaum intelektual Hindia Belanda, bisa dibaca sebagai konteks budaya tontonan filem yang berlaku sebelum Pareh diproduksi, yaitu kalangan kelas bawah pribumi. Pengambilan judul Pareh misalnya, bisa dianggap sebagai siasat untuk memberikan konotasi filem yang berbasiskan etnografi. Sehingga daya tarik eksotisme bisa melayani kebutuhan apresiasi kalangan masyarakat Eropa tentang negeri jajahan. Gambaran etnografi bagi penonton Eropa masa itu, tidak lepas dari paham-paham orientalisme (ketimuran) yang memang menjadi pijakan alam pikir masyarakat Eropa terhadap yang “liyan” (masyarakat pribumi). Pada filem Pareh, terdapat tambahan dalam subteksnya yaitu Een Rijs Lied van Java (Lagu Padi dari Jawa)—penambahan judul yang deskriptif tentang lokasi wilayah Timur—tentu  ini ditujukan bagi penonton Eropa. Filem Pareh sempat diputar di Singapura dan Belanda.

Pareh diproduksi pada masa awal filem bersuara, 1935. Balink menggunakan aktor pribumi, sehingga dialog berbahasa Melayu tidak bisa dihindari. Balink memasukkan subteks berbahasa Belanda pada dialog sebagai jembatan. Pada filem ini, sengaja dilhadirkan subteks plot berbahasa Belanda pada setiap pergantian adegan tertentu. Perekaman suara para pemain melalui teknik perekaman langsung tidak berjalan mulus. Dialog pemain harus di dubbing yang dilakukan di negeri Belanda oleh orang Belanda/Indonesia[11].

Demi memikat penonton Eropa, tidak tanggung-tanggung, Balink melibatkan Mannus Franken pada filem ini. Ia menempatkan nama Mannus Franken satu paket dengan namanya sendiri pada pembuka filem. Mannus Franken sudah cukup di kenal di dunia perfilman pada masa itu. Franken pernah bekerjasama dengan Rene Clair dan Germani Dulac yang sudah “besar” di dunia filem. Franken mejadi penulis skenario Pareh. Ketertarikan Franken pada proyek ini bisa jadi karena lahan dokumentatif yang berlimpah di Indonesia, yang memang kaya akan harta etnologi. Mungkin saja Franken ingin melambungkan namanya sejajar dengan Robert Flaherty yang kondang karena karya-karya dokumenter mengenai masyarakat di wilayah jajahan dan pedalaman.

 

 

Kultural Streotipe dalam Pareh

Pengaruh Mannus Franken pada Pareh ternyata memang bisa diprediksi. Pada shot pembuka misalnya, banyak menampilkan dokumentasi tentang kehidupan para kaum pribumi; alam pertanian, padi, pohon kelapa, lahan pertanian, dan petani mengendalikan kerbau di sawah. Gambaran ini dapat terlihat jelas apabila kita coba untuk menelisik lebih jauh bagaimana shot-shot yang hadir pada filem ini. Detail-detail yang dihadirkan; tubuh, ekspresi dan suasana persawahan, memberikan pemaknaan dalam yang ditangkap oleh kamera Balink dan Franken. Panorama alam menjadi bingkai utama dari aktifitas-aktifitas para petani.

Dari gambaran di atas dapat dikatakan semangat Pareh adalah melayani romantisme bangsa Eropa pada negeri yang jauh atau semacam pamflet, dan brosur pariwisata. Identifikasi manusia pribumi pada ambilan panorama alam yang harmonis adalah statement yang mempertegas ini. Mooi Indie adalah konstruksi harmonis yang menjauhkan kenyataan riil masyarakat kaum terjajah. Hal ini merupakan praktik ‘peliyanan’ yang berasal dari personifikasi identitas primitif dan mengacu pada zaman awal bangsa Eropa[12]. Dapat juga dibaca bagaimana doktrin evolusi Darwin yang mendorong dunia antropologi untuk mencari ‘mata rantai yang hilang’ pada tahap evolusi masing-masing bangsa; Eropa dan Pribumi[13]. Anggapan pribumi sebagai ‘mata rantai yang hilang’, juga dilihat sebagai ‘surga yang hilang’ mengacu pada masa keemasan bangsa Eropa masa lalu. Sehingga sebagai sebuah ‘brosur’ pariwisata, Pareh cukup bisa didekatkan dengan penonton Eropa yang mendambakan negeri jajahan—di wilayah tropis—sebagai ‘surga yang hilang’.

Pada penceritaan Pareh, Mannus Franken mengambil kisah pelarangan hubungan antara desa pesisir (nelayan) dengan desa pertanian (petani).  Filem ini menceritakan tentang Machmud—seorang pemuda dari desa pesisir—jatuh cinta dengan Wagini dari kalangan petani. Machmud selalu diganggu oleh Djahal dari desa pertanian yang menyukai Wagini. Suatu ketika di desa Wagini kehilangan keris yang diyakini membawa keseimbangan alam bagi kesuburan pertanian desa. Kemudian terjadi bencana alam banjir yang merusak lahan pertanian. Tatanan sosial masyarakat desa pun berantakan. Machmud berusaha mencari pertolongan ke daerah bernama Noesa. Di tengah perjalanan perahu Mahcmud tenggelam oleh badai. Machmud selamat dan kembali ke desa Wagini. Dan ia menemukan keris yang hilang. Ternyata dicuri oleh Djahal. Ia berhasi merebut kembali keris dengan kematian Djahal. Akhirnya desa Wagini kembali subur.

Tokoh Machmud diperankan oleh Rd. Mochtar—bayangan sosok bangsa pribumi—sebagai kebutuhan kelas intelektual Eropa. Tubuh Mochtar menggambarkan kekuatan dengan potongan rambut yang sedikit formal merupakan konsepsi penokohan khas Eropa. Balink menyuruh Mochtar untuk menggunakan nama ningratnya—setelah sekian lama tidak digunakannya—untuk  menggapai penonton menengah atas Hindia Belanda.

Pareh-7

Machmud adalah sosok pemuda yang berperawakan cukup tinggi untuk rata-rata kaum pribumi. Berbadan tegap, berwibawa, dan tampan. Pada adegan Djahal yang tersudut di sungai dalam kejaran Machmud, tokoh ini tampak jauh lebih tegap, dan berpostur paling tinggi di antara kerumunan pribumi. Perkelahian dimulai ketika Djahal secara diam-diam mengambil kerisnya untuk membunuh Machmud. Tokoh ideal Balink ini menangkap tangan Djahal dan meleleparkan keris itu. Perkelahian pun dimenangkan oleh Machmud. Setelah itu, Machmud sengaja memamerkan kekuatan tubuhnya dengan dengan menunjukkan lekuk lengannya. Gesture tubuh yang tampak janggal di kalangan pribumi pedesaan. Simbol keris tidak lagi menjadi kekuatan dalam adegan tersebut. Justru kekuatan fisik lah yang memenangkan perkelahian antara Machmud dengan Djahal. Ini sangat jauh berbeda secara psikologis dengan kondisi sosial masyarakat di pedesaan.

Pada adegan Wagini memberikan setangkai kembang pada Machmud, adegan dimulai dengan dua perempuan (Wagini dan Sarinah) sedang memetik kembang. Machmud datang dengan sampan, dan menyapa kedua perempuan. Wagini kemudian memberikan kembang pada Sarinah untuk diberikan kepada Machmud, Sarinah mendekati Machmud. Lalu melemparkan kembang itu yang langsung ditangkap Machmud. Wagini tersenyum. Machmud menjepit setangkai kembang di mulutnya sambil melambaikan tangan pergi. Adegan ini mengingatkan kita pada romansa Romeo dan Juliet yang direpresentasikan oleh Machmud dan Wagini.

Pada Pareh kita dapat melihat hal yang diidealkan seperti yang disebutkan Karl. G. Heider sebagai the noble savage dan ignoble savage. The noble savage berasal dari kultur Eropa tentang ide manusia atau kebudayaan di masa lampau, hidup luhur, sederhana, dekat dengan alam, serta dimurnikan oleh kompleksitas peradaban. Konsepsi ini berasal dari masa kejayaan Eropa di masa ekpansi imperialisme. The ignoble savage adalah idealisasi versi lain dalam bentuk kecenderungan alam yang negatif dimana manusia jauh dari keluhuran serta liar (barbarian). The ignoble savage yang menurut Richard Bernheimer menyiratkan segala sesuatu diluar norma-norma Kristiani sebagai sesuatu yang tidak beraturan, ‘asing’, tidak berbudaya dan tidak berperadaban yang banyak direpresentasikan dalam seni dan literatur abad pertengahan Eropa (Karl G.Heider, 1991; 110:111); manusia liar (wild).

The noble savage dapat kita lihat pada pembuka Pareh, yaitu masyarakat yang hidup luhur dekat dengan alam. Juga pada adegan warga meminta pertolongan Pak Lurah terlihat jelas hadirnya simbol dinamisme (kepercayaan pada benda –Red.) keselarasan hubungan sosial ekonomi dengan alam. Pada adegan ini warga mengeluhkan bencana hujan yang dikhawatirkan akan menyebab banjir. Pak Lurah pun menenangkan warga desa, dengan berkata, “Jangan takut, saya ada punya keris itu…”. Kemudian ia mengambil keris di ruang tamunya sambil memberi hormat pada benda itu. Kemudia ia berkata, “Ini keris bisa tolak hujan dan banjir serta bahaya yang lain-lain…”. Sang Lurah menunjukan kesaktian keris yang mampu menghentikan hujan.

Adegan di atas menjadi penanda jelas tentang cultural streotype bangsa Eropa terhadap pribumi di Hindia Belanda, yang menganggap mereka (pribumi) masih memiliki ketergantungan terhadap kekuatan mistisisme benda. Pareh menghapus kondisi keterbelakangan sesungguhnya yang dialami oleh masyarakat pribumi yang disebabkan imperialisme bangsa Eropa.

Pareh-8

Sejarahwan Ong Hok Ham menyatakan ada pengaruh-pengaruh orientalisme pada paham-paham Mooi Indie. Khususnya ketika orang India dan Indonesia sering digambarkan dengan pakaian Timur Tengah[14]. Hal ini sangat tergambar bagaimana tokoh Lurah dihadirkan dengan berbagai elemen islami yang melekat di tubuhnya dan hiasan rumah. Konstruksi visual yang orientalis ini dapat juga kita lihat pada bagaimana penggambaran Pangeran Diponegoro sebagai Pangeran Jawa yang digambarkan oleh lukisan Raden Saleh. Sang pahlawan digambarkan sosok berjubah seperti bangsa Timur Tengah.

Sebagai penulis, Mannus Franken sangat jelas memiliki jurang yang cukup lebar dengan dinamika kesadaran kaum pribumi di Hindia Belanda. Armijn Pane menulis tentang Pareh; Visi Mannus Franken sebagai pengarang skenario dan pemegang regie (sutradara—Red.) ialah berdasarkan etnologi, lagi pula mungkin oleh latar kebudayannya sebagai orang Barat, filem Pareh seluruhnya dengan tidak sengaja terbawa kedalam suatu suasana yang bukan suasana kita orang Indonesia[15].

Yang menarik adalah aktor Rd. Mochtar sebagai pemain utama filem ini pun tidak tertarik untuk menonton pada pemutaran perdana di Bioskop Elita Bandung. Ia hanya sempat menonton sepenggal-sepenggal saja pada saat pemutaran percobaan[16]. Pareh hanya mengundang daya tarik kalangan atas penduduk Hindia Belanda. Filem ini membuat Balink bangkrut. Ia lupa bahwa penopang industri filem di Hindia Belanda adalah kalangan pribumi kelas bawah. Salim Said menyatakan filem ini tidak menghasilkan uang. Penonton di Hindia Belanda tidak suka filem yang menggambarkan mereka sebagai orang-orang yang masih kuno[17].

 

 

Mooi Indie dan Desa sebagai Basis

Pada abad ke-20, praktek kolonialisme Belanda lebih bermuara pada desa sebagai satuan-satuan sosial terkecil yang menopangnya. Paska berakhirnya “Perang Jawa” (Java Oorlog, 1925-1930), desa menjadi sasaran baru eksploitasi koloni untuk mengisi kekosongan kas negara paska mengeluarkan kebijakan Cultuurstelsel (Sistem Tanam Paksa ,1830-1870). Babak baru kolonial ini kemudian melahirkan kota-kota “Garnizun” di pedalaman Pulau Jawa seperti Cimahi (Jawa Barat), Magelang (Jawa Tengah) dan Malang (Jawa Timur) menggantikan sistem pertahanan “perbentengan” ala VOC[18]. Liberalisme pertanian pada masa akhir Cultuurstelsel menyebabkan perkebunan partikelir. Ini berdampak pada meningkatnya bangsa Eropa di Jawa. Sehingga pada awal abad ke-20 banyak dibuat peraturan (ordonnantie) yang berkaitan dengan pengaturan kekuasan di desa. Desa menjadi basis sosial ekonomi politik kolonialisme. Menurut Ong Hok Ham, desa amat penting bagi pemerintah kolonial yang merupakan dasar pengaturan masyarakat Hindia Belanda[19]. Semangat ini mungkin masih berlanjut sampai masa paska kemerdekaan yang melahirkan peneliti macam Clifford Greetz, yang juga banyak dijadikan rujukan untuk studi sosial di Indonesia. Studi Geertz di Modjokuto adalah tentang kota-kota pedesaan.

Desa sebagai basis eksploitasi kolonial menjadikan juga desa sebagai basis perlawanan. Perang Jawa yang dipelopori Diponegoro (1825-1830), pemberontakan petani Banten (1888 dan 1926), sampai dengan gerakan Samin Surosentiko (1905-1930) merupakan sejarah perlawanan yang berbasis desa. Pada awal abad ke 20, organisasi massa tersebesar masa itu, Syarikat Islam juga berbasis di pedesaan. Kondisi ini menjadikan desa sebagai entitas yang cukup penting untuk di bekukan dan didamaikan pihak kolonial.

Pareh bisa jadi adalah sebuah stigma dan idealisasi terhadap gambaran desa. Ini dapat dilihat pada peran sentral pak Lurah dalam piramida sosial. Selain sebagai pemimpin secara sosial politik, ia pemegang legitimasi terhadap alam. Pareh menggambarkan dengan adegan warga berjongkok di tanah, patuh dan percaya pada pak Lurah di tengah situasi bencana sekalipun. Dalam sejarah kolonialisme di Nusantara, peran penting pemimpin desa sebagai kekuatan sosial adalah praktek warisan kolonial sejak zaman Raffles. Ia menjadikan lurah atau pemimpin desa sebagai kepanjangan tangan kolonial dalam penarikan pajak.

Pareh-9

 

Pareh sebagai Representasi dan Sejarah Dominasi

Selain aplikasi Trimurti berupa eksplorasi panorama alam, pertanian, eksotisme, dan seterusnya,  persoalan identifikasi tokoh pada Pareh nampaknya jadi persoalan yang cukup bisa digagas. Tokoh Muchtar dan Wagini layaknya me-romeo-juliet-kan pribumi. Tokoh Djahal berjarak terhadap situasi pribumi yang sesungguhnya. Djahal sebagai tokoh antagonis, adalah gambaran persoalan pribumi dalam kaidah horizontal dan personal. Hal ini menghapus selubung vertikal (imperialisme) dibalik konflik horizontal dan personal di kalangan pribumi.

Adegan para perempuan di sungai adalah satu di antara miniaturisasi pada Pareh. Juga pada simbol keris. Praktek representasi selalu berimplikasi pada persoalan kekuasan, yaitu disorientasi oleh pihak yang merepresentasikan. Representasi adalah persoalan manusia, karena di dalamnya ada otoritas, yang tidak membuka peluang terhadap peran-peran pihak yang direpresentasikannya. Dan ‘dipedalamankan’, ‘terbelakang’, ‘primitivisme’ dan seterusnya, begitu saja tak terelakkan.

Satu catatan etnografis pada perempuan mandi di sungai bertelanjang dada. Atau perempuan yang sedang menumbuk yang juga bertelanjang dada. Sebuah keseharian yang jarang dikenal pada masyarakat kita saat ini. Tidak terdapat catatan tentang ordonasi sensor filem kolonial pada masa itu—yang  melarang adegan perempuan bertelanjang dada. Mungkin sensor filem pada masa kolonial hanya berkaitan dengan etika puritan kaum kulit putih. Adegan perempuan bertelanjang dada cukup memberikan kepastian rekaman dokumentasi sejarah kebudayaan masyarakat di Jawa. Hal ini juga dapat kita temukan pada lukisan-lukisan Mooi Indie-nya Rudolf Bonnet.

Perempuan pada Pareh ditampilkan pada kontruksi eksotis sebagai kerangka berpikir the noble savage. Stereotipe yang dilekatkan pada kalangan bawah pribumi yaitu yang masih jauh dari etika puritan kaum Eropa—sehingga layak untuk “diperadabkan”. Agenda etika puritan kolonial tersebut masih subur dijalankan oleh para ningrat pribumi sampai hari ini.

Sangat disayangkan keberadaan filem Pareh—sebagai bagian sejarah masyarakat Indonesia—sampai hari ini tidak bisa diakses oleh masyarakat kita. Konon, museum filem di Belanda juga tidak memiliki material asli dari filem ini. Beberapa pihak menyebutkan bahwa filem Pareh ini berada ditangan keturunan keluarga Albert Balink. Sebagai sebuah dokumen, karya fiksi Pareh mengandung nilai sejarah dengan relasinya dengan seni, cara merepresentasikannya yang merupakan gambaran dominasi kaum Eropa di Indonesia.

 

Bahan Rujukan

Armijn Pane, Produksi Film Tjerita di Indonesia, Indonesia, Th.IV.No ½, Januari/Februari 1953.

B. J. Bertina, Sejarah Film Sebagai Seni (2): Pengaruh Sandiwara, diambil dari www.jurnalfootage.net

GPBSI, Dari Gambar Ideop ke Sinepleks, 1992.

Handinoto, Kebijakan Politik dan Ekonomi Pemerintah Kolonial Belanda yang Berpengaruh pada Morpologi Beberapa Kota di Jawa. DImensi Teknik Arsitektur, Vol.32, No.1, Juli 2004: 19 – 27, http://puslit.petra.ac.id/puslit/journals

Karl G.Heider, Indonesian Cinema (National Culture on Screen), University of Hawaii Press, 1991

Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950 (Bikin Film di Jawa), Komunitas Bambu, Depok, 2009.

Onghokham, Hindia yang Dibekukan (Mooi Indei dalam Seni Rupa dan Ilmu Sosial), Kalam Edisi 3, 1994, diambil dari Raden Saleh (Anak Belanda, Mooi Indie dan Nasionalisme), Komunitas Bambu, Depok, 2009.

Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia, Grafiti Pers, Jakarta 1982.

 


[1] Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950 (Bikin Film di Jawa)
[2]
Onghokham, Hindia yang Dibekukan (Mooi Indie dalam Seni Rupa dan Ilmu Sosial), 1994. hlm.163
[3]
S. Sudjojono adalah pelukis yang bergabung dalam Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia). Persagi menjadi sebuah gerakan, terutama ketika berhadapan dengan para pelukis Eropa dan para pelukis pribumi yang mendapatkan pendidikan formal Belanda, karena karya-karya lukisan mereka yang menjauhkan diri dari kondisi riil masyarakat pribumi pada masa kolonial tersebut.  Setelah lulus Taman Guru di Perguruan Taman Siswa Yogyakarta, ia ditugaskan Ki Hajar Dewantara untuk membuka sekolah baru di Rogojampi, Madiun tahun 1931. Paham seni modernnya bisa dianggap diperoleh secara otodidak, bersemangatkan nasionalis, yang kemudian membedakan para pelukis Indonesia yang mendapatkan pendidikan formal pada masa kolonial.
[4]
Trimurti merupakan kritik S. Sudjono terhadap lukisan Mooi Indie yang melulu melakukan pelukisan alam dalam merepresentasikan secara visual kondisi masyarakat pribumi. Yang dimaksud dengan Trimurti adalah visual berupa gunung, pohon dan air yang selalu mendominasi karya-karya pelukis yang melayani selera turistik dan dokumen jawatan sosial.
[5]
Armijn Pane, Produksi Film Tjerita di Indonesia, Indonesia, 1953. 15
[6]
Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia, 1982. hlm.6
[7]
Misbach Yusa Biran, Op.Cit, hlm.  155
[8]
Ibid.hlm.155
[9]
Ibid.hlm.63
[10]
B. J. Bertina, Sejarah Filem Sebagai Seni (2): Pengaruh Sandiwara, No.10 Tahun VI Juni 1955
[11]
Ibid.hlm.160
[12]
Frances Gouda, Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942raf, 2007, hal.210
[13]
Penjelasan lebih lanjut bisa dilihat, ibid. hal.207-275.
[14]
Onghokham, ibid.hlm. 165
[15]
Sanusi Pane, hlm.21-22
[16]
Misbach Yusa Biran. hlm.161
[17]
Salim Said hlm.23
[18]
Handinoto, Kebijakan Politik dan Ekonomi Pemerintah Kolonial Belanda yang Berpengaruh pada Morpologi Beberapa Kota di Jawa. http://puslit.petra.ac.id/puslit/journals
[19]
Onghokham, ibid.hlm.174

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search